Tinta Media: Wajib
Tampilkan postingan dengan label Wajib. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wajib. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2024

Semua Isi Al-Qur'an Wajib Diamalkan

Tinta Media - Bulan Ramadhan dianggap sebagai Bulan Al-Qur'an karena Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan ini, khususnya pada Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar).

Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan ini, khususnya pada Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar).Keagungan Al-Qur'an ditegaskan dalam berbagai ayat, bahkan seandainya Al-Qur'an diturunkan di atas gunung, gunung tersebut akan tunduk dan terbelah karena takut kepada Allah.
Al-Quran mengandung seruan-seruan, baik dalam aspek spiritual maupun politik. Namun, sering kali seruan-seruan politik Al-Qur'an diabaikan.

 Ada sikap diskriminatif terhadap ayat-ayat politik dalam Al-Qur'an, di mana beberapa ayat yang mengatur urusan masyarakat tidak diterapkan sebagaimana ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah.

Meninggalkan atau mengabaikan Al-Qur'an merupakan dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan hadis.
Menerapkan Al-Qur'an tidak hanya tugas individu, tetapi juga masyarakat dan terutama negara. Sebagian hukum Al-Qur'an hanya bisa diterapkan oleh negara, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan hukum syariah.

Kehadiran Negara Islam (Khilafah Islam) sangat penting untuk menerapkan Al-Qur'an secara menyeluruh. Tanpa Khilafah Islam, beberapa hukum syariah tidak dapat diterapkan.

 Oleh karena itu, Ramadhan harus dijadikan momentum untuk mengamalkan dan menerapkan Al-Qur'an secara keseluruhan, baik oleh individu, masyarakat, maupun pemerintah.

Wallahualam bishowab


Oleh : Ummu Faridz 
(Sahabat Tinta Media)

Selasa, 05 Maret 2024

Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan Selama Bertahun-Tahun, Wajibkah Membayar Fidyah?



Tinta Media - Bagi orang yang tidak melaksanakan puasa selama bertahun-tahun tanpa ‘udzur (halangan) padahal ada kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya, wajibkah ia mengqadha disertai membayar fidyah? Inilah pendapat tiga madzhab fikih berkaitan dengannya. Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari soal-jawab al ‘âlim al jalîl as-Syaikh ‘Atha Ibn Khalil Abu Rasytah di Facebook. 



Soal: 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Wahai syaikh, saya ingin mengetahui hukum Allah terkait mengqadha puasa agar hati saya menjadi tenang. Saya di waktu jahiliyah (belum bertaubat) tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa ada ‘udzur (halangan yang dibenarkan syariat). Kemudian alhamdulillah,  Allah merahmatiku hingga saya bertaubat. Bagaimana saya mengqadha puasa yang ditinggalkan. Apakah ada kewajiban membayar fidyah setiap tahunnya ataukah cukup mengqadha saja. Saya berharap Anda ,wahai Syaikh kami menjawab pertanyaan ini. 

Jawab: 

Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Wahai saudaraku, Anda menyatakan bahwa anda tidak mengerjakan puasa secara sengaja selama waktu tertentu tanpa ada ‘udzur. Kemudian setelah sekian tahun berlalu, Allah memberi Anda hidayah pada jalan yang lurus. Lalu anda berpuasa... Atas dorongan takwa Anda ingin mengqadha puasa Ramadhan yang tidak dikerjakan sebelumnya. Sungguh, saya memuji Allah atas nikmat hidayah yang Allah berikan pada Anda yang menghantarkan  pada sebaik-baik ketaatan hingga Anda tidak mencukupkan dengan puasa yang Anda jalani setelah mendapat hidayah. Anda juga sangat bersemangat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan yang ditinggalkan. Semoga Allah melimpahkan berkahnya pada Anda dan bagi Anda sebaik-baik taubat. Semoga Allah menyempurnakan nikmat dan rahmatnya pada Anda. Aamiin 

Saudaraku yang mulia, kami (beliau sebagai amir Hizbut Tahrir) tidak mentabanni (adopsi) perkara ibadah. Kami persilakan perkara ini  bagi muslim untuk mengikuti pendapat dari  madzhab yang ada pada topik puasa atau shalat..... Kami disini akan paparkan sebagian pendapat fikih terkait mengqadha puasa dan hal-hal terkait yang semoga dengannya menjadikan dada Anda menjadi lapang dan hati menjadi tenang: 

1. Terdapat dalam kitab Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab, karya ‘Abdul Malik al Juwaini yang bergelar Imam al Haramain (w. 478 H), beliau adalah ahli fikih madzhab Imam Asy Syafi’i: 

“Siapa saja yang  telah berlalu (tidak melaksanakan puasa) di bulan Ramadhan dan memungkinkan untuk mengqadhanya, tidak boleh ia melambatkan qadhanya hingga masuk bulan Ramadhan tahun selanjutnya. Apa yang kami sebutkan bukanlah sesuatu yang dianjurkan, namun sesuatu yang wajib dilakukan, seiring adanya kemampuan dan hilangnya halangan. Jika terpaksa mengundurkan qadha puasa pada tahun selanjutnya tanpa ada ‘uzdur, maka selain mengqadha, wajib pula membayar fidyah sebanyak satu mud makanan setiap harinya, jika melambatkan mengqadha selama dua tahun atau beberapa tahun, maka berkaitan mengandakan fidyah ada dua pendapat: 

Pertama, fidyahnya tidak dilipatgandakan, namun seperti hanya melambatkan satu tahun saja. Pendapat yang shahih (lebih kuat) adalah melipatgandakan fidyah. Wajib baginya membayar fidyah untuk satu tahun yang lewat satu mud setiap harinya, jika terlambat mengqadha dua tahun maka dua mud setiap harinya.  Hal ini sebagai tambahan. Inilah ketentuan tentang fidyah... 

Hal ini berarti qadha puasa Ramadhan, hendaklah dilakukan sebelum masuk Ramadhan tahun selanjutnya. Jika melambatkan hingga masuk bulan Ramadhan maka wajib atasnya mengqadha dan membayar fidyah. Dan pendapat lain bahwa jika melambatkan mengqadha hingga dua tahun maka wajib atasnya membayar dua fidyah (dari setiap hari yang ditinggalkan, pent) disertai qadha. 

2. Terdapat dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ ‘an matni al-Iqna’, karya Manshur bin Yunus al Buhuti al Hanbaliy (w. 1051 H) 

“Siapa saja yang tidak mengerjakan puasa Ramadhan sebulan penuh atau sebagiannya. Maka hendaklah ia mengqadha sejumlah hari yang ditinggalkan. Dan boleh melambatkan pelaksanaan qadha selama belum berlalu waktunya yakni hingga nampaknya hilal bulan Ramadhan selanjutnya. Tidak boleh melambatkan qadha puasa hingga masuk bulan Ramadhan selanjutnya tanpa ‘udzur. Jika melambatnya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqada dan memberi makan orang miskin setiap harinya yang teranggap sebagai kafarah (penebus keterlambatan). Tidak dilipatgandakan fidyah karena beberapa kali Ramadhan terlambat mengqadha, karena banyaknya keterlambatan tidak menambah kewajiban fidyah sebagaimana jika mengakhirkan haji yang wajib beberapa tahun, tidak ada kewajiban baginya melaksanakan haji berkali-kali)...hal ini berarti bahwa siapa yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dan tidak mengqadhanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka wajib atasnya qadha dan fidyah. 

3. Adapun Madzhab Abu Hanifah, meski melambatkan qadha puasa hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka yang diwajibkan hanya mengqadha puasa, tanpa fidyah. 

Dalam kitab al-Mabsûth karya Imam Sarkhasiy, ahli fikih madzhab Hanafi (w. 483) disebutkan: 

“Orang yang ada kewajiban mengqadha puasa Ramadhan namun tidak mengqadhanya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya, maka wajib atasnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat, menurut madzhab kami tidak ada kewajiban fidyah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rahimahullah wajib mengqadha serta membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap harinya. Bagi kami yang zhahir (dalil yang terang) adalah firman Allah Ta’ala: “maka hendaklah mengqadhanya di hari yang lain” (QS. al Baqarah [2]: 184). Pada ayat di atas tidak ada batasan waktu tertentu, sedangkan membatasi waktu tertentu, yaitu di antara dua Ramadhan adalah sebuah tambahan, padahal puasa adalah ibadah yang terkait dengan waktu tertentu tetapi mengqadhanya tidak dibatasi waktu tertentu (pent). 

Di dalam kitab Badaî’u al-Mashani’ fi Tartîb as-Syarâ’i karya ‘Alâ’u ad-Din al Kâsâniy al Hanafi (w. 587 H) disebutkan:

“Pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa mewajibkan qadha tanpa batasan waktu tertentu, sebagaimana kami sebutkan bahwa perkara qadha puasa adalah mutlak, tanpa batasan sebagian waktu atas sebagian waktu yang lain. Jadi sifatnya mutlak (tanpa batasan waktu). Atas dasar ini maka ashab kami menyatakan: bahwasanya jika melambatkan qadha Ramadhan hinga masuk Ramadhan selanjutnya tidak ada kewajiban fidyah...” 

Hal ini berarti bahwa madzhab Abu Hanifah hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah, yaitu qadha semata atas hari-hari di bulan Ramadhan Ramadhan yang tidak dilaksanakan puasa. 

Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa kami tidak mentabanni perkara ibadah. Saya hanyalah memaparkan kepada Anda sebagian pendapat madzhab Abu Hanifah, asy Syafi’i dan ahli fikih madzhab Hanbali. Dan apa yang menurut Anda melapangkan dada Anda (dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan, pent) maka lakukannlah. Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda terhadap apa yang Allah sukai dan ridhai. 

Saya berharap hal ini memadai. Dan Allah Maha mengetahui dan Maha Adil. 

Saudaramu, ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Ramadhan 1440 H/13 Mei 2019

Oleh: ‘Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
Penerjemah: Wahyudi Ibnu Yusuf 

Jumat, 16 Februari 2024

Berhukum pada Hukum Islam: Wajib!



Tinta Media - Islam adalah sebuah ideologi yang tegak di atas akidah Islam, yakni iman kepada Allah, Rasul, kitabullah, hari kiamat, serta qadha dan qadar. Di dalam Islam, keimanan haruslah utuh, sempurna, tidak boleh ada sedikit pun keraguan. Sebab, iman atau keyakinan adalah pijakan awal dari semua aktivitas yang ada di atasnya. Bila keyakinan terhadap Islam telah terbentuk dengan sempurna, maka mewujudkan ketaatan terhadap aturan-aturan Islam pun sangat mudah.

Saat ini kita dihadapkan pada era yang orang dengan gampang sekali melakukan kemaksiatan, baik maksiat secara individu, secara jamaah, maupun kemaksiatan yang dilakukan oleh sebuah negara. Tumbuh suburnya kemaksiatan hari ini tentu tidak bisa kita lepaskan dari hukum yang diberlakukan di negeri ini, yaitu hukum yang tidak mampu menciptakan kenyamanan dan keadilan. Hukum ini rentan dengan kontroversi. Setidaknya ada empat penyebab mengapa hukum hari ini melahirkan kontroversi di tengah-tengah umat. Di antaranya:

Pertama, aktor di balik hukum dalam sistem sekuler kapitalisme hari ini adalah manusia yang sifatnya lemah dan banyak kekurangan. Maka, wajar bila hukum yang dihasilkan juga penuh dengan kelemahan dan kekurangan. 

Kedua, standar yang digunakan dalam membuat hukum adalah manfaat ataupun kepentingan. Manfaat di sini ditentukan oleh akal manusia yang sifatnya terbatas. Maka, wajar bila hukum hari ini hanya dibatasi oleh kepentingan semata. 

Ketiga, alat yang digunakan untuk membuat hukum hanya kecerdasan akal manusia tanpa melibatkan pemikiran Islam. Maka, wajar hukum yang dihasilkan tidak akan bisa sejalan dengan aturan Islam. 

Keempat, hukum yang dihasilkan akan sangat subyektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya. Subyektivitas dan konflik kepentingan tidak akan bisa dilepaskan ketika manusia diberikan hal sebagai legislator (pembuat hukum), apalagi pihak yang diberikan kewenangan membuat hukum adalah perwakilan partai politik di parlemen yang sarat dengan berbagai kepentingan.

Penetapan Hukum dalam Islam

Proses legislasi hukum dalam Islam berbeda dengan sistem hukum sekuler hari ini. Legislasi dalam sistem Islam akan menghasilkan produk hukum yang lengkap, padu, harmonis, relevan dengan zaman, menjamin kepastian hukum, dan membawa kebaikan serta kebahagiaan hakiki bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena beberapa sebab, di antaranya:

Pertama, asas dari penetapan hukum dalam Islam adalah akidah Islam. Dari keyakinan bahwa yang menciptakan bumi dan segala isinya adalah Allah Swt. maka akan melahirkan ketundukan kepada aturan-aturan yang tegak di atas akidah tersebut.

Hukum yang terpancar dari akidah Islam adalah hukum yang memiliki ruh, bukan sekadar hukum berdimensi dunia, tetapi juga akhirat. Dengan demikian, ketika setiap muslim mampu melaksanakan hukum-hukum yang berasal dari Allah Swt. maka akan lahir kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kedua, kejelasan sumber hukum. Sumber hukum Islam sangat jelas. Yang disepakati oleh para ulama adalah al-Qur'an, as-Sunnah, ijmak Sahabat, dan Qiyas Syar'i. Dengan kejelasan sumber hukumnya, maka akan terhindar dari perselisihan, karena rujukannya jelas dan baku, yakni wahyu Allah Swt.

Dengan demikian, sebagai seorang muslim, maka sudah seharusnya kita memiliki pemahaman bahwa berhukum pada hukum Islam adalah wajib. Tidak boleh ada pilihan lain bagi setiap orang yang beriman selain tunduk, taat, dan patuh pada setiap ketetapan-ketetapan dari Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Wallahu'alam bisshawab.


Oleh: Aisyah Ummu Azra  
(Aktivis dakwah) 


Jumat, 22 Desember 2023

Pakar: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya


 
Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer Kiai Shiddiq Al-Jawi menegaskan wajib hukumnya menolong muslim Rohingya.
 
“Hukumnya wajib sebenarnya menolong muslim Rohingya,” ujarnya dalam kajian: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya, di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/12/2023).
 
Alasannya, menurut Kiai Shiddiq adalah orang-orang Rohingya itu tertindas di negaranya, tidak diakui sebagai warga negara, dianggap ilegal kemudian diperlakukan secara buruk, disiksa, dipenjara, dan ada yang dibunuh.
 
“Maka dari itu mereka lari dari negerinya itu, ada yang lewat jalur darat sampai ke Bangladesh, ada yang larinya lewat jalur laut sebagian di Aceh di bagian negara kita, jadi mereka dalam kondisi tertindas,” tuturnya.
 
Muslim Rohingya ini, terangnya, tertindas karena di bawah rezim Budha Myanmar yang memprioritaskan warganya yang beragama Budha.
 
 
“Warga negara Budha mendapatkan hak-hak sebagai warga negara di Myanmar, tapi hak Muslim ini berusaha untuk ditiadakan, dibunuh, disiksa, dan sebagainya,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Senin, 20 November 2023

Mengapa Kita Wajib Mencintai dan Membela Tanah Palestina?



Tinta Media - Sudah sekitar 80 tahun bumi palestina dijarah, dirampok dan dijajah entitas Yahudi laknatullahi alayhim. Penduduknya khususnya kaum muslimin diusir dan dibantai dari tanah mereka. Kemudian di atas tanah itulah dibidani oleh negara penjajah kafir inggris kelahiran entitas penjajah asuhannya yakni yahudi laknatullahi alayhim. Sejak saat itu penjarahan dan perampokan tanah Islam terus terjadi hingga nyaris semua tanah itu diduduki dan dikangkangi penjajah kafir yahudi.

Kini, sudah lebih sebulan lamanya tanah yang tersisa yakni Gaza termasuk tepi Barat kembali akan dirampok oleh penjajah itu. Mereka melakukan genosida kepada kaum muslim palestina agar nafsu mereka untuk mengangkangi tanah itu berhasil. Mereka dengan brutal membantai wanita dan anak anak serta menghancurkan rumah sakit, sekolah, masjid, gereja dan tempat tempat yang menurut aturan penjajah sendiri ga boleh diserang. Namun dengan semangat jihad membara kaum muslimin khususnya faksi Brigade Izzudin Al Qosam terus menyerang dan membuat musuh kocar kacir. 

Sebagai umat Islam tentu kita mencintai dan membela Palestina. Palestina bukanlah negeri biasa. Palestina memiliki sejarah panjang yang menjadikannya selalu bersemayam di hati setiap Mukmin. 

Inilah beberapa alasan mengapa kita wajib mencintai dan membela palestina: 

Pertama, di sana terdapat Masjid al-Aqsha, masjid tertua di dunia setelah Masjid al-Haram. Dibangun pertama kali oleh Nabi Adam ‘alaihis salam empat puluh tahun setelah beliau membangun Masjid al-Haram. 

Kedua, Masjid al-Aqsha yang berada di kota Baitul Maqdis, Palestina pernah menjadi kiblat shalat selama tujuh belas bulan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam berhijrah dari Makkah ke Madinah. 

Ketiga, Masjid al-Aqsha yang berada di kota Baitul Maqdis, Palestina adalah titik akhir perjalanan Isra’ dan titik awal perjalanan Mi’raj. Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu mukjizat terbesar yang Allah anugerahkan kepada Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Di sanalah Baginda Nabi melakukan shalat berjamaah mengimami seluruh nabi dan rasul, mulai Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

Keempat, Palestina adalah negeri para nabi dan rasul. Banyak sekali para nabi dan rasul yang pernah tinggal dan berdakwah menyebarkan Islam di sana. Di antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Luth, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Zakariyya, Nabi Yahya, Nabi ‘Isa dan nabi-nabi yang diutus oleh Allah untuk Bani Israil yang jumlahnya sangat banyak. 

Kelima, di sana terdapat Kota Baitul Maqdis, ardhul mahsyar wal mansyar, tempat dikumpulkannya seluruh manusia menjelang hari kiamat yang masih hidup kala itu. 

Keenam, di sanalah Dajjal akan terbunuh di tangan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Ketujuh, Palestina adalah bagian dari daratan Syam yang didoakan berkah oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا 

Artinya: “Ya Allah, berkahilah negeri Syam dan Yaman.” 

Ketujuh, banyak sekali para sahabat yang pernah berdakwah, menyebarkan dan mengajarkan Islam di sana. Di antara mereka adalah ‘Ubadah bin ash Shamit, Syaddad bin Aus, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Watsilah bin al Asqa’, Dihyah al Kalbiy, Aus bin ash Shamit, Mas’ud bin Aus dan masih banyak lagi yang lain. 

Kedelapan, Palestina telah melahirkan ribuan ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka yang berkhidmah untuk Islam. Tercatat para ulama yang lahir atau pernah tinggal di Palestina adalah Imam Malik bin Dinar, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Ibnu Syihab az-Zuhri, Imam asy-Syafi’I, dan masih banyak lagi yang lain.

Oleh karena itulah, Sultan Mahmud Nuruddin Zanki pernah mengucapkan sebuah perkataan yang fenomenal: “Aku malu kepada Allah untuk tersenyum sedangkan Baitul Maqdis masih terjajah.” 

Sultan Abdul Hamid II bahkan pernah mengatakan: “Saya tidak akan menjual sejengkal tanah pun dari bumi Palestina.”

Beliau katakan itu dengan tegas dan penuh keberanian pada saat menolak sogokan uang dalam jumlah sangat besar dari orang-orang Zionis Yahudi yang ingin menempati sebagian wilayah Palestina.

Dan Palestina serta Syam seluruhnya akan kembali menjadi pusat khilafah rosyidah yang kedua insyaallah. Yang kan menghancurkan entitas  penjajah kafir itu dengan seluruh pendukungnya yakni seluruh negara penjajah baik Amerika maupun Eropa. Dan membebaskan seluruh tanah Islam dimuka bumi serta menyejahterakan manusia semuanya. Dan insyaallah masa itu tak kan lama lagi. Wallaahu a'lam.

Bismillaah.[]

Oleh: Ustaz Abu Zaid
Tabayyun Center

Kamis, 09 November 2023

Mubalighah: Hukum Jihad Defensif Fardhu 'Ain


 
Tinta Media - Terkait hukum untuk melaksanakan jihad defensif yaitu jihad pada saat musuh atau orang kafir menyerang kaum muslim, mubalighah Rif'ah Kholidah menyampaikan hukumnya adalah fardhu ain.

“Hukum jihad defensif adalah fardhu ain yakni wajib tiap-tiap kaum Muslimin melakukan penyerangan," tuturnya dalam tayangan Islam Menjawab: Bagaimana Hukum J1h4d Defensif? Melalui kanal Muslimah Media Center, Ahad (5/11/2023).
 
Rif'ah mengutip firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 190; "Dan perangilah mereka di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
 
Imam Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya, terangnya, menjelaskan bahwa makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan pemeluknya.
 
“Makna perangilah mereka dijalan Allah, tetapi janganlah kalian melampaui batas yakni tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam perang seperti mencincang musuh, berbuat curang, membunuh perempuan, anak-anak, lanjut usia, yang tidak ikut berperang serta yang tidak mempunyai kemampuan berperang, seperti para rahib dan pendeta yang ada di gereja,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan, perang untuk mempertahankan diri atau membela diri merupakan perkara yang disyariatkan.
 
Terakhir ia menerangkan, syahid merupakan puncak kematian yang paling mulia disisi Allah Swt.
 
"Oleh karena itu seorang muslim hendaknya menjadikan syahid sebagai cita-cita tertinggi dalam hidupnya, tidak takut melaksanakan jihad fisabilillah," tutupnya. [] Muhammad Nur
 

Sabtu, 17 Juni 2023

Mempelajari Tsaqafah Islam Itu Wajib

Tinta Media - Ulama muda, Ustadz Kusnady Ar-Razi, menegaskan bahwa mempelajari tsaqafah islam adalah kewajiban seorang muslim. 

"Mempelajari tsaqafah islam ini merupakan bagian dari kewajiban kita dari seorang muslim. Ada tuntutan untuk kita ta'allum, belajar-mempelajari ilmu atau syariat agar kita bisa beramal, bisa beribadah sesuai dengan petunjuk Nabi SAW," tegasnya dalam diskusi dengan tema "Metode Mempelajari Tsaqofah Islam" di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Senin (12/6/2023).

Ustadz Kusnady menekankan bahwa mempelajari tsaqafah Islam menjadi kewajiban karena Allah SWT telah menurunkan Al Quran pada Rasulullah saw agar menjelaskannya pada manusia.

"Sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran, "Dan Kami telah menurunkan kepadamu Adz Dzikr yakni Al Quran agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka", dan Allah memerintahkan kaum muslimin, kita, diperintahkan oleh Allah untuk mengambil apa yang dibawa oleh Rasulllah SAW," ujarnya.

Dia mengartikan bahwa makna "mengambil" di sini adalah menaati perintah Rasulullah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW. "Jadi, mengambil apa yang dibawa oleh Rasul tadi, yaitu berupa agama ini, risalah ini, itu tidak mungkin bisa diambil kecuali setelah kita memahaminya dan kita mempelajarinya," terangnya. 

"Ketika Rasul menjelaskan tentang akidah, kemudian menjelaskan tentang hukum-hukum syariat, tentu orang yang diseru oleh Nabi SAW itu mereka harus memahami apa yang disampaikan oleh Nabi kemudian mempelajarinya sehingga mereka tahu apa yang Allah wajibkan pada mereka dan apa yang Allah larang," tambahnya.

Pengertian 

Ustadz Kusnady melengkapi penjelasannya dengan mendefinisikan pengertian tsaqafah yang dimaksud dengan mengutip kitab Syakhsiyah Islamiyah Juz I yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

"Tsaqafah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan akidah Islam itu sebagai sebab di dalam pembahasannya. Ini membedakan nanti dengan tsaqafah yang lain seperti pluralisme atau liberalisme atau feminisme yang kita tahu itu juga bagian dari tsaqafah," bebernya. 

"Akan tetapi, karena bukan akidah yang menjadi sebab pembahasannya, maka liberalisme, feminisme, sekulerisme itu tidak kita sebut sebagai tsaqafah islamiyah tetapi tsaqafah gharbiyah karena yang menjadi asas, yang menjadi landasan itu, adalah ideologi Barat," lanjutnya.

"Yang dimaksud dengan tsaqafah Islam tadi adalah pengetahuan-pengetahuan yang akidah Islam itu menjadi asas, menjadi sebab di dalam pembahasannya," pungkasnya. [] Hanafi

Rabu, 16 November 2022

Wajibnya Khilafah, Apa Dalilnya?

Tinta Media - Khilafah itu wajib. Dalilnya dari Al Quran, AS sunnah dan ijma' shahabat. 

1. Dalil Al-Qur'an.

Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Ulama Aswaja dari empat mazhab menyatakan bahwa ayat di atas adalah dalil asal kewajiban mengangkat seorang khalifah. Imam al-Qurthubi menyatakan:

هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَ خَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ.
Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itulah kalimat (persatuan umat) disatukan dan hukum-hukum khalifah diterapkan. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Tentu masih banyak ayat lain yang dalâlah al-iltizâm-nya menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya ayat-ayat yang mewajibkan kaum Muslim untuk menaati ulil amri, berhukum hanya dengan syariah Islam, jihad; ayat-ayat tentang hukum hudûd, jinâyât serta hukum-hukum lain yang pelaksanaannya dikaitkan dengan Khalifah.

Maka sudah sangat jelas tentang dalil ini. Kalo masih ada orang yang bertanya mana ayat Al-Quran yang menyatakan: dirikanlah khilafah, baru dia akan mau menerima bahwa khilafah itu wajib maka sesungguhnya dialah yang bodoh dari memahami hukum Islam dari Al Quran.

Disisi lain Allah berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).

Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa Ibnu ‘Athiyah berkata:

واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي: قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة

“Yang dimaksud dengan istikhlâfuhum adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya seperti yang terjadi di Syam, Irak, Khurasan dan Maghrib.” Ibnu al-‘Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, Khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 12/299-202).

Jadi jelaslah bahwa dalam Al Quran khilafah itu wajib.

2. Dalil As sunnah

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW banyak sekali yang menjelaskan wajibnya khilafah. 

Diantaranya Rasulullah saw., bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menaati imam itu jika ia mampu. Jika ada orang lain hendak merebut kekuasaan imam, penggallah lehernya (HR Muslim).

Kewajiban baiat menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah). Pasalnya, baiat tidak mungkin ada di pundak kaum Muslim tanpa keberadaan seorang khalifah.

Di dalam as-Sunnah juga diriwayatkan praktik-praktik kenegaraan Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin; juga bisyârah (kabar gembira) tentang akan kembalinya Khilafah Islam.

Jadi jelas bahwa dalam as Sunnah khilafah hukumnya wajib.

3. Ijma' Sahabat ra. 

Para Sahabat Nabi saw. telah bersepakat atas kewajiban mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian. Mereka menjadikan ini sebagai kewajiban yang paling penting. Al-‘Allâmah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
Ketahuilah juga, para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah) ini sebagai kewajiban yang paling penting. Terbukti, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban mengurus jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak mencederai ijmak mereka tersebut (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

 Kesepakatan sahabat ra yang lebih mendahulukan pemilihan kholifah daripada memakamkan jenazah yang mulia Rasulullah SAW itu secara pasti menunjukkan bahwa memilih kholifah sebagai kepala negara khilafah itu wajib.[]

Ustaz Abu Zaid 
Tabayyun Center 

Selasa, 15 November 2022

Ulama Aswaja Mewajibkan Khilafah


Tinta Media - Banyak umat Islam bahkan ulamanya sekali pun belum memahami hakikat khilafah. Bahkan tak jarang malah salah faham. Akhirnya menyamadudukkan khilafah semua sistem pemerintahan yang lain yang tidak berasal dari Islam. Padahal para ulama seluruh mazhab telah menyepakati wajibnya khilafah. 

Yang lebih kacau lagi adalah mereka yang bukan ulama yang saman sekali tidak memafahami syariat islam kemudian dengan pongah dan sombongnya menolak khilafah dengan alasan tidak sesuai dengan Demokrasi. Kalo begitu, yang jadi pedoman kita itu syariat Islam atau hukum buatan manusia semisal Demokrasi? 

Berdasarkan dalil-dalil wajibnya khilafah baik al Quran, AS Sunnah maupun ijma' sahabat ra maka para ulama Aswaja tidak pernah berselisih pendapat atas kewajiban menegakkan Khilafah. Imam Alauddin al-Kasani al-Hanafi menyatakan:

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ…

Sebab, mengangkat Al-Imâm al-A’zham (Imam Agung) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq (dalam masalah ini). Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu… (Al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i’, 14/406).

Fardhu, menurut istilah mazhab Hanafi, adalah sebutan untuk “kadar ketetapan” yang secara syar’i ditetapkan berdasarkan dalil qath’i. Mengingkari fardhu adalah murtad dari agama Islam.

Imam as-Sarakhsi menyatakan:

ولهذا يكفر جاحده وموجب للعمل بالبدن للزوم الأداء بدليله فيكون المؤدي مطيعا لربه والتارك للأداء عاصيا
Oleh karena itu, kafirlah orang yang mengingkari fardhu. Fardhu itu wajib untuk diamalkan dengan anggota badan karena di dalam dalilnya ada kewajiban atas pelaksanaannya. Karena itu yang menunaikan fardhu adalah orang yang taat, sedangkan yang meninggalkannya adalah orang yang bermaksiyat (As-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, 1/110).

Tidak ada jalan selamat bagi kita kecuali tunduk patuh dengan syariat Allah yang memang diturunkan untuk rahmat bagi seluruh alam. Wallaahu a'lam.[]

Ustaz Abu Zaid 
Tabayyun Center 

Kamis, 13 Oktober 2022

Ngawur Mengatakan Khilafah Tidak Wajib Gegara Tidak Ada dalam Rukun Islam

Tinta Media - “Betapa ngawurnya Muslim yang berani mengatakan bahwa khilafah tidak penting dan tidak wajib gegara tidak ada dalam rukun Islam,” tutur Abu Zaid dari Tabayyun  Center kepada Tinta Media Kamis (13/10/2022).
 
Ia lalu memaparkan hadis Rasulullah Saw. riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang  rukun Islam.
 
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)
 
 Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. Pertama  persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah, kedua  mendirikan shalat, ketiga mengeluarkan zakat, keempat  melaksanakan ibadah haji, dan kelima berpuasa Ramadhan
 
“Ini rukun Islam, namun bukan berarti yang tidak termasuk rukun Islam itu tidak penting atau tidak wajib. Bahkan masih sangat banyak perkara Islam yang tidak termasuk rukun Islam namun wajib dan penting, seperti jihad, ngurus jenazah, menuntut ilmu, berbakti kepada ibu bapak, termasuk perkara khilafah,” tegasnya.
 
Abu Zaid mempertanyakan, siapa muslim yang begitu jahilnya berani mengatakan bahwa menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, jihad, mengurus jenazah  tidak wajib hanya  karena tidak termasuk rukun Islam?
 
“Maka itu semua adalah sikap yang jahil dan ngawur jika berani mengatakan sesuatu tidak penting dan tidak wajib karena tak ada dalam rukun Islam.  Dan semua muslim pastinya faham hal ini,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
 
 

Selasa, 27 September 2022

Ajengan Yuana: Belajar Tsaqofah Islam Wajib ‘Ain

Tinta Media - Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menegaskan belajar tsaqofah Islam hukumnya wajib ‘ain.
 
“Belajar tsaqofah Islam seluruhnya mulai dari aqidah, serta ilmu yang lahir dari akidah,  para ulama menetapkan wajib ‘ain bagi kaum muslimin pada kadar yang cukup,” ungkapnya di acara Bincang Hangat: Mengkaji Tsaqofah Islam, Penting dan Perlu, Ahad (25/9/2022), melalui kanal Youtube UIY Official.
 
YRT menjelaskan frasa kadar yang cukup maksudnya tidak semua orang  harus menguasai spesialisasi di bidang itu. “Semua kaum muslimin harus faham tentang  fikih tapi tidak semua orang harus menjadi ahli fikih, kalau sudah mutakhasus (spesialisasi/ahli)  itu hukumnya   fardhu kifayah,” jelas YRT memberikan contoh.  
 
Mengutip dari kitab Sakhsiyyah Islamiyyah jilid 1 YRT menjelaskan perbedaan  antara ilmu yang bersifat umum seperti kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain dengan tsaqofah Islam.
 
“Tsaqofah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan akidah Islam sebagai sebab dalam pembahasannya,” terangnya.
 
 Cakupan tsaqofah Islam, lanjutnya, ditinjau dari sisi kategorinya  ada tiga yaitu akidah (tauhid),  pengetahuan yang lahir dari  akidah Islam seperti fikih, tafsir, hadis dan pengetahuan tentang ilmu alat untuk memahami ilmu yang lahir dari aqidah  tadi semisal ushul fiqih, musthalah hadis dan bahasa Arab.
 
“Sementara itu mempelajari Ilmu-ilmu  diluar ilmu syariah  seperti ilmu kedokteran, ahli kimia, teknik  nuklir ini juga  fardhu kifayah. Mesti ada dari umat ini yang menguasai ilmu tersebut,” tandasnya.  
 
Keutamaan Menuntut Ilmu

Ajengan Yuana juga menjelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu. “Dalam al-Quran surat al-Mujadilah ayat 11 disebutkan bahwa Allah meninggikan orang-orang yang berilmu beberapa derajat,” jelasnya.

Ibnu Abbas, kata YRT,  dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan orang-orang beriman yang berilmu kedudukannya jauh melampaui orang-orang beriman yang tidak berilmu. “Orang beriman yang berilmu kualitasnya sangat tinggi,” simpulnya.
 
Dalam al-Quran surat az-Zumar ayat 9, lanjutnya,  Allah meminta umat Islam untuk melakukan kontemplasi (renungan) adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.
 
“Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim,  menegaskan sebaik baiknya anugerah adalah ilmu dan seburuk buruknya musibah adalah kebodohan,” terangnya.
 
Tujuan Belajar 
 
YRT menegaskan bahwa tujuan belajar di dalam Islam untuk diamalkan, dan disebarluaskan. Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan leveling ilmu itu adalah diam, mendengar, menghafal, memahami, mengamalkan dan mendakwahkan.
 
“Inilah ilmu yang bermanfaat berakhir dengan amal dan dakwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Jumat, 29 Juli 2022

Ustaz Su'ud: Tak Ada di Dalam Al-Qur’an, Bukan Berarti Khilafah Tidak Wajib

Tinta Media - Meskipun kata khilafah dan perintah menegakkannya tidak ada di dalam Al-Qur'an, Pengasuh Majelis Taklim Bengkel Panahan Ustaz Su'ud menilai bukan berarti penegakan khilafah menjadi tidak wajib. 

"Memang benar, di dalam Al-Qur'an tidak ada kata khilafah, yang ada hanya khalifah. Namun bukan berarti khilafah tidak wajib," tuturnya pada [LIVE] Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda: Khilafah di Mata Fuqoha, Negara Terkuat di Masa Depan, Kamis (21/07/2022) di kanal Youtube Bromo Bermartabat.

Menurutnya, jika hanya merujuk kepada Al-Qur'an untuk mendapatkan sebuah hukum, maka itu akan bisa mengantarkan pelakunya kepada kesesatan. "Sebab yang menjadi sumber hukum itu bukan hanya Al-Qur'an, melainkan ada Sunnah, ijma' sahabat, dan qiyas syar'i," tegas Ustaz Su'ud.

Di dalam Al-Qur'an juga tidak disebutkan secara rinci terkait berapa rakaat umat muslim harus sholat, lanjut Ustaz Su'ud, namun bukan berarti sholat  tidak wajib.

"Jadi,  jika ada yang mengatakan khilafah itu tidak wajib itu telah menunjukkan kurangnya referensi-referensi yang dimiliki, sehingga mereka mengatakan khilafah itu tidak wajib," pungkasnya.[] Wafi

Rabu, 29 Juni 2022

Beli Pertalite Wajib Daftar, FAKKTA: Pemerintah Adopsi Paradigma dan Sistem Ekonomi Kapitalisme


Tinta Media - Menanggapi rencana pemerintah membatasi pembelian pertalite, Peneliti Forum Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai, pemerintah mengadopsi paradigma dan sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi.

"Pasalnya, pemerintah saat ini mengadopsi paradigma dan sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi, termasuk sumber daya alam," tuturnya kepada Tinta Media dalam wawancara eksklusif, Rabu (29/6/2022).

Menurutnya, rencana pemerintah yang membatasi pembelian pertalite hanya kepada konsumen yang dianggap tidak mampu dan harus terdaftar pada MyPertamina merupakan strategi pemerintah untuk mengurangi konsumsi pertalite. "Dengan demikian, penjualan pertamax akan lebih tinggi, sehingga akan semakin menguntungkan Pertamina," ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa selama ini Pertamina dianggap mengalami kerugian karena tidak menjual pertalite dan solar berdasarkan harga keekonomian. "Padahal, kenyataannya, dengan harga jual saat ini, pengelolaan minyak dari hulu sampai hilir masih menguntungkan," ungkapnya.

"Meskipun sepertiga minyak mentah dan BBM diimpor, tetapi pendapatan dari penjualan harga minyak yang nilainya meningkat tajam, juga meningkat tajam," bebernya.

Ia melihat bahwa pemerintah memandang BBM merupakan komoditas bisnis dan Pertamina sebagai pihak pengelola bertujuan untuk mendapatkan profit. "Maka ketika ia menjual di bawah harga keekonomian meskipun masih tetap untung, tetap dianggap rugi," jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang melimpah termasuk minyak mentah merupakan barang yang masuk dalam kategori milik umum. Karena itu, wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan kepada publik. "Dengan demikian, komoditas itu bukan untuk dikomersilkan kepada publik yang menjadi pemilik komoditas itu, yang mengakibatkan sebagian dari mereka malah tidak dapat menikmatinya karena dibatasi atau dikenakan harga yang lebih tinggi," paparnya.

"Alhasil kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang zalim," tandasnya.[] Ajira

Minggu, 10 April 2022

Empat Poin Kesimpulan Wajibnya Khilafah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=19a9YleHHZm7Itw9-CqUe21o8hQuAcHQT

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si., mengambil empat poin kesimpulan dari hasil analisisnya terhadap pendapat para ulama terkait hukum penegakan khilafah.

“Setelah saya menganalisis sekitar 27 pendapat ulama yang berkaitan dengan penemuannya hukum menegakkan Khilafah(Imamah) yang itu terwujud dengan membaiat Imam atau membaiat seorang Khalifah ini, ada empat poin kesimpulan,” jelasnya di Program Kajian Dhuha: Wajibnya Khilafah Menurut Ulama Berbagai Mazhab, Selasa (5/4/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Pertama, bahwa khilafah atau imamah itu tidak diragukan lagi merupakan ajaran Islam. Sebab-sebab telah dinyatakan wajibnya oleh para ulama mengatakan khilafah atau Imam itu wajib, berarti itu ajaran Islam. “Itu bukan sekedar sejarah, memang selama itu terwujud dalam fenomena sejarah tetapi, sebenarnya Khilafah itu adalah ajaran atau norma atau hukum Islam,” jelasnya.

Ustaz Shiddiq menyampaikan, banyak ulama yang mengatakan selama Allah wajibkan, berarti itu ajaran Islam. Sama dengan kewajiban-kewajiban lain semisal wajibnya salat, puasa, zakat, dan haji.

Kedua, seluruh ulama yang terpercaya sepakat bahwa Khilafah itu hukumnya wajib. Pendapat ini merupakan kesepakatan atau konsensus mazhab fiqih sunni (Ahlus Sunnah waljamaah) yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, Bahkan wajibnya Khilafah disepakati pula oleh berbagai kelompok di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti oleh kelompok
Murji’ah, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, dan sebagainya. G“Silakan lihat lagi pernyataan dari Imam Ibnu hazm misalnya, atau ada pendapat juga yang berasal dari ulama lain yang ini tidak hanya pendapat internal ahlussunnah tapi di luar itu juga sama sepakat menyatakan Khilafah adalah wajib,” paparnya.

Ketiga, kalaupun ada segelintir ulama yang mengingkari kewajiban Khilafah, pendapat ini dinilai syadz (menyimpang) dan yang tidak mu’tabar (tidak dianggap), yang mengingkari kewajiban Khilafah, pendapat ini dinilai menyimpang, sempalan dan ini dianggap tidak muktabar.

Hal ini sebagaimana kata Imam Al Qurthubi ketika mengomentari Al ‘Asham (secara harfiyah
bermakna “si tuli”), sebagai “orang yang memang tuli dari syariah” (haitsu kaana ‘an al syari’ah asham).
“Pendapat kontemporer yang seperti Al ‘Asham ini banyak dikeluarkan oleh orang-orang liberal misalnya pendapat Ali Abdul Raziq dan sebagainya ini kualitasnya lebih rendah daripada Al ‘Asham,” tegasnya.
Keempat, akan sangat sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) untuk mencari rujukan pendapat ulama terdahulu yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Menurutnya, para intelektual sekuler atau ulama suu`(ulama jahat) yang mencoba menipu umat Islam bahwa Khilafah itu tidak wajib.

“Akan terpaksa berbohong atau melakukan manipulasi yang jahat terhadap pendapat-pendapat terdahulu untuk berkata bahwa Khilafah itu tidak wajib,” paparnya.

Pendapat-Pendapat Ulama
Kesimpulan Ustaz Shiddiq tersebut di atas didasarkan pada sekitar 27 pendapat ulama atau mungkin lembaga fatwa yang percaya mengenai wajibnya Khilafah. Pendapat ulama tersebut membentang mulai dari Imam Al Mawardi yang meninggal tahun 450-an Hijriah sampai ulama-ulama pada masa sekarang, sekitar tahun 1400-an Hijriyah. “Rentang waktunya ini kira-kira 1000 tahun,” tuturnya.

Ia menyampaikan kutipan pendapat Imam Al Mawardi :Imam Mawardi (w. 450 H) berkata, ”Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan Ijma’, meskipun Al Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya Khilafah]“ [Imam Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyyah, hlm. 5.]

Kyai juga mengambil pendapat Imam Ibnu Hazm: Imam Ibnu Hazm yang wafat pada tahun 456 H. Imam Ibnu Hazm berkata,”Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij atas wajibnya Imamah(Khilafah)...”
(Ibnu Hazm, Al Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm. 87).

Selain itu, Imam Ibnu Hazm juga berkata,”Mereka (ulama) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam(Khalifah), kecuali An Najadat...” (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hlm. 207).

Ustaz Shiddiq juga mengutip pendapat Syeikh Abdurrahman Al Jaziri yang wafat tahun 1360 H berkata: ”Telah sepakat para Imam [Yang Empat] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, Juz V hlm. 416.

Menurutnya kitab ini (Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah) yang sangat komprehensif karena menghimpun pendapat dari berbagai mazhab dalam satu kalimat. Dalam kutipan ini juga terdapat hal yang tidak ada pada kutipan yang lain, bahwa Imam(Kholifah) untuk kaum Muslimin juga disepakati oleh imam-imam yang empat itu, seluruh dunia itu hanya ada satu imam. Tidak boleh dua imam, apakah itu berdamai hidup berdampingan atau konflik.

“Seluruh dunia itu tidak boleh memiliki dua imam, apalagi lebih,” tandasnya.[]Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab