Tinta Media: UU TPKS
Tampilkan postingan dengan label UU TPKS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UU TPKS. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Mei 2022

UU TPKS, Solusi atau Liberalisasi?


Tinta Media - Dalam rapat paripurna, Selasa, 12 April 2022, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani resmi ketok palu untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang setelah enam tahun dibahas dan menjadi polemik di Senayan. 

UU TPKS yang terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal ini mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan hingga pemulihan korban tindak kekerasan seksual. UU TPKS di pasal 4 ayat 1 memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.

Pro dan kontra terjadi di masyarakat akan pengesahan UU TPKS. Sekilas kita akan melihat gambaran positif dari UU ini dan menganggap bahwa UU ini dapat dijadikan solusi terkait tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Namun, jika kita telaah lebih lanjut, terdapat pasal yang justru menunjukkan legalisasi terhadap seks bebas alias perzinahan. 

Salah satu pasal dalam UU ini menyatakan, bahwa kekerasan seksual terjadi saat ada pemaksaan. Seorang istri bisa menuntut suaminya jika merasa terpaksa harus melayani kebutuhan seksual dan dia tidak rida. Sementara, jika aktivitas seksual dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak ada sanksi apa pun alias sah-sah saja, walaupun itu dilakukan oleh pasangan yang belum terikat pernikahan. Selain itu, ada beberapa lagi pasal yang ambigu dan multitafsir. 

Kasus tindak kekerasan dan pelecehan seksual di negeri ini memang cukup tinggi. Tercatat lebih dari 8.000 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dari tahun 2021 hingga Maret 2022. Dari 11 ribu korban kelerasan terhadap anak, 58%-nya adalah korban kekerasan seksual.

Namun, pengesahan RUU TPKS  menjadi UU tidak lantas menjadi solusi, karena memang masih menyisakan banyak persoalan. Adanya penghapusan poin pemerkosaan dan aborsi, juga tidak secara komprehensif mengatur tindak pidana kesusilaan, seperti perzinaan dan penyimpangan seksual seperti L68T, karena tidak ada ketegasan dalam UU ini dalam menindak pelaku perzinaan dan L68T. Maka, tak heran jika UU ini dianggap oleh sebagian kalangan justru melindungi para pelaku seks bebas dan penyimpangan seksual.

Hal ini wajar terjadi dalam negara kita yang menerapkan sistem demokrasi-sekuler, yaitu sistem buatan akal manusia yang terbatas, serta memisahkan peran agama untuk mengatur kehidupan bernegara. 

Seks bebas dan L68T tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, tetapi justru dianggap sebagai kebebasan berperilaku, yaitu mengekspresikan perilaku seksual dan dijamin oleh HAM. Karena itu, walaupun UU TPKS ini disahkan untuk mengatur tentang tindak kesusilaan, tetapi kekerasan seksual tak akan pernah bisa diselesaikan. 

Kehidupan masyarakat yang sekular dan liberal telah menyuburkan hadirnya konten-konten pornografi maupun pornoaksi yang dapat menjadi pemicu tindakan asusila. Terlebih lagi, maraknya pergaulan permisif serta hilangnya budaya amar ma'ruf nahi mungkar, semakin memicu tindakan asusila. Ditambah lagi keberadaan negara yang menerapkan sistem sekularis-demokrasi telah secara langsung menjadi legalisator kemaksiatan, melalui produk UU-nya.

Berbeda dengan Islam yang merupakan sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Islam memiliki aturan yang terperinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam, negara atau khilafah memiliki tanggung jawab mengurus dan menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Melalui penerapan syariat Islam secara kaffah yang tegak melalui tiga pilar utama, yaitu ketakwaan  individu dan keluarga, kontrol masyarakat, serta peran negara, maka rakyat akan terjaga dari berbagai bahaya. Salah satunya yaitu terjaganya akal dan nasab, dengan mencegah masuknya paham-paham kufur beserta produk-produk turunannya, semisal sekularisme-demokrasi dengan liberalisme, dan lain-lain.
Selain itu, akan diterapkan sanksi yang tegas jika ada pelaku kemaksiatan, khususnya dalam masalah tindak asusila hingga perzinaaan, dengan sanksi dari syariat Islam.

Peran negara dalam menerapkan sistem sanksi, akan mampu menyelesaikan persoalan kekerasan seksual mulai dari pangkal hingga akarnya, dengan efek jawabir (penghapus dosa) dan zawazir (efek jera). Sanksi bagi pelaku perkosaan berupa had zina yaitu hukum rajam (dilempari batu) hingga mati jika mpelakunya sudah menikah,  dan jilid (cambuk) 100 kali serta diasingkan selama satu tahun jika pelakunya belum menikah.

Negara dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh merupakan kunci untuk menjaga pergaulan dalam masyarakat. Dengan ini, umat akan terjaga dari tindakan kekerasan seksual, seks bebas, maupun penyimpangan seksual.

Wallahu'alam bishshawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media 

Senin, 16 Mei 2022

UU TPKS, Arahnya ke Mana?


Tinta Media  - Baru-baru ini presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang ditandatangani pada 9 Mei 2022. Pada tanggal yang sama, ditandatangani pula oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius Wibowo berharap, UU TPKS bisa segera diimplementasikan oleh para penegak hukum. (detik.com 12/05/2022)

Kasus kekerasan seksual di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sepanjang tahun 2021 saja  menurut kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (PPPA), terdapat 10.247 kasus kekerasan. Sebanyak 15,2% adalah kekerasan seksual. Tak hanya itu, kasus kekerasan anak jauh lebih memprihatinkan. Sebanyak 45,1% dari 14.517 merupakan kasus kekerasan seksual. (Kompas.com 19/1/2022) 

Jika kita lihat banyaknya kekerasan seksual yang terjadi, seperti guru mencabuli murid, anak memperkosa ibunya, kakek memperkosa cucu, dan banyak lagi kasus serupa. Bahkan, banyak anak di bawah umur yang menjadi korban.Tak sedikit pula pemerkosaan itu berujung pembunuhan. Namun, sejauh ini hukum yang ada seolah tak mampu memberikan efek jera. Pada akhirnya, banyak orang melakukan hal yang serupa. 

Ada indikasi bahwa maraknya kasus-kasus serupa terjadi karena banyaknya konten pornografi yang secara bebas bisa diakses di internet. Nafsu yang tidak tersalurkan dengan cara yang benar mendorong pelaku berbuat kemaksiatan. Kondisi ini diperparah dengan gaya hidup serba bebas yang semakin menggurita di tengah-tengah masyarakat.

Seharusnya pemerintah memberikan hukuman yang tegas kepada para pelaku kekerasan maupun kejahatan seksual, agar kasus-kasus yang seperti ini tidak terulang kembali. Akan tetapi, nyatanya hukum hanya dijadikan sebagai peraturan formal saja, bukan diterapkan sebagaimana mestinya. 

Selain itu, banyak pula ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum, seperti dalam UU TPKS. Di sana disebutkan bahwa yang terkena hukum ialah mereka yang melakukan hubungan suami istri dengan unsur pemaksaan ataupun kekerasan. Hal ini berarti mereka yang melakukan perbuatan tersebut tanpa paksaan (suka sama suka), tidak termasuk melanggar hukum.

Peraturan UU TPKS tersebut juga bisa menjadi legalisasi pemuda yang pacaran untuk melakukan zina, karena memang dalam UU TPKS ini, mereka yang melakukan hubungan suami istri tanpa ada paksaan atupun unsur kekerasan, tidak bisa dijerat atas UU tersebut. 

Lalu bagaimanakah Islam menyelesaikan masalah seperti ini? Apakah di dalam sistem Islam tidak ada pelecehan yang terjadi? 

Seperti yang kita ketahui, Islam sangat menjaga perempuan dari pelecehan dan kekerasan. Ini dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam. Pada tahun 837 M, Al-Mu’tashim Billah menyambut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.

Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah, 

“Di mana kau Mutashim … tolonglah aku!” 

Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). 

Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana Khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan. 

Begitu dimuliakan wanita dalam Islam. Sampai-sampai Khalifah pada saat itu menurunkan pasukan untuk membela kehormatan seorang wanita. Bahkan, untuk mencegah adanya kekerasan pada wanita. Allah berfirman dalam Q.S. An Nur ayat 33, yang artinya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.”

Begitulah  Islam dalam menentukan hukum. Peraturan tersebut tidak merugikan atau menguntungkan sebagian pihak saja karena yang dijadikan sumber hukum adalah aturan dari Sang Khalik, yaitu Al-Qur'an dan Hadis.  

Berbeda halnya dengan sistem kapitalis. Yang berkuasa adalah para pemodal. Jelas merekalah yang mengontrol semua kebijakan yang ada dan menetapkan peraturan hanya sesuai dengan kehendaknya saja. Wallahu Alam Bishawab.

Oleh: Akni Widiana
Pemerhati Pemuda dan Pengajar TPQ

Minggu, 01 Mei 2022

Dr. Arum: UU TPKS Tak Bisa Hapus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan


Tinta Media  - Pengamat Isu Perempuan, dr. Arum Harjanti menyatakan kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak bisa menghapus atau memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan. “Kalau kita telaah mendalam, kehadiran UU TPKS ini tidak bisa menghapus atau memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan,” tuturnya dalam Program Live Muslimah Bicara: Ancaman Liberalisasi Seksual di Balik Pengesahan RUU TPKS, Sabtu (23/4/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Centre.

Menurutnya, hal tersebut disebabkan penyelesaian terhadap kekerasan seksual itu harus ditelaah akar persoalannya bukan pada adanya Undang-Undang tapi pada perilaku masyarakat.  “Kalau kita telaah akar persoalannya bukan pada adanya UU tapi pada perilaku masyarakat,” ujarnya.

Ia berpendapat tidak akan efektif UU jika tidak disertai perubahan perilaku yang merupakan cerminan dari pandangan hidup. “Memang UU mengatur tapi jika tidak disertai perubahan perilaku yakni perilaku itu adalah cerminan pandangan hidup maka UU itu tidak bisa efektif,” pendapatnya.

Saat ini, ia menjelaskan pandangan hidup masyarakat itu adalah sekularisme. Agama hanya ditempatkan di ranah privat saja sementara kehidupan menggunakan akal manusia yang berlandaskan pada hak asasi manusia. “Saat ini pandangan hidup masyarakat itu adalah sekularisme. Sekuler mereka, meniadakan agama. Agama hanya ditempatkan di ranah privat saja sementara kehidupan mereka menggunakan akal manusia dan berlandaskan pada hak asasi manusia,” terangnya.

Ia mengungkapkan landasan ini menjadi poin penting, nafas dari UU.
“Ketika masyarakat itu masih dilandaskan kepada hak asasi manusia, suka-suka saya, semaunya, maka orang-orang akan bertindak mengikuti kemauannya, mengikuti yang dia inginkan. Saya sampaikan bahwa UU yang lahir di dalam tatanan sekuler tetap akan menghasilkan gambaran masyarakat yang sekuler,” ungkapnya.

Ia pun mengatakan bahwa UU TPKS ini tidak akan efektif memberantas kekerasan seksual. “Karena akar persoalan tidak tersentuh, yaitu cara pandang masyarakat terkait dengan manusia, terkait dengan interaksi dengan yang lain,” katanya.

Ia memandang pendapat para aktivis perempuan bahwa payung hukum (UU) menjadi satu-satunya cara untuk memberantas terjadinya tindak kekerasan seksual. “Ketika disahkannya UU TPKS ini menjadikannya kemenangan perempuan. Pandangan mereka, UU TPKS ini benar-benar memberikan perlindungan kepada para perempuan,” katanya.

Ruh Legalitas UU TPKS

Ia menjelaskan terkait pro dan kontra UU TPKS dari sisi masyarakat khususnya kaum muslim bahwa ruh UU ini adalah mengajak kepada kebebasan berperilaku.
“Ruh UU ini adalah mengajak kepada kebebasan berperilaku, dibalik pengesahannya ada upaya untuk meliberalisasikan. Kalau kita lihat ada kata-kata di dalam pasal itu pemaksaan. Berarti kalau tanpa pemaksaan menjadi suatu kebolehan, bukan kekerasan. Bebas orang melakukan apa saja selama ada kesepakatan antara kedua belah pihak,” jelasnya.

Melihat kata pemaksaan, menurutnya memang tidak tampak ada kata seksual concern tapi ruhnya atau spiritnya tetap sama.  “Apalagi kita saat ini hidup di dalam sistem yang menjauhkan agama dalam kehidupan (sekuler). Di mana aturan-aturan ruang lingkup atau kehidupan bermasyarakat memang bersumber, berlandaskan kepada sekularisme,” tuturnya.

Ia menyatakan bahwa produk hukum yang lahir dari situasi masyarakat yang sekuler maka produk hukum tersebut akan mengokohkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai sekularisme. “UU TPKS ini menghapuskan atau memberikan kebebasan kepada perempuan di dalam mewujudkan hak seksual dan hak reproduksi. Ini berarti akan membawa atau mengarahkan masyarakat khususnya perempuan untuk hidup di dalam liberalisasi begitu tanpa aturan,” katanya.

Berbicara tentang hak, ia mengungkapkan satu pernyataan, satu kesepakatan yang diungkapkan tentang otonomi bodyly.
“Otonomi bodyly adalah hak otonomi untuk mengelola termasuk kaitannya dengan aktivitas seksual, aktivitas kehamilan, dan aktivitas pemakaian kontrasepsi,” ungkapnya.

Ia pun menyatakan bahwa kesesatan konsep berpikir akan mengalihkan sesuatu yang terlarang oleh syariat menjadi hal biasa karena dukungan pandangan global.
“Kesesatan konsep berpikir karena kampanye-kampanye yang dilakukan sehingga kemudian umat beralih dari sesuatu yang terlarang oleh syariat atau melanggar tata susila dianggap satu hal yang biasa karena didukung oleh pandangan global,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab