UU TPKS, Solusi atau Liberalisasi?
Tinta Media - Dalam rapat paripurna, Selasa, 12 April 2022, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani resmi ketok palu untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang setelah enam tahun dibahas dan menjadi polemik di Senayan.
UU TPKS yang terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal ini mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan hingga pemulihan korban tindak kekerasan seksual. UU TPKS di pasal 4 ayat 1 memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.
Pro dan kontra terjadi di masyarakat akan pengesahan UU TPKS. Sekilas kita akan melihat gambaran positif dari UU ini dan menganggap bahwa UU ini dapat dijadikan solusi terkait tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Namun, jika kita telaah lebih lanjut, terdapat pasal yang justru menunjukkan legalisasi terhadap seks bebas alias perzinahan.
Salah satu pasal dalam UU ini menyatakan, bahwa kekerasan seksual terjadi saat ada pemaksaan. Seorang istri bisa menuntut suaminya jika merasa terpaksa harus melayani kebutuhan seksual dan dia tidak rida. Sementara, jika aktivitas seksual dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak ada sanksi apa pun alias sah-sah saja, walaupun itu dilakukan oleh pasangan yang belum terikat pernikahan. Selain itu, ada beberapa lagi pasal yang ambigu dan multitafsir.
Kasus tindak kekerasan dan pelecehan seksual di negeri ini memang cukup tinggi. Tercatat lebih dari 8.000 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dari tahun 2021 hingga Maret 2022. Dari 11 ribu korban kelerasan terhadap anak, 58%-nya adalah korban kekerasan seksual.
Namun, pengesahan RUU TPKS menjadi UU tidak lantas menjadi solusi, karena memang masih menyisakan banyak persoalan. Adanya penghapusan poin pemerkosaan dan aborsi, juga tidak secara komprehensif mengatur tindak pidana kesusilaan, seperti perzinaan dan penyimpangan seksual seperti L68T, karena tidak ada ketegasan dalam UU ini dalam menindak pelaku perzinaan dan L68T. Maka, tak heran jika UU ini dianggap oleh sebagian kalangan justru melindungi para pelaku seks bebas dan penyimpangan seksual.
Hal ini wajar terjadi dalam negara kita yang menerapkan sistem demokrasi-sekuler, yaitu sistem buatan akal manusia yang terbatas, serta memisahkan peran agama untuk mengatur kehidupan bernegara.
Seks bebas dan L68T tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, tetapi justru dianggap sebagai kebebasan berperilaku, yaitu mengekspresikan perilaku seksual dan dijamin oleh HAM. Karena itu, walaupun UU TPKS ini disahkan untuk mengatur tentang tindak kesusilaan, tetapi kekerasan seksual tak akan pernah bisa diselesaikan.
Kehidupan masyarakat yang sekular dan liberal telah menyuburkan hadirnya konten-konten pornografi maupun pornoaksi yang dapat menjadi pemicu tindakan asusila. Terlebih lagi, maraknya pergaulan permisif serta hilangnya budaya amar ma'ruf nahi mungkar, semakin memicu tindakan asusila. Ditambah lagi keberadaan negara yang menerapkan sistem sekularis-demokrasi telah secara langsung menjadi legalisator kemaksiatan, melalui produk UU-nya.
Berbeda dengan Islam yang merupakan sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Islam memiliki aturan yang terperinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam, negara atau khilafah memiliki tanggung jawab mengurus dan menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Melalui penerapan syariat Islam secara kaffah yang tegak melalui tiga pilar utama, yaitu ketakwaan individu dan keluarga, kontrol masyarakat, serta peran negara, maka rakyat akan terjaga dari berbagai bahaya. Salah satunya yaitu terjaganya akal dan nasab, dengan mencegah masuknya paham-paham kufur beserta produk-produk turunannya, semisal sekularisme-demokrasi dengan liberalisme, dan lain-lain.
Selain itu, akan diterapkan sanksi yang tegas jika ada pelaku kemaksiatan, khususnya dalam masalah tindak asusila hingga perzinaaan, dengan sanksi dari syariat Islam.
Peran negara dalam menerapkan sistem sanksi, akan mampu menyelesaikan persoalan kekerasan seksual mulai dari pangkal hingga akarnya, dengan efek jawabir (penghapus dosa) dan zawazir (efek jera). Sanksi bagi pelaku perkosaan berupa had zina yaitu hukum rajam (dilempari batu) hingga mati jika mpelakunya sudah menikah, dan jilid (cambuk) 100 kali serta diasingkan selama satu tahun jika pelakunya belum menikah.
Negara dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh merupakan kunci untuk menjaga pergaulan dalam masyarakat. Dengan ini, umat akan terjaga dari tindakan kekerasan seksual, seks bebas, maupun penyimpangan seksual.
Wallahu'alam bishshawab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media