Tinta Media - Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis yang mengatakan bahwa golput itu hukumnya haram.
Meskipun dari KH Muhammad Cholil Nafis memberikan beberapa alasan, namun pernyataan ini menjadikan seolah setiap individu untuk wajib ikut berpartisipasi dalam sistem demokrasi, sebenarnya apa hukumnya memilih presiden di dalam sistem demokrasi ini?
Simak wawancara wartawan Tinta Media Setiyawan Dwi bersama Ulama Aswaja Solo Ustadz Utsman Zahid As-Sidany
1. Apa tanggapan ustadz terkait pernyataan MUI tersebut?
Sebenarnya fatwa ini bisa disebut dengan fatwa yang gagal atau fatwa yang tidak memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mengapa? Karena fatwa ini yang pertama didasarkan pada kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin di dalam Islam.
Nah, kita tahu bahwa kewajiban mengangkat pemimpin di dalam Islam yang memang ditegaskan oleh para fuqaha bahkan menjadi sebuah ijma' di kalangan fuqaha, tapi kita harus ingat bahwa mereka menyatakan itu bukan untuk menjustifikasi atau bukan untuk membenarkan berlakunya atau diterapkannya hukum yang bukan berasal dari Allah SWT alias hukum jahiliyah.
Mereka mengeluarkan pernyataan tersebut atau menyatakan bahwa terjadinya ijma’ mengangkat seorang pemimpin itu sebenarnya dilatarbelakangi atau berasaskan pada sebuah kenyataan bahwa penerapan syariat, menegakkan hudud alias hukum-hukum Islam itu kan seorang pemimpin. Di situlah kemudian kaum muslimin atau fuqaha secara umum menyatakan bahwa hukum fardhu kufayah untuk Nasbul Imamah untuk mengangkat seorang pemimpin.
Nah kalau kemudian fatwa atau pernyataan para fuqaha ijma berkaitan dengan pengangkatan seorang pemimpin ini dilepaskan dari konteksnya lalu digunakan untuk menyatakan bahwa memilih presiden dan wakil presiden dan kita tahu bahwa presiden dan wakil presiden di negeri-negeri saat ini bukan hanya di Indonesia, itu bukan untuk menerapkan syariat Allah atau bukan untuk menerapkan hukum Allah SWT. Bukan pula menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang sudah dinyatakan Allah SWT atau dicela oleh Allah Ta'ala dalam Qur'an disebut hukum jahiliyah.
Jadi, membawa pernyataan para fuqaha ijma' wajib mengangkat seseorang pemimpin untuk menyatakan bahwa hukum memilih capres dan cawapres itu adalah wajib dan kemudian mengatakan golput adalah haram merupakan sebuah fatwa yang tidak memiliki landasan sama sekali.
Yang kedua ketika para fuqaha mengatakan bahwa memilih ataupun mengangkat seorang iman seorang pemimpin dan yang dimaksud adalah khalifah yang sebenarnya di dalam kitab-kitab fiqih itu maknanya mereka memahami dan memberikan penjelasan bahwa itu hukumnya fardhu kifayah.
Sehingga ketika itu ada 1,2,3,4 orang atau lebih dari itu semua tidak mengangkat itu tidak masalah. Karena sifatnya fadhu kifayah yang penting sudah terlaksanakan, yang penting sudah ada orang-orang yang sudah mengangkat imam atau khalifah yang imam atau khalifah ini kemudian hukum-hukum syariat Allah SWT ditegakkan, hudud Islamiyah dan sanksi-sanksi di dalam Islam bisa ditegakkan.
Selebihnya tidak berdosa, karena itu mengatakan golput secara mutlak hukumnya haram misalnya, maka ini adalah sebuah pernyataan yang tidak jeli dan menyalahgunakan hukum wajibnya mengangkat imam atau khalifah yang hukumnya sendiri adalah fardhu kifayah. Sehingga dikatakan semua tidak mengangkat seorang pemimpin atau khalifah untuk menerapkan syariat Islam misalnya dia tidak ikut terlibat dalam mengangkat seorang imamah, seorang khalifah apakah dia berdosa, jika dikatakan seperti ini? maka ini jelas merupakan fatwa yang keliru.
Jadi kesimpulannya adalah fatwa ini keliru dari dua sisi, yang pertama adalah sisi mencatat pernyataan fuqaha terkait ijma' wajibnya mengangkat imam, yang dimaksud imam di sini adalah seorang khalifah yang menerapkan syariat Allah SWT yang menerapkan hukum-hukum Alĺah SWT.
Yang kedua adalah dari sisi bahwa mengangkat seorang pemimpin atau khalifah dalam sistem Islam pun itu adalah hukumnya fadhu kifayah, berarti maknanya tidak setiap orang berdosa, ketika ia tidak ikut terlibat dalam membuat seorang khalifah.
2. Tapi di sisi lain dari pihak MUI yang diwakili KH Muhammad Cholil Nafis alasannya adalah "Tak ada yang ideal ya hidup ini tak selalu bisa sesuai harapan, kalau tak bisa sempurna minimal tak bahaya dan tak membahayakan," katanya di cuitannya. Bagaimana pandangan ustadz dengan alasannya?
Tentang pandangan hidup yang tidak ideal, jika tidak ada yang ideal yang penting tidak ada yang berbahaya. Sekali lagi ini sebuah pernyataan yang keliru, bahwa ketika tidak ada yang ideal walaupun kita memilih yang kurang ideal itu hal yang wajar dan rasional. Tetapi dalam konteks yang kita bicarakan ini adalah bukan persoalan ideal dan tidak ideal tapi merupakan sebuah persoalan halal haram bukan ideal dan tidak ideal.
Sekarang kita balik bertanya bagaimana hukumnya memilih orang yang akan menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala atau orang yang menerapkan menegakkan hukum-hukum jahiliyah, hukum buatan manusia apakah itu sebuah ketidakidealan atau itu tidak ada mudhorotnya, naudzubillah.
Bagaimana dikatakan bahwa menerapkan selain hukum Allah Ta'ala tidak ada madhorotnya? Madhorotnya sudah kelihatan di dunia dan tentu saja lebih besar lagi di akhirat.
3. Jika kita tidak memilih, nanti kekuasaan dipegang orang kafir. Pendapat Anda?
Ini kan pertanyaan yang basi sejak puluhan tahun lalu sudah disampaikan seperti itu. Dari dulu sampai sekarang presiden atau calon presiden semua muslim. Jadi pernyataan ini tidak relevan jika dikuasai orang kafir.
Kalau kita boleh jujur calon-calon semua yang ada, presiden-presiden yang sebelumnya yang telah jadi presiden, di belakang mereka orang kafir atau kita sebut oligarki, kita sebut 9 naga dan itu adalah orang-orang kafir. Lalu kemudian dikatakan kalau kita tidak memilih maka akan dikuasai orang kafir, loh itu sudah sejak lama presiden-presiden itu sudah dikuasai orang kafir, sudah bukan menunggu kalau kita tidak nyoblos akan dikuasai orang kafir.
Justru kita nyoblos itulah faktanya orang-orang yang dikendalikan dan mereka mengabdi kepentingan-kepentingan oligarki yang notabene adalah orang kafir.
Jadi, pernyataan kalau kita tidak nyoblos itu dikuasai orang kafir ini adalah pernyataan ketinggalan fakta. Faktanya sudah lama kaum muslimin di Indonesia ini secara politik dan ekonomi dikendalikan para oligarki jadi tidak harus menunggu kota nyoblos atau tidak, karena faktanya sudah dikuasai sejak lama.
4. Bagaimana hukum memilih capres dan caleg dalam pandangan Islam?
Jadi sederhananya gini memilih itu sebenarnya dalam hukum Islamnya adalah fardhu kifayah dari kaum muslimin untuk mengangkat, membaiat seorang pemimpin dalam Islam.
Nah seperti yang saya sampaikan memilih pemimpin, mengangkat seorang pemimpin dalam Islam itu wajib yang disebut dalam fardhu kifayah dalam rangka menegakkan syariat Allah SWT, menegakkan hudud Islam, hukum-hukum dalam Islam dalam rangka riayah su'unil ummah, mengelola menjaga, mengurusi ummah dengan syariat Islam.
Imam Al Mawardi itu mengatakan bahwa khilafah atau imamah itu mengganti kenabian dalam arti menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia dengan agama.
Sekarang masalahnya bukan masalah memilih seorang capres/cawapres. Masalahnya adalah bagaimana hukumnya kita mendorong orang, mengajukan orang, mendukung orang, untuk menegakkan syariat selain hukum Allah itu, bagaimana?
Kalau Kita sudah tahu kalau menerapkan selain hukum Allah SWT sebuah kemungkaran atau kemaksiatan yang sangat besar. Lantas bagaimana jika mendorong memilih mendukung kemaksiatan yang lebih dari kemaksiatan kan begitu, silakan jawab sendiri bagaimana hukum memilih pemimpin dalam rangka menerapkan selain menerapkan hukum Allah SWT.
5. Apa syarat pemimpin yang layak dipilih?
Syaratnya adalah seorang muslim, laki-laki, merdeka bukan budak, berakal bukan gila, dan adil bukan fasik.
Fasik artinya melakukan dosa-dosa besar dan mengulangi dosa-dosa kecil itu namanya fasik. Adakah yang dilakukan para calon ini atau kemudian yang dilakukan para pemimpin di negeri ini yang menjadikan mereka gugur keadilannya dan kemudian jadi fasik.
Jawabannya jelas kita lihat di depan mata kita sendiri para pemimpin sering melakukan dosa-dosa besar dan tentu yang paling nyata dan tampak adalah menerapkan hukum selain hukum Allah SWT itu sudah bagian dari dosa besar, kalau dilakukan dengan sukarela dengan lapang dada, senang hati, dan menganggap hukum-hukum itu adalah hukum yang baik justru itu mengantarkan kita pada dosa besar.
Nah dititik ini dalam pernyataan tidak ada yang bisa memenuhi syarat ini. Saat ini para pemimpin menjalankan atau menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT dan itu hukumnya dosa besar dan ditambah lagi syarat kelima mampu tidak untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
6. Wajibkah memilih pemimpin yang buruk di antara yang terburuk, dengan alasan: ahwan as-syarrayn, atau akhaffu ad-dhararayn?
Wajib memilih yang paling ringan keburukannya dan meninggalkan keburukannya itu jika pilihannya ada 2, jadi itu maknanya adalah ketika ada harapan kita tidak ada jalan lain yang halal yang ada yang haram, tapi haram yang lebih berat, ada haram yang lebih ringan.
Misalnya seorang yang berada dihutan kehabisan makanan dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai misalnya kijang yang kedua bangkai babi misalnya, dari sini sama-sama haramnya karena bangkai.
Namun ada bangkai lebih parah itu adalah babi dan kijang adalah paling ringan. Nah di sinilah milih yang ringan. Sedangkan dalam konteks memilih pemimpin, memilih itu tidak wajib setiap orang tapi hukumnya fadhu kifayah, ini pun untuk memilih pemimpin yang akan menerapkan syariat Allah SWT bukan yang lain. Oke gitu jadi tadi tidak tepat memakai kaidah ini.
Yang kedua dihadapkan kita ditengah-tengah untuk memperbaiki bangsa ini, memperbaiki kondisi negara ini tentu saja masih ada jalan yang jauh lebih baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, tidak harus melalui pencalonan capres/cawapres ataupun melalui caleg atau kemudian calon legislatif yang nanti tugasnya membuat hukum yang tidak berlandaskan pada kitab Allah SWT yang itu merupakan kehancuran.
Jadi dihadapkan kita masih banyak jalan yang halal, jalan-jalan yang bahkan wajib diwajibkan oleh Allah Ta'ala untuk kita lakukan yaitu melalui jalan pemikiran, jalan dakwah, jalan melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat sehingga menggunakan kaidah ini sama sekali tidak tepat.
7. Apakah hukum wajibnya “nashb al-imam” dalam kitab-kitab Muktabar bisa diberlakukan dalam konteks pemimpin sekarang?
Tidak bisa sama sekali, karena hukum wajibnya mengangkat imam di dalam kitab-kitab muktabar itu konteksnya dalam rangka menegakkan hukum Allah SWT menegakkan syariat Allah SWT.
Tidak mungkin para ulama itu ber-ijma' atau mustahil mereka ber-ijma' memilih pemimpin untuk menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala. Jadi tidak mungkin mereka mengangkat ber-ijma wajibnya mengangkat seorang pemimpin untuk menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala. Itu sama saja mereka akan memberi pernyataan hukum wajibnya menyembelih babi lalu dimakan atau wajibnya menyembelih anjing lalu dimakan itu tidak mungkin.
Jadi yang diambil jangan hukum wajibnya mengangkat pemimpin saja, tapi lihat untuk apa, dalam rangka apa pemimpin itu diangkat, dipilih itulah wajib yang kita pahami sehingga kita tidak sekedar mencatut mengangkat/mengambil pernyataan para fuqaha lalu kita tempatkan yang tidak sesuai pada konteksnya.
8. Benarkah Islam tidak memiliki metode baku dalam memilih pemimpin?
Memilih seorang pemimpin, kalau yang dimaksud adalah bagaimana mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat, siapakah calonnya yang diridhoi oleh masyarakat tentu tidak ada cara yang baku.
Kita bisa melakukan polling, kita bisa melakukan pemilihan secara langsung yang dilakukan dalam seperti konteks demokrasi ini misalnya, bisa juga kita melakukan itu.
Intinya adalah bagaimana kita tahu bahwa masyarakat itu menginginkan seseorang tertentu untuk menjadi pemimpin. Jadi itu kalau yang dimaksud memilih ya seperti itu. Adapun kalau itu adalah termasuk mengangkat, maka Islam memiliki konsep baku yaitu baiat.
Baiat ini baku dalam artian sudah ditegaskan oleh Nabi SAW dalam hadist-hadist dan sudah dijelaskan para fuqaha dalam kitab-kitabnya yang visi dari baiat itu adalah intinya kaum muslimin membaiat mengambil janji dari seseorang pemimpin agar pemimpin ini menegakkan hukum Allah SWT.
Lalu dijawab apa ada metode secara langsung, ya intinya dijawab dari kesiapan pemimpin itu untuk menerapkan kitabullah sunnah Rasulullah SAW begitu.
9. Apa yang seharusnya dilakukan umat Islam dalam menghadapi pemilu?
Pemilu adalah kegiatan 5 tahunan dan terus terjadi yang itu menguras energi, menguras dana kaum muslimin menghambur-hamburkan uang yang begitu besar, begitu banyak dan hasilnya bisa kita katakan tidak pernah sesuai dengan harapan yang dikampanyekan selama ini.
Maka apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin, seharusnya yang dilakukan itu fokus membangun kesadaran, fokus membangun pemahaman, fokus memperjuangkan bagaimana syariat Allah SWT tegak, bagaimana menuju kepada kebangkitan Islam sesungguhnya, bagaimana cara menuju baldatun thoyyibatun warabbun ghafur negeri yang baik dan tuhan mengampuni penduduknya dan itu tidak mungkin terjadi jika tidak lewat penerapan hukum-hukum Allah SWT.
Bagaimana baldatun thoyyibatun warabbun ghafur tercapai dengan baik sementara warrabun ghafur ini di negeri ini tidak menegakkan hukumnya Allah yang maha pengampunan tadi.
Bagaimana negeri yang baldatun thoyyibatun warabbun ghafur bisa tercapai di negeri ini dan mendapatkan pengampunan bagi penduduknya sementara kedaulatan yang ada bukan kedaulatan Allah SWT bukan syariat Allah SWT yang tegak tapi syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala.
Bagaimana ada baldatun thoyyibatun warabbun negeri yang baik dan tuhan yang Pengampun sementara penguasanya menerapkan selain syariat-nya Allah Ta'ala. Melakukan berbagai macam kejahatan dan kefasikan, merampas hartanya rakyat dan kemudian mengeksploitasi dan menyerahkan eksploitasi alam itu yang merupakan hak kaum muslimin malah diserahkan kepada orang-orang non muslim, swasta asing ada juga aseng itu jelas mencela Allah SWT.
Apakah ada harapan baldatun thoyyibatun warabbun ghafur dengan cara seperti itu?
Jadi yang harus dilakukan kaum muslimin harusnya mereka fokus memperjuangkan syariat Allah SWT, fokus mendakwahkan syariat Allah SWT, fokus bagaimana agar ditengah-tengah kaum muslimin ini bangkit kesadaran keinginan untuk menerapkan syariat Allah SWT dalam layanan kepentingan Islam yang disebut oleh para fuqaha itu adalah khilafah atau imamah yang disebut oleh Nabi SAW secara shahih dan disebut oleh Al Qur'an dengan secara tidak shoruf, tapi mengarahkan apa yang disampaikan Allah SWT ataupun yang dijelaskan oleh para fuqaha itu seharusnya yang dilakukan.
Bukan menghabiskan energi dan dana untuk pesta demokrasi yang menghamburkan harta yang tidak jelas hasilnya. []