Tinta Media: agaria
Tampilkan postingan dengan label agaria. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agaria. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Januari 2024

Islam, Solusi Kunci Penyelesaian Konflik Agraria


Tinta Media - Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama periode 2009-2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia. Pada tahun 2023 saja, setidaknya ada 241 kasus. Konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, serta berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga (KK) (databoks.katadata.co.id). Kasus ini terus berulang, bahkan meningkat.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyampaikan belum melihat perubahan yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Bahkan kemauan politik (political will) pemerintah dipandang lemah terkait kasus agraria.

Belum lagi catatan KPA selama periode pemerintahan 2015-2023 yang mengungkap 2.363 kasus kriminalisasi penyerangan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah, dengan total 3.503 korban, dan 72 di antaranya tewas. Seakan-akan rakyat diusir paksa dari tanahnya, demi mengklaim hak guna usaha negara (kompas.id).

Sangat jelas ditunjukkan kepada kita bahwa pemerintah sudah tak sanggup mengatasi sengketa agraria. Memang, di dalam sistem pemerintahan saat ini sudah terlalu banyak kepentingan yang harus dijalankan. Hal ini merupakan keniscayaan dari sistem kapitalisme, yang memprioritaskan para pemilik modal dan perolehan materi terlebih dahulu.

Hukum UU Cipta Kerja dan aturan turunannya pun ikut melanggengkan kepentingan penguasa. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian menilai, setiap era kepemimpinan selalu menyisakan konflik agraria yang belum selesai. Sumber dan aktor yang terlibat dalam konflik pada umumnya sama, baik dari kalangan dunia usaha, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat (kompas.id).

Sejak awal, tata kelola agraria seharusnya tidak didasarkan pada kebebasan kepemilikan. Hal ini melegalkan siapa pun yang memiliki modal menguasai tanah. Saat ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah 20/2021 terdapat celah untuk penguasaan tanah langsung oleh pemerintah. Celah tersebut memungkinkan pengusaha atau pemilik modal berkuasa menentukan kebijakan negara yang menguntungkan kelompoknya. Selain itu, hukum lain terkait masalah agraria masih belum cukup jelas dan rinci, serta bisa dieksploitasi oleh perusahaan yang tertarik dengan kekayaan alam yang bukan haknya.

Dengan begitu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan ini terbukti tidak mampu dan tidak akan menjadi solusi penyelesaian konflik agraria. Landasan kebebasan kepemilikan yang ada di sistem kapitalisme saat ini memungkinkan hukum diotak-atik oleh kaum korporat.

Sedangkan, kepemilikan di dalam hukum Islam memiliki prinsip yang berbeda. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sebuah lahan dapat memiliki padang rumput, air, atau api/sumber api (yakni gas alam, minyak bumi, dan sebagainya). Ketika terdapat SDA pada suatu lahan, maka tidak bisa diambil alih oleh perseorangan, apalagi perusahaan, untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Semua harta umum itu akan dikelola negara. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, ketika SDA itu jumlahnya sedikit, individu boleh mengelolanya.

Adapun kepemilikan individu terhadap lahan di dalam Islam akan dihormati dan dilindungi, jelas tidak akan direbut paksa atas dasar selembar sertifikat. Negara juga akan memberikan tanah kepada rakyat ketika mereka bisa menghidupkan tanah tersebut.

Setiap aturan Islam dibuat dengan jelas, dan tidak akan menghambat kesejahteraan rakyat. Kunci penyelesaian konflik agraria sesungguhnya ada pada penerapan aturan Islam. Kasus ini tidak akan terulang karena Islam sangat jelas membagi dan mengatur kepemilikan. Aturan Al Khaliq yang sempurna, tidak akan memperpanjang masalah seperti sistem buatan manusia.


Oleh: Annisa Nanda Alifia 
(Mahasiswi)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab