Kekuasaan Lebih Diutamakan dari Urusan Rakyat?
Tinta Media - Partai politik peserta pemilu serentak 2024 resmi mendaftarkan bakal calon anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei lalu. Dari ribuan nama dan beragam latar belakang yang didaftarkan, banyak yang berstatus sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Hal ini menyebabkan banyaknya pemimpin daerah yang mengundurkan diri dari jabatannya.
Selain kepala daerah, pemilu ini juga diramaikan dari kalangan pejabat negara yang masih berstatus sebagai menteri, wakil menteri, atau kepala badan yang dicalonkan oleh partainya untuk duduk di kursi legislatif. Bahkan, dari kalangan artis juga ramai didaftarkan oleh partai politik untuk ikut pemilu.
Hiruk-pikuk pencalonan calon legislatif (caleg) menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan sangat menggiurkan, hingga rela meninggalkan amanah yang telah diemban. Mundurnya para pemimpin daerah maupun menteri dari amanahnya ini, membuat rakyat justru dirugikan.
Seperti yang disuarakan oleh Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbo Laksono, mundurnya para kepala daerah merugikan bagi masyarakat. Menurutnya, para kepala daerah yang mundur akan digantikan pelaksana tugas (Plt). Akan tetapi, Plt tidak bisa mengambil kebijakan strategis.
Meski potensi kerugian bagi rakyat sangat besar, mundurnya pemimpin daerah seperti ini ternyata legal menurut undang-undang. Menurut Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 ayat (1) huruf k Undang-Undang Pemilu, kepala atau wakil kepala daerah yang mengikuti pemilu harus mundur dari jabatan mereka.
Padahal, seorang kepala daerah adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat untuk menjalankan kepemimpinan dalam waktu yang sudah ditentukan. Artinya, mereka dipercaya oleh rakyat untuk mengatur dan mengurusi rakyat. Oleh karenanya, seorang kepala daerah seharusnya memenuhi tanggung jawabnya hingga waktunya selesai. Namun sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku dalam sistem saat ini. Melalui undang-undang yang ada, terbuka jalan bagi para pemimpin daerah untuk meninggalkan jabatan.
Inilah pemilu legislatif yang diwarnai dengan aksi para kepala maupun wakil kepala daerah yang mundur dari jabatan karena maju pemilu legislatif (pileg). Sementara, calon legislatif (caleg) dari kalangan artis digunakan parpol sebagai pendongkrak suara.
Sebagaimana yang disampaikan oleh pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, pencalonan para selebritas menjadi anggota legislatif adalah cara mudah partai politik untuk mendongkrak suara atau kursi di parlemen. Padahal menurutnya, mereka tidak cukup menonjol dalam mengemukakan gagasan di kursi parlemen.
Fakta perebutan kekuasaan seperti yang terjadi hari ini adalah merupakan gambaran kekuasaan dalam sistem demokrasi-sekulerisme yang berkuasa saat ini. Sistem demokrasi yang berasaskan sekulerisme menjadikan manusia memiliki kedaulatan dalam membuat hukum, padahal manusia notabenya sangat subjektif. Ini terbukti dengan undang-undang yang mengatur kebolehan pemimpin daerah mundur dari jabatannya demi mengikuti pileg.
Tak hanya itu, akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat makna kekuasaan diartikan sebagai ajang memperkaya diri dan kelompok saja. Maka, yang terjadi adalah mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara mayoritas rakyat. Hasilnya, kualitas pemimpin tidaklah diperhitungkan, tetapi eksistensi caleg lebih diutamakan. Maka, tidak diragukan lagi kalangan artis bisa masuk ke parlemen walaupun kapasitas mereka belum sampai tataran level negarawan.
Ini sangat berbeda dengan gambaran pejabat yang dilahirkan oleh sistem Islam. Sebagai negara Islam yang menerapkan syariat secara kaffah, standar mafahim (pemahaman), maqayis (tolak ukur) dan qana'ah (penerimaan) masyarakat akan disandarkan pada syariat Islam, termasuk cara pandang terhadap amanah kekuasaan. Dalam Islam, amanat kekuasaan bukan hanya sekadar urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari)
Selain hadis di atas, juga terdapat hadis lainnya yang menegaskan jika seorang pemimpin yang lalai dalam tugasnya, berkhianat dalam amanahnya, tidak mengurus rakyat dengan baik dan justru sibuk mengurus kepentingan pribadi, maka Allah mengharamkan surga baginya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat, mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Adapun makna berkhianat dalam Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan hal ini, yakni pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka, dipandang telah mengkhianati umat.”
Terlebih, kekuasaan di dalam Islam adalah sebagai metode (thariqah) untuk menegakkan, memelihara, dan mengemban urusan agama. Karena itu, amanah dalam Islam bukan sesuatu yang bisa dipermainkan sesuka hati sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Amanah kekuasaan adalah amanah yang berat. Paradigma inilah yang sangat dipahami oleh para pemimpin (Khalifah) dalam Islam. Sejarah mencatat betapa luar biasanya kepemimpinan para Khalifah terdahulu. Seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau mematikan lentera yang merupakan fasilitas negara ketika sang anak ingin berbincang dengannya bukan tentang masalah umat.
Dalam Tarikh al-Islam juz II halaman 388 dan Tahdzin at Tahdzib juz XII halaman 267 diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau bahkan tidak segan-segan merampas harta para pejabat yang diduga berasal dari jalan yang tidak benar.
Seperti inilah gambaran kekuasaan dan para pemimpin yang lahir dalam sistem Islam. Para pemimpin dalam Islam benar-benar memahami amanah kekuasaan sebagaimana yang diperintahkan syariat Islam.
Hasilnya, dapat dilihat selama 1300 tahun kepemimpinan Islam berdiri, para Khalifah senantiasa hadir untuk mengurusi umat dan kepentingan agama Islam bukan untuk yang lain.
Oleh: Gusti Nurhizaziah
Aktivis Muslimah