Tinta Media: UU Cipta Kerja
Tampilkan postingan dengan label UU Cipta Kerja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UU Cipta Kerja. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Juli 2023

Kisruh Tata Kelola Sawit, Pengaruh UU Cipta Kerja

Tinta Media - Kembali bahasan kelapa sawit menjadi sorotan. Dengan alibi memperbaiki tata kelola industri minyak sawit, pemerintah rezim Joko Widodo memberikan peluang kepada pelaku usaha agar memutihkan 3,3 juta tanah hektare lahan sawit.

Menguatkan ajuan tersebut, Menko Bidang Kemaritiman dan investasi, Luhut Binsar Panjaitan pun ikut berkomentar. Iya menyatakan bahwa pemutihan tersebut sebagai langkah genting yang terpaksa diambil. “Ya, kita mau apain lagi, masa kita copotin, ya kita putihkan terpaksa,” ucapnya di hadapan awak pers (Jumat, 23 Juni 2023).

Selidik punya selidik, ternyata pemutihan itu memiliki makna yang janggal. Di sana terdapat pelanggaran hukum, yaitu yang sebelumnya ilegal selanjutnya dilegalkan. Atas putusan ini, korporasi diputihkan supaya bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administrasi. Mereka dibuat legal asal setor pajak dan mau kena denda.

Ini bentuk kuatnya penguasa melindungi korporasi. Usaha ilegal bisa dianggap legal dengan syarat bayar denda. Padahal, pihak Walhi yang diwakili oleh Uli Arta pernah mengemukakan bahwa kerugian perekonomian negara dan praktik kejahatan tersebut pasti jauh lebih besar dibandingkan denda yang diperoleh negara, mengingat kejahatan tersebut dapat menimbulkan kebahayaan pada kerusakan lingkungan, datangnya banjir, longsor, kekeringan, bahkan kebakaran yang nanti harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Lantas di mana logikanya jika negara membiarkan ini terjadi?

WALHI mengambil sampel beberapa perusahaan Surya Darmadi yang menjadi objek kasus dan juga mengajukan pengampunan. Padahal, ia telah diputuskan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi perizinan dan pencucian uang. Surya Darmadi dinyatakan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,2 triliun dan kerugian perekonomian sebesar 39,7 triliun.

Ini merupakan potret kerakusan para pemilik modal yang dilegalkan undang-undang. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme pemutihan ini dilakukan melalui skema perundang-undangan Cipta Kerja pasal 110A dan 110B. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatannya terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Yang demikian tak terlepas dari adanya oligarki yang mencengkeram politik dan ekonomi negara.

Dengan menjerat dua pilar ini, komplotan oligarki ingin turut mengendalikan kekuasaan negara. Semua ini tidak lain sebagai pelaksanaan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang jelas secara faktanya dirancang untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal. Bahkan, sebelumnya juga telah terbukti, berapa banyak para pemilik tambang yang merasakan manisnya UU Omnibus Law dan sekarang giliran penguasa sawit yang turut menikmatinya.

Gurita kapitalisme telah melilit di berbagai aspek negeri ini, tidak lain sebagai bentuk penjajahan gaya baru. 

Liberalisasi ekonomi memberikan jalan para pemilik modal untuk merampok kekayaan alam negeri gemah ripah loh jinawi ini. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Masyarakat kian hari kian terpuruk. Tentu semua harus segera disikapi dengan tepat dan cermat. Jika kapitalisme telah jelas memberikan dampak negatif bagi bangsa, maka tidak bisa ditawar lagi bahwa solusi mengakar itu harus segera diambil dan diterapkan.

Indonesia adalah negara dengan masyarakat muslim terbesar di dunia. Tidak sedikit yang telah memahami bahwa Islam hadir di muka bumi bukan hanya sekadar agama, tetapi juga sebagai solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi, tak terkecuali bidang politik dan ekonomi.

Islam dengan syariahnya menetapkan bahwa kedaulatan di tangan Allah ta’ala dan tidak boleh diintervensi oleh pada pemilik kuasa, apalagi pemilik modal. Sudah dibuktikan berabad-abad lamanya bahwa sistem Islam telah menyejahterakan penduduk yang ada dalam naungannya.

Syariat Islam mampu menundukkan nafsu para pemilik modal. Para pelaku bisnis dipersilakan seluas-luasnya, tetapi harus tunduk pada aturan Islam. Halal haram jadi standarnya. Orientasinya pada berkah, yaitu ziadatul khoir atau bertambahnya kebaikan, bukan hanya terpaku pada jumlah yang menjerumuskan pada kecintaan dunia yang melenakan.

Di dalam Islam, kekayaan alam merupakan milik umum, seperti hutan, listrik, tambang yang melimpah, batu bara, timah dan lain sebagainya. Semua dikelola untuk kesejahteraan masyarakat secara luas, melingkupi semua lapisan.

Adapun jika ada pihak yang menyelisihi aturan Islam, maka sanksi tak bisa dielakkan. Hukuman dalam Islam mengandung efek jera. Maka, kembalilah pada solusi Islam agar kita menjadi penduduk negeri yang diberkahi. 

Allah ta’ala berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 59,

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Ammylia Ummu Rabani
(Muslimah Peduli Umat)

Kamis, 04 Mei 2023

Hari Buruh 2023, ASPEK Indonesia: Cabut Omnibus Law UU Ciptaker

Tinta Media - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat, S.E. mengatakan bahwa peringatan Hari Buruh untuk mencabut Omnibus Law Undang- Undang (UU) Cipta Kerja. 

"Bahwa peringatan Hari Buruh untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja,"  ujarnya disampaikan dalam keterangan pers pada Senin (1/5/2023). 

Ia mengatakan Hari Buruh tahun 2023 bagi pekerja dan rakyat tuntutannya jelas, cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lebih lanjut dia mengatakan sampai saat ini tidak ada partai politik parlemen dan para calon Presiden yang berani tegas menyatakan pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja. 

"Padahal ini menjadi pintu masuk bagi kelompok pemodal dan investor untuk memiskinkan pekerja dan rakyat Indonesia," tegasnya. 

Mirah mengatakan UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan kepastian jaminan sosial. 

ASPEK Indonesia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh - sungguh dalam melaksanakan Undang - undang Dasar 1945, pasal 27 ayat (2) yang menyatakan, "Tiap - tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian". 

"Bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 yang telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Agung (MA)," pungkasnya.[] Ma'arif Apriadi

Senin, 01 Mei 2023

MAY DAY 2023, MOMENTUM SATUKAN KOMITMEN PERLAWANAN TERHADAP OMNIBUS LAW!

Tinta Media - Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun 2023, harus bisa dijadikan momentum untuk menyatukan semua kekuatan buruh/pekerja bersama rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sangat merugikan pekerja dan rakyat Indonesia. Konsistensi perlawanan dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja menjadi isu penting yang disuarakan oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam memperingati May Day tahun 2023. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers tertulis memperingati Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei 2023 (01/05).

ASPEK Indonesia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh-sungguh dalam malaksanakan amanat Undang Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) tersebut, setidaknya terdapat dua kewajiban Negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, yaitu memberikan pekerjaan dan memberikan penghidupan, yang keduanya harus layak bagi kemanusiaan.

Bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja, adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. Alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo justru mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Peran DPR yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, ternyata justru lebih berpihak kepada kepentingan pemodal atau investor, dan tidak lebih sebagai “stempel” bagi Pemerintah. Pada tanggal 21 Maret 2023, DPR justru menyetujui dan mengesahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Fakta ini telah menyakiti hati pekerja dan rakyat Indonesia, tegas Mirah Sumirat.

Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang, adalah akal-akalan dari Pemerintah dan DPR, untuk memberikan “karpet merah” dan kemudahan kepada kelompok pemodal dan investor.

Di tahun politik dan menjelang Pemilihan Umum tahun 2024, ASPEK Indonesia mengkritik partai politik yang ada di parlemen dan juga para calon Presiden Republik Indonesia yang namanya saat ini muncul di berbagai media, untuk tidak hanya melakukan pencitraan kepada pekerja dan rakyat. Bagi pekerja dan rakyat, tuntutannya jelas, Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja! Sampai saat ini, tidak ada partai politik parlemen dan para calon Presiden Republik Indonesia, yang berani tegas menyatakan pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja! Padahal UU Cipta Kerja yang ada telah menjadi pintu masuk bagi kelompok pemodal dan investor untuk memiskinkan pekerja dan rakyat Indonesia. UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan kepastian upah dan kepastian jaminan sosial!, tegas Mirah Sumirat.

Dalam May Day tahun 2023, ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah dan DPR untuk hadir dan peduli pada nasib pekerja dan rakyat di Indonesia, serta menyuarakan tuntutan:

1. Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja, karena berdampak antara lain:

a. Dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan kompensasi pesangon yang jauh lebih sedikit dibandingkan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

b. Penetapan upah minimum yang justru melanggengkan politik upah murah.

c. Dimudahkannya sistem kerja kontrak, magang dan outsourcing yang diperluas.

d. Dimudahkannya tenaga kerja asing (TKA) khususnya unskill worker.

2. Tolak PHK Sepihak.

3. Tolak RUU Omnibus Law Kesehatan.

4. Sahkan RUU PRT ( Pekerja Rumah Tangga)

5. Berikan kesejahteraan dan Kepastian  Hukum Kepada Pekerja Berbasis Platform/Online.

Kepada seluruh pekerja/buruh/karyawan/pegawai di Indonesia, ASPEK Indonesia mengucapkan Selamat Hari Buruh Internasional. Siapapun anda, apapun pekerjaan dan jabatan anda, selama anda bekerja dan menerima upah/gaji dari pihak lain, sesungguhnya anda adalah kelas pekerja. Tetaplah bersatu, teruslah berjuang, untuk mewujudkan kesejahteraan. 

Jakarta, 01 Mei 2023

Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Mirah Sumirat, SE
Presiden

Sabda Pranawa Djati, SH
Sekretaris Jenderal

Sumber: PRESS RELEASE
ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA (01/05/2023) 

Rabu, 29 Maret 2023

PRESS RELEASE ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA: "PERPPU CIPTA KERJA MENJADI UNDANG UNDANG, DPR BUKTI HANYA STEMPEL PEMERINTAH!"

Tinta Media - (22/03) Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyatakan kekecewaan dan penolakannya terhadap keputusan DPR RI yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU). Indonesia kembali ke jaman Orde Baru, karena DPR RI hari ini ternyata hanya menjadi stempel bagi Pemerintah! Bahkan mengabaikan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional dan memerintahkan dilakukan perbaikan dalam dua tahun! 
Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden, dalam keterangan pers tertulis kepada media (22/03).

Pengabaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya adalah pengabaian terhadap hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia. Penerbitan Perppu Cipta Kerja tanpa adanya kegentingan yang memaksa, juga merupakan bukti arogansi kekuasaan Pemerintahan Joko Widodo bersama DPR RI, yang semata-mata hanya ingin melindungi kepentingan pemodal. Tidak dibahasnya Perppu Cipta Kerja dalam sidang pertama sejak Perppu diterbitkan, membuktikan sesungguhnya tidak ada kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat formil penerbitan Perppu Cipta Kerja! DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru tidak lagi memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, ungkap Mirah Sumirat.

ASPEK Indonesia menilai Isi Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR RI, tidak jauh berbeda dengan isi UU Cipta Kerja, yang banyak merugikan kepentingan pekerja. Hilangnya kepastian jaminan pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial dalam UU Cipta Kerja maupun dalam Perppu Cipta Kerja, akan menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan bagi seluruh rakyat Indonesia!, pungkas Mirah Sumirat.

Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Mirah Sumirat, SE 
Presiden

Sabda Pranawa Djati, SH
Sekretaris Jenderal

Minggu, 26 Maret 2023

Perpu Ciptaker Sah Jadi Undang-Undang, Pamong Institute: Beban Rakyat Makin Berat

Tinta Media - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dinilai makin memberatkan beban rakyat.

"Lahirnya UU Cipta Kerja ini akan memberatkan rakyat. Ini menunjukkan bahwa negara bukan meringankan beban rakyat, tapi negara justru menambah beban rakyat," ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi Almaroky dalam acara Kabar Petang: DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja menjadi UU, Simak Potensi Bahayanya di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (23/3/2023).

Menurutnya, rakyat masih jauh dari kata sejahtera baik dari segi pendidikan, maupun kesehatan, belum lagi rakyat tetap dibebani berbagai macam pajak.

"Ukuran masyarakat sejahtera itu kan paling sederhana bisa dilihat itu dari pendidikan, dari daya beli dan dari kesehatan. Tapi sekarang banyak yang putus sekolah. Kemudian untuk kesehatan masih bergantung pada iuran BPJS sudah bayar pun masih tidak dilayani, bahkan ditolak hingga ada yang meninggal, lalu rakyat juga masih harus membayar pajak, PPH, PPN, pajak retribusi dan macam-macam," bebernya.

Sementara itu dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi UU yang kemudian akan menjadi payung hukum bagi oligarki dan para kapitalis untuk lebih mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini bahkan juga sumber daya manusia nya. "Ya tentu dengan Perpu Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang ini akan menjadi payung hukum buat mereka tentang kebijakan-kebijakan yang lebih jauh untuk mengeksploitasi negeri ini bukan sekedar mengeksploitasi sumber daya alamnya tapi juga mengeksploitasi juga sumber daya manusianya," jelasnya.

Hal ini membuatnya mempertanyakan keberpihakan DPR, apakah sebagai wakil dari rakyat atau justru wakil dari para pengusaha, oligarki dan para kapitalis. Dengan disahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, yang dulu ditolak oleh banyak orang karena bahkan dinyatakan inkonstitusional. 

"Kenapa sekarang bisa disahkan oleh DPR. Ini juga yang kita pertanyakan, DPR ini wakil rakyat atau wakil para pengusaha atau para pebisnis atau para konglomerat?" pungkasnya.[] Muhammad Ikhsan Rivaldi

Sabtu, 25 Maret 2023

Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi UU, IJM : Bukti Pemerintah Tidak Memperhatikan Due Process of Law

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai pemerintah tidak memperhatikan prinsip hukum yang baik, khususnya due process of law dalam  mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU).

“Rapat pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) diketahui banyak elemen buruh telah menolaknya. Namun, DPR tetap mengesahkannya menjadi UU. Ini menunjukkan pemerintah tidak memperhatikan prinsip negara hukum yang baik, khususnya due process of Law,” tuturnya dalam program Aspirasi : Perppu Cipta Kerja Jadi UU | Aspirasi Rakyat Terbentur Tembok Kekuasaan? di kanal YouTube Justice Monitor, Selasa (21/3/2023).

Agung menilai pemerintah memiliki sikap yang menerabas dan mengangkangi hukum di negeri ini.

“Jadi kepada siapa lagi rakyat berharap agar negeri Ini selamat dari pemerintah yang dianggap sebagian pihak bermental menerabas, otoriter, dan melecehkan lembaga yudikatif? Lalu bagaimana nasib pembentukan dan penegakan hukum di tahun 2023?” tanyanya.

Dalam konteks ini, ia merasa cukup prihatin regulasi diubah sedemikian rupa yang pada analisis terakhir katanya akan menekan ongkos berbisnis. “Pemilik modal terutama asing akan melihat kalau mereka bisa mendapatkan laba yang lebih besar jika melakukan investasi di Indonesia dan memilih memarkir uang mereka di sini,” ucapnya.

Ia mengulas para pakar yang berargumen bahwa selain menekan biaya tenaga kerja, masih banyak yang bisa dilakukan untuk menarik investasi, seperti peningkatan efisiensi kinerja birokrasi pemerintah, menghapus KKN, pungli, dan lain sebagainya. Menurutnya, pada akhirnya kapital lah yang berbicara. “Dari semua ini, yang diinginkan oknum kapitalis busuk adalah penekanan biaya tenaga kerja yang merupakan biaya terbesar dalam produksi untuk meraih laba lebih besar,” ujarnya.

Dalam skenario terbaik pun, Agung berpandangan ketika investasi mengalir deras paska lolosnya undang-undang ini akan berpotensi menciptakan periode penciptaan lapangan kerja yang singkat dengan mutu yang rendah. Sementara kebijakan-kebijakan undang-undang ciptaker dinilainya telah memangkas lebih lanjut taraf hidup rakyat.

Ia mengurai lebih lanjut tentang kebijakan upah per jam akan meningkatkan jumlah penganggur. Dengan fleksibilitas tenaga kerja seperti ini, menurutnya pengusaha dapat menggaji buruh hanya beberapa jam perhari saja sesuai dengan kebutuhannya. “Penghapusan cuti haid juga berarti pengangguran akan lebih tinggi. Kalau sebelumnya perempuan memperoleh satu sampai dua hari cuti haid yang dibayar, kini dihapus. maka ini berarti ada buruh lain yang kehilangan 1-2 hari kerja,” tambahnya.

Agung melihat rupanya pemerintah akan saling kejar mengejar untuk berebut investasi yang tengah mengering di tengah perekonomian dunia yang lesu. “Segera setelah pemerintah Indonesia meloloskan Perppu Cipta Kerja ini, mungkin pemerintah kapitalis di negeri lain akan mengajukan omnibus law mereka sendiri, yang lebih inovatif dalam memeras darah dan keringat rakyat pekerja,” ungkapnya.

Menurutnya, tujuannya tidak lain adalah demi kapitalisme yang ujungnya adalah memangkas upah buruh agar murah. "Tentunya beresiko pada sumber daya alam kita. Teruslah berbicara untuk melakukan kritisisasi untuk Indonesia yang lebih baik,” tutupnya.[] Erlina

Minggu, 08 Januari 2023

Terbitkan Perppu Cipta Kerja, LBH Pelita Umat: Pemerintah dan DPR RI Melawan Putusan MK

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menilai, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI terkait UU Cipta Kerja adalah sebagai bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Apa yang dilakukan Pemerintah dan DPR terkait UU Cipta Kerja adalah bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan MK. Padahal, UU Cipta Kerja telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020,” tuturnya pada Tintamedia.web.id, Kamis (5/1/2023).

Menurutnya, pembangkangan atau perlawanan Pemerintah dan DPR yang dimaksud ada tiga yaitu: 

Pertama, DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU P3. “Tahun 2022 DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. Ada dugaan revisi UU merupakan siasat memperbaiki UU Cipta Kerja. UU yang dijuluki Omnibus Law itu padahal sudah dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021.” ungkapnya.
 
Ia melanjutkan bahwa revisi terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan ini disebut menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Revisi UU P3 itu dilakukan karena pada UU 12/2011, yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan, menurutnya masih belum mengatur mengenai metode omnibus law. 
 
“Selama ini beleid tersebut merupakan patokan utama dalam pembuatan regulasi, dari undang-undang, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi,” imbuhnya. 
 
Ia menandaskan bahwa UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan Pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus law. “Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020. Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3 merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja dan memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja,” tambahnya. 
 
Selain itu, masih menurutnya revisi Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) ini sebelumnya dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 
 
Kedua, DPR dan Pemerintah memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi dengan melantik Guntur Hamzah sebagai Hakim MK pada Rabu (23/11/2022). “Guntur Hamzah ini menggantikan Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR RI sebelumnya. Alasan mengganti Aswanto menurut Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto karena kinerja Aswanto mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR. Salah satunya Aswanto ikut menilai UU Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat,” bebernya 
 
Chandra menilai proses pelantikan tersebut akan merusak wibawa Mahkamah Konstitusi dan dikhawatirkan MK akan dianggap sebelah mata. “Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti lembaga pengusul lainnya misalnya Presiden dan Mahkamah Agung juga dikhawatirkan akan memecat hakim konstitusi,” ucapnya.

Ini, lanjutnya tentu tidak dapat dibiarkan. Ditambah lagi dikhawatirkan juga hakim-hakim MK takut kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden dan MA). “Menghadapi kondisi ini MK sepatutnya untuk memproteksi hal tersebut dengan melakukan Judicial Review terhadap UU MK dan UU terkait lainnya,” usulnya
 
Ketiga, Pemerintah menerbitkan Perppu 2/2022. “Penerbitan Perppu ini membuktikan kekuasaan Presiden sangat lah besar termasuk kewenangan dalam legislasi, kekuasaan absolut dalam membentuk dan menetapkan undang-undang,” ujarnya.

Menurut Chandra, hakekatnya, sebuah undang-undang harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat setidaknya melalui parlemen. Sedangkan Perppu tidak perlu partisipasi masyarakat karena Perppu adalah kewenangan absolut Pemerintah.

Chandra menegaskan semestinya Pemerintah menjalankan amanat dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang diberikan waktu selama 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan yaitu UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Dalam Putusan tersebut, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen,” pungkasnya.[] Erlina
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab