Tinta Media: Ukraina
Tampilkan postingan dengan label Ukraina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ukraina. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2022

Apa Hubungan Krisis Ukraina dan Rusia dengan Food Crisis? Begini Penjelasannya...

Tinta Media - Analis Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD), Ustaz Fajar Kurniawan menjelaskan kaitan antara krisis Ukraina dan Rusia dengan krisis pangan.

"Kalau kaitannya kita ingin mengulas, apa sebenarnya hubungannya atau korelasinya krisis Ukraina dan Rusia terkait dengan food crisis dan juga mungkin energy crisis," ujarnya dalam acara Majelis al-Buhuts al-Islamiyah: Krisis Ukraina-Rusia, Resesi Amerika, Momentum Tegaknya Khilafah Islamiyah, Kamis (4/8/2022), di Kanal Youtube Ahmad Khozinudin Channel.

Menurutnya, ada tiga hal yang harus dipahami dalam kaitan krisis Ukraina-Rusia dengan food crisis, 

Pertama, perlu dipahami bersama, kalau dalam konteks pangan tadi, pasokan pangan global, Ukraina ini dan Rusia ini adalah dua negara yang punya produk-produk yang sangat penting bagi dunia.

"Katakanlah, mungkin yang pertama gandum. Ukraina dan Rusia ini, menguasai hampir sepertiga pasokan gandum dunia. Ukraina 9% dan Rusia itu 18%,"terangnya. Dan, lanjutnya, ketika perang, maka pasokan gandum ini menjadi terhambat.

Kemudian yang kedua, kedua negara itu juga menguasai hampir seperempat pasokan barley. "Barley ini biji-bijian juga sereal, juga hampir mirip dengan gandum, kurang lebih 23-24%," selanya. 

Kemudian yang ketiga, lanjut Fajar, kedua negara ini juga pemasok hampir 16% pasokan jagung dunia. Sehingga kita bisa melihat betapa memang dunia ini sangat tergantung dengan pasokan pangan, bahan-bahan pangan, terutama gandum, barley, dan jagung dari kedua negara tersebut.

Ketergantungan 

Fajar menjelaskan bahwa Indonesia sendiri ketergantungannya terhadap impor gandum dari Ukraina itu terus meningkat.

"Kalau data yang saya dapatkan, kalau pada tahun 2018, impor gandum kita dari Ukraina itu kurang lebih 2,4 juta ton, ya," selanya.

Kemudian, lanjutnya, menjadi 2,99 juta ton pada tahun 2019. Kemudian menjadi 2,96 juta ton pada tahun 2020.

"Nah, di tahun 2021 ini, impor gandum kita dari Ukraina itu menembus angka 3,07 juta ton," jelasnya. 

"Jadi, ini data dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APINDO), jadi ini adalah angka yang signifikan," tandasnya.

Nilai impor

Fajar menilai, nilai impornya pun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kalau pada tahun 2018 itu nilai impornya adalah US$576 juta, kemudian pada tahun 2019 menjadi US$696 juta, di tahun 2020 itu US$705 juta. Nah, sambungnya, di tahun 2021 kemarin, nilai impor kita dari Ukraina itu menjadi US$843 juta.

"Ini sebuah nilai perdagangan yang sangat signifikan," selanya.

Dan dari keseluruhan gandum yang diimpor Indonesia yang kurang lebih 10 juta ton, Fajar menilai berarti sepertiganya itu dari Ukraina. 

"Memang yang paling besar masih dari Australia, 4,6. Tapi itu pun tahun 2021 kemarin ya," imbuhnya.

Sebelumnya, sedikit saja negeri ini mengimpor gandum dari Australia. Lebih banyak dari Kanada, kemudian Argentina, dan Amerika Serikat. Tapi, sela Fajar, di tahun 2021 impor gandum dari Australia itu sangat signifikan, menempati yang pertama di 4,6 juta ton per tahun, kemudian Ukraina 3,07 juta ton per tahun.

Food Crisis

"Nah, dari situlah kemudian tadi,  kalau kemudian perang ini terus berkelanjutan, maka yang dikhawatirkan kemudian akan mengakibatkan food crisis. Karena apa?, karena pasokan gandum dari Ukraina dan Rusia yang kurang lebih sepertiga pasokan dunia itu tadi, terganggu pengapalannya, pengirimannya kepada konsumen. Maka memaksa negara-negara itu saling  berebut pasokan gandum yang tersisa, diperebutkan oleh negara-negara tadi itu," paparnya.

Ia memandang, tentu negara yang bisa menawarkan harga yang lebih tinggi, dia yang akan memperoleh kesempatan untuk bisa mengimpor gandum atau memperebutkan gandum di pasaran dunia tadi. 

"Sementara negara-negara yang miskin, mungkin negara-negara di Afrika Utara dan beberapa negara Timur Tengah itu, yang selama ini tingkat ketergantungan impor gandumnya dari Ukraina itu sangat tinggi, maka itu yang akan terjerembab ke dalam krisis pangan, ya. Dan tentu pada akhirnya akan jatuh ke dalam kemiskinan dan kelaparan," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Senin, 08 Agustus 2022

Pengamat: Rusia Serang Ukraina sebagai Respon Upaya Perluasan NATO di Eropa Timur

Tinta Media - Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana mengungkapkan bahwa serangan Rusia terhadap Ukraina merupakan respon Rusia atas upaya perluasan NATO ke negara-negara Eropa Timur.

"Kita bisa menyimpulkan bahwa memang benar, serangan Rusia terhadap Ukraina adalah bagaimana respon Rusia terhadap upaya perluasan NATO ke negara-negara Eropa Timur," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Peta Ancaman Geopolitik Global, Sabtu (06/08/2022) di Kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, saat ini presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dia menunjukkan keinginan kuat untuk turut bergabung terhadap NATO.

"Kita harus bisa baca bahwa posisi Ukraina ini adalah negara yang berbatasan langsung dengan Rusia. Tidak hanya berbatasan langsung, karena di atas kan Latvia itu sudah menjadi anggota NATO. Tapi Ukraina beda dengan Latvia, dia negara yang secara kapabilitas negara, bisa menjadi ancaman secara langsung terhadap Rusia," terangnya.

Ia menjelaskan bahwa luas wilayah Ukraina itu cukup besar, jumlah penduduknya banyak, juga keberadaan sumber daya alamnya cukup banyak. Terlebih sama-sama akan menjadi ancaman Rusia untuk bisa akses ke Laut Hitam itu kan masuk ke Laut Mediterania.

"Makanya kemudian menjadi harga mati bagi Rusia agar Ukraina ini tidak bergabung dengan NATO," jelasnya.

Dan itu, lanjutnya, harus dicegah dengan segala cara. "Bahkan sampai yang kita saksikan sendiri terjadilah serangan Rusia terhadap Ukraina," ungkapnya. 

Ia menilai, serangan Rusia atas Ukraina, adalah serangan yang terukur, tidak dalam rangka mengambil alih Ukraina, walaupun itu bisa dilakukan oleh Rusia.

"Tetapi terukur dalam arti memberikan warning buat NATO, buat Barat, buat Amerika, bahwa Ukraina itu menjadi harga mati untuk tidak masuk menjadi anggota NATO," simpulnya.

Tarik Ulur

Budi memandang ada tarik ulur, baik secara diplomasi atau mungkin juga bagaimana perkembangan-perkembangan situasi politik.

"Kita tidak tahu bagaimana nanti akhirnya. Kita masih tunggu bagaimana akhir dari konflik Rusia dengan Ukraina ini. Dan kita tahu bahwa di balik NATO itu, ya Amerika Serikat," ungkapnya.

Karena, sambungnya, Amerikalah yang mendirikan NATO pasca Perang Dunia kedua, dan Amerikalah yang menjadikan NATO sebagai upaya mencengkeram Eropa dalam konteks hegemoni keamanan.

"Maka, kalau ditanyakan dibalik konflik Ukraina adalah NATO dan Amerika, ya itu benar. Seperti itu," tandasnya. 

Karena, lanjut Budi, Amerika harus tetap menjaga hegemoninya di Eropa dan lebih luas di dunia. "NATO itu juga berperan untuk menjadi alat Amerika untuk mewujudkan upayanya tersebut," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Selasa, 12 Juli 2022

Mengevaluasi Misi Jokowi Damaikan Ukraina-Rusia



Tinta Media - Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Ustaz Farid Wadjdi mempertanyakan misi dari kunjungan presiden Jokowi ke Ukraina.

"Apa misi dari kunjungan presiden Jokowi ini?" tuturnya dalam acara Menjadi Politisi Islam: Kunjungan Jokowi ke Ukraina, Ada Apa? Senin (27/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, kunjungan ini tidak bisa dilepaskan dari kapasitas Indonesia sebagai pemegang Presidensi G-20 atau sebagai tuan rumah. "Presiden Jokowi berencana mendorong negara-negara G-7 untuk mengampanyekan perdamaian di Ukraina. Pesan yang akan dibawa oleh Presiden Jokowi adalah pesan perdamaian untuk menghentikan perang (krisis di Ukraina)," ungkapnya.

"Pertanyaan mendasarnya itu adalah sejauh mana kapasitas kemampuan Indonesia atau Presiden Jokowi untuk menghentikan krisis di Ukraina ini atau membawa perdamaian bagi krisis Ukraina?" tanyanya.

Kapasitas dan Kapabilitas

Ustaz Farid mengatakan, kemampuan negara untuk mempengaruhi negara lain atau mempengaruhi konstelasi politik internasional, termasuk menyerukan perang atau menghentikan perang atau menyerukan perdamaian, itu tidak bisa dilepaskan dari kapasitas dan kemampuan negara untuk mempengaruhi negara lain dan mempengaruhi konstelasi politik internasional.

"Jadi, kalau negara itu tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mempengaruhi negara lain dan mempengaruhi konstelasi politik International, tentu negara itu akan sulit untuk menghentikan perang atau mengajak perdamaian. Ini tentu sangat sulit," terangnya.

Menurutnya, kemampuan negara untuk mempengaruhi konstelasi politik internasional sangat tergantung kepada profil negara itu. "Apakah negara itu memenuhi apa yang disebut negara utama atau daulatul ula? Jadi, karena negara utama inilah yang secara signifikan bisa mempengaruhi negara lain, bisa mempengaruhi konstelasi politik internasional," ungkapnya.

"Negara utama ini misalkan, saat ini adalah negara Amerika Serikat secara global di dunia," ujarnya.

Ustaz Farid menilai, Amerika Serikat bisa menentukan konstelasi politik International. Menurutnya, hampir semua krisis politik dunia  yang penting tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika dan pengaruh Amerika di dalamnya.

"Krisis di Timur Tengah misalkan, pasti ada kepentingan, pengaruh, dan peran Amerika," ujarnya.

Krisis di Pasifik misalkan. Asia Pacifik itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran dan pengaruh Amerika, karena Amerikalah yang saat ini sebagai negara utama atau ad daulah al ula.

Ia menilai, negara itu menjadi negara utama tidak bisa dilepaskan dari kapabilitas di dalam negerinya.

"Pertama, bahwa negara itu biasanya negara yang mengusung ideologi yang menyebarluaskan ideologinya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, ideologi ini sangat penting untuk membuat negara-negara lain tunduk, terikat, ataupun terpengaruh," terangnya.

Maka, kata Ustaz Farid, tidak mengherankan politik luar negeri Amerika secara umum adalah bagaimana menyebarluaskan ideologi kapitalisme di seluruh penjuru dunia dan memastikan negara-negara di dunia ini tunduk pada ideologi kapitalisme. Karena, semakin banyak negara-negara lain yang tunduk pada ideologi kapitalisme, berarti negara itu berada di bawah pengaruh Amerika, sebagai negara pengusung utamanya.

"Karena itu, syarat menjadi negara utama adalah biasanya dia mengusung ideologi yang sifatnya global, ideologi yang sifatnya mendunia" jelasnya.

Ia menegaskan, negara-negara yang tidak mengusung ideologi yang sifatnya global atau mendunia, sulit untuk menjadi negara utama di dunia.

"Soviet, misalkan, kenapa pernah menjadi negara utama di dunia? Karena dia mengusung ideologi komunisme yang sifatnya global. Membuat negara-negara lain berada dalam pengaruhnya, karena mengusung ideologi yang sama," terangnya.

Ustaz Farid menilai, sama halnya dengan umat Islam. Umat Islam pernah mempengaruhi dunia, karena memiliki negara adidaya, al-Khilafah (al-Khilafah al-Islamiyah 'ala minhaji an-nubuwwah). Negara adidaya yang menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Mulai dari satu negara utama di Madinah, kemudian menyebar ke seluruh jazirah Arab , kemudian menyebar ke seluruh Afrika.

"Hingga bisa disebut setengah dunia itu, tidak bisa dilepaskan karena ada negara yang mengusung, menyebarluaskan ideologi Islam," ungkapnya.

Kekuatan Ekonomi

Namun, ujar Ustaz Farid, ideologi bukan satu-satunya yang membuat negara itu menjadi negara utama. Kemampuan ekonomi misalkan, juga sangat menentukan.

Menurutnya, kemampuan ekonomi sangat dipengaruhi oleh sumber daya alam yang dimiliki ataupun kontrolnya terhadap sumber alam dunia.

"Jadi, mungkin dia tidak memiliki secara langsung sumber alam tersebut, tapi dia memiliki pengaruh dan kendali atau kontrol terhadap sumber alam di dunia. Maka, dia juga akan bisa memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Selasa, 05 Juli 2022

FIWS: Ukraina Menjadi Obyek Kepentingan Negara-Negara Besar

Tinta Media - Merespon krisis Ukraina-Rusia, Direktur Forum on Islamic World Studeis (FIWS) Farid Wadjdi menilai, Ukraina menjadi obyek kepentingan negara-negara besar.

“Dalam krisis ini, Ukraina sebenarnya menjadi obyek kepentingan dari negara-negara besar yaitu Rusia, Amerika dan Eropa,” tuturnya dalam Kabar Petang: Krisis Ukraina Pembuka Perang Dunia ke-3? Rabu (29/6/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
 
Menurut Farid, ketiga negara besar tersebut kini mulai memikirkan bagaimana cara paling efektif untuk menghentikan krisis, karena krisis ini telah menyedot energi dari negara-negara yang terlibat di dalamnya.
 
“Eropa misalkan, harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan bantuan kepada Ukraina. Di sisi lain, Eropa selama ini mengandalkan gas dari Rusia. Ini menjadi problem tersendiri bagi Eropa kalau krisis ini berkepanjangan,” ulasnya.
 
Demikian pun bagi Amerika Serikat, lanjutnya, Amerika Serikat telah memberikan bantuan dana cukup besar ke Ukraina, sebagaimana yang disampaikan juru bicara Gedung Putih, dengan pengiriman terbaru ini berarti kontribusi Amerika Serikat untuk militer Ukraina itu telah mencapai sekitar 6,1 miliar US$. “Ini tentu suatu beban yang cukup berat bagi Amerika Serikat,” imbuhnya.
 
Farid mengatakan, krisis Ukraina ini juga berdampak besar pada ekonomi internasional mengingat  Rusia memiliki kapasitas ekonomi yang  cukup signifikan di dunia terutama terkait dengan tambang, gas, dan juga perdagangan.
 
“Demikian halnya dengan Ukraina. Kerugian Ukraina cukup signifikan sebagaimana dikatakan oleh Presiden Ukraina yang mengakui bahwa Rusia saat sekarang ini menguasai sekitar 20% wilayah negaranya. Jadi, Ukraina tentu dalam kondisi yang sangat tertekan. Praktis ekonomi mereka kalaupun tidak lumpuh  pasti akan melambat, mengingat salah satu andalan Ukraina ekspor gandum. Dengan kondisi perang seperti ini  tentu tidak mudah untuk melakukan produksi gandum, apalagi mengekspornya, ke dunia lain. Ini tentu sangatlah menyulitkan Ukraina,” terangnya.
 
Rusia, lanjut Farid,  kalau berkepanjangan terlibat dalam perang ini, tentu akan menyedot  energi mereka. Apalagi Rusia memiliki pengalaman pahit terkait dengan kondisi perang  dingin yang menyebabkan negara Soviet  bubar.
 
Win-Win Solution

Melihat kondisi di atas, Farid menduga akan terjadi win-win solution. “Ada beberapa wilayah Ukraina yang diberikan kepada Rusia. Demikian juga Ukraina tetap berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka, tidak  benar-benar dicaplok Rusia,” prediksinya.
 
Dengan adanya win-win solution, Farid menilai ini merupakan upaya mereka untuk menghindari  peristiwa seperti perang dunia kedua  dan perang dunia pertama. “Saya kira  Eropa tidak akan mau  krisis Ukraina ini akan berakhir seperti  perang dunia pertama atau perang dunia kedua,” tukasnya.
 
“Amerika Serikat sendiri melihat Ukraina bukan suatu harga mati, karena wilayah Ukraina jauh dari wilayah Amerika. Amerika  jika sampai batas yang menguntungkan mereka telah tercapai tidak masalah” jelasnya.

Berhasil
 
Terkait dampak perang terhadap tatanan politik regional maupun internasional Farid menyoroti bahwa kalau target masing-masing pihak sudah tercapai (meski tidak sepenuhnya) sudah dianggap sebagai keberhasilan.

Menurutnya, target Rusia memposisikan Ukraina itu tetap menjadi wilayah strategis Rusia sehingga Ukraina harus mereka kendalikan. “Kalau solusinya itu  memberikan sebagian wilayah Ukraina kepada Rusia, demikian juga ada kesepakatan bahwa Ukraina tidak akan masuk ke NATO, sementara sejak awal  Amerika dan Eropa mengatakan tidak akan terlibat perang secara terbuka dan berhadap-hadapan  dengan Rusia. Jadi sampai batas seperti itu Rusia mungkin akan mencukupkan target mereka dalam krisis ini,” ulasnya.
 
“Sementara target Amerika mempertahankan eksistensi  NATO sejauh ini telah berhasil (dalam perspektif Amerika), untuk mempertahankan NATO, Amerika punya peran strategis di sana,” tambahnya.
 
Demikian juga, lanjutnya, target Amerika menghentikan hubungan ekonomi yang erat  antara Rusia dan Eropa terkait dengan  ekspor gas dari Rusia bisa disebut berhasil.
 
Farid mengatakan yang justru benar-benar dirugikan adalah Ukraina. “Ya itulah resiko sebagai negara kecil, negara yang bergantung kepada negara-negara besar,” tukasnya.
 
Negara Besar
 
Dari krisis Ukraina, Farid menegaskan bahwa kalau negeri-negeri Islam ingin menjadi negara yang berpengaruh harus menjadi negara besar bukan negara pengekor, karena kalau negara pengekor kebijakan-kebijakannya tidak sepenuhnya untuk kepentingan negara itu tapi lebih kepada kepentingan negara tuannya.
 
“Karena itu kalau umat Islam ingin memiliki pengaruh dalam konstelasi politik internasional umat Islam harus memiliki negara besar (ad-daulatul kubro) yang nanti akan mempengaruhi negara utama. Hanya dengan itulah umat Islam akan memiliki peran  besar dalam dunia internasional,” yakinnya.
 
Farid menyayangkan, negara besar itu sudah tidak ada di dunia Islam setelah diruntuhkannya khilafah Islam pada 1924. “Umat Islam tidak lagi memiliki negara yang  merepresentasikan ideologi Islam, merepresentasikan visi Islam, dan merepresentasikan kepentingan umat Islam,” sesalnya.
 
“Umat Islam terpecah belah menjadi negara-negara  bangsa (nation state) yang diadu domba, lemah dan tak berdaya, dan dikendalikan oleh  negara-negara besar.  Maka tidak ada ceritanya  dunia Islam mempengaruhi konstelasi  politik internasional,” tandasnya.
 
Farid berharap agar dunia Islam memiliki negara sendiri yang independen, dengan basis Islam yang jelas, visi  Islam yang jelas, dan mewakili kepentingan-kepentingan umat Islam.
 
“Bukan seperti sekarang, negeri-negeri Islam dipimpin oleh para penguasa-penguasa yang  hanya sekedar untuk kepentingan elit mereka sendiri, oligarki mereka, dan untuk melayani kepentingan  negara-negara tuan-tuan mereka.  Tidak ada sama sekali kepentingannya dengan kemaslahatan umat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Hubungan Luar Negeri Indonesia di Tengah Lawatan Jokowi ke Rusia-Ukraina




Tinta Media - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), telah melakukan lawatan kedua negara yang sedang konflik senjata yang masih berlangsung hingga kini, Rusia versus Ukraina. Kunjungan Jokowi yang sesungguhnya mengantar undangan hadir ke pertemuan G20 kepada kedua kepala Negara, Vladimir Putin, Presiden Rusia dan Volodmyr Zelensky, Presiden Ukraina, oleh para pendengung “Joko Mania” dicitrakan seolah-olah Jokowi sedang tampil sebagai juru runding perdamaian antara dua negara yang sedang konflik di belahan Benua Asia Tengah. 

Andaikata Jokowi memang sahih pemberitaan sebagai juru runding perdamaian, sembari membawa undang hadir pertemuan G20. Selanjutnya, penting untuk disoal seputar posisi Indonesia dalam konteks hubungan luar negeri dengan mengkaitkan seberapa efektif posisi negara Indonesia untuk menstabilisasikan kawasan Asia Tengah yang kini dirundung konflik bersenjata Rusia versus Ukraina.

Indonesia dalam konstitusinya memang telah menisbatkan diri sebagai negara yang mengambil fatsun “politik bebas aktif” dalam dinamika hubungan internasional, tapi yang harus digarisbawahi dalam realitas politik internasional negara-negara, meminjam konsep Sheikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab bertajuk “mafahim siyasi”, bahwa hubungan luar negeri sangat terkait dengan status politik sebuah negara. 

Sheikh Taqiyuddin mengkategorikan status politik negara dalam realitas hubungan luar negeri ke dalam empat kategori: Negara Adidaya, Negara Independent, Negara Satelit, dan Negara Pengekor. Untuk negara adidaya saat ini, satu-satunya masih dipegang oleh Amerika Serikat, sebagai negara yang menjadi pengendali politik antar bangsa sekaligus negara yang mengemban ideologi tertentu, yaitu ideologi kapitalisme ke semua negara belahan dunia saat ini. Negara independen adalah negara-negara yang memiliki kemandirian kuat untuk tidak diintervensi soal-soal dalam negerinya, semisal masalah ekonomi, politik, dan moneter, dan lain-lain. Contoh negara independen: Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Jepang. Israel dan Singapura adalah negara satelit karena menjadi perpanjangan tangan negara adidaya untuk melakukan intervensi politik ke negara atau kawasan tertentu.

Nyaris paling tidak menguntungkan, adalah negara pengekor, disebut demikian karena status politik negara ini sangat tergantung atau dipengaruhi oleh negara lain dalam banyak soal sperti ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan. Negara-negara pengekor, sangat banyak di belahan dunia ini. Hampir semua negeri Muslim adalah negara pengekor. Indonesia, misalnya, masuk kategori negara pengekor. Hampir semua kebijakan ekonomi dan politik termasuk penguasaan sumber daya alam, hatta produk hukum dipengaruhi kebijakan negara lain. Indonesia saat ini, misalnya dari segi politik ekonomi nyaris tergantung kepada Cina sebab negeri ini tergantung hutang dengan negeri Cina. Nyaris semua kepemilikan sumber daya alam Indonesia dialihkonsesikan kepada perusahaan-perusahaan besar asal Cina.

Posisi Indonesia, sebagai negara pengekor, hampir dipastikan peran politik Indonesia dalam posisi perunding mendamaikan konflik Rusia-Ukraina, nyaris nihil alias tidak berarti apa-apa. Kunjungan Jokowi dalam lawatannya itu, justru dijadikan sebagai momentum politik dua kepala negara baik Vladimir Putin maupun Volodmyr Zelensky, untuk mencari simpati rakyat Indonesia. Bagi Putin, hendak memberi pesan kepada Jokowi bahwa invasinya ke Ukraina dapat dibenarkan mengingat secara geopolitik Ukraina adalah daerah vital yang dapat mengancam keamanan geografis Rusia. Sedangkan bagi Zelensky, juga mencari simpati kepada Indonesia dengan dalih sedang dizalimi oleh Rusia. 

Posisi realitas politik internasional Indonesia demikian, tepat kata Jerry Massie bahwa lawatan Presiden Joko Widodo ke dua negara yang sedang berseteru, yakni Rusia dan Ukraina, dianggap hanya mencari sensasi belaka. Tak ada sesuatu yang dihasilkan Jokowi dari kunjungan ke dua negara tersebut. "Saya pikir Jokowi seharusnya, lebih baik datang ke Papua ketimbang mencari sensasi politik internasional ke Rusia dan Ukraina," ujar doktor jebolan American Global University itu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (2/7).   

Sangat berbeda ketika Khilafah Islam menjadi negara adidaya dalam pentas politik Internasional. Konon Sultan Sulaiman pernah memberi peringatan keras kepada Raja Perancis. "Suatu hari Sultan Sulaiman mendengar bahwa di Prancis, masyarakatnya menciptakan dansa antara para laki-laki dan kaum perempuan. Kemudian beliau mengirimkan surat, mengirim surat kepada raja Perancis yang berisi: "Telah sampai padaku berita bahwa kalian membuat dansa mesum antara laki-laki dan perempuan. Jika suratku ini telah sampai padamu, pilihannya: kalian hentikan sendiri perbuatan mesum itu atau aku datang kepada kalian dan aku hancurkan negeri kalian." Setelah surat itu, dansa di Perancis berhenti selama 100 tahun.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H.
Indonesia Justice Monitor (IJM)

Minggu, 01 Mei 2022

Aktor Konflik Rusia Ukraina Masih dalam Skenario Amerika


Tinta Media  - Aktor yang terlibat dalam konflik Rusia vs Ukraina dinilai oleh  Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana M.Si  masih dalam skenario Amerika.

“Arah dari tindakan-tindakan aktor yang terlibat,  Rusia,  Ukraina juga bagaimana respon dari Uni Eropa, dari NATO  ini semua masih dalam skenario kerangka Global  Amerika,” tuturnya dalam acara Kabar Petang : AS Dalang Konflik-konflik Internasional? Kamis (28/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Dikatakan Rusia bisa tetap dilemahkan oleh Amerika Serikat sehingga tidak bisa ke kancah internasional. "Dengan serangan Rusia ke  Ukraina pasti akan menguras sumber daya Rusia  baik dalam kontek  militer atau pun juga dalam konteks ekonomi,dengan adanya embargo  ekonomi  yang bertubi-tubi kepada Rusia," paparnya.

Di sisi lain kata Budi, Amerika juga tidak ingin Ukraina itu dikorbankan demi kepentingan melemahkan Rusia. Amerika punya cara  untuk menjaga agar Ukraina bergantung kepada Amerika Serikat baik via NATO atau pun Uni Eropa. “Sehingga tidak boleh juga Ukraina itu  dikalahkan oleh Rusia,” tukasnya.  

Namun lanjut Budi, Amerika tidak memberikan bantuan militer secara langsung  kepada Ukraina.  Tetapi melalui bantuan bantuan pihak ketiga atau bantuan bantuan yang dimanfaatkan oleh Ukrania  untuk meningkatkan kemampuannya memperlambat invasi  Rusia kepada  Ukraina.

 “Ini juga dibalut dengan  positioning Ukraina di Eropa,  bahwa dia belum menjadi anggota NATO,  dia juga belum menjadi anggota Uni Eropa sehingga  seolah-olah  itu menjadi justifikasi bahwa dibantu tetapi tidak secara langsung,” tambahnya.

Budi menilai, dalam konteks invasi Rusia ke Ukraina, Eropa baik Uni Eropa atau beberapa negara sentral di Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris tetap di bawah kendali Amerika. Hal ini karena  Eropa dalam kondisi dilematis. Satu sisi Eropa punya ketergantungan energi ke Rusia. Di sisi lain seharusnya Eropa membantu Ukraina agar Rusia tidak menjadi ancaman bagi Eropa. Tapi ini tidak bisa dilakukan oleh Eropa.

Cina

Menurut Budi, Cina bermain di dua sisi. "Pertama, dia berusaha tetap menjaga mitra strategis Rusia dengan Cina.  Tetapi Cina berpikir dua kali untuk bisa membantu secara langsung pada Rusia. Amerika  beberapa kali memberikan warning  terhadap Cina agar tidak  membantu Rusia dalam konteks konflik Ukraina," ungkapnya

“Kalau kita lihat sebelumnya strategi global Amerika  coba  menggeser dari Timur Tengah ke  Indo  Pasifik. Tapi di sisi lain dengan  adanya konflik Ukraina Rusia ini  menjadikan Cina punya peluang untuk menaikkan level politiknya  di level global. Cuman tadi keburu di warning  oleh Amerika Serikat sehingga Cina berusaha berhati-hati untuk memainkan situasi ini,” tambahnya.

Panjang

Budi memperkirakan konflik Rusia vs Ukraina akan berlangsung panjang karena tidak mudah mencapai titik kesepakatan.

“Rusia tetap  harus bisa memastikan bahwa Barat terutama Amerika Serikat  melalui NATO dengan perluasan keanggotaan di Eropa Timur nya itu tidak mengancam secara langsung  teritori Rusia. Kalaupun Rusia harus mundur maka ancaman Barat ini betul-betul harus dipastikan tidak terjadi,” jelasnya.
Di sisi lain lanjut Budi,  Ukraina  juga harus  memastikan bahwa dia tetap menjadi sebuah negara yang berdaulat.

“Tinggal bagaimana kemudian negara-negara NATO , khususnya Amerika Serikat bisa menerima tuntutan ini. Karena sebenarnya   secara normatif negara  punya kebebasan untuk bisa bergabung atau tidak bergabung dengan sebuah aliansi internasional,” tandasnya.

Tetapi di sisi lain tentu setiap negara juga harus mempertimbangkan realitas  politik yang terjadi dalam konteks ketetanggaan. Apalagi merasa terancam dengan negara tetangga ini. “Makanya  saya melihat selama tidak ada titik temu dalam negosiasi ini, maka konflik akan berlangsung panjang,” tambahnya.

Indo Pasifik

Budi  memprediksi pesaing  global Amerika itu Cina.  “Dari skenario yang diprediksikan oleh NIC  (Dewan Intelegen Nasional  Amerika) 2040 itu memang Cina disebut sebagai negara yang punya potensi ancaman secara militer. Dan tentu arena pertarungan  kalau dengan Cina pasti  di Indo Pasifik,” paparnya.

Budi mengatakan bahwa Indo Pasifik, baru belakangan ini menjadi perhatian Amerika. Pasca  Cina  melakukan modernisasi  besar-besaran, Cina  menjadi negara yang secara ekonomi menjadi ancaman Global  bagi Amerika. “Bahkan  Cina kemudian memperkuat aspek militernya, meski  belum teruji  kekuatannya, karena memang belum ada konflik yang di situ Cina terlibat untuk menguji kekuatannya,” jelas Budi.  

“Tetapi dengan sumber daya manusia yang besar, penduduknya  1,5 miliar,  dengan kekuatan ekonomi yang besar tentu  Amerika juga tidak bisa mendiamkan Cina  mengambil alih posisi Amerika di level global. Makanya kita  bisa memahami bagaimana Biden ini menggeser imperialisnye ke arah Pasifik,” imbuhnya.

Mengekor

Budi menilai meski Indonesia memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah tapi belum layak disebut sebagai great power. “Jangankan super power, great power saja masih jauh,” nilainya.

Penyebabnya lanjut Budi,  negeri-negeri  muslim khususnya  Indonesia masih menjadi negara yang mengekor  kepada ideologi negara Global.  Tidak bisa menunjukkan kemandirian, tidak bisa menunjukkan  sikap  yang berbeda dengan keinginan negara-negara  global seperti Amerika Serikat.

“Secara militer juga masih  belum sepadan.  jumlah  personil militer di Indonesia kan masih  sedikit. Belum lagi kalau kita bicara alutsista. Kita masih bergantung kepada alutsista buatan dari negara-negara lain. Padahal untuk bisa menjadi negara  super power atau great power itu dia harus punya kemandirian secara militer,” terangnya.

Budi menjelaskan bahwa di masa lalu kaum Muslimin menggunakan Islam sebagai way of life yang mengatur tatanan kehidupan ala Islam.Saya pikir Islam bisa menjawab untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global.

“Dalam konteks turunannya seperti  kekuatan militer dan kekuatan  ekonomi, bisa mandiri karena kita punya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang banyak. Tinggal bagaimana itu dikuasai negara untuk kepentingan negara,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
               

 

Senin, 11 April 2022

Pengamat: Indonesia Abstain di PBB karena Ingin Tetap Menjaga Hubungan Baik dengan Rusia

https://drive.google.com/uc?export=view&id=19K9EF-Y4QvmPtZHcdLcG3FxfpjhaOrgJ

Tinta Media - Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana menilai, abstainnya RI di PBB soal Rusia karena Indonesia ingin tetap menjaga hubungan baik dengan Rusia. "Sikap ini menunjukkan bahwa Indonesia ingin tetap menjaga hubungan baik dengan Rusia,"tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (10/3/2022).

Namun, menurutnya hal ini juga tidak serta merta tunduk kepada kemauan AS dan sekutunya.
"AS dan sekutunya memanfaatkan case ini untuk membangun opini yang menyudutkan Rusia. Namun semua masih samar," imbuhnya.

Budi menjelaskan krisis Ukraina adalah pertarungan kepentingan AS di Eropa yang kebetulan bersinggungan dengan eksistensi Rusia di kawasan. "Tidak ada imbas secara langsung bagi Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya," ujarnya.
Ia menegaskan tidak ikut serta mendukung salah satu pihak adalah pilihan terbaik yang dapat dipilih. Namun dengan tetap mengamati kemungkinan perubahan-perubahan arah dalam politik global. "Karena yang ‘bertarung’ adalah negara-negara yang memiliki posisi dalam konstelasi politik global, Rusia dan AS," pungkasnya.[]Nita Savitri

Minggu, 27 Maret 2022

Sarankan Kirim Rudal ke Ukrania, Pengamat: AS Manfaatkan Posisi Turki Demi Kepentingannya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1WeAYJOeIa_KnYWcKZ9TqV1-_Bb6cjp8z

Tinta Media - Menanggapi saran Amerika Serikat (AS) agar Turki mengirimkan sistem rudal buatan Rusia ke Ukrania, Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana M.Si. menilai AS memanfaatkan posisi Turki demi kepentingannya.

“Turki, sebagai sekutu Amerika Serikat di kawasan Eropa yang posisinya dekat dengan Ukraina dimanfaatkan posisinya untuk dapat menjembatani kepentingan Amerika Serikat dalam krisis Ukraina ini,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (27/3/2022).

Namun demikian, lanjutnya, Turki juga sedang memainkan peranannya untuk menaikkan leverage politiknya di kawasan. Sehingga walaupun menjadi sekutu Amerika Serikat dengan bergabung dengan NATO, namun Turki juga sedang berusaha menjalin hubungan dengan negara lain, termasuk Rusia.

Budi menilai banyak pertimbangan bagi Amerika Serikat mengapa tidak membantu Ukraina secara langsung melawan Rusia.

“Secara normatif, Ukraina bukan negara yang terikat dengan Amerika Serikat secara langsung, baik dalam perjanjian bilateral, maupun dalam perjanjian multilateral dalam NATO, misalnya. Sehingga tidak ada alasan normatif Amerika Serikat untuk membantu Ukraina,” jelasnya.  

Secara politis, Amerika Serikat juga mempertimbangkan aspek-aspek politis yang terjadi dalam krisis Ukraina ini. “Betul memang terjadi rivalitas antara Amerika Serikat dengan Rusia. Namun Amerika Serikat juga ‘memanfaatkan’ keberadaan Rusia untuk kepentingan Amerika Serikat diaspek yang lain. Sehingga Amerika Serikat memilih untuk tidak terlibat secara langsung membantu Ukraina untuk merespon invasi Rusia terhadap Ukraina,” paparnya.

Menurut Budi, sebagai negeri Muslim, secara normatif, Turki adalah negara berdaulat yang semestinya lepas dari intervensi negara manapun, termasuk dari Amerika Serikat. Terlebih bila saran-saran dari Amerika Serikat terkait dengan negara lain, atau situasi yang akan menimbulkan ekses dari pilihan sikap yang akan diambil oleh Turki.

“Secara historis, Turki adalah negara besar, bahkan adidaya di masa lalu. Walau pasca Perang Dunia ke-1, posisi Turki sudah jatuh ke posisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Semestinya Turki bisa menunjukkan kemandiriannya dalam percaturan politik secara global,” harapnya.

Pun demikian, lanjut Budi, tidak selayaknya negeri-negeri Muslim berada dalam pusaran konflik diantara negara-negara Barat yang sedang bersaing memperebutkan posisi dan kepentingannya secara global. “Karena pastinya, hal tersebut hanya dalam kerangka kepentingan mereka dan negeri-negeri Muslim hanya akan menjadi korban atas kepentingan mereka,” terang Budi memberikan alasan.

“Negeri Muslim mestinya memainkan posisi dan kepentingannya sendiri. Bisa berkiprah dalam percaturan perpolitikan global. Menjadi negara yang menyebarkan risalah Islam, menjadi rahmat bagi sekalian alam,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Kamis, 24 Maret 2022

Zelensky Sebut Perang Dunia III Sudah Dimulai, Pengamat: Kecil Kemungkinannya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1RkV4iwknPrdgOiluBarbw-4M1tbvjhx4

Tinta Media - Terkait dengan pernyataan Presiden Ukrania  Volodymyr  Zelensky bahwa Perang Dunia III sudah dimulai, Pengamat Hubungan Internasional Umar Syarifuddin mengatakan kemungkinannya kecil, negara-negara besar mungkin berpikir seribu kali sebelum melakukannya.

“Apa yang dikatakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr  Zelensky Perang  Dunia III sudah dimulai sebagai propaganda saat posisinya semakin terdesak oleh serangan Rusia yang masif. Namun serangan Rusia masih berpeluang mengarah pada Perang Dunia III, seperti halnya Perang Dunia II setelah serangan Nazi Jerman di Cekoslowakia dan pendudukannya sepotong demi sepotong pada tahun 1939. Namun kemungkinan itu cukup kecil. Negara - negara besar mungkin berpikir seribu kali sebelum melakukannya,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (22/3/2022).

Menurut Umar, era PD II terbentuk dua aliansi raksasa yang akhirnya menjadi penyebab Perang Dunia II, blok fasis dan blok sekutu. Blok fasis terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang (juga bersekutu dengan Rumania, Hongaria, Bulgaria, Slowakia, dan Kroasia). Sementara blok sekutu terdiri dari blok demokrasi dan komunis. Blok demokrasi berisi Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Republik Tiongkok (juga bersekutu dengan Australia, Afrika Selatan, Brasil, Belanda, Belgia, Cekoslowakia, Etiopia, Filipina, India, Kanada, Kuba, Luksemburg, Meksiko, Norwegia, Polandia, Selandia Baru, Yugoslavia, dan Yunani). Dan blok komunis berisi Uni Soviet, dan Mongolia.

“Saat itu Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939. Dua minggu berikutnya, Uni Soviet mengikutinya. Penyebab Perang Dunia II ini dilihat sebagai titik utama di mana Perang Dunia II dimulai. Setelah serangan Jerman, Prancis dan Inggris keduanya menyatakan perang terhadap Jerman,” paparnya.

Lalu, lanjutnya,  bagaimana dengan situasi sekarang? Situasi politik sangat dinamis dan saat ini problemnya berbeda dengan menjelang PD II. Namun jika situasi semakin panas hingga terbentuk dua blok raksasa kembali, sementara masing - masing aliansi tidak menahan diri, maka kontraksi tak bisa dihindari, dan Perang Dunia mungkin pecah kembali. “Jika hal itu terjadi perang nuklir tak bisa dihindari, sebab senjata nuklir ada di negara-negara ini,” imbuhnya.

“Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat (AS) tidak tertarik pada Perang Dunia III dengan Rusia terkait invasi Moskow yang tak kunjung berhenti di Ukraina. Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki menyatakan ‘Kami tidak tertarik masuk ke Perang Dunia III’,” tukasnya.

Meski demikian andai Perang Dunia III benar-benar  terjadi, Umar berharap, dunia Muslim harus bersatu untuk mencegah perang nuklir dan tidak berpihak pada Kapitalis Barat dan Kapitalis Timur serta menentang kepemimpinan mereka atas dunia.

“Dunia Muslim harus menjadi lebih kuat dan kokoh. Sejarah membuktikan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah dan munculnya kembali Imam al-A’zham (Pemimpin Agung) yakni Khalifah,  telah menyatukan  negeri-negeri Muslim di bawah kepemimpinan seorang khalifah,” bebernya.

Tegaknya khilafah, lanjutnya, akan memperkuat potensi dunia muslim di lebih dari 50 negara negara-negara, sehingga kedamaian, kebaikan, keutamaan dan keadilan akan tersebar luas. Penjagaan atas darah, kekayaan, kehormatan dan kemuliaan kaum Muslim akan senantiasa terwujud. Dengan itu, terputuslah siklus fitnah, kerusakan, dan ketidakstabilan yang disemai oleh imperialis dan antek-anteknya di negeri-negeri kaum Muslim.

“Allah SWT. memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan maksimal yang kita miliki untuk menggentarkan orang-orang yang memusuhi kita (QS al-Anfal [8]: 60). Jika musuh memiliki senjata nuklir maka mereka tidak akan merasa gentar berhadapan dengan Negara Islam, kecuali bila Negara Islam memiliki senjata nuklir pula,”tandasnya.

Umar menegaskan bahwa Islam melarang kaum Muslim menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir yang membolehkan negara lain memiliki senjata nuklir. Namun, Islam membolehkan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang diarahkan untuk menghapuskan senjata nuklir. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah berbuat madarat dan hal yang menimbulkan madarat."

“Itulah tugas yang diemban oleh sebuah negara yang seharusnya menaungi kaum Muslim. Negara yang berani berdiri tegak di hadapan negara-negara Barat dan Timur yang memiliki senjata nuklir. Negara yang mampu memaksakan pemboikotan terhadap negara-negara tersebut hingga mereka menghancurkan dan menghapuskan senjata-senjata pemusnah massal,”pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab