Tinta Media: Vaksin
Tampilkan postingan dengan label Vaksin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Vaksin. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Januari 2024

Kapitalisasi Vaksin, Buah Pahit Kapitalisme



Tinta Media - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah menetapkan bahwa vaksin Covid-19 mulai berbayar per 1 Januari 2024. Hal itu tertulis dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan Nomor HK.01.01/MENKES/2193/2023 Tentang Pemberian Imunisasi Covid-19 Program. Di mana Imunisasi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) masuk menjadi program imunisasi rutin efektif mulai 1 Januari 2024 di seluruh Indonesia.

Menurut Menkes Gunadi Sadikin, tarif vaksin berbayar bisa mencapai ratusan ribu, bergantung pada pemberi layanan vaksin yang menentukan tarif vaksin Covid-19. Padahal berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rata-rata kasus harian meningkat 35-40 kasus dengan angka yang dirawat di rumah sakit antara 60-131 orang per 6 Desember 2023. Dengan subvarian Omicron XBB 1.5 menjadi penyumbang paling banyak kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia.

Akibat Kapitalisme 

Sejatinya kebijakan vaksin berbayar pada saat kasus Covid-19 tengah meningkat merupakan kebijakan yang zalim, meski masih menyediakan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan. Namun, kebijakan ini ambigu dan cenderung tebang pilih, dan bisa menjadi alat peredam bagi masyarakat yang dianggap tidak rentan untuk mendapatkan vaksin secara gratis. 

Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini, sehingga pemerintah bersifat sebagai tujar (pedagang) dalam interaksinya dengan rakyat. Karena adanya vaksin berbayar ini menjadikan rakyat harus membiayai sendiri kebutuhan asasi mereka di tengah melonjaknya kebutuhan dasar yang lain. Selain itu, kebijakan ini juga membuka peluang bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan atas penjualan vaksin kepada rakyat, bukti bahwa penguasa hari ini hanya sebagai pedagang bukan pelayan terhadap rakyatnya.

Sebuah keniscayaan dari sistem kapitalisme sekuler, di mana penguasa lebih mementingkan bisnis pengusaha yang mendukung mereka saat mau menjadi pejabat negara, yakni dalam kontestasi pemilu yang berbiaya besar. Jadilah perkawinan antara penguasa dan pengusaha menjadi hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme sekuler. Efek dominonya adalah munculnya kekuasaan oligarki. 

Islam Melindungi Masyarakat

Berbeda dengan Islam yang menetapkan negara sebagai rain (pelayan) dan junnah (pelindung) termasuk dalam membentengi masyarakat menghadapi serangan penyakit menular. Kesehatan termasuk dalam kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menjamin kesehatan secara gratis kepada seluruh warga negaranya tanpa memandang status sosial.

Rasulullah bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi). 

Vaksinasi merupakan upaya pencegahan, yang pastinya akan diberikan secara cuma-cuma kepada semua warga negara baik rentan maupun tidak rentan. Keuangan negara memiliki pemasukan tetap dari sumber kepemilikan umum, negara maupun individu yang tidak memiliki ahli waris. Pos pemasukan keuangan negara berupa pengelolaan sumber daya alam oleh negara, harta fa'i, kharaj, jizyah, khumuz dan lain sebagainya. Sedangkan harta zakat tetap akan masuk dalam kas negara (baitulmal) tetapi dengan peruntukan bagi 8 asnaf sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Pajak apalagi utang bukanlah pemasukan utama keuangan negara Islam. 

Dengan demikian bisa dipastikan keuangan negara akan mencukupi untuk menjamin pembiayaan kesehatan secara gratis bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Sistem inilah yang disebut dengan Khilafah. Di era keemasan Khilafah, vaksinasi sudah pernah ada dan dijalankan sebagai pencegahan terhadap bahaya penyakit menular. Selain itu, pada era Rasulullah juga pernah terjadi wabah tha’un, yakni wabah yang menular, maka Rasulullah memerintahkan untuk melakukan isolasi bagi wilayah yang terkena wabah. Rasulullah melarang orang yang tinggal di wilayah wabah untuk keluar, begitu pula wilayah yang tidak terkena wabah maka dilarang untuk masuk ke wilayah yang tengah terjadi wabah. Inilah yang kemudian hari ini kita kenal dengan istilah karantina. 

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau berkata, “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sayangnya, karena mementingkan alasan ekonomi, negeri kita tidak serius melakukan karantina pada awal terjadinya wabah Covid-19. Sehingga virus Covid-19 hari ini bisa muncul dengan berbagai varian karena berhasil mengembangkan diri akibat ketiadaan upaya karantina secara optimal. 

Khilafah juga akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis, tidak bergantung pada swasta apalagi negara asing, yang bisa saja memanfaatkan situasi untuk kepentingan bisnis mereka. Tentu kita masih ingat kasus kontroversi Namru-2, saat wabah flu burung yang menyebar di negeri kita, kemudian negara adidaya yakni Amerika Serikat atas dasar pengembangan teknologi mengambil sampel darah dari penderita flu burung yang kemudian digunakan untuk bahan dasar vaksin, yang pada akhirnya dijual ke negara kita dengan harga yang mahal. 

Khatimah

Tentu itu tidak akan pernah terjadi dalam Khilafah. Dengan mekanisme karantina, penjaminan pengobatan dan vaksinasi secara gratis bagi seluruh rakyat, penjaminan kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi wilayah yang terkena wabah, dan bagi daerah yang tidak terkena wabah tetap bisa menjalankan aktivitas ekonomi seperti biasa, dengan kebijakan demikian maka wabah akan segera dapat dihentikan. Karena itu kebijakan vaksin berbayar bagi kelompok rentan merupakan kebijakan zalim dan menyengsarakan rakyat, harus segera dihentikan dengan mengganti sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan oleh negeri ini dengan sistem Khilafah yang akan melibas tuntas wabah Covid-19. Wallahualam bissawab.

Oleh: Ummu Syakira 
(Muslimah Peduli Negeri)

Selasa, 16 Januari 2024

Covid-19 Kembali Menyebar, Vaksin Berbayar, Negara Tak Sadar?



Tinta Media - Berdasarkan data di situs Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus Covid-19 di Indonesia meningkat menjelang akhir 2023. Sepanjang November 2023, ada penambahan sekitar 7-40 kasus konfirmasi Covid-19 per hari secara nasional. Kemudian pada awal Desember 2023, angkanya naik ke kisaran 100 kasus per hari. (Katadata.co.id, 12/12/23) 

Covid-19 ternyata tidak sepenuhnya hilang dari tanah air ini. Kemenkes memberikan data bahwa ada peningkatan dari bulan sebelumnya hingga akhir tahun yang angkanya tak bisa dianggap sedikit. Di tengah maraknya kembali penyebaran virus Covid-19, pemerintah justru menetapkan kebijakan vaksin berbayar meski masih menyediakan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan.
  
Sebagaimana dilansir Kompas.com, 31/12/23, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa harga vaksin Covid-19 berbayar akan ditentukan oleh masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang menyediakan vaksin Covid-19 berbayar. Dengan begitu, rumah sakit (RS) hingga puskesmas dibebaskan untuk menentukan sendiri harga vaksin Covid-19 berbayar. 

Negara seharusnya memiliki tanggung jawab penuh dalam mencegah dan menangani virus Covid-19, termasuk memberikan vaksin gratis kepada semua rakyat, terkhusus virus tersebut merupakan penyakit menular. Di sisi lain, istilah kelompok rentan seolah menjadi alat pembungkam yang menghalangi pemberian vaksin pada yang tidak rentan. Padahal, sejatinya  semua rakyat rentan sehingga peningkatan kekebalan tubuh penting untuk semua lapisan masyarakat 

Potret Buram Kapitalisme 

Penetapan vaksin berbayar ini menggambarkan potret negara kapitalis, yang tidak meriayah rakyat dengan baik. Justru, negara menjadi pedagang yang mengharapkan untung dari pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah untuk rakyat. 

Kesehatan adalah kebutuhan pokok bagi manusia. Maka, sudah pasti semua manusia membutuhkan pelayanan kesehatan. Ketika pelayanan kesehatan ini dikomersialkan, maka sudah pasti ini adalah perdagangan yang tidak akan pernah rugi dengan keuntungan yang menjanjikan. 

Ironisnya, sistem kapitalisme meniscayakan adanya komersialisasi pelayanan negara. Salah satunya adalah kesehatan. Ini karena karakter pemimpin yang terbentuk bukanlah sebagai pelayan rakyat biasa, tetapi pelayan rakyat yang punya modal. Dengan modal tersebut, penguasa melayani setiap kepentingan si pemilik modal karena ada keuntungan bagi si penguasa. 

Karakter tersebut didorong oleh mahalnya biaya politik untuk mencapai kekuasaan. Sehingga, sulit di zaman sekarang menemukan sosok pemimpin yang mau habis-habisan mengeluarkan uang untuk mencapai kekuasaan demi memperjuangkan hak-hak rakyat. 

Ditambah pandangan tentang kebahagiaan yang terbentuk dan mengkristal pada benak semua manusia saat ini adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan jasmani atau ketika memiliki materi yang melimpah ruah, sehingga apa yang diinginkan bisa terwujud. Inilah potret buram sistem kapitalisme, yaitu menjadikan rakyat seolah hanya sebagai tumbal kepentingan dan kekuasaan. Sementara, rakyat harus kembali berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokok. Salah satunya adalah kesehatan. 

Maka, dengan fakta abainya penguasa terhadap pelayanan kesehatan, terkhusus mengatasi virus Covid-19, sangat memungkinkan perluasan penyebaran virus tersebut bisa berkali-kali lipat karena minimnya pencegahan dan penanganan yang dilakukan pemerintah. 

Sungguh, berharap mendapatkan kesehatan dan perlindungan keselamatan rakyat pada sistem kapitalisme adalah khayalan semata, karena sistem tersebut didesain untuk oligarki yang menguasai seluruh kepentingan rakyat. 

Islam Penjaga Hakiki 

Islam telah menetapkan negara sebagai pelayan dan pelindung, termasuk dalam menjaga masyarakat menghadapi serangan penyakit menular.  Kesehatan termasuk dalam kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Maka, dengan fungsi tersebut, urusan umat akan selalu diprioritaskan, bahkan tak ada karakter pemimpin dalam Islam mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umat. 

Negara memiliki pendanaan memadai yang bersumber dari pengelolaan secara langsung dari sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum. Hasil pengelolaan tersebut diserahkan kembali kepada umat dalam bentuk pelayanan umum, seperti kesehatan. Maka, haram hukumnya membebankan biaya  kesehatan kepada rakyat karena rakyat memiliki hak pokok yang wajib difasilitasi negara. Salah satunya adalah kesehatan. 

Selain itu, negara Islam bukan saja memfasilitasi akses kesehatan yang mudah dan gratis. Namun, negara juga memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis. Dengan demikian, ketahanan dari sisi perlindungan kesehatan umat betul-betul terwujud. 

Inilah gambaran nyata dari penerapan sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk penanganan kesehatan, terkhusus virus menular yang memiliki mekanisme yang konkret yang telah dibuktikan dalam sejarah peradaban IsIam berabad-abad lamanya. 

Maka, jika menginginkan kembali kesejahteraan tersebut, kita harus mengganti sistem yang ada saat ini dengan sistem IsIam, yaitu Khilafah Islamiyah. Dalam sistem tersebut, Al-Qur'an dan sunnah sebagai aturan seluruh  aspek kehidupan diterapkan secara keseluruhan. Wallahu a'lam.


Oleh: Heti Suhesti 
(Aktivis Dakwah) 

Jumat, 01 April 2022

No Booster No Mudik, Umat Islam Kembali Terusik

https://drive.google.com/uc?export=view&id=13Wx9y5sGMq5pSlEGmj09td4asXqQYbjw

Tinta Media - Lebaran  atau hari raya Idulfitri tinggal menghitung hari. Artinya, tradisi mudik pun sudah dinanti-nantikan seluruh umat Islam di Indonesia. Sebab, sudah dua kali lebaran mereka tidak bisa mudik karena terhalang wabah corona.

Namun, nampaknya mudik Lebaran tahun ini pun masih terkendala. Sebab, pemerintah mewajibkan vaksin booster bagi para pemudik. Sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (26/3/2022), pemerintah resmi memberikan lampu hijau mudik Lebaran Idulfitri 1443 Hijriah/2022. Setelah dua tahun sebelumnya mudik dilarang lantaran masih dalam pandemi corona. Namun, pemerintah tetap mewajibkan beberapa syarat yang harus dipatuhi masyarakat. Salah satunya adalah mewajibkan pemudik sudah rampung dua dosis vaksin dan booster.

Hal ini memicu polemik dan umat Islam merasa terusik. Bagaimana tidak, beberapa waktu lalu ketika perhelatan balap MotoGP Mandalika, pemerintah tidak memberi aturan ketat tentang berkerumun. Ajang balap tersebut juga tetap berjalan tanpa "drama" vaksin booster dan sejenisnya.

Namun, ketika mendekati Ramadhan dan Lebaran, aturan berkerumun kembali diperketat. Salah satunya tentang salat di masjid. Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) akan memperketat kapasitas jamaah di masjid/musala selama bulan Ramadan. Aturan ini akan disesuaikan dengan Instruksi Mendagri Nomor 18/2022 soal PPKM (jabarnews.com, 29/3/2022).

Inilah yang membuat umat Islam terusik. Bahkan Anggota Komisi V DPRDPR RI Sigit Sosiantomo menentang kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mewajibkan vaksin booster sebagai syarat perjalanan pada mudik lebaran tahun 2022.

Politikus PKS tersebut menilai jika kebijakan mewajibkan vaksin booster sebagai syarat mudik adalah kebijakan aneh dan menyusahkan rakyat. Apalagi sesuai pernyataan Kemenkes bahwa booster itu tidak wajib, tetapi pilihan bagi masyarakat yang ingin menambah kekebalan. Maka jika sifatnya pilihan, Sigit berharap agar tidak dijadikan syarat wajib mudik (kompas.tv, 28/3/2022).

Beginilah ketika negeri ini masih dalam kungkungan kapitalisme. Segala kebijakan terkesan berat sebelah, terutama tentang booster ini. Jika berhubungan dengan umat Islam, terkesan dipersulit. Namun, jika urusan materi dan umat lain terlihat lebih dipermudah.

Hal itu disebabkan karena kapitalisme bertentangan dengan Islam. Asas kapitalisme adalah kebebasan. Aturan kehidupan dipisahkan dengan agama. Maka wajar jika pengaturan rakyat dan kebijakan terkesan berat sebelah.

Sedangkan Islam berasas pada hukum syara'. Segala sesuatu ditentukan berdasarkan aturan Allah Subhanahu wata'ala. Jika pembatasan aktivitas karena wabah, tentu akan diberlakukan kepada semua lapisan masyarakat, tidak peduli menguntungkan secara materi atau tidak. Sebab, prioritas dalam Islam adalah keselamatan rakyat.

Apalagi jika wilayah tersebut masih sama-sama terdapat wabah. Maka, lockdown akan dilakukan dan akan dicukupi segala kebutuhan rakyat. Intinya, pemerintah dengan sistem Islam tidak akan berat sebelah dalam memberlakukan kebijakan kepada seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Semua akan mendapat keadilan yang sama.

Dalam sistem Islam, setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum, tidak peduli kaya atau miskin, muslim atau nonmuslim, pejabat atau rakyat biasa. Sehingga, tidak akan muncul rasa saling terusik dan diskriminasi di tengah masyarakat.

Bahkan dalam buku "The Story of Civilization", sejarawan dari Barat Will Durrent bertutur dengan jujur bahwa, "Para Khalifah (pemimpin dalam sistem Islam) telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka."

Wallahua'lam bishawab.

Oleh: Anita Ummu Taqillah
Pegiat Literasi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab