Sahkan RUUP3, SPBRS: DPR Bukan Lagi Wakil Rakyat
Tinta Media - Pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) oleh DPR dalam agenda rapat paripurna, Selasa (24/5/2022) dinilai Sekjen Silaturahmi Pekerja Buruh Rindu Surga (SPBRS), Imam Ghazali, DPR tidak lagi mewakili rakyat.
“Ini membuktikan bahwa DPR bukan lagi sebagai wakil rakyat, karena sangat tidak peka terhadap nasib rakyat khususnya buruh,” ungkapnya dalam acara Kabar Petang: UU PPP Merugikan Rakyat, Kamis (9/6/2022) di kanal Khilafah News.
Ia mengatakan bahwa para buruh dengan segala keterbatasannya, berjuang habis-habisan menolak Omnibus Law melalui aksi maupun audiensi dengan semangat menyelamatkan negeri ini, dipupus oleh keputusan DPR.
“Para buruh ini sudah berjuang habis-habisan menolak Omnibus Law. Kita pernah melakukan aksi demo kemudian juga audiensi dan sebagainya dan itu tentu saja membutuhkan waktu tenaga dan pikiran yang luar biasa. Keputusan DPR yang merevisi UUP3, membuktikan bahwa mereka tidak peka dan tidak layak untuk kita sebut sebagai wakil rakyat,” kesalnya.
Tak Patuh Hukum
Ahmad menilai pengesahan revisi UUP3 menunjukkan para elit politik tidak patuh hukum. Hal itu lantaran latar belakang revisi UUP3 ini adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Omnibuslaw Cipta Kerja yang digugat para buruh dan sebagian rakyat Indonesia karena kepeduliannya terhadap negeri ini.
“Kita tahu Omnibuslaw UU Ciptakerja itu disahkan kemudian muncul gugatan. Digugatnya karena mekanisme Omnibuslaw tidak sesuai dengan perundang-undangan, di samping substansinya memang banyak merugikan rakyat,” ungkapnya.
Artinya, lanjut Ahmad, Undang-Undang itu muncul tanpa ada dasar pembenarannya, kemudian ketika digugat, lalu sekarang ini dicarikan dasar pembenarannya. “ Ini lucu, bukan diperbaiki Undang-Undang Cipta Kerjanya, malah dicari dasar hukum yang membenarkan proses yang salah itu,” herannya.
“Intinya, dibikin dulu prosesnya, salah atau benar itu urusan belakang. Kalau tidak benar dibikin aturan yang membenarkan. Jadi ini sebuah logika yang menurut saya sangat buruk kelakuan para elit politik kita ini,” geramnya.
Tidak Sportif
Tindakan seperti itu menurut Ahmad, juga mengonfirmasi bahwa para pemimpin sekarang ini sedang mengajari rakyatnya untuk jadi bangsa yang tidak sportif. “Ibarat lomba, yang penting menang. Soal ada kecurangan, dibikin aturan baru untuk membenarkan kecurangan itu,” contohnya memberikan permisalan.
Ini adalah hal yang tidak sportif dan sangat berbahaya, lanjutnya. “Hari ini kita melihat para elit politik berusaha membuat Omnibuslaw yang penuh dengan kepentingan para oligarki. Kita melihat itu salah kemudian tetap saja diteruskan kemudian legislatif waktu itu juga mendukung yang langsung disahkan cepat-cepat ,” tambahnya.
Mahkamah Konstitusi pun dinilai oleh Ahmad membuat keputusan ambigu. “Dikatakan prosesnya salah tapi hukumnya diakui. Sekarang bola ada di legeslatif, kembali dilakukan revisi dengan cara cepat,” ungkapnya.
Aham menilai, dibalik cepatnya proses pengesahan RUUP3 baik yang pertama atau yang kedua, ada kekuatan besar dibelakangnya, yaitu oligarki.
“Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang menguasai negeri ini dan itu kita identifikasi sebagai kelompok pemegang modal atau para orang-orang kaya yang menguasai kemudian mengatur dengan membuat keputusan-keputusan lewat kaki tangan mereka, keputusan yang bisa berlaku secara legal,” jelasnya.
Oleh karena itu Ahmad berharap semua menolak pengesahan RUUP3 ini, karena revisi UUP3 adalah rangkaian dari Undang-Undang Ciptakerja yang berarti mengesahkan kembali Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja.
Ahmad mengingatkan meski judulnya Undang-Undang Cipta Kerja tapi tidak hanya mengatur soal lapangan kerja. Tapi mengatur tentang pertanahan. mengatur tentang penguasaan aset negara, mengatur bagaimana investasi, lingkungan dan sebagainya dalam satu bundel.
“Kita lihat pelajaran luar biasa di mana tanah, dengan Undang-Undang Omnibus Law ini, tidak ada lagi batas maksimal untuk memilikinya. Kita semua sudah merasakan misalkan kasus minyak goreng kenapa kok mahal. Ternyata perkebunan sawit yang ratusan ribu hektar dikuasai oligarki. Sampai level presiden atau Menko mengendalikan harga minyak goreng saja susah,” bebernya.
Ada Yang Salah
Ahmad juga mengatakan, bukan sekedar menolak tapi harus semakin menyadari bahwa ada yang salah dari sistemnya. Yaitu menganut sistem demokrasi kapitalis yang memunculkan para oligarki.
“Sudah saatnya kita tidak hanya lihat figur tapi harus sudah menoleh kepada sistem. Ini sistem sudah bobrok, maka harus segera beralih ke sistem yang lebih bagus,” katanya.
Ia menawarkan sistem yang akan bisa menyelesaikan semua sengkarut negeri ini yakni sistem Islam, sistem yang dibuat oleh Dzat Pencipta manusia.
“Tentu saja pencipta manusia itu pasti sangat mengetahui tentang kebutuhan dan permasalahan manusia beserta solusinya. Dan juga ditentukan oleh Dzat yang Maha Adil yang tentu saja keputusan-keputusannya akan adil bagi semua pihak,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
“Ini membuktikan bahwa DPR bukan lagi sebagai wakil rakyat, karena sangat tidak peka terhadap nasib rakyat khususnya buruh,” ungkapnya dalam acara Kabar Petang: UU PPP Merugikan Rakyat, Kamis (9/6/2022) di kanal Khilafah News.
Ia mengatakan bahwa para buruh dengan segala keterbatasannya, berjuang habis-habisan menolak Omnibus Law melalui aksi maupun audiensi dengan semangat menyelamatkan negeri ini, dipupus oleh keputusan DPR.
“Para buruh ini sudah berjuang habis-habisan menolak Omnibus Law. Kita pernah melakukan aksi demo kemudian juga audiensi dan sebagainya dan itu tentu saja membutuhkan waktu tenaga dan pikiran yang luar biasa. Keputusan DPR yang merevisi UUP3, membuktikan bahwa mereka tidak peka dan tidak layak untuk kita sebut sebagai wakil rakyat,” kesalnya.
Tak Patuh Hukum
Ahmad menilai pengesahan revisi UUP3 menunjukkan para elit politik tidak patuh hukum. Hal itu lantaran latar belakang revisi UUP3 ini adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Omnibuslaw Cipta Kerja yang digugat para buruh dan sebagian rakyat Indonesia karena kepeduliannya terhadap negeri ini.
“Kita tahu Omnibuslaw UU Ciptakerja itu disahkan kemudian muncul gugatan. Digugatnya karena mekanisme Omnibuslaw tidak sesuai dengan perundang-undangan, di samping substansinya memang banyak merugikan rakyat,” ungkapnya.
Artinya, lanjut Ahmad, Undang-Undang itu muncul tanpa ada dasar pembenarannya, kemudian ketika digugat, lalu sekarang ini dicarikan dasar pembenarannya. “ Ini lucu, bukan diperbaiki Undang-Undang Cipta Kerjanya, malah dicari dasar hukum yang membenarkan proses yang salah itu,” herannya.
“Intinya, dibikin dulu prosesnya, salah atau benar itu urusan belakang. Kalau tidak benar dibikin aturan yang membenarkan. Jadi ini sebuah logika yang menurut saya sangat buruk kelakuan para elit politik kita ini,” geramnya.
Tidak Sportif
Tindakan seperti itu menurut Ahmad, juga mengonfirmasi bahwa para pemimpin sekarang ini sedang mengajari rakyatnya untuk jadi bangsa yang tidak sportif. “Ibarat lomba, yang penting menang. Soal ada kecurangan, dibikin aturan baru untuk membenarkan kecurangan itu,” contohnya memberikan permisalan.
Ini adalah hal yang tidak sportif dan sangat berbahaya, lanjutnya. “Hari ini kita melihat para elit politik berusaha membuat Omnibuslaw yang penuh dengan kepentingan para oligarki. Kita melihat itu salah kemudian tetap saja diteruskan kemudian legislatif waktu itu juga mendukung yang langsung disahkan cepat-cepat ,” tambahnya.
Mahkamah Konstitusi pun dinilai oleh Ahmad membuat keputusan ambigu. “Dikatakan prosesnya salah tapi hukumnya diakui. Sekarang bola ada di legeslatif, kembali dilakukan revisi dengan cara cepat,” ungkapnya.
Aham menilai, dibalik cepatnya proses pengesahan RUUP3 baik yang pertama atau yang kedua, ada kekuatan besar dibelakangnya, yaitu oligarki.
“Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang menguasai negeri ini dan itu kita identifikasi sebagai kelompok pemegang modal atau para orang-orang kaya yang menguasai kemudian mengatur dengan membuat keputusan-keputusan lewat kaki tangan mereka, keputusan yang bisa berlaku secara legal,” jelasnya.
Oleh karena itu Ahmad berharap semua menolak pengesahan RUUP3 ini, karena revisi UUP3 adalah rangkaian dari Undang-Undang Ciptakerja yang berarti mengesahkan kembali Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja.
Ahmad mengingatkan meski judulnya Undang-Undang Cipta Kerja tapi tidak hanya mengatur soal lapangan kerja. Tapi mengatur tentang pertanahan. mengatur tentang penguasaan aset negara, mengatur bagaimana investasi, lingkungan dan sebagainya dalam satu bundel.
“Kita lihat pelajaran luar biasa di mana tanah, dengan Undang-Undang Omnibus Law ini, tidak ada lagi batas maksimal untuk memilikinya. Kita semua sudah merasakan misalkan kasus minyak goreng kenapa kok mahal. Ternyata perkebunan sawit yang ratusan ribu hektar dikuasai oligarki. Sampai level presiden atau Menko mengendalikan harga minyak goreng saja susah,” bebernya.
Ada Yang Salah
Ahmad juga mengatakan, bukan sekedar menolak tapi harus semakin menyadari bahwa ada yang salah dari sistemnya. Yaitu menganut sistem demokrasi kapitalis yang memunculkan para oligarki.
“Sudah saatnya kita tidak hanya lihat figur tapi harus sudah menoleh kepada sistem. Ini sistem sudah bobrok, maka harus segera beralih ke sistem yang lebih bagus,” katanya.
Ia menawarkan sistem yang akan bisa menyelesaikan semua sengkarut negeri ini yakni sistem Islam, sistem yang dibuat oleh Dzat Pencipta manusia.
“Tentu saja pencipta manusia itu pasti sangat mengetahui tentang kebutuhan dan permasalahan manusia beserta solusinya. Dan juga ditentukan oleh Dzat yang Maha Adil yang tentu saja keputusan-keputusannya akan adil bagi semua pihak,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun