Tinta Media: Utang
Tampilkan postingan dengan label Utang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Utang. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Maret 2024

Utang Terus Meningkat Penjajahan Makin Kuat!


Tinta Media - Lagi-lagi berdalih masih batas aman, negara ini terus meningkatkan utang. Padahal, utang-piutang ini membahayakan kedaulatan negara karena menyebabkan cengkeraman pemilik modal semakin kuat. Asing menjadi dominan atas negara. Dengan kata lain, negeri ini menjadi penjajahan

Dilansir oleh CNN Indonesia, Selasa (27/02/2024), Kemenkeu mencatat bahwa utang pemerintah naik sebesar Rp108,4 triliun menjadi Rp8.253,09 triliun per Januari 2024. Kenaikan ini lebih besar dibandingkan utang pada Desember 2023, yakni sebesar Rp8.144,69 triliun. 

Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB masih di bawah batas aman, yaitu 60 persen. Pada Januari 2024, utang negara didominasi oleh surat berharga Negara (SBN) sebesar 88,19 persen atau Rp7.278,03 triliun. Sisanya pinjaman yang mencakup Rp 11,81 persen atau sebesar Rp 975,06 triliun

Meskipun pemerintah senantiasa mengelola utang secara cermat dan terukur dengan memperhatikan komposisi mata uang, suku bunga maupun jatuh tempo yang optimal, tetapi perlu adanya penyadaran akan haramnya pinjaman berbunga seperti ini. 

Pemerintah seharusnya mengedepankan urusan umat yang lebih mendesak, seperti menormalkan kembali harga pangan yang terus naik, pengelolaan pelayanan kesehatan yang amburadul, bidang pendidikan yang makin melenceng dari relnya, alih fungsi lahan yang tak terkendali, merampas ruang hidup masyarakat dan lain sebagainya. 

Dalam syariat Islam, negara wajib mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan keamanan negara dan tiap-tiap warga negaranya.

Sangat jelas terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis Rasulullah saw. terkait kewajiban kepala negara dalam memberikan pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, keamanan, kenyamanan serta mengedepankan kepentingan umat daripada urusan pribadi atau komplotannya. 

Negara harus memberikan solusi-solusi terbaik kepada masyarakat, karena amanah jabatannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban, seperti sabda Rasulullah saw. yang artinya, 

"Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri wewenang untuk mengurus rakyat mati pada saat hari kematiannya sementara dia dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan surga atas dirinya." (HR Al Buchari) 

Begitu pula urusan utang-piutang. Dalam Islam, sangat jelas hukum haramnya utang ribawi yang saat ini kian membelit negeri yang kaya sumber daya alamnya. Allah Swt. berfirman yang artinya,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawaklah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (TQS Ali Imron ayat 130)

Pemimpin yang taat akan syariat tentunya akan menjalankan syariat itu sebagai landasan dasar kepengurusan negaranya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. 

Beginilah jadinya ketika negara tersebut tidak menerapkan sistem Islam. Kebijakannya, solusi yang dilahirkan tidak berpihak pada kepentingan umat atau masyarakat, melainkan mengutamakan kepentingan pemodal atau kepentingan asing yang memberikan utang. Wallahu alam.


Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media



Senin, 26 Februari 2024

Beternak Utang Ribawi



Tinta Media - Sungguh mengkhawatirkan ketika membaca di media bahwa di penghujung Januari 2024 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mewakili Pemerintah Pusat melakukan program penyerapan dana masyarakat melalui penerbitan dan penawaran Surat Berharga Negara (SBN) yang bernilai Rp666,4 triliun. 

SBN ini hakikatnya adalah utang pemerintah yang mengandung riba. Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bisa ditutup dengan adanya dana dari SBN ini. Terutama Surat Utang Negara (SUN) jelas bertentangan dengan Syariat Islam yaitu mengandung riba. 

Syariat Islam telah melarang praktik ribawi baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh negara, dalam Surat Al Baqarah ayat 275  Allah SWT melarang keras praktek riba seperti firman-Nya yang artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan dan seterusnya. Juga Rasulullah SAW mengancam keras pelaku riba sebagaimana bunyi hadistnya : Allah melaknat pemakan riba (kreditur), orang meminjam (debitur), penulisnya dan orang yang menyaksikannya. 

Mengutip dari portal resmi Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK dijelaskan pengertian dan jenis SBN. SBN yang diterbitkan Pemerintah Pusat terdiri dari SUN yang diatur dalam Undang Undang no. 24 tahun 2002 dan Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN diatur dalam UU No. 19 tahun 2008. 

SUN merupakan utang negara yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara. SUN dari jenisnya ada dua yaitu untuk jangka pendek maksimal 1 tahun adalah Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan yang jangka panjang lebih dari 1 tahun adalah Obligasi negara yang sama terdapat bunga. 

Jika dijual retail ke masyarakat disebut ORI. Sementara SBN  syariah adalah  SBSN atau Sukuk Negara yang berakad atau dengan skema ijarah, Mudarabah, Musyarakah dan Istishna. Dalam SBSN ini ada yang namanya Aset SBSN yang dijadikan objek pembiayaan. 

Bagi masyarakat yang mempunyai kelebihan dana SBN terutama SUN ini adalah instrumen investasi/piutang yang aman dan pasive income yang menjanjikan karena dijamin oleh pemerintah dengan kupon (bunga) yang cukup tinggi dibanding deposito bank selain juga bisa dijual ketika jatuh temponya belum berlaku berarti cukup liquid.

Keuntungannya ada capital gain atau keuntungan atas penjualannya jika ada potensi kenaikan harga. Minim resiko karena pembayaran bunga/kupon dan pokoknya dijamin UU SUN. SUN seperti obligasi negara juga dapat dijadikan sebagai agunan dan dapat dijual setiap saat apabila pemilik membutuhkan dana. 

SBN ini ditawarkan mulai 29 Januari sampai dengan 22 Februari 2024, dengan nilai Rp. 664,4 triliun sementara SBN yang diluncurkan di tahun 2023 sebesar 298,6 triliun, mengalami peningkatan signifikan lebih dari 100 persen. 

Bagi pemerintah ini adalah rencana tambahan utang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2024 selanjutnya disebut APBN yang diperkirakan meningkat menjadi 2,29 persen (maksimal 3 % sesuai UU Keuangan Negara) dari nilai Produk Domestik Bruto dengan nilai defisit Rp. 598,2 triliun sementara untuk tahun 2023 defisit sebesar 2,27 persen dengan nilai Rp. 522 triliun. 

Defisit APBN ini juga di dalamnya adalah juga untuk kebutuhan pembayaran Utang yang sudah jatuh tempo baik pokok dan bunga, angka utang negara per bulan November 2023 sudah mencapai Rp. 8.041 triliun dengan komposisi Rp. 7.125 triliun adalah Utang dalam negeri berupa SBN dan sisanya Rp. 886,07 triliun atau 11 % berupa Utang Luar Negeri (sumber Liputan 6.com).

Sejak diluncurkan tahun 2006 Utang Dalam Negeri berupa SBN terus meningkat dan puncaknya tahun 2025 nanti pemerintahan yang baru akan membayar SBN yang jatuh tempo sebesar 704 triliun. Jika mengacu Undang Undang Keuangan Negara batas maksimal rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen sementara Indonesia rasio utangnya berkisar 38 persen, 90 persen utang negara adalah Utang Jangka Panjang, hal ini yang sempat dinyatakan oleh salah satu Capres dalam debat Capres bahwa itu masih aman dan terkendali. 

Harusnya isu Utang Dalam Negeri ini adalah isu seksi sama seperti Bansos dan Pinjol yang memang benar-benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat yang didukung maraknya berita tentang hal tersebut. Tidak seperti isu Utang Dalam Negeri hanya terkait dengan golongan masyarakat tertentu saja, yaitu masyarakat golongan menengah ke atas, yang mempunyai kekayaan untuk membeli SBN khususnya SUN, dan negara sebagai penjual SUN (pengutang). 

Jika dalam sosialisasi pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat untuk membeli SUN adalah sebagai Investasi, padahal jelas produk keuangan ini dalam akad atau transaksinya adalah utang piutang uang seperti definisi dan fakta di atas. Dalam sistem ekonomi kapitalisme ribawi yang diterapkan Indonesia tentunya penawaran dan penerbitan SUN ini adalah hal yang wajar saja dalam membuat kebijakan fiskal yang dilegalkan dalam perundang-undangan. Kedudukannya penting sebagai sumber pendapatan selain pendapatan utama dari pajak. 

Sebaliknya dalam Sistem Ekonomi Islam untuk muamalah SUN ini mengandung riba terutama riba nasiah, karena akadnya batil mengandung tambahan baik nilai pokok utang ketika dijual dengan harga jual lebih tinggi dari harga beli maupun tambahan berupa bunga pinjaman. Lantas bagaimana syariat Islam dalam hal ini sistem ekonomi islam yang dijalankan oleh khalifah sebagai kepala negara Khilafah mendapatkan sumber pendapatan untuk pembiayaan APBN yang menghindari utang apalagi yang mengandung riba? 

Seperti yang dicantumkan Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah karangan Syeikh Abdul Qadim Zallum Dalam sistem keuangan daulah khilafah ada beberapa sumber pendapatan APBN seperti sumber daya alam yang melimpah  dan strategis yang  merupakan milik umat, yang tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta (individu) apalagi asing seperti sekarang atau kepada negara, negara hanya sebagai pengelola untuk dikembalikan kepada umat. 

Khusus Indonesia harusnya kandungan sumber daya alam yang dimiliki lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rakyatnya.  Selain itu ada juga pendapatan berupa ghonimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah, yang dikelola dan dialokasikan untuk kemaslahatan umat.

Tentunya kita sebagai muslim menginginkan Islam terwujud secara kaffah termasuk dalam sistem ekonomi Islam yang menggantikan sistem ekonomi kapitalistik ribawi yang telah terbukti membebani APBN dan Allah SWT murka terhadap praktik ribawi. Dengan Sistem ekonomi Islam insya Allah akan terwujud keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat. Wallohu ‘alam bisshowab.


Oleh: Zulpadli
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 14 Februari 2024

Utang Itu Solusi atau Masalah?


Tinta Media - Isu  utang saat ini, bukanlah sesuatu yang dianggap tabu lagi. Begitu merebaknya fasilitas utang yang tersedia saat ini, baik yang bersifat konvensional maupun berbasis daring (online). Utang hampir mengena kepada siapa pun, mungkin Anda juga pernah punya pengalaman terkait persoalan utang? 

Isu  utang di masyarakat saat ini sudah dianggap sesuatu yang lumrah  dan seakan menjadi satu-satunya solusi terhadap permasalahan keuangan. Di sisi lain utang kerap kali menimbulkan persoalan yang memberikan dampak buruk dimasyarakat. Dampak buruk utang tidak saja mengena kepada kalangan masyarakat biasa, akan tetapi hingga kalangan pengusaha. 

Dampak buruk utang bisa bersifat ringan sampai berat, dari gangguan kesehatan fisik hingga mental, dari perselisihan kecil dalam rumah tangga sampai timbulnya perceraian, dari pertengkaran kecil sampai timbulnya kriminalitas. 

Peristiwa baru-baru ini membuktikan dampak buruk berutang, yakni peristiwa terbunuhnya seorang pengusaha burung di Kota Medan, Bernama Baharuddin Siregar (71) tewas dibunuh pegawainya sendiri inisal EP (41) karena persolan utang Rp 5 juta (Kompas.com, 2024). Kejadian berlangsung di Kelurahan Sei Sikambing, Kecamatan Helvetia, Kota Medan pada Minggu (14/1/2024).

Karenanya menjadi penting bagi halayak untuk memahami dengan benar  seputar utang,  faktor penyebab dan bahaya yang ditimbulkannya. Berutang dalam pandangan Islam adalah boleh, akan tetapi lebih cenderung dicela, karena berpotensi menyeret pelakunya kepada berutang yang diharamkan. 

Faktor penyebab yang menjadi alasan merebaknya utang dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Alasan yang bersifat langsung adalah (1) Memenuhi kebutuhan hidup, faktor kesulitan ekonomi menjadi alasan berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup, biaya Kesehatan, dan biaya anak sekolah, (2) Tidak mampu membedakan antara keinginan dengan kebutuhan, sebagai contoh seseorang yang membeli sepatu yang bermerek dengan seseorang yang membeli sepatu tidak bermerek, padahal fungsi sepatu tersebut adalah sama, yakni digunakan untuk alas kaki, (3) Merasa mampu membayar, situasi ini sering kali terjadi pada seseorang yang memiliki pendapatan tetap, seperti pegawai negeri sipil atau karyawan, (4) Kompetisi sosial masyarakat dan gaya hidup, sering kali pandangan masyarakat yang menganggap banyaknya harta adalah perwujudan kesuksesan, menjadikan seseorang ingin mengejar dan berupaya maksimal mencapainya, meskipun dengan cara utang, (5) Modal untuk usaha, sering kali alasan modal untuk membangun atau mengembangkan usaha menjadi alasan pelaku usaha berutang. 

Adapun faktor penyebab yang bersifat tidak langsung adalah diterapkannya sistim yang memisahkan aturan agama dengan aturan kehidupan (sekuler). Produk sistim sekuler dalam bidang ekonomi adalah sistim ekonomi kapitalis. Sistem tersebut dijalankan dengan basis utang riba, yaitu tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam dalam transaksi pinjaman uang, uang yang seharusnya hanya digunakan sebagai alat tukar, akan tetapi berubah  menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Keadaan ini mendorong maraknya bisnis uang  yang terwujud dalam lembaga-lembaga keuangan dengan menawarkan kemudahan pinjaman berbunga. Dalam sistim ekonomi kapitalis, utang adalah amunisi untuk memperoleh keuntungan berupa bunga pinjaman. Makna pinjaman yang dimaksud disini adalah utang qard (transaksi utang yang obyek transaksinya khusus mengena kepada mata uang /alat tukar). Pandangan Islam sendiri terhadap pinjaman (qard)  yang mengandung bunga (riba) adalah diharamkan secara mutlak (QS. Al Baqarah : 275). Penerapan sistim ekonomi kapitalis yang berlangsung saat ini, tidak lepas dari sekularisasi  yang diadopsi dari pemikiran barat. Dampak yang ditimbulkan adalah merosotnya pemikiran umat Islam dalam semua sendi kehidupan, termasuk tidak menjadikannya aturan Islam sebagai standar sistim ekonomi umat. 

Perilaku utang akan memberikan konsekuensi bagi pelakunya, berupa bahaya utang di dunia dan di akhirat. Di antara sekian banyak bahaya utang di dunia, enam di antaranya adalah (1) Utang itu membuat candu sebagaimana narkoba, seseorang yang telah selesai dengan angsuran utangnya, biasanya kecanduan dengan membuka utang baru, dan begitu seterusnya, (2) Utang akan terus bertambah, karena utang itu membuat candu pelakunya, tanpa disadari utangnya semakin bertambah, biasanya awal berutang nominalnya masih sedikit, akan tetapi semakin lama nominal utang yang diajukan bertambah semakin besar, (3) Utang menyebabkan rusaknya keharmonisan suami-istri, bahkan tidak sedikit kejadian perceraian yang disebabkan oleh persoalan utang, sebagai mana dikutip dari media masa yang memberitakan penyebab utama perceraian rumah tangga inisial T (suami) dan inisial A (istri) adalah masalah ekonomi, utang  disebut-sebut sebagai salah satu penyebab keretakan rumah tangga mereka (Kumparan, 2023), (4) Merasa dipercaya oleh lembaga pemberi pinjaman, ini merupakan pemahaman yang keliru, karena tidak ada satu pun transaksi pinjaman dilaksanakan tanpa agunan yang menyertainya, itu mengindikasikan bahwa pihak pemberi pinjaman (kreditur)  tidak pernah percaya kepada peminjam (debitur), (5) Membayar kepastian dengan ketidakpastian, apa yang pasti dalam pinjaman (qard)? Yakni waktu jatuh temponya,  denda keterlambatan bayar, bunga yang wajib dibayarkan, aset yang diagunkan, lelang agunan bila gagal bayar, sedangkan perolehan pendapatan dari apa yang diusahakannya, tidak ada yang menjamin kepastiannya, (6) Terdorong melakukan perbuatan kriminal, fakta tersebut sebagaimana terjadi pada peristiwa di kota Medan. 

Adapun konsekuensi bahaya utang di akhirat, satu di antaranya adalah terhalangnya masuk  Surga meskipun mati dalam keadaan syahid. Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah Saw bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim). Sedangkan bagi seseorang yang melakukan transaksi utang dengan riba (qard), ancaman Allah Swt sangat mengerikan sebagaimana tertuang dialam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 275, “….Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. 

Bila dicermati dengan seksama, apakah utang itu solusi atau masalah? Dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan, kecenderungan utang lebih banyak menimbulkan permasalahan baru, terlebih utang yang masuk katagori pinjaman (qard) dengan bunga (riba), akan menghantarkan pelakunya kepada perbuatan yang diharamkan. Selama sistim ekonomi kapitalis diterapkan, selama itu pula budaya utang akan terus berlangsung. Utang dalam sistim ekonomi kapitalis merupakan amunisi untuk memperoleh keuntungan, sedangkan riba itu sendiri adalah mesin penghisap uang masyarakat, uang akan menumpuk dan lebih banyak beredar  pada kalangan pemilik modal, dampaknya tingkat kemiskinan dipastikan akan terus bertambah. Karenanya  dibutuhkan upaya perubahan dengan mengganti sistim kapitalis dengan sistim lain yang memberikan keadilan. Sistim tersebut tidak lain adalah sistim Islam yang mencakup di dalamnya penerapan ekonomi Islam. Hanya Islam yang bisa menjadi solusi tuntas segala bentuk keruwetan persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini. 

Purwokerto, 27 Rajab 1445 H / 08 Februari 2024 M 

Oleh: Amir Mahmudin
Sahabat Tinta Media

Jumat, 02 Februari 2024

Ironi, Utang Menggurita di Negara Kaya SDA

Tinta Media - Sungguh miris, negara Indonesia yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA)  melimpah ruah, ternyata  memiliki utang negara yang menggunung. Hal ini disebabkan oleh keuntungan hasil pengelolaan SDA tidak masuk ke dalam kas negara. 

Adanya praktik privatisasi serta SDA yang boleh dimiliki oleh siapa saja yang bermodal besar, menjadi akar masalah dari kesemrawutan persoalan ini. Siapa saja boleh membeli ladang, hutan, laut, bahkan pulau sekalipun, kemudian hasil keuntungan penjualan itu hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja. 

Akibatnya pemasukan kas negara tidak sebanding dengan pengeluaran, maka satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan negara adalah dengan  penarikan pajak dan utang luar negeri.

Utang menjadi salah satu persoalan besar ekonomi bagi rakyat Indonesia. Memasuki tahun baru 2024, utang negara semakin membengkak. Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat  Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menjelaskan, posisi utang negara secara keseluruhan per 30 November 2023 adalah Rp8.041.01 triliun.

Jumlah tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan pinjaman sebesar Rp916,03 triliun (11,39% dari total utang). Namun, ia menyatakan bahwa pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri masih terkendali. (katadata.co.id 19.12.23)

Jika dihitung, sejak mengawali jabatan kepresidenan di tahun 2014, utang pemerintahan Jokowi, sudah membengkak sebesar Rp5.431,21 triliun. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang masih dalam kondisi aman. Alasan utamanya karena rasio utang belum mencapai 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam laman resmi Kementerian Keuangan, pemerintah berdalih bahwa utang tersebut diambil untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga nantinya diharapkan mampu meningkatkan daya saing nasional, seperti membangun proyek-proyek prioritas nasional, di antaranya adalah jalan tol, pelabuhan, MRT, rumah sakit, institusi pendidikan tinggi, pertanian dan pedesaan, pengembangan fasilitas kelistrikan, serta fasilitas air bersih. 

Pemerintah mengklaim bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh utang itu telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Padahal, tidak semua masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan tersebut. Contohnya pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara, dan ruas tol. 

Padahal, menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, ada sedikitnya 58 proyek Pemerintahan Jokowi yang terancam mangkrak. Nilainya sungguh fantastis, mencapai Rp420 triliun. 

Dalam sistem kapitalisme, sebanyak apa pun sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, tidak menjamin memiliki pemasukan besar. Ini terbukti di Indonesia. Sebagai negara dengan SDA yang berlimpah, negeri ini justru tenggelam dalam lautan utang yang semakin membesar.

Utang Indonesia yang jumlahnya fantastis tidak layak lagi disebut aman dan terkendali. Hal ini merupakan buah dari kegagalan pemerintah mengelola negara. Ditambah dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa utang adalah instrumen yang senantiasa membuat umat menderita.

Padahal, Islam senantiasa menawarkan mekanisme pemulihan perekonomian sistemis yang siap diterapkan di tengah karut-marut persoalan utang ini. Dalam hukum Islam, berutang boleh-boleh saja dilakukan. Akan tetapi, dalam lingkup kenegaraan, pemerintah Islam (khilafah) menghindari berbagai bentuk skema utang ribawi.

Khilafah akan berutang hanya untuk perkara-perkara yang mendesak, yang jika ditangguhkan khawatir terjadi kerusakan dan kebinasaan. Perkara yang masih bisa ditangguhkan akan diatasi saat negara sudah memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi yaitu dengan melakukan penarikan pajak yang dibebankan kepada orang-orang kaya.

Negara Islam (daulah Islam) juga memiliki sumber APBN untuk memenuhi kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, bahkan perumahan yang bisa dinikmati rakyat tanpa mengeluarkan uang sepeser pun alias gratis. Hal itu merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyat.

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi mandiri yang tidak bergantung kepada negara lain. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pendapatan tetap, seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, dan jizyah, serta pemasukan dari kepemilikan umum dengan berbagai macam bentuk, serta pendapatan dari harta yang dikelola negara seperti usyur, khumus, rikaz, dan tambang.

Dengan demikian, Indonesia berpotensi terbebas dari jerat utang jika dipimpin oleh pemimpin yang mau menerapkan syariat Islam, ikhlas dan amanah dalam mengelola negara. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Chusnul AK
Sahabat Tinta Media

Rabu, 17 Januari 2024

Peneliti: Negara Tidak Boleh Mengadopsi Pembiayaan APBN dengan Utang Ribawi



Tinta Media – Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, negara tidak boleh mengadopsi pembiayaan APBN dengan utang ribawi. 

“Ini yang diajarkan Islam. Negara tidak boleh mengadopsi kebijakan pembiayaan APBN dengan melakukan utang ribawi karena jelas-jelas diharamkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dengan larangan yang qath’i (pasti),” ungkapnya di Kabar Petang: Era Jokowi Utang Ugal-Ugalan, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta? Di kanal  Youtube Khilafah News, Sabtu (13/1/2024). 

Oleh karena itu, lanjutnya,  rezim harus bertaubat dan meninggalkan kebijakan utang ribawi, karena selain berdosa juga memberikan dampak negatif terhadap publik. 

“Negara  harus memprioritaskan belanja-belanja yang diperlukan sesuai dengan pendapatan, tidak ada istilah anggaran defisit yang menjadi beban negara, sehingga harus berutang,” tambahnya. 

Dalam perspektif Islam, ucapnya,  bahaya utang bukan hanya riba tapi ketika negara meminjam ke negara lain, maka negara lain itu berpotensi memberikan syarat-syarat yang merugikan termasuk bisa membahayakan kedaulatan negara. “Semisal, mereka memaksakan proyek-proyek yang bahan baku dan tenaga kerjanya dari negara mereka sehingga kita menjadi terjajah secara ekonomi,” ucapnya mencontohkan. 

Selain itu lanjutnya, dalam Islam akan diprioritaskan belanja-belanja yang memang dibutuhkan saja. APBN dalam Islam, terangnya, menetapkan belanja-belanja yang wajib misalnya gaji pegawai , gaji tentara, fasilitas umum, jihad fii sabilillah, belanja untuk bencana dan sebagainya. 

“Pembangunannya juga diprioritaskan kepada pembangunan infrastruktur yang memang betul-betul dibutuhkan, bukan infrastruktur tersier atau sekunder yang tidak terlalu penting bagi negara,” imbuhnya. 

Ia melanjutkan, dalam negara Islam pemberantasan korupsi dilakukan secara masif, juga mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara. 

“Artinya kalau memang belanjanya itu besar untuk kepentingan pembangunan industri militer khususnya untuk kepentingan jihad fii sabilillah, pembangunan infrastruktur yang anggarannya besar harus diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara,” terangnya. 

Peningkatan pendapatan ini, lanjutnya, telah diatur di dalam Islam misalnya dari kharaj, jizyah, fai, juga pendapatan dari zakat. 

“Pendapatan yang cukup besar juga akan diperoleh dari sumber daya alam, atau barang-barang yang menjadi kepemilikan umum. Kalau ini dikuasai negara akan menjadi pemasukan yang besar dan cukup untuk memenuhi belanja atau membangun negara tanpa utang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Selasa, 16 Januari 2024

Peneliti: Utang Ribawi dalam Sistem Kapitalis Itu Legal



Tinta Media - Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, utang  ribawi dalam sistem  kapitalis merupakan sesuatu yang legal. 

“Utang ribawi dalam sistem kapitalis memang merupakan sesuatu yang legal. Kalau kita lihat dalam Undang-Undang  APBN, utang itu dipersilakan untuk dilakukan selama tidak melampaui 60% dari GDP sehingga pemerintah terus menggenjot utang  tanpa merasa bersalah,” ungkapnya di Kabar Petang: Era Jokowi Utang Ugal-Ugalan, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta? Di kanal  Youtube Khilafah News, Sabtu (13/1/2024).

Oleh karena itu, tidak heran, lanjutnya, kebijakan rezim Jokowi selama 10 tahun terakhir utang negara naik sangat drastis. 

“Lonjakan utang negara naik sangat drastis. Saya mencoba menghitung dalam 10 tahun terakhir rezim Jokowi, utang negara meningkat 200 %,” ungkapnya. 

Ia memaparkan, utang negara sampai November 2023 mencapai Rp8.000 triliun. “Bulan Desember itu ada tambahan lagi sehingga mungkin lebih dari Rp8.100 trilun. Tahun ini juga akan  ada tambahan utang lagi sekitar Rp600 triliun. Jadi angka utang Indonesia di akhir pemerintahan Jokowi ini  bisa mencapai angka Rp9.000 triliun. Angka yang sangat besar,” ujarnya. 

Menurutnya, meski nilai utang sangat besar namun tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

“Ini aneh, utang kita semakin tinggi tapi ekonomi kita biasa-biasa saja, tidak ada perbaikan bahkan semakin buruk. Ini membuat kita berkesimpulan bahwa selama rezim Jokowi, pengelolaan utang negara, pengelolaan anggaran negara semakin buruk. Dan ini akan sangat berbahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia dan juga bagi rakyat Indonesia,” ulasnya. 

Ia menyebut setidaknya ada dua bahaya. Pertama, harus membayar bunga yang lebih banyak. Apalagi menurutnya, sebagian besar utang pemerintah saat ini dalam bentuk obligasi atau SBN yang tingkat suku bunganya mengacu kepada pasar.

“Semakin beresiko suatu negara maka tingkat suku bunga obligasi semakin mahal. Tahun 2023 rata-rata suku bunga obligasi pemerintah Indonesia  dikisaran 6-7%. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, apalagi Singapura yang di bawah 5%. Artinya makin tinggi suku bunga maka beban anggaran untuk pembayaran bunga utang  makin besar,” terangnya.

Ini, lanjutnya, terbukti selama dua tahun terakhir biaya pembayaran bunga utang pemerintah sudah mengalahkan seluruh belanja pemerintah pusat. 

“Konsekuensinya ketika pemerintah tidak mampu menarik pendapatan yang lebih besar, maka anggaran untuk belanja-belanja produktif seperti membangun infrastruktur dasar, membangun jalan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan daerah, membangun irigasi, membangun bendungan membangun jalur kereta api, dan lain-lain itu menjadi semakin terbatas karena sebagian besar anggaran dipakai untuk membayar utang,” bebernya. 

Bahaya kedua ucapnya, jika rupiah melemah otomatis suku bunga pembayaran utang semakin tinggi. 

“Sebagian dari utang negara bunganya dalam bentuk floating rate (suku bunganya berubah mengikuti suku bunga di pasaran). Kalau ada gejolak di pasar keuangan dunia, pembayaran bunga kita semakin mahal,” terangnya.

Terakhir ia menyampaikan, jika utang tidak diremtidak menutup kemungkinan Indonesia  menjadi negara bangkrut.

“Ini  sebagaimana yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, karena utang yang jatuh tempo tidak bisa dibayarkan. Juga di Yunani,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Selasa, 29 Agustus 2023

Ekonom: 1286 Triliun Hanya untuk Bayar Utang

Tinta Media - Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta mengatakan bahwa separuh pendapatan negara nyaris hanya untuk membayar utang.

 “Data Bank Indonesia semester l 2023 menyebut pokok utang yang harus dibayar 789 triliun. Jika ditambah bunga 497 triliun maka total yang harus dibayar pada 2024 sebesar 1.286 triliun. Sementara rencana pendapatan negara hanya 2.700 triliun. Jadi separuh pendapatan negara nyaris hanya untuk bayar utang,” ulasnya di kajian Politik & Ekonomi: Nyaris Tembus 500 triliun Bayar Bunga Utang, Kok Bisa? Melalui kanal Khilafah Channel Reborn, Sabtu (26/8/2023).
 
Pokok dan bunga utang yang demikian besar itu, jelasnya, disebabkan utang yang ditarik pemerintah Indonesia sudah sangat banyak.“Data per Mei 2023 utang Indonesia sudah di angka 7.900 triliun,” imbuhnya.
 
Hatta tidak menampik bahwa utang sebesar 7.900 triliun itu merupakan akumulasi utang dari rezim sebelumnya. Namun yang paling banyak utang adalah rezim periode 2015 hingga Maret 2023 yang mencapai 5.176 triliun.
 
“Nah, 5.176 triliun itu kalau kita bandingkan dengan rezim sebelumnya itu sebenarnya secara keseluruhan hanya 6.600 triliun. Artinya 78,4% dari utang yang ditarik itu datang dari rezim Pak Jokowi,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Bunga Utang Nyaris 500 Triliun, Benarkah Ekonomi Aman?

Tinta Media - Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta mempertanyakan sikap pemerintah yang masih merasa aman meski bunga utang yang harus dibayar nyaris mencapai 500 triliun pada 2024.
 
“Pemerintah mengatakan bahwa utang Indonesia aman meski bunga utangnya mencapai hampir 500 triliun. Benarkah?” tanyanya di kajian Politik & Ekonomi: Nyaris Tembus 500 triliun Bayar Bunga Utang, Kok Bisa? Melalui kanal Khilafah Channel Reborn, Sabtu (26/8/2023).

 Hatta mengulas, rasio debt to GDP kurang dari 60% sering dijadikan alasan pemerintah yang menunjukkan ekonomi aman. “Yang menjadi pertanyaan kenapa utang dibandingkan dengan GDP? Padahal kita tahu GDP itu bukan pendapatan negara,” kritiknya.

Menurutnya, jika negara berhutang maka utang itu hanya membebani pendapatan negara, bukan total produksi barang dan jasa dari banyak pihak.

“GDP adalah produksi barang dan jasa seluruh rakyat Indonesia. Jadi tidak tepat kalau mengambil komparasi total utang dibandingkan dengan GDP Indonesia,” simpulnya.

Seharusnya, ia menambahkan, yang dilakukan adalah membandingkan utang dengan penerimaan yang masuk ke kas negara. “Pendapatan negara itu 2.781 triliun, seharusnya dibandingkan dengan itu,” tukasnya.

Kedua, sebutnya, argumen lain dari pemerintah bahwa utang masih dianggap aman, karena digunakan untuk aktifitas produktif. Negara beralasan, utang untuk membangun infrastruktur agar menghasilkan produksi yang lebih banyak lagi.

“Pemerintah lupa, bahwa negara itu bukan entitas komersial. Kalau entitas komersial memang bicara profit, tapi kalau negara itu punya kewajiban melayani rakyat, sehingga akan bertabrakan kalau bicara profit,” ucapnya.

Karena negara menggunakan logika profit, lanjutnya, maka tidak heran fasilitas-fasilitas publik seperti bandara, jalan tol, dan lain-lain akan semakin mahal. “Jadi logika profit ini salah tempat,” tandasnya.

Argumen lain soal produktif ini, sebutnya, total dana infrastruktur sejak 2004 – 2024 diperkirakan sudah menghabiskan 4.400 triliun.

“Sudah belasan tahun infrastruktur dibangun, tapi kenapa tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia dalam bentuk beras murah misalnya? Ini beras naik, gula impor, kedelai impor, bahkan beras juga impor, garam impor.Lalu infrastruktur ini membangun apa? Mau berapa lama lagi agar utang tadi produktif? Apa harus menunggu 50 tahun lagi?” tanyanya heran.

Argumen ketiga, lanjutnya, Indonesia memiliki aset besar. Sri Mulyani sering mengulang-ulang jangan khawatir terhadap utang karena Indonesia punya aset besar.

“Audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2022, menyebut total aset pemerintah adalah 12.325 triliun sementara hutang hanya 7.800 triliun. Tapi mari kita lihat apa yang dimaksud aset itu?” terangnya.

Aset, sambungnya, memiliki dua komponen, pertama ekuitas dan kedua liabilitas. Liabilitas itu tidak lain dan tidak bukan adalah utang. “Jadi yang dimaksud dengan aset itu sebenarnya adalah utang itu sendiri atau ada utang di dalamnya,” tandasnya.

 Dari total aset yang 12.325 triliun,bebernya, 72.38 % nya adalah dalam bentuk liabilitas utang. ekuitasnya itu hanya 27,62 % . “Kalau kita menggunakan rumus dept to equity ratio 2,62 %, artinya 1 ekuitas itu berbanding dengan 2,62 utang. Itu sebenarnya bangkrut,” jelasnya.

Hatta juga membantah bahwa dana APBN habis untuk subsidi, sebab berdarkan belanja pemerintah menurut fungsinya, dari lima komponen yaitu untuk perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, agama, pendidikan dan perlindungan sosial itu hanya 618,4 triliun. Lebih kecil dibanding dengan untuk membayar utang dan bunga yang sebesar 1.286 triliun.

“Padahal lima komponen diatas sangat penting bagi rakyat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Sabtu, 12 Agustus 2023

Jika MPR Masih Ada, Minta Pertanggungjawaban Presiden Jokowi Atas Tambahan Utang Pemerintah 4511 Triliun Rupiah

Tinta Media - Presiden boleh menambah utang pemerintah berapapun jumlahnya, terserah presiden. UU mengatur batas maximum 3 persen GDP. Tapi pada saat darurat covid tidak ada batasan. Utang sebesar besarnya boleh. Sementara darurat akan ada terus. Bisa jadi dalam waktu dekat. 

Sah sah saja. Namun jika Majelis Permusyawratan Rakyat (MPR) masih ada maka tentu rakyat dapat meminta pertanggung jawaban presiden kemana uang uang hasil utang ini dibawa atau diangkut? 

Menurut data Bank Indonesia (BI) sekarang utang pemerintah dari komponen Surat Utang Negara (SUN) nilainya mengerikan yakni Rp. 4518 triliun. Padahal saat Jokowi naik ke tampuk kekuasaan sekitar November 2014 lalu SUN sebesar Rp. 1112 triliun. Naiknya berapa ini? Sebesar Rp. 3406 triliun atau naik 289 %. Belum pernah dalam sejarah Indonesia menambah utang segede ini dalam satu masa pemerintahan.

Utang pemerintah dari komponen utang luar negeri pemerintah bagaimana? Nambahnya juga tak kalah besar. Sekarang utang LN mencapai 203,4 miliar USD atau Rp. 3051 triliun rupiah. Tahun 2014 lalu 129 miliar USD atau naik 56,7 persen selama pemerintahan ini. Naik nya sangat besar yakni Rp. 1105 triliun. 

Nah sekarang utang pemerintah Jokowi yang harus ditanggung APBN ke depan totalnya mencapai Rp. 7569 triliun. Pie carane bayar? Apalagi kurs rupiah makin buruk. Sebelum Jokowi berkuasa kurs rata rata 8000 rupiah per USD, sekarang 15000 rupiah per USD. Tahun depan bisa 20000 rupiah per USD. Ingat Amerika lagi tarik uang 1,5 triliun dolar. Bisa gawat ini. 

Berapa tambahan utang dari dua komponen di atas selama masa pemerintahan Jokowi. Tidak main main tambahannya mencapai Rp. 4511 triliun. Ini pemerintahan setahun lagi dan bisa saja menambah lagi utang 1000 an triliun lagi. Nambah utang sih enak, bayarnya bagaimana? 

Kalau pemerintahan ini bubar begitu saja tahun depan. Bagaimana pemerintahan berikutnya membayar utang ini? Kalau pemerintahan sekarang tidak tanggung jawab atas penggunaanya. Kalau masih ada MPR tentu bisa dievaluasi ini uang dipake untuk apa? Bentuk pertanggung- jawaban presiden apa? Itu bisa menjadi pelajaran bagi pemerintahan ke depan. Jika utang ugal ugalan lagi maka MPR bisa memecatnya. Negara kita tidak kehilangan kewaspadaan jika nanti yang juga antek para rentenir global.

Oleh : Salamuddin Daeng
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)

Minggu, 11 Juni 2023

UIY: Utang Jadi Alat Penjajahan Model Baru

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) memandang, dalam dunia kapitalistik pinjaman utang menjadi alat penjajahan model baru.

"Dalam dunia kapitalistik ini hari, yang juga imperialistik dan kolonialistik, maka pinjaman itu menjadi alat untuk penjajahan model baru," ujarnya dalam program Fokus To The Point: Utang LN (Luar Negeri) Bertambah Rakyat Makin Gelisah? di kanal YouTube UIY Official, Kamis (8/8/2023).

Ia menuturkan, sekilas Indonesia nampak mandiri atau merdeka, tapi menurutnya, tidaklah sepenuhnya merdeka.

"Pasti ada pesan-pesan disetiap kabinet baru yang terkait dengan ekonomi dan industri," tuturnya.

Ia mengungkapkan, masa Soeharto dulu, Indonesia pernah ditekan oleh IMF,  melalui penandatanganan dokumen Letter of intent (Lol).

"Yang membawa kepada persoalan besar. Misalnya, di sana disebutkan liberalisasi di sektor keuangan, juga iberalisasi energi," ungkapnya.

Ia menambahkan, di dokumen itu, kabarnya juga disebutkan terkait komitmen Indonesia untuk tidak merubah mata uang rupiah ke mata uang lain.

"Bahkan juga disebutkan, bahwa Indonesia akan melaporkan setiap temuan emas," ungkapnya.

Ismail pun mempersoalkan, bagaimana bisa sebuah negara yang katanya berdaulat menandatangani sebuah perjanjian yang merugikan tersebut?

"Urusannya kita yang menemukan emas, masa lapor (ke pihak asing)," herannya.

Ia menjelaskan, itu karena mereka (IMF) mengetahui, bahwa mata uang yang kursnya betul-betul stabil dan kuat adalah emas.

"Dan mereka tidak ingin Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas tanpa mereka ketahui," jelasnya.

Menurutnya, pinjaman utang dalam dunia kapitalistik saat ini pasti mengandung kepentingan-kepentingan politik negara-negara donor. Dan itu sudah dibuktikan, seperti Maladewa yang menghadapi persoalan akibat utang yang diberikan Cina. Begitu juga beberapa negara yang lain.

"Itu kan bukti, bahwa utang itu tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan politik," pungkasnya. [] Muhar

Kamis, 08 Juni 2023

Skema Hutang Tersembunyi Pemerintah Berpotensi Gadaikan BUMN

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana  mengatakan, utang tersembunyi (hidden debt) pemerintah kepada Cina berpotensi menggadaikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

“Skema utang tersembunyi (hidden debt) ini, BUMN bisa (berpotensi) digadaikan dan masuk skema privatisasi proyek yang dikerjakan BUMN, makin komersil dan intervensi politik oleh kekuatan kreditur asing,” jelasnya dalam Aspirasi: BUMN Rentan Digadai Jokowi Karena Berhutang Sembunyi-Sembunyi? Ahad (5/6/2023) di kanal YouTube Justice Monitor. 

Ia mengungkapkan total utang pemerintah bukan hanya yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga beberapa utang BUMN. Belanja infrastruktur Presiden Jokowi lewat utang tersembunyi kepada pemerintah China itu bisa mengancam usaha BUMN dan APBN beresiko terbebani. 

"Hidden debt terjadi sejak tahun 2000 tetapi melonjak di era Presiden Joko Widodo pada tahun 2015. Diperkirakan saat ini nilai hidden debt Indonesia sebesar 17,8 miliar dollar Amerika Serikat. Nilai utang tersembunyi ini menambah besar hutang pemerintah yang tercatat dalam APBN yang saat ini mencapai 7.849 triliun lebih. Artinya total utang lebih besar dari yang nampak," ungkapnya. 

Ia menyatakan negara kapitalis menggelontorkan utang sama sekali bukan demi membantu, melainkan karena ada kemauannya. Hutang versi kapitalis adalah jebakan sekaligus pembungkaman, sehingga negara-negara debitur tidak mampu untuk melawan. 

"Sebaliknya mereka akan membebek, segala sesuatu yang diperintahkan oleh negara atau lembaga kreditur baik dari sisi kebijakan sistem politik ekonomi hingga budayanya. Hutang juga tidak ubahnya kebijakan yang disengaja dan dibiarkan untuk terus terjadi seolah semuanya sudah by desain hingga akhirnya negara debitur tidak mampu lagi untuk berkutik,” paparnya. 

Ia menyebutkan, utang adalah instrumen yang akan senantiasa membuat umat menderita. Dengan utang itu, negara-negara kapitalis akan menekan dan melakukan intervensi bahkan menduduki wilayah negeri-negeri Muslim tersebut. 

"Ini jelas mengancam kedaulatan negara yang bersangkutan termasuk juga kedaulatan negeri ini," imbuhnya. 

“Utang luar negeri tidaklah diberikan oleh negara-negara kapitalis kecuali dengan riba, padahal itu Jelas haram bagi umat Islam. Dengan demikian hukum syara' terhadap hutang luar negeri adalah haram. Jangan sampai kita terjebak oleh utang dan juga keharaman yang dilarang oleh Islam,” pungkasnya. [] Rohadianto

Minggu, 28 Mei 2023

IJM: Indonesia Harus Berani Hentikan Utang dan Investasi Asing

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengingatkan Indonesia agar memiliki keberanian untuk menghentikan utang dan investasi asing.

"Soal investasi, agar Indonesia itu tidak terjebak, tidak ingin bernasib sama seperti beberapa negara yang terjebak utang Cina, maka Indonesia harus memiliki keberanian menghentikan utang dan investasi asing,” dalam program aspirasi: Polemik! Wapres Terima Kunjungan Sekretaris Partai Komunis Fujian Cina, Ahad (14/5/2023) di kanal Youtube Justice Monitor.

Menurutnya, untuk menghentikan utang dan investasi asing ini, harus memiliki perlawanan dan perjuangan yang ideologis. "Bukan hanya sekedar pragmatis, bukan hanya menolak dan menghentikan investasi dari Cina, tapi menolak dan menghentikan juga investasi asing dan utang luar negeri dari para kapitalis barat," ujarnya. 

"Juga karena investasi dan utang itu adalah alat imperialisme dan alat penjajahan ekonomi,” tegasnya.

Derita Muslim Uighur 

Agung mencatat, di bawah rezim komunis Cina, saudara-saudari Muslim dan Muslimah Uighur tinggal di wilayah Turkistan Timur, Barat Laut China mengalami penderitaan.

"Mereka merupakan mayoritas dari populasinya yang berjumlah sekitar 26 juta bersama dengan etnis Han. Selama beberapa tahun ini wilayah ini berada di bawah pengawasan ketat, mulai dari kamera yang ada di mana-mana hingga gerbang keamanan di gedung-gedung, serta kehadiran militer yang meluas di jalan-jalan, pendataan paspor," ungkapnya.

Kemudian wanita muslim Uighur, lanjutnya, dipaksa menikahi pria Han. Pria yang dipaksa mencukur jenggot dan tidak dapat melakukan simbol-simbol agama Islam yang lain. "Singkatnya apa yang dilakukan oleh rezim komunis Cina terhadap Muslim Uighur tidak berakhir dengan tulisan saja,” bebernya.

Meskipun demikian, Agung mengkritisi banyak pemerintah di Negara-Negara Muslim yang justru malah terus melanjutkan hubungan mereka dengan rezim komunis Cina yang menganiaya dan menyiksa Umat Islam. 

"Harusnya pemerintah Islam itu menunjukkan kepedulian dan pembelaan serius dengan apa yang dilakukan rezim China terhadap muslim Uighur,” pungkasnya. [] Abi Bahrain
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab