Tinta Media: Tunjangan
Tampilkan postingan dengan label Tunjangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tunjangan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 November 2024

Tunjangan Melimpah, Pelayanan Tak Memuaskan



Tinta Media - DPR, DPD, dan MPR RI untuk masa jabatan tahun 2024-2029 resmi dilantik dalam sidang paripurna pada 1 Oktober 2024 CNBC Indonesia (4/10/2024).  Belum juga bekerja, setelah para wakil rakyat ini dilantik, timbulah polemik baru mengenai rumah dinas DPR. 

Menurut informasi, rumah dinas DPR periode tahun 2004-2009 tidak bisa lagi ditempati dikarenakan rusak parah, sedikit yang menghuni sehingga ada rencana pemberian tunjangan perumahan baru. Ini tentu mengusik kenyamanan netizen Indonesia, bahkan lembaga pengawas parlemen. Kebijakan ini dinilai tidak ada urgensi dan akan berefek pada bertambahnya beban negara. (BBC News Indonesia, 5/10/2024).

Managing Editor CNBC Indonesia menyebutkan bahwa 50% lebih profil hingga komposisi anggota DPR, DPD, dan MPRI RI adalah anggota dewan lama sehingga diharapkan dapat lebih cepat menyelesaikan sederet undang-undang yang belum disahkan pada periode sebelumnya.

Alhasil, dalam periode tahun 2024-2029 anggota DPR rencananya tidak akan mendapatkan fasilitas rumah dinas untuk 580 anggota. Namun, sebagai penggantinya, para anggota dewan akan diberikan tunjangan perumahan. Riset awal hunian di sekitar Kompleks Parlemen dengan kisarannya Rp30 juta-Rp50 juta per bulan. 

Nantinya, hunian ini akan dikembalikan kepada negara setelah purna tugas. Bahkan anggota DPR periode 2024-2029, Habiburokhman mengatakan bahwa untuk mengganti rumah dinas dengan tunjangan perumahan saja tidak cukup.

Sebenarnya, rumah dinas untuk DPR telah disediakan di kompleks perumahan Kalibata, Jakarta Selatan yang berjumlah lebih dari 500 unit dengan luas 22 hektare. Fasilitas rumah berlantai dua yang dibangun sejak pada 1988 disediakan negara sebagai tempat tinggal para anggota DPR, termasuk yang berasal dari area Jakarta untuk menghemat anggaran. 

Namun, penampakannya hari ini makin tampak sepi seperti tak berpenghuni karena sudah lebih dari 50% rusak parah dan butuh perawatan yang tidak murah. Kerusakannya beda-beda, mulai dari struktur rumah yang turun, retakan di dinding, atapnya juga ketarik karena struktur di bawah amblas.

Kebijakan ini dinilai terburu-buru, apalagi lembaga terkait belum melakukan audit pada kerusakan rumah dinas DPR sebelum akhirnya memutuskan memberikan tunjangan perumahan karena prosesnya lama dan merepotkan.

Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center, Arif Adiputro menilai bahwa kondisi kerusakan hunian dianggap masih bisa diperbaiki. Maka, akan lebih efisien untuk diperbaiki. Apalagi jika membuat perumahan baru, tentu akan menghabis-habiskan APBN mengingat semua harus diseragamkan sebanyak 580 anggota, mengingat keputusan yang dibuat akan terasa sensitif di tengah kondisi masyarakat yang sulit secara ekonomi karena banyak yang diberhentikan dari lapangan pekerjaan dan lemahnya daya beli masyarakat saat ini.

Apalagi jika melihat dari besaran gaji DPR yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 yang meliputi tunjangan jabatan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan beras, uang sidang, fasilitas kredit, tunjangan rumah jabatan.

Jika komponen di atas dijumlahkan semua, maka seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp54.051.903 setiap bulan (belum termasuk uang perjalanan dinas).

Bahkan, para wakil rakyat juga akan menerima pensiun nantinya sebesar 60% dari gaji anggota DPR.

Rakyat adalah penggaji para wakil rakyat. Untuk rakyatlah mereka bekerja.
Rasanya, slogan di atas sudah tidak jarang terdengar di telinga. Rasa-rasanya memang rakyat Indonesia adalah rakyak yang kaya, sejahtera hingga mampu menggaji para wakil dengan gaji yang begitu fantastis. 

Anggota DPR adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat yang juga sekaligus membuat aturan atau undang-undang di negeri tercinta Indonesia. Namun, realita hari ini memperlihatkan bahwa ada banyak hubungan antara satu dengan yang lain, sehingga rawan konflik kepentingannya sendiri.

Adanya undang-undang yang dibuat bukan untuk menyejahterakan kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk segelintir rakyat yang punya uang banyak. Seperti misalnya undang-undang omnibuslaw, undang-undang legalnya kontrasepsi bagi pelajar, dll. 

Mengingat hari ini tidak ada oposisi dan semua menjadi koalisi demi kepentingan meraup pundi-pundi materi. Alhasil, tidak ada pelayanan terhadap rakyat secara benar. Rakyat terabaikan dan akhirnya kembali tak mampu melawan. Rakyat tertindas oleh para pegawai yang digajinya sendiri, sebagai tempat bergantungnya harapan dan masa depan.

Lantas apa yang sebenarnya kurang? Dalam sistem kapitalisme, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, tetapi karena kekayaan atau jabatan. Dalam mekanisme politik transaksional semua mudah berkuasa apabila punya modal. 

Sitem kehidupan kapitalisme memang membentuk siapa pun di dalamnya yang hanya berfokus untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya hingga menghalalkan segala cara, mengorbankan rasa kemanusiaan, mengorbankan rasa kepedulian, kejujuran, keadilan, bahkan tanggung jawab sebenarnya.
Jelas hal tersebut berbeda dengan sistem bernegara Islam “khilafah”. 

Dalam sistem kehidupan Islam, tidak ada lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pembuat aturan dan undang-undang tidak berkongsi karena hanya Allah. Alhasil, segala aturan bernegara dan berkehidupan sehari-hari masyarakat adalah sebagaimana yang ada dalam syariat Islam.

Dalam sistem kehidupan Islam terdapat majelis ummah yang menjadi wakil rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat karena merupakan representaasi dari masyarakat. Majelis umat merupakan struktur pemerintahan, tetapi tidak termasuk bagian dari pemerintahan itu sendiri. Adapun tugasnya hanya penyampai aspirasi, dilibatkan hanya pada persoalan teknis rakyat, dan tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan apa pun untuk mengatur kehidupan. 

Adapun musyawarah atau syura’, tetap dipakai hanya pada porsi untuk menjadi pertimbangan, bukan penentu kebijakan. Wallahualam bisawab.



Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M, 
Sahabat Tinta Media

Kamis, 17 Oktober 2024

Rumah Dinas Diganti Tunjangan: DPR Makin Kaya, Rakyat Tambah Sengsara

Tinta Media - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara yang ada dalam ketatanegaraan Indonesia. DPR sendiri memiliki banyak peran dan tugas seperti pembuatan undang-undang, melakukan pengawasan terhadap pemerintahan, dan mewakili suara rakyat Indonesia. Anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu). Selain memiliki tugas dan peran, anggota DPR pun mendapatkan hak dan fasilitas dari negara selain gaji, seperti mendapatkan fasilitas mobil dan rumah yang disebut dengan hak keuangan dan administratif.

 

Namun baru-baru ini, terjadi protes yang mengatakan bahwa fasilitas rumah dinas yang diberikan kepada anggota DPR tidak layak. Hal ini disebabkan beberapa alasan seperti desainnya yang sudah ketinggalan zaman dan beberapa kerusakan fasilitasnya, yang akhirnya akan dialihkan kepada tunjangan perumahan.

 

Namun hal ini mengundang kritik berbagai pihak, salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW).  ICW berpendapat bahwa kebijakan ini merupakan pemborosan uang negara dan menduga bahwa gagasan ini hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik lain yang lebih penting. (Kompas.com, 12-10-24)

 

ICW juga mengkritik bahwa jika kebijakan ini dilaksanakan, langkah ini akan mempersulit pengawasan. Alhasil akan memberikan peluang dan potensi terjadinya penyalahgunaan, terlebih tunjangan tersebut langsung ditransfer ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan (tirto.id, 12-10-24)

 

 

DPR Makin Kaya, Rakyat Tambah Sengsara

 

Seperti yang kita ketahui, di samping tugasnya yang begitu banyak dan berat anggota DPR diberikan berbagai tunjangan dan fasilitas untuk mempermudah mereka dalam melaksanakan amanah. Termasuk diberikannya rumah dinas agar mereka bisa dengan mudah melaksanakan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.

 

Namun jika fasilitas rumah dinas ini diganti dengan tunjangan perumahan akan sangat mungkin menyebabkan penggunaannya tidak tepat sasaran. Terlebih lagi dana yang dikeluarkan akan sangat membengkak menyebabkan pemborosan anggaran negara. Padahal banyak rakyat yang masih dalam kondisi miskin yang sangat memerlukan jaminan negara dalam memenuhi kebutuhannya. Jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini, masih banyak yang kesulitan mendapatkan rumah. Belum lagi, bukan tunjangan yang mereka dapatkan malah ‘beban’ iuran tapera yang semakin menambah kesengsaraan. Hal ini diperparah dengan keputusan anggota dewan yang justru terus mencekik rakyat.

 

Belum lagi sulitnya pengawasan yang disebabkan tunjangan ini akan ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Maka wajar apabila ada anggapan tunjangan ini hanya memperkaya anggota dewan, dan menambah kesengsaraan rakyat.

 

Wakil Rakyat dalam Islam

 

Dalam setiap pemerintaahan pasti membutuhkan peran wakil rakyat, begitu pun dalam sistem Islam. Wakil rakyat dalam Islam disebut dengan Majelis Ummah, namun berbeda peran dan fungsinya dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi.

 

Peran anggota majelis ummah murni untuk mewakili suara rakyat, yang didasari oleh iman dan kesadaran utuh tugasnya sebagai penyambung lidah atau perwakilan rakyat. Kesadaran ini akan mendorong mereka fokus dalam menjalankan fungsinya yang harus diwujudkan. Sebab hal ini merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat kelak. Hal ini tentu sangat berbeda dengan wakil rakyat yang ada dalam penerapan sistem demokrasi yang menjalankan amanahnya dengan tujuan kepentingan. Yang tetap pada realitanya ketika kepentingannya sudah tercapai, capaian kerjanya tetap tidak optimal.

 

Dan majelis ummah tidak dibentuk untuk fokus pada berbagai fasilitas dan tunjangan yang diberikan oleh negara. Sebab dalam Islam memiliki aturan yang mengatur harta, kepemilikannya dan pemanfaatannya. Maka para wakil rakyat tak akan sembarangan menerima harta baik dari negara ataupun dari pihak lain.

 

Mereka akan sangat berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara. Hal ini dicontohkan pula oleh seorang khalifah. Ia hanya menggunakan lampu kantor untuk urusan kenegaraan saja, dan ia akan mematikan lampu apabila sedang mengatur urusan pribadi.

 

Majelis Ummah dalam Bingkai Sistem Islam

 

Namun yang perlu kita perhatikan ialah, majelis ummah ini tak akan mungkin bisa diterapkan di negara dengan penerapan demokrasi kapitalis. Yang mana menjadikan materi sebagai tujuan hidupnya. Maka wajar apabila setiap ada kesempatan akan mereka jadikan sumber untuk mendapatkan materi termasuk harta.

 

Maka penerapan majelis ummah sebagai wakil rakyat hanya dapat dilakukan ketika sistem Islam diterapkan pula secara kaffah. Sebab penerapannya ini bukan hanya solusi bagi satu perkara namun solusi bagi setiap permasalahan. Dan majelis ummah dan rakyat akan memiliki satu persepsi yang sama dalam membuat kebijakan dan pengawasan pemerintahan yakni aturan Islam.  Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 208 :


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ 

 

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh : Rheiva Putri R. Sanusi, S.E., Aktivis Muslimah


Senin, 12 September 2022

Tunjangan Profesi Guru Dihapus?

Tinta Media - Hilangnya pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas memantik protes dari kalangan guru. Pemerintah pun didesak untuk mencantumkan kembali hak guru tersebut seperti yang dimuat di UU Guru dan Dosen No. 14/2005. (edukasi.sindonews.com, 29 Agustus 2022)

PB PGRI menyayangkan, dalam draft RUU Sisdiknas substansi penting mengenai TPG justru menghilang. PB PGRI menyebutkan, dalam RUU Sisdiknas draft versi April 2022 yang beredar luas, di pasal 127 ayat 3 tertera jelas pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen. Namun, draft versi Agustus 2022 yang beredar luas di masyarakat pendidikan, pemberian tunjangan profesi guru, tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil, dan tunjangan kehormatan dosen sebagaimana tertulis dalam ayat 3-10 pasal 127 hilang, hanya dicantumkan ayat 1 dari pasal 127 draft versi April dalam pasal 105 draft versi Agustus 2022.(edukasi.sindonews.com, 29 Agustus 2022)

Besaran TPG diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, berkisar satu juta hingga lima juta lebih tergantung jenis golongan dan kelas PNS. Sedangkan untuk guru non PNS, besaran tunjangan profesinya diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen PNS.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Iwan Syahril justru mengatakan, “RUU Sisdiknas mengatur bahwa guru yang sudah mendapat tunjangan profesi melalui proses sertifikasi, baik guru ASN dan non-ASN akan tetap mendapat tunjangan tersebut hingga pensiun sepanjang mereka memenuhi peraturan perundang-undangan.”(kompas.tv.com, 31 Agustus 2022)

Kapitalisme Tidak Berpihak pada Pendidik

Tunjangan adalah bentuk pengakuan dan penghargaan akan ke-profesian guru dan dosen. Terlebih sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak guru dan dosen yang belum mendapatkan gaji memadai, terutama di sekolah atau kampus swasta, sehingga penghapusan tunjangan dari RUU jelas mengganggu rasa keadilan terhadap profesi guru. Belum lagi, pada faktanya gaji PNS dipotong dengan berbagai iuran. Gaji ke-13 yang dijanjikan pun turut terhambat. Inilah dampak dari kebijakan yang mengedepankan kepentingan dan egoisme kekuasaan. Kebijakan ini lahir dari sistem kapitalis yang minim rasa keadilan, empati, dan peduli terhadap dunia pendidikan.

Anggaran pendidikan sering dipotong demi alasan efisiensi, sedangkan ketika mereka mengalokasikan dana untuk membeli gorden kantor DPR, renovasi gedung, seragam pejabat, kalender, dan sejenisnya, mereka mengatakan hal tersebut adalah kebutuhan.

Padahal tenaga pendidik seharusnya mendapatkan kesejahteraan sehingga optimal dalam mendidik generasi penerus bangsa. Sayang, kebijakan sistem kapitalisme membuat mereka terbebani dengan biaya hidup. Akibatnya, banyak guru yang tidak optimal dalam mengajar karena harus mencari uang tambahan.

Islam Memberi Tunjangan Pendidik Secara Fantastis 

Sangat berbeda dengan sistem Islam, ketika mengurus masalah biaya pendidik serta sarana prasarana pendidikan. Sistem Islam yang memang peduli pendidikan generasi, akan berupaya memberikan tenaga pendidikan yang terbaik, memastikan setiap individu tenaga pendidik mendapat kesejahteraan mereka. Kesejahteraan ini terwujud dalam pemberian gaji yang begitu besar. Dengan gaji itu, para pendidik bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Alokasi gaji para guru diambil dari Baitul Mal melalui dua pos, yakni pos kepemilikan negara, seperti fa’i, kharaj, ghanimah, khumus seperlima harta rampasan perang, , jizyah, dharibah, dan pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak, gas, hutan, laut, dan hima.

Adapun besaran gaji yang akan didapatkan oleh para pendidik sangat besar, seperti apa yang dilakukan Umar bin Khaththab r.a ketika mengatur gaji pendidik, dalam buku ‘Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab, Jaribah bin Ahmad Alharitsi’ dijelaskan bahwa gaji pendidik negeri Islam diberikan dalam jumlah tidak kurang dari batas kecukupan, yakni sebaiknya sejalan dengan kondisi umum bagi umat. Artinya, gaji tersebut secara ma’ruf memenuhi kebutuhan pendidik itu sendiri dan keluarganya. 

Dengan konsep ini, Khalifah Umar bin Khatthab mampu memberi gaji guru di Madinah yang merupakan guru anak-anak sebesar 15 dinar, jika dikonversikan ke dalam rupiah maka setara dengan Rp62.156.250 (1 dinar = 4,25 gram emas, 1 gram emas 24 karat senilai Rp975.000). Bisa dibayangkan berapa gaji para pegawai negeri lainnya.

Begitu pula pada masa kekhalifahan Shalahuddin al-Ayyubi. Pada saat itu, Syaikh Najmuddin al-Khabusyani menjadi guru di Madrasah al-Shalahiyyah. Setiap bulannya beliau digaji 40 dinar ditambah 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah. Gaji tersebut setara dengan Rp207.187.500. Angka yang luar biasa fantastis.

Begitu besar gaji dan tunjangan guru jika negara menerapkan aturan Islam dalam semua aspek kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan. Kesejahteraan itu tidak akan tercapai dalam sistem kapitalisme.

Oleh: Evi Avyanti, S.Pd.
Guru SMA di Bandung

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab