Tinta Media - Para guru honorer memiliki harapan besar agar pemerintah bisa memberikan perhatian bagi mereka. Paling tidak, sebuah penghargaan agar guru honorer merasa diakui dan betul-betul memiliki tanda jasa dari negaranya.
Pemerintah seharusnya sadar bahwa harapan para guru honorer agar diangkat dan menjadi prioritas itu sangatlah besar. Pemerintah mestinya melihat langsung bahwa di lapangan masih banyak guru-guru sepuh yang ingin mengubah nasibnya. Banyak dari mereka yang memaksakan diri ikut dalam tes pegawai pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), demi memperbaiki taraf hidup yang memprihatinkan.
Tidak hanya makan hati, perjuangan guru honorer pun harus makan waktu dan makan sabar. Pil pahit berlabel janji harus ditelan mentah-mentah tanpa penawarnya.
Inilah yang dialami Desti Sukmawati (48), guru honorer di salah satu Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dia sudah mengabdi selama 14 tahun menjadi guru honorer.
Desti menerima honor berawal dari Rp25.000, lalu naik menjadi Rp75.000, kemudian menjadi Rp100.000, lalu naik lagi menjadi Rp150.000. Semenjak adanya dana BOS, honornya kini menjadi Rp1.115.000,-/ bulan. (Kompas.com)
Karut-marut nasib guru honorer sudah terjadi sejak lama. Penghapusan status honorer tidaklah manusiawi. Sebelumnya, melalui PP 56 tahun 2012, pemerintah memberikan kesempatan terakhir pada Tenaga Honorer Kategori 2 (K2), termasuk guru di dalamnya untuk melakukan seleksi pada tahun 2013. Bagi eks THK2 yang tidak memenuhi persyaratan dalam seleksi CPNS 2018, mereka dapat mengikuti seleksi sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Yang tidak lolos keduanya akan dilakukan pendekatan kesejahteraan melalui UMR oleh pemda dengan penambahan transfer keuangan dari pusat untuk peningkatan kesejahteraan guru honorer.
Faktanya, semua solusi tersebut hanya di atas kertas. Persyaratan yang ketat dan begitu menyulitkan, mulai dari usia sampai kuota yang terbatas membuat jumlah yang terserap sangat sedikit.
Banyaknya pemerintah daerah yang kesulitan menanggung beban pendanaan, tidak mampu memberikan jaminan bagi kesejahteraan guru. Adanya wacana penghapusan tenaga guru honorer, bisa memungkinkan hilangnya lapangan kerja yang selama ini didapat oleh guru honorer.
Status kepegawaian yang tidak jelas, menyebabkan kesejahteraan mereka tidak terjamin dan bisa diberhentikan kapan pun tanpa ada jaminan. Status guru honorer seperti dilematis, sebab undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menerapkan syarat Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk bisa disebut sebagai pendidik. Padahal, beban pekerjaan yang mereka emban sangat berat, bahkan terkadang melebihi para guru PNS. Pantas saja jika upahnya rendah dan sering telat hingga berbulan-bulan. Bahkan, pembayaran upah guru honorer berasal dari 20% dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang cair pertiga bulan.
Sistem kepegawaian yang seperti ini, merupakan gambaran tentang kepemimpinan negeri ini dalam mengurusi rakyat. Otonomi daerah yang dijalankan di Indonesia, semakin menunjukkan kelemahan sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan. Sistem yang menjadikan materi sebagai orientasi atas segala kebijakan ini, menjadikan keberadaan negara bagaikan instansi perusahaaan yang hanya mengejar keuntungan semata.
Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Islam. Konsep ri'ayah (pengaturan urusan) rakyat sebagai sentral dari orientasi penyelenggaraan kehidupan bernegara, menjadikan negara berupaya agar kebutuhan rakyat terpenuhi secara maksimal, termasuk para guru.
Ketika Islam diterapkan, aspek pendidikan mendapat perhatian besar dan sejalan dengan syariat Islam yang menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban. Islam pun menempatkan ilmu, orang yang berilmu, dan mempelajari ilmu ada dalam posisi mulia, sehingga hukumnya wajib. Bahkan, majelis ilmu diibaratkan sebagai taman-taman surga. Para penuntut ilmu diberi jaminan doa terbaik dari malaikat dan seluruh makhluk yang ada di muka bumi.
Konsep inilah yang memengaruhi visi negara dalam berbagai kebijakan pendidikan. Negara Islam (khilafah) akan memberikan perhatian maksimal dalam mewujudkan sistem pendidikan bagi rakyat dan semua yang terlibat di dalamnya, mulai dari pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, pengadaan aktivitas riset dan penelitian dalam upaya pengembangan ilmu dan teknologi, juga ketersediaan para guru yang mumpuni, tanpa adanya pembagian guru PNS atau guru honorer. Hal ini menjadikan keberadaan dana pendidikan yang disediakan cukup besar, apalagi layanan pendidikan ini gratis bagi seluruh rakyat, dan upah para gurunya pun fantastis.
Tercatat saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab, gaji guru setingkat TK sebesar 15 dinar emas per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas).
Para guru dan ulama yang berhasil menyusun kitab ajaran, diapreasi dengan emas seberat buku yang diterbitkan. Pada masa Khilafah Abbasiyah, Ibnu Duriat digaji 50 dinar per bulan oleh al-Muqtadir yang jika dikonversikan ke rupiah maka gaji guru pada masa kekhilafahan sekitar 136 juta.
Hal ini dapat dilakukan karena Khilafah menerapkan sistem Islam secara kaffah, yang menjadikan politik pendidikan Islam tegak kokoh. Sistem ekonomi Islam yang kuat akan mendukung dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, yang diambil dari dana pos kepemilikan umum Baitul Mal, yang bersumber dari pengelolaan SDA secara mandiri tanpa intervensi asing.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media