Waspada Proyek Sawah Cina di Tanah Borneo
Tinta Media - Indonesia adalah negara agraris yang memiliki lahan pertanian sangat luas dengan iklim tropis, menjadikan tanah negeri ini subur. Sektor pertanian menjadi mayoritas pekerjaan masyarakat, khususnya mereka yang berada di pedesaan.
Pada negara agraris, pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sektor perekonomian, sektor perdagangan, serta sektor sosial.
Bertambahnya jumlah penduduk Indonesia membuat kebutuhan pokok atau kebutuhan pangan semakin meningkat. Secara langsung, hal ini berdampak pada perekonomian petani. Kesejahteraan petani pun terdongkrak naik.
Namun, sayangnya logika ini hanya sekadar bayangan saja, sebab nyatanya tidak. Seperti dikutip dari Koordinator Aksi Prabowo Pamungkas, dikatakan bahwa meski telah ada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tetap tak ada kemajuan bagi kaum tani.
“Bahkan sebaliknya, nasib petani kian terpinggirkan dan tetap saja miskin serta jauh dari kata sejahtera,” kata Prabowo.
Tiga persoalan utama kaum tani selalu berkutat pada konflik lahan, pupuk langka, dan fleksibilitas harga pertanian. (kompas.com. 12/5/24)
Selain itu, pertanian Indonesia saat ini juga menghadapi persoalan kurangnya minat anak muda dalam sektor pertanian. Ini dibuktikan dalam hasil data sensus pertanian 2023 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik bahwa petani yang mengelola pertanian perorangan tahun ini berumur 45-54 tahun dengan porsi 27,09%, sangat berbanding dengan jumlah 10 tahun yang lalu 28,03%.
Kemudian yang berusia 35-44 tahun sebanyak 22,08% turun drastis, dari catatan hasil sensus 2013 sebesar 26,34%. Sedangkan usia dari 55-64 tahun meningkat drastis 10 tahun terakhir sebanyak 20,01% menjadi 23,20%, dan usia 65 tahun ke atas juga naik dari 12,75% menjadi 16,15%. (CNBC.Indonesia.12/5/24)
Apabila kita mencermati rentan usia petani menurut data statistik di atas, tentu hal ini berpengaruh terhadap penggunaan teknologi modern di bidang pertanian, yaitu petani yang menggunakan alsintan modern atau teknologi digital pada 2023 porsinya hanya sebanyak 46,86% dari total petani 28,19 juta orang. Sedangkan yang tidak menggunakan alsintan modern atau teknologi digital mendominasi dengan porsi 53,16%. (CNBC.Indonesia.12/5/24)
Dari beberapa data yang telah dipaparkan, dapat diambil titik benang merah permasalahan mengapa pemerintah mencanangkan proyek sawah Cina di wilayah pertanian Kalimantan Tengah seluas 1 juta hektare.
Cina akrab dengan kebaruan teknologi di negerinya dalam pengelolaan sawah hingga hasil panen melimpah dan selalu melakukan inovasi serta temuan baru dalam varietas benih padi hingga dihasilkan bibit-bibit padi yang unggul. Potensi inilah yang dilirik oleh pemerintah Indonesia hingga mempercayakan pengelolaan sawah di tanah Kalimantan Tengah digarap oleh Cina. Pemerintah juga mengekspor para petani Cina untuk bekerja di Indonesia.
Telah tampak jelas keberpihakan negara kepada para asing dan aseng. Penggarapan sawah di tanah Kalimantan Tengah tentu memiliki dampak bagi para petani lokal yang ada di Kalimantan. Mereka akan merasakan keterasingan di tanah kelahiran mereka sendiri.
Ada satu pertanyaan krusial yang patut dipertanyakan kepada pimpinan negeri bahwa, “Apakah proyek tersebut bagian dari food estate?”
Jika memang iya, dalam rangka ketahanan pangan, maka kita dapat berkaca pada 3 dekade terakhir sejak era presiden Soeharto yang melakukan berbagai proyek untuk ketahanan pangan, tetapi nyatanya gagal dalam mewujudkannya.
Kerja sama dengan korporasi asing dalam aspek strategis negara tentu akan mengancam kedaulatan negara dan berpotensi menguatkan penjajahan pada negeri. Sektor pangan merupakan sektor yang sangat strategis karena berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
Ini berbeda jika negara menerapkan syariat Islam di seluruh lini kehidupan. Negara dalam Islam menerapkan hukum-hukum khusus terkait tanah pertanian. Negara berperan besar memastikan bahwa tidak ada sejengkal pun tanah pertanian yang ditelantarkan. Pemilik tanah wajib menggarap atau memanfaatkannya, sebab apabila ditelantarkan lebih dari tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut akan diambil alih oleh negara.
Negara akan menjamin sarana dan prasarana yang berkualitas dan terjangkau serta dukungan riset dan teknologi, jaminan pemasaran yang aman, dan berkeadilan. Pembiayaan sektor pertanian tidak akan bergantung pada swasta atau asing, sehingga ketika negara menjalin hubungan dengan negara asing, maka kedaulatan negara tetap terjaga. Oleh karena itu, terwujudnya ketahanan pangan hanya akan terjadi jika negara menerapkan sistem Islam kaffah dalam sektor pertanian. Wallahu a’lam Bishshawwab.
Oleh: Rika Yuliana, S.IP., Pustakawan dan Aktivis Muslimah