Tinta Media: Wakil Ketua DPRD
Tampilkan postingan dengan label Wakil Ketua DPRD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wakil Ketua DPRD. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 Desember 2022

Wakil Ketua DPRD Jatim Kena OTT, FDMPB : Korupsi Jadi Budaya dalam Sistem Demokrasi

Tinta Media - Tertangkapnya Wakil Ketua DPRD Jatim yang diduga terlibat korupsi penyaluran dana hibah dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK dinilai oleh Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra sebagai perilaku berulang atau budaya yang menyimpang produk politik Demokrasi.

“Banyaknya kepala daerah yang terkena OTT oleh KPK semakin menguatkan betapa marak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem Demokrasi hingga dianggap sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai budaya. Disebut budaya karena saking berulangnya kasus korupsi padahal sesungguhnya korupsi ini adalah perilaku yang menyimpang,” beber Dr. Ahmad Sastra kepada Tintamedia.web.id, Jumat (16/12/2022). 

Dr. Ahmad Sastra menandaskan sistem demokrasi ini sejak awal telah sarat dengan politik uang . Akibatnya para pelaku politik terjerat sifat koruptif yang tidak lagi bisa dihilangkan. “Demokrasi dan korupsi adalah dua sisi mata uang yang hampir tidak mungkin dipisahkan. Korupsi di negeri ini bersifat sistemik dan struktural. Idiom demokrasi lebih tepat kalau diganti dengan dari uang, oleh uang, dan untuk uang,” ujarnya. 

Sistem demokrasi yang bersifat antroposentris, lanjutnya, adalah sistem yang meniadakan peran Tuhan sehingga melahirkan politik kleptokrasi, di mana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik. “Entah sudah kali keberapa para pejabat korupsi uang rakyat dalam sistem politik demokrasi ini mungkin sudah ribuan kali. Harian kompas (6/11/20) pernah mengangkat headline ‘Korupsi Tak Berhenti di Tengah Pandemi’,” ucapnya.  

Menurutnya, perilaku menyimpang korupsi uang rakyat oleh pejabat yang mengemban amanat rakyat adalah sebuah kejahatan besar. “Semestinya seorang pemimpin adalah yang sengsara karena merasakan penderitaan rakyat, bukan justru mengkorup uang rakyat yang dipimpinnya. Mental korup bagi pemimpin selain seperti mental penjajah juga merupakan bentuk pengkhianatan kepada rakyat,” tegasnya. 

Kasus-kasus korupsi yang terus terjadi di kalangan pejabat pemerintah, menurut analisanya disebabkan oleh dua hal. Pertama, sistem demokrasi adalah sistem berbiaya besar. “Para pejabat yang sebelum menjadi pejabat sudah begitu besar mengeluarkan uang sebagai biaya politik, maka setelah menjabat, mau tidak mau ingin kembali modal. Berbagai cara akan dilakukan untuk mendapatkan modal itu. Pejabat sendiri memiliki kewenangan mengatur anggaran belanja, nah di sinilah peluang korupsi sangat lebar,” ungkapnya. 

Kedua, hukum di negeri ini tidak tegas terhadap kasus-kasus korupsi, seolah para pejabat di negeri ini saling melindungi koruptor. “Hal ini bisa disebabkan oleh banyaknya pelaku korupsi oleh para pejabat, sehingga jika hukumannya berat, maka dikhawatirkan akan banyak pejabat yang masuk penjara. Jadi penegakan hukum atas tindak pidana korupsi ini sama sekali tidak menjadikan jera para pelaku, bahkan tiap tahun nampaknya semakin banyak pelaku korupsi,” imbuhnya

Solusi 

Dr. Ahmad Sastra menawarkan tiga solusi untuk memberantas budaya korupsi di kalangan para pejabat ini, baik secara internal maupun eksternal.

Pertama, Secara internal, penting sekali memperkuat keimanan dan ketaqwaan dalam setiap diri pejabat dan pemimpin di negeri ini. “Pembentukan keimanan dan ketaqwaan individu ini sangat bergantung kepada diri sendiri, namun bisa juga dibentuk oleh sistem sosial berbasis agama. Kesadaran hubungan yang kuat setiap individu dengan Allah akan bisa menjadi faktor pertama untuk mencegah korupsi,” urainya.

Kedua, adanya hukum yang tegas dan adil. “Lemahnya hukum akan terus dijadikan oleh para koruptor untuk terus melakukan kejahatannya. Apalagi jika hukum bisa dibeli. Dalam Islam, hukum sangat tegas dan adil. Maka, jika negeri ini berhukum kepada hukum Allah yang sempurna dan adil, maka berbagai bentuk kejahatan korupsi akan bisa bilang,” jelasnya.

Ia menegaskan berhukum dengan hukum Allah adalah sebuah konsekuensi keimanan sebagaimana firman Allah Swt:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hukum apapun yang kamu berikan, dan mereka menerima (keputusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).”

Ia juga meyakinkan jika hukum pidana Islam akan memberikan kemaslahatan di dunia dan akhirat karena memiliki sifat jawâbir dan zawâjir. “Bersifat jawâbir karena penerapan hukum pidana Islam akan menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal yang telah dijatuhi hukuman yang syar’i. Hukum pidana Islam juga bersifat zawâjir, yakni dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan membuat orang lain takut untuk melakukan tindak pidana korupsi atau bentuk kejahatan lainnya. Hukum Islam akan melindungi harta rakyat,” yakinnya.

Ketiga, adanya pengawasan dan kontrol masyarakat untuk upaya memberantas tindak pidana korupsi di kalangan para pejabat. “Rakyat harus terus memantau perilaku para pemimpin di daerah masing-masing. Jangan sampai rakyat justru tak peduli atau bahkan memaklumi budaya korupsi ini. Lebih ironis lagi jika rakyat justru ikut terlibat, semisal jelang pemilu sering terjadi suap menyuap dari calon pemimpin kepada rakyat,” paparnya.

“Inilah tiga solusi fundamental agar budaya korupsi bisa dilenyapkan dengan tuntas,” pungkasnya.[] Erlina
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab