Tinta Media: Tsaqafah
Tampilkan postingan dengan label Tsaqafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tsaqafah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Mei 2023

BAIAT DALAM FIQIH ISLAM: BAIAT IN’IQAD DAN BAIAT TAAT



Pengertian Baiat

Makna Bahasa (Etimologi)

Makna bahasa (lughawi / etimologi) dari kata “al-baiat” ada beberapa makna antara lain :

Pertama, baiat bermakna (اَلْمُبَايَعَةُ عَلىَ الطَّاعَةِ) “al-mubâya’ah ‘alâ at-thâ’ah” (saling berjanji untuk mentaati)

Kedua, baiat bermakna (اَلصَّفْقَةُ مِنْ صَفَقَاتِ الْبَيْعِ) “ash-shafqah min shafaqât al-bai’ “ (kesepakatan dalam berjual beli). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9/274).

Adapun makna syar’i dari “al baiat”,  ada beberapa definisi, yang dirumuskan dari berbagai hadis Nabi SAW, walaupun redaksi haditsnya yang berbeda-beda, namun maknanya sama. Definisi baiat menurut Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut :

إِنَّ البَيْعَةَ هِيَ العَهْدُ عَلَى الطّاعَةِ ، كَأَنَّ اَلْمُبايِعَ يُعاهِدُ أَميرَهُ عَلَى أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ النَّظَرَ فِي أَمْرِ نَفْسِهِ ، وَأُمورِ المُسْلِمِيْنَ ، لَا يُنَازِعُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيُطيْعُهُ فِيمَا يُكَلِّفُهُ بِهِ مِنْ الأَمْرِ عَلَى المَنْشَطِ وَاَلْمَكْرَهِ .مقدمة ابن خلدون، ج 2ص 549

“Sesungguhnya pengertian baiat adalah janji untuk mentaati, seakan-akan pihak yang membaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepada pemimpin tersebut, serta berjanji untuk tidak membangkang kepadanya dalam urusan itu, dan berjanji untuk mentaati pemimpin itu pada segala perkara yang dibebankan pemimpin itu baik pada hal yang menyenangkan maupun pada hal yang dibenci.” (Muqaddimah Ibnu Khaldûn, 2/549).

 Berdasarkan definisi baiat dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (2/549) tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud dengan baiat menurut istilah syariah Islam adalah :

البَيْعَةُ هِيَ عَهْدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالحَاكِمِ عَلَى الحُكْمِ بِالشَّرْعِ وَطاعَتِهِمْ لَهُ

 “Baiat adalah perjanjian antara umat dan penguasa untuk menerapkan hukum berdasarkan syariah Islam dan untuk mentaati penguasa itu.” (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 105).

Definisi baiat Ibnu Khaldun sesungguhnya diambil dari hadis-hadis Nabi SAW tentang baiat, misalnya sabda Rasulullah SAW :

مَن بايَعَ إمامًا فأعطاهُ صَفقةَ يَدِهِ وثَمَرةَ قَلبِه، فليُطِعْه ما استَطاعَ، فإنْ جاءَ آخَرُ يُنازِعُه فاضرِبوا عُنُقَ الآخَرِ 

“Barangsiapa yang  membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya kepadanya, dan memberikan buah hatinya kepadanya, maka wajiblah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuan dia. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, maka penggalah orang tersebut.” (HR Muslim no. 1844).

Hukum Baiat

Baiat hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin, dan sekaligus merupakan hak bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dikarenakan baiat itu merupakan metode satu-satunya untuk mengangkat Khalifah sebagai kepala negara dari Negara Khilafah Islamiyah. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 106).

Dalil wajibnya baiat untuk mengangkat seorang Khalifah (Imam) ada dua :

Pertama, hadis-hadis Nabi SAW.

Kedua, Ijma’ Shahabat (Konsensus Para Shahabat Nabi SAW).

Adapun dalil dari hadis-hadis Nabi SAW di antaranya misalnya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً

“Barangsiapa yang  mati sedangkan di lehernya tidak tersdapat baiuat (kepada Khalifah) maka matinya adalah mati Jahiliyyah.” (HR Muslim no. 1851).
Wajhul Istidlâl (cara penarikan hukum dari dalilnya) :

Hadis ini telah mencela orang yang tidak punya baiat kepada Khalifah, dengan celaan yang berat, sebagai mati jahiliyah. Celaan berat yang ditujukan untuk perbuatan yang ditinggalkan, tidak memiliki makna lain, kecuali perbuatan yang ditinggalkan itu (yaitu baiat), hukumnya wajib.  (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm di Al-Islâm, hlm. 102).

Namun perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan “mati jahiliyah” bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat (tidak taat) kepada Allah SWT, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :

وَلَيْسَ المُرادُ يَموتُ كَافِرًا بَلْ يَموتُ عَاصِيًا

“Yang dimaksud “mati jahiliyah” dalam hadis itu bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, 16/112)

Adapun dalil wajibnya baiat dari Ijma’ Shahabat, nampak dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, para shahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih pemimpin umat pengganti Rasululullah SAW. Para shahabat Nabi SAW akhirnya sepakat (ijma’) untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq RA sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah SAW dalam urusan kepemimpinan umat. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 111).

Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad Dan Baiat Taat

Baiat ada dua macam :

Pertama, baiat in’iqâd, atau disebut baiat khusus, yaitu baiat dari wakil umat untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Hukum baiat in’iqad adalah fardhu kifayah.

Kedua, baiat tâat, atau disebut baiat umum, yaitu baiat dari seluruh umat Islam untuk menyatakan ketaatan kepada Khalifah yang telah dibaiat sebelumnya. Hukum baiat taat adalah fardhu ‘ain.

(Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165, hlm. 164-165)

Dalil adanya dua macam baiat tersebut adalah Ijma’ Shahabat yang terjadi setelah Abu Bakar Shiddiq RA dibaiat secara khusus oleh para shahabat di Saqifah Bani Saidah sebagai Khalifah. Keesokan harinya, setelah sholat Shubuh, Abu Bakar RA dibaiat lagi secara umum oleh kaum muslimin yang hadir di masjid. Baiat di Saqifah Bani Saidah itu merupakan baiat in’iqad (baiat khusus). Sedangkan baiat di masjid merupakan Baiat Taat (baiat umum). (Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165).

Syarat untuk pihak yang dibaiat (khalifah/imam), ada 7 (tujuh) syarat :

(1) Muslim.

(2) Laki-Laki.

(3) Aqil (Berakal)

(4) Baligh.

(5) Adil (bukan orang fasik).

(6) Merdeka (bukan budak)

(7) Mampu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi al–Islâm, hlm. 50-53).

Adapun syarat-syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam) ada 4 (empat) syarat sebagai berikut :

(1) Muslim.

(2) Aqil (Berakal).

(3) Baligh.

(4) Ridha dan Ikhtiyar (tidak Dipaksa). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 128-137).

Mengenai redaksi baiat, bagi umat intinya adalah : membaiat khalifah dan mentaati khalifah. Sedangkan redaksi baiat bagi Khalifah : menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Mengenai cara (kaifiyat) membaiat, dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

(1) Dengan ucapan langsung.

(2) Dengan surat.

(3) Dengan berjabatan tangan.

(4) dll. (Abdul Qadim Zallum, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 120-128).

Kesimpulan

Baiat merupakan akad politik antara umat Islam di satu sisi, dengan Khalifah di sisi lain, dengan kewajiban atas Khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedang bagi umat Islam baiat merupakan komitmen untuk mentaati dan mendengar Khalifah yang dibaiat, selama Khalifah tidak memerintahkan berbuat maksiat.

Baiat dalam pengertian syariahnya, hanya ada bagi Khalifah (Imam) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Istilah baiat dalam makna syariahnya ini tidak boleh disalahgunakan untuk baiat kepada seorang pemimpin dari sebuah kelompok (jamaah) atau ketua sebuah organisasi, atau kepada kepala negara di luar sistem-sistem pemerintahan Islam, seperti seorang presiden atau raja. Baiat dalam makna syar’i hanya diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dari negara Khilafah, bukan yang lain. 

Wallahu a’lam.

Oleh: KH M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Jumat, 03 Juni 2022

Hidup Bahagia dan Bermakna Itu Ketika...


Tinta Media - Mudir Ma'had Syaraful Haramain KH. Hafidz Abdurrahman menyatakan bahwa hidup yang bahagia dan bermakna itu ketika amal saleh diterima oleh Allah SWT.

"Hidup yang bahagia dan bermakna adalah ketika amal saleh kita diterima oleh Allah SWT," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (1/6/2022).

"Pun saat ajal yang pasti itu tiba, semua yang kita lakukan bisa kita pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Bahkan, kita pun dirindukan-Nya," imbuhnya.

Menurutnya, seperti itulah yang dialami Sa'ad bin Mu'adz, sahabat Nabi Saw yang mulia. Umurnya tidak panjang, hanya sekitar 30 tahunan. Tidak kurang dari enam tahun ia habiskan waktunya untuk Islam, Allah SWT, dan Rasul-Nya. "Saat ajal menjemputnya, Allah berikan kemuliaan yang tiada tara. Kematiannya dirindukan oleh-Nya hingga membuat singgasana-Nya berguncang," ulasnya.

Ia melanjutkan,  Abu Hurairah juga demikian. Beliau ditakdirkan Allah SWT hanya bersama Nabi SAW tidak kurang dari tiga tahun. Namun, dalam tiga tahun itu, beliau gunakan untuk Islam. Beliau berhasil mengumpulkan tidak kurang dari empat karung hadis. Ia gunakan malamnya untuk belajar dan menghapal Al-Qur'an. Sungguh berkah umur dan waktunya. "Meski tidak banyak dan tidak panjang, tetapi Allah SWT berikan kebaikan yang berlimpah," bebernya.


"Jika kita sadar, Allah SWT memberikan kesempatan emas kepada kita. Dengan salat berjamaah dan salat rawatib misalnya, dalam sehari kita bisa mendapatkan 152 poin dibandingkan saat salat sendiri yang hanya mendapatkan 17 poin," paparnya.

"Belum lagi, jika itu semua dilakukan di masjid, maka tiap langkah kaki kita akan merontokkan dosa kita," tambahnya.

Dengan shalat di masjid Nabawi, lanjutnya, bisa mendapatkan 1000 poin. Itu artinya, nilai sehari beribadah di sana, sama dengan 24 tahun. Lalu bagaimana kalau itu dilakukan di Masjidil Haram? Maka, poin yang diperoleh sama dengan 2.483 tahun. "Subhanallah," ucapnya.

"Ini baru ibadah shalat. Bagaimana ketika isi hidup kita dengan dakwah? Ketika kita berdakwah dan seseorang mendapatkan hidayah Allah SWT karena kita, maka Allah SWT mengganjarnya dengan kebaikan yang tidak terhingga. Lebih baik daripada terbitnya matahari dan bulan. Allahu Akbar," tuturnya.

Ia mengatakan bahwa begitulah Allah SWT memberikan kesempatan agar umur, waktu, dan hidup menjadi berkah dan penuh hikmah. "Saat ajal yang pasti itu tiba, kita pun menghadap-Nya dengan senyuman. Begitulah jiwa orang-orang mukmin yang saleh dan salihah," ungkapnya.

"Ya Allah, berikanlah umur dan waktu kami. Ya Allah, terimalah amal kami. Jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang ketika ajal kami tiba, termasuk hamba-hamba-Mu yang menghadap kepada-Mu dengan Husnul khatimah dengan penuh kerelaan dan mendapatkan rida-Mu. Aamiin, aamiin, aamiin ya Mujibassailin," pungkasnya.[] Ajirah 

Rabu, 04 Mei 2022

Pengetahuan Sejarah Merupakan Informasi Politik Penting


"Pengetahuan sejarah juga merupakan informasi politik yang sangat penting, baik sejarah tentang umat Islam maupun tentang umat yang lain," tutur narator video MMC, dalam Bagaimana Negara Khilafah Mengajarkan Sejarah, melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Rabu ( 4/5/2022).

Selain itu lanjutnya, sejarah atau tarikh adalah pengetahuan yang termasuk kategori tsaqafah dan sangat dipengaruhi oleh akidah dan pandangan hidup tertentu.

"Karena sejarah ini terkait dengan tsaqofah sebagaimana hadis dan juga shiroh maka ada dua poin yang harus diperhatikan. Pertama sumber dan jalur informasinya (sanad),  yang kedua redaksi dan muatan Informasi yang disampaikan (matan)," jelasnya.

Menurut narator, para sejarawan muslim di masa awal telah menempuh metode yang sama sebagaimana ahli hadis dan juga sirah  dalam penulisan sejarah.

"Mula-mula dituturkan secara lisan. Kemudian diriwayatkan oleh generasi pertama yang menjadi saksi dan terlibat dalam peristiwa tersebut kepada generasi berikutnya hingga akhirnya terbukukan," jelasnya.

Narator menjelaskan bahwa sejarawan terawal yang populer adalah Abu Mukhnif bin Salim al-Azdi. Karya-karyanya yang terkenal seperti Futuh asy-Syam (Penaklukan Syam). Futuh al-Iraq (Penaklukan Irak),  Al Jamal (Perang Jamal). Shifin (Perang Shiffin)  atau Maqtal al-Husain (Terbunuhnya al-Husain.

"Masing-masing kitab ini menjelaskan satu peristiwa. Tetapi dari kitab-kitab tersebut tidak ada yang shohih kecuali yang telah dinukil oleh At-Thabari  dalam kitabnya Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Karena itu tidak heran banyak ahli hadis yang melemahkan riwayat Al Azdi," ungkapnya.

Kata narator, sejarawan lain yang terkenal adalah Al-Madaini. Selain tentang sirah Nabi SAW, dia juga menulis Kitab Akhbar Quraisy, Akhbar an Nisa, dan Akhbar Al Khulafa'.

"Berbeda dengan Al-Azdi terhadap Al-Madaini  para ahli hadis tidak melemahkannya," jelas narator.

Hanya saja, lanjutnya, meski menggunakan metode yang sama yaitu riwayat tetapi kitab-kitab tarikh baik sejarah Islam maupun umat lain, tidak ditulis seteliti penulisan hadis maupun siroh.

"Selain itu kitab-kitab tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh tentang kondisi masyarakat dan negara di zaman nya kecuali fokus pada para khalifah dan juga pembantunya," katanya.

Karena itu lanjutnya,  baik dari aspek jalur informasi (sanad) maupun dari isinya (matan),  sejarah ini harus diteliti ulang. Penelitian ulang sejarah ini dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan sebagaimana penelitian hadis dan juga sirah. Pertama dari aspek sumber informasi (sanad) dan kedua dari aspek isi dan muatan informasi (matan).

Dalam hal ini khilafah bisa membentuk tim khusus yang terdiri dari ahli hadis, sirah dan juga sejarah dari seluruh dunia.

"Setelah berhasil dibuktikan kesahihan  riwayat dan kekuatannya maka hasil penelitian tersebut bisa didokumentasikan sebagai dokumentasi politik dan juga hukum yang menjadi pedoman bagi khilafah," ungkapnya.

Narator memberikan contoh,  hasil riset yang dilakukan oleh Doktor Muhammad Hamidullah  yang dibukukan dalam Al Majmu'ah al-Wasail Asiyasiyah li Al- 'Ahdi An-Nabawi wa Al-Khilafah Ar- Rasyidah (Kumpulan Dokumen Politik Era Nabi dan Khilafah Rasyidah).

Sebelumnya Al-Kattani telah membukukan hasil risetnya dalam At-Taratib  Al-Idariyah (Tertib Administrasi dan Pemerintahan).

"Meski demikian ini juga belum memadai untuk memberikan gambaran yang utuh tentang negara dan masyarakat yang ada di zamannya," terangnya.

Karena itu tambahnya,  untuk merekonstruksi gambaran negara dan masyarakat dalam sejarah Islam harus menggunakan kitab-kitab fiqih yang ditulis para Ulama Fiqih pada zamannya. Karena kitab-kitab ini merepresentasikan pemikiran dan hukum yang diterapkan pada waktu itu. Misalnya dari kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid  kita tahu bagaimana tata kelola ekonomi di zaman tersebut.

"Begitu juga dari kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah karya Al Mawardi kita juga mengetahui bagaimana sistem pemerintahan pada saat itu. Begitu seterusnya," imbuhnya.

Dari kedua sumber diatas baik kitab tarikh yang sudah diteliti ulang maupun fiqih maka bisa didapatkan dua hal. Pertama gambaran sistem Islam yang diterapkan sepanjang sejarah Islam, mulai dari sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, sanksi hukum, sampai politik luar negeri. Kedua paparan bagaimana sistem tersebut diterapkan oleh khilafah. 

"Inilah materi sejarah yang bisa diajarkan kepada umat Islam. Khilafah juga mengajarkan sejarah dalam sistem pendidikan," jelasnya.

Sejarah di Era Khilafah

Narator mengungkap, pendidikan dalam negara khilafah bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam. Kepribadian Islam ini dibentuk oleh aqliyah dan nafsiyah Islam. Sehingga kebijakannya pun harus diarahkan untuk membentuk aqliyah dan nafsiyah Islam.

Berikut adalah penggunaan sejarah sebagai materi dan kurikulum pendidikan khilafah.

Pertama, materi sejarah harus didesain sedemikian rupa sehingga tujuan pendidikan bisa diwujudkan.

Kedua, metode pengajarannya  pun harus benar-benar bisa mewujudkan tujuan tersebut. "Setidaknya ada tiga metode yang akan ditempuh dalam proses pengajaran sejarah. Pertama,  proses pembelajarannya harus sampai pada tingkat yang meyakinkan atau setidaknya ghalabatu zhan. Kedua dikaji dengan mendalam. Ketiga dipelajari untuk diaktualisasikan," bebernya.

Ketiga, materi sejarah yang sudah tersistematisasikan tersebut diajarkan di seluruh jenjang pendidikan sejak fase pertama sebelum Sekolah Menengah Atas.

"Karena ini, merupakan pengetahuan tsaqofah yang lahir dari aqidah dan pandangan hidup tertentu, maka ketika diajarkan sejak dini pengetahuan ini akan bisa menjadi pondasi bagi umat Islam," tuturnya.

Keempat, di tingkat Menengah Atas dan Perguruan Tinggi sejarah bisa diajarkan lebih mendalam dan rinci lagi sebagai bagian dari pengetahuan tsaqofah, baik yang terkait dengan sumber dan jalur informasinya maupun isi dan juga muatannya.

Termasuk sejarah umat lain sebagai bagian dari informasi politik yang juga bisa diberikan. Dengan pengetahuan tersebut misalnya saja tentang sejarah bangsa Inggris, Amerika, Perancis, Rusia, Jepang dan sebagainya, siswa didik bisa mengetahui karakter mereka dan bagaimana khilafah memandang dan menyikapi mereka sebagaimana yang dituangkan dalam kitab mafahim siyasiyah Hizbut Tahrir.

Menurut narator, Al Kattani menuturkan bahwa Nabi SAW terbiasa mengajarkan kepada para sahabat tentang informasi bangsa dan umat lain hingga larut malam.

"Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh Umar Bin Khattab hingga Muawiyah bahkan hingga larut malam. Saking asyiknya  mengkaji informasi tentang bangsa dan umat lain, Umar pernah diingatkan as shalah..as shalah (shalat..shalat),  dengan tegas Umar mengatakan kita sedang shalat," jelasnya.

Kelima, negara khilafah juga bisa membangun pusat riset dan perpustakaan terlengkap. Di dalamnya tersedia berbagai dokumen politik, manuskrip dan berbagai referensi yang dibutuhkan.  Sebagaimana dokumen dan Arsip Tanah di zaman Khilafah Utsmani yang sampai sekarang masih tersimpan dengan baik.

Menurutnya, dokumen-dokumen tersebut bisa digunakan sebagai dokumen hakim dalam memutuskan sengketa yang terjadi di kemudian hari. Hal yang sama juga bisa dimanfaatkan oleh khilafah ketika khilafah ini tegak kembali.

"Begitulah, sejarah diajarkan kepada umat di era khilafah," pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab