Abaikan Konsultasi Publik, Peneliti Senior PKAD: RKUHP Langgar UU PPP dan UU KIP
Tinta Media - Peneliti Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menyatakan, abainya pemerintah terhadap konsultasi publik pada pembahasan RKUHP, telah melanggar dua undang-undang (UU), yakni UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP)dan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
“Jelas ada dua undang-undang (UU) yang dilanggar dalam kasus RKUHP, yakni UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Keterbukaan Informasi Publik,” tuturnya dalam program Kabar Petang: RKUHP Harus Ditolak? Kamis (23/6/2022) di kanal Youtube Khilafah News.
Pertama, pemerintah telah melanggar Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Ia mengatakan pasal tersebut berisi ketentuan bahwa partisipasi publik dalam pembahasan UU adalah hak masyarakat.
“Jelas dalam ketentuan pasal itu secara eksplisit bahwa partisipasi publik dalam pembahasan UU adalah hak masyarakat,” katanya.
Menurutnya, jika masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dengan memberi masukan-masukan atas apa yang sudah dirumuskan sebelumnya, maka diperlukan draf dari RKUHP yang akan dibahas.
“Maka draf ini yang harus dibuka ke publik. Jika sudah banyak perubahan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2019, mana itu drafnya?” tanyanya.
Kembali ia mempertanyakan, perubahan yang terjadi dan bagaimana pembahasan atau bunyi akhir dari 14 pasal kontroversial RKUHP yang sedianya akan disahkan pada tahun 2019. “Yang ditagih itu, mana perubahan-perubahan itu, seperti apa pembahasan atau bunyi akhir dari 14 pasal kontroversial itu, seperti apa?” lanjutnya.
Ia menegaskan, seharusnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjalani proses membuka draf akhir ke publik agar bisa dilakukan partisipasi publik yang merupakan hak masyarakat.
“Memang itu hak masyarakat sebagaimana amanah di dalam pasal 96 UU PPP. Jika draf akhir tidak dibuka dan tidak pernah sampai ke publik, bagaimana masyarakat memberikan partisipasi itu. Apa yang mau dikritisi apabila semuanya gelap, ini aneh,” tegasnya.
Kedua, pemerintah telah melanggar UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, seluruh naskah RUU itu bukan informasi yang tertutup sehingga tidak termasuk informasi yang dapat dikecualikan dari permukaan publik.
“Publik mempunyai hak untuk mengetahui apa saja isi substansi dari seluruh rancangan undang-undang itu tanpa kecuali,” tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa proses yang tidak transparan ini akan membuat RUU itu tetap akan digugat walaupun sudah disahkan, terlepas dari ketersediaan ruang-ruang untuk melakukan perbuatan itu.
“Seharusnya sejak awal pemerintah menghormati etika perumusan seluruh UU, kalau di dalam UU PPP tadi mengharuskan ada konsultasi publik sebagai hak masyarakat berpartisipasi. Mohonlah ini diberikan ruang untuk itu!” jelasnya.
“Kemudian masyarakat dari berbagai kalangan tadi memberikan masukan, kritikan, sanggahan untuk penyempurnaan setiap RUU yang diajukan dan dibahas di pemerintah dan DPR,” lanjutnya.
Tidak transparannya pemerintah dalam membuka draf akhir pembahasan RKUHP ini baginya menunjukkan seolah-olah pemerintah tidak menghargai etika bernegara. “Tidak mematuhi aturan main yang dibuat mereka, walaupun Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memberikan pernyataan bahwa kalau tidak setuju, silakan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), Saya kira bukan begitu posisinya,” ujarnya.
“Kalau kita bisa sempurnakan RUU ini ketika dalam tahap pembahasan, baik itu di tingkat satu ataupun di tingkat 2. Kenapa itu tidak dilakukan? Bukan kemudian seluruh gugatan atau sanggahan harus berujunh kepada gugatan ke MK,” tuturnya.
Apabila semakin banyak UU yang dibubarkan di MK artinya menunjukkan kualitas legislasi kita buruk sekali.
“Proses legislasi kita tidak berkualitas, artinya pemerintah selaku eksekutif dan DPR sebagai legislatif itu tidak berkualitas ketika merumuskan undang-undang (UU) itu. UU itu tidak berkualitas,” ucapnya.
“Kita melihat akhir-akhir ini kecenderungannya adalah produk-produk perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah hampir selalu digugat ke MK,” bebernya.
Ia mengungkapkan proses legislasi, di tingkat pertama pembahasan melibatkan partisipasi publik, proses konsultasi publik, dan seterusnya. Lalu ke tingkat kedua pembahasan antar fraksi dan seterusnya di dalam DPR.
“Kita anggap ada seleksi pembahasan substansi dan sebagainya. Tapi minimal di pembahasan tingkat pertama ini harus dipastikan bahwa sebuah rancangan undang-undang sudah menyerap aspirasi keseluruhan dari masyarakat,” ungkapnya.
Ia mengkritisi pemerintah dan DPR yang telah mengabaikan partisipasi dan konsultasi publik. “Pemerintah dan DPR cenderung mengabaikan masukan dan kritikan publik. Ini mengkhawatirkan, proses legislasi kita akhir-akhir ini begitu ugal-ugalan. Padahal ini mengatur negara, memiliki berbagai kepentingan, stakeholder di sana,” kritiknya.
“Tentu harus lebih berhati-hati lagi terutama dari RKUHP ini, menyasar seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.[] Ageng Kartika