Tinta Media: Tragedi
Tampilkan postingan dengan label Tragedi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tragedi. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Januari 2024

Jurnalis: Ada Empat Macam Tragedi Pasca Runtuhnya Khilafah



Tinta Media - Mengenang 100 tahun pasca runtuhnya daulah Khilafah, jurnalis ideologis Joko Prasetyo (Om Joy) menyatakan ada empat macam tragedi. 

“𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒅𝒊𝒓𝒖𝒏𝒕𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒉𝒊𝒍𝒂𝒇𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒓𝒂𝒈𝒆𝒅𝒊. Bagaimana tidak, kaum Muslim kehilangan pengurus urusannya (𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛) yang mengatur segala urusannya (𝑟𝑎’𝑖𝑦𝑎𝑡) dengan syariat Islam secara kaffah,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (28/1/2024). 

Ini, lanjutnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. riwayat Imam Bukhari, “Imam (Khalifah) adalah 𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛 (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (𝑟𝑎’𝑖𝑦𝑎𝑡).”

“Sekaligus kehilangan perisai (𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ) kaum muslim dari serangan kafir penjajah. Nabi Muhammad saw. bersabda, 'Sesungguhnya 𝑎𝑙-𝑖𝑚𝑎𝑚 (khalifah) itu perisai (𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ), [orang-orang] akan berperang di belakangnya [mendukung] dan berlindung [dari musuh] dengan [kekuasaan]nya',” jelasnya membacakan hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain.

Dengan runtuhnya khilafah, ucapnya, maka kaum Muslim kehilangan 𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛 dan 𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ sekaligus. “Tentu saja ini merupakan tragedi!” Tegasnya. 

𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒉𝒊𝒍𝒂𝒇𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒐𝒃𝒆𝒍 𝒕𝒓𝒂𝒈𝒆𝒅𝒊. “Bila kaum Muslim tak merasa kehilangan, tentu saja tidak akan mencari atau menegakkannya kembali,” ungkapnya.  

Padahal menurutnya, segala kerusakan yang menimpa kaum Muslim di segala aspeknya saat ini berpangkal dari tidak ditegakkannya syariat Islam secara kaffah. 

“Syariat Islam secara kaffah mustahil tegak tanpa adanya Khilafah yang berfungsi sebagai 𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛 dan 𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ tersebut. Disebut apa ini kalau bukan dobel tragedi?" tandasnya.

𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒈𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒉𝒊𝒍𝒂𝒇𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒓𝒊𝒑𝒆𝒍 𝒕𝒓𝒂𝒈𝒆𝒅𝒊. “Dikatakan tripel tragedi karena kaum Muslim tidak berjuang menegakkan kembali khilafah. Padahal secara 𝑠𝑦𝑎𝑟’𝑖 menerapkan syariat Islam secara kaffah merupakan fardhu kifayah, bahkan mahkota kewajiban. Karena tanpa adanya Khilafah, banyak kewajiban dalam Islam tidak bisa ditegakkan," tambahnya.

Sedangkan secara faktual, terangnya,  tidak memperjuangkan tegaknya kembali khilafah berarti membiarkan kaum Muslim terus menerus dirundung kenestapaan dalam segala aspeknya karena membiarkan kaum Muslim tanpa 𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛 dan 𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ.

𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕, 𝒎𝒆𝒎𝒖𝒔𝒖𝒉𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒆𝒈𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒉𝒊𝒍𝒂𝒇𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒖𝒂𝒓𝒕𝒆𝒕 𝒕𝒓𝒂𝒈𝒆𝒅𝒊. “Bila kaum Muslim malah memusuhi perjuangan penegakkan khilafah tentu saja ini merupakan kuartet tragedi,” tegasnya.

Dikatakan kuartet tragedi, ia menerangkan, karena bukan saja tidak merasa keruntuhan khilafah itu sebagai tragedi padahal jelas-jelas kaum Muslim jadi kehilangan 𝑟𝑎𝑎’𝑖𝑛 dan 𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ.  

"Tak mau melaksanakan kewajiban, eh malah memusuhi saudaranya sendiri yang melaksanakan kewajiban dari agama yang dianutnya sendiri," herannya.

Oleh karena itu, ia mengingatkan  agar jangan menjadi bagian dari tragedi tersebut. Sebisa mungkin jadilah sebagai solusi, dengan kemampuan di bidang masing-masing, untuk menyadarkan kaum Muslim akan kewajiban menegakkan kembali khilafah. 

"𝐼𝑡 𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑡𝑜 𝑏𝑒 𝑜𝑛𝑒 𝑢𝑚𝑚𝑎ℎ, sekaranglah waktunya untuk menjadi umat yang satu di bawah naungan 𝑘ℎ𝑖𝑙𝑎𝑓𝑎ℎ '𝑎𝑙𝑎 𝑚𝑖𝑛ℎ𝑎𝑗𝑖𝑛 𝑛𝑢𝑏𝑢𝑤𝑤𝑎ℎ. Allahu Akbar!" pungkasnya.[] Amar

Sabtu, 12 November 2022

Itaewon dan Kanjuruhan, Dua Tragedi dengan Sikap yang Berbeda

Tinta Media - Akhir Oktober lalu, tragedi kemanusiaan terjadi di Itaewon, Korea Selatan. Tragedi kemanusiaan ini terjadi saat hampir seratus ribu orang memadati sebuah komplek hiburan untuk merayakan pesta Halloween. Ratusan jiwa melayang dan terluka. Peristiwa yang terjadi di Itaewon pada 29 Oktober 2022 itu lantas mendapatkan perhatian dunia, termasuk pemerintah Indonesia.

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Itaewon sebenarnya hampir sama dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kanjuruhan, Malang, beberapa waktu sebelumnya. Tragedi Kanjuruhan juga menewaskan lebih dari 130 jiwa. Hanya saja, tewasnya para suporter di Kanjuruhan merupakan dampak dari sikap kepolisian yang terlalu gegabah dalam mengambil tindakan untuk mengatasi kerusuhan yang dipicu oleh suporter Arema.

Sedangkan dalam tragedi Itaewon, kerusuhan terjadi karena berkumpulnya manusia di satu titik, di samping minimnya pengawasan polisi, hingga membuat masyarakat sesak, kemudian mati lemas. 

Dua kejadian kemanusiaan tersebut rupanya mendapatkan perhatian yang berbeda dari pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan turut berduka cita atas tragedi yang terjadi di Itaewon. Pemerintah juga berharap agar para korban luka segera sembuh.

Namun, ucapan belasungkawa tersebut tidak diberikan kepada para korban Kanjuruhan yang merupakan warga negara Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia justru mengklaim bahwa penanganan yang dilakukan saat di Kanjuruhan meskipun memakan korban sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Pemerintah bahkan menyalahkan pintu stadion yang terkunci hingga para suporter tak dapat keluar dari serangan gas air mata.

Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap rakyat sendiri tak lain merupakan dampak dari sistem sekularisme yang diterapkan. Sebab, sistem ini meniadakan kepengurusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Sistem ini berprinsip kepada pemisahan aturan agama dari kehidupan dan merambat kepada pemisahan aturan agama terhadap negara. 

Walhasil, penguasa cenderung abai terhadap urusan rakyat. Rakyat hanya dianggap sebagai beban. Padahal, selama ini rakyat selalu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, terlebih di saat semua kebutuhan semakin mencekik akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik.

Kepedulian pemerintah terhadap rakyat akan nampak saat pemerintah menyandarkan segala peraturannya kepada Islam. Hal ini karena Islam memandang bahwa pemerintah atau penguasa adalah junnah (perisai) bagi seluruh warga negara. 

Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

"Sungguh, Imam (Khalifah) itu laksana perisai, di mana orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) atas dengannya." (HR. Bukhari).

Penguasa dalam pandangan Islam adalah sebagai penanggung jawab atas segala urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

"Al Imam (penguasa) adalah penanggung jawab dan bertanggung jawab atas rakyatnya ..." (HR. Bukhari).

Walhasil, tragedi kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab penguasa untuk mengusut tuntas dan memberikan jaminan bagi para korban untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, memberikan kompensasi atas setiap nyawa yang melayang.

Pertanggungjawaban penguasa akan dapat terpenuhi jika negeri ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan, baik dalam aspek pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Lebih dari itu, tragedi kemanusiaan sejatinya akan dapat dicegah, bahkan tidak akan terjadi jika sistem Islam telah diterapkan.

Ini karena Islam akan membatasi apa saja yang boleh dilakukan oleh masyarakat dan negara, dan apa saja yang tidak. Terkait dengan hiburan, permainan atau perayaan, maka negara Islam tidak boleh membiarkan warga negaranya merayakan segala perayaan atau hiburan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu, tragedi kemanusiaan yang terjadi merupakan suatu permasalahan yang komplek karena ketiadaan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Jadi, bukan sekadar kelalaian manusia yang sarat akan mencari kesenangan dengan materi semata. Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Firda Umayah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 11 November 2022

Empati yang Tak Menarik Simpati

Tinta Media - Kematian ratusan peserta pesta halloween menyentak dunia, tak terkecuali pemimpin negeri ini.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan ungkapan duka cita yang mendalam atas peristiwa tewasnya ratusan orang saat merayakan pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Jokowi merasa sangat sedih begitu mengetahui ratusan korban jiwa melayang saat merayakan Halloween. "Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul," kata Presiden Jokowi dalam akun twitter resminya, Minggu 30 Oktober 2022. Viva.co.id 

Tak ada yang salah dalam ucapan bela sungkawa. Namun,  ucapan seorang pemimpin seperti itu lebih layak ditujukan untuk permasalahan yang membelit negeri ini. Faktanya, berbagai kesedihan dan kesusahan rakyat belum menjadi perhatian penting. Namun ungkapan simpati itu justru cepat disampaikan buat masyarakat negara lain.

Empati dan simpati itu juga seharusnya untuk tragedi Kanjuruhan yang sampai saat ini belum tuntas, termasuk siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Masyarakat, terutama keluarga korban ingin tahu penyebab kematian ratusan jiwa yang sia-sia. Mereka juga bertanya-tanya, mengapa aparat sampai menembakan gas air mata?

Empati dan simpati dari presiden dan pihak yang terkait itu mestinya direalisasikan dengan segera mengusut tuntas pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, tidak membiarkan masyarakat berasumsi sendiri, sehingga menambah ketidakpercayaan pada aparat dalam menegakkan hukum.

Masyarakat yang selama ini sudah tidak simpati pada para pemimpin dan penegak hukum, bisa jadi akan mencari jalan lain dalam menyelesaikan masalah. Dengan berlarut-larutnya penanganan perkara, ada kesan tragedi didesain untuk mengalihkan perhatian masyarakat tentang berbagai kegagalan  pemimpin mengatur negeri ini. 

Berbeda halnya dengan sistem lslam. Pemimpin selalu peduli serta empati pada rakyat, baik dalam kondisi normal, terlebih ketika terjadi tragedi. Hal ini karena pemimpin adalah pelindung dan penanggung jawab urusan masyarakat.
Rasulullah saw. dengan sabdanya:
«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhari).

Para pemimpin akan bertindak cepat mengusut perkara yang menimpa rakyat, terlebih jika menyangkut nyawa. Dalam Islam, perkara nyawa adalah sesuatu yang besar. Hilangnya satu nyawa bagaikan menghilangkan semua nyawa manusia di bumi ini.

Penghilangan nyawa bisa di sebut pembunuhan. Pembunuhan  ada 4 macam, yaitu:

Pertama, pembunuhan yang disengaja, yaitu ada rencana dan dengan memakai alat yang mematikan. Hukuman bagi pelaku adalah wajib atasnya qishas, yaitu membunuh pelaku karena perbuatannya. Jika keluarga korban memaafkan, maka ada diyat yang harus diserahkan kepada walinya.

Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah 179: 

“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”

Dari Tirmidzi, dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

“Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka keputusannya diserahkan kepada wali-wali pihak terbunuh. Mereka berhak membunuh, atau mengambil diyat, yakni 30 unta dewasa, 30 unta muda (jadza’ah) dan 40 unta yang sedang bunting, dan mereka juga berhak memaafkannya.”

Kedua, pembunuhan yang miŕip disengaja adalàh pembunuhan yang disengaja, tetapi menggunakan alat yang pada umumnya tidak bisa membunuh. Bisa jadi maksudnya hanya menyakiti, memberi pelajaran, menyiksa dan lain-lain, tetapi melampaui batas. Seperti memukul dengan cambuk, tangan, kaki, tongkat dan lain-lain yang umumnya tidak mematikan. 

Hukum pembunuhan yang mirip disengaja diyatnya sangat berat, yakni 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting.

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Perhatikan, orang yang terbunuh secara mirip disengaja, terbunuh karena cambuk atau tongkat, maka diyatnyan 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting. “(HR. Bukhari).

Ketiga, pembunuhan tidak disengaja ada dua bentuk. Pertama, menembak binatang mengenai seseorang dan terbunuh, memundurkan mobil lalu menabrak seseorang hingga mati, dan lain-lain. 

Hukuman terhadap pelakunya adalah menyerahkan diyat kepada wali korban sebesar 100 ekor unta dan harus membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak menjumpai budak, maka ia harus berpuasa 2 bulan secara berturut-turut.

Kedua, pelaku membunuh seseorang di negeri kafir harbiy (negera kafir yang memerangi umat lslam), tetapi orang yang ia bunuh adalah muslim. Namun, korban menyembunyikan keislamannya. Hukum bagi pelaku adalah ia hanya wajib membayar kafarat saja, dan tidak wajib membayar diyat.

Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an surat an-Nisa 92:

“Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaknya si pembunuh) memerdekakan hamba-hamba yang mukmin.”

Keempat, pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, yaitu jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa ia kehendaki, tetapi perbuatannya menyebabkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, seseorang jatuh lalu menimpa orang lain hingga mati, bermain-main senjata lalu mengenai orang hingga mati, rusaknya mesin mobil hingga menabrak orang lalu mati, dan lain-lain. 

Jenis pembunuhan ini mirip dengan pembunuhan tidak disengaja jenis pertama. Kemiripan dua model ini sangat jelas, yaitu pembunuhan tidak disengaja terjadi pada perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku. Akan tapi, apa yang diakibatkan dari perbuatannya tidak sesuai dengan kehendaknya. 

Adapun pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, tidak ada kehendak dari pelakunya secara mutlak, juga terhadap apa yang diakibatkan dari perbuatannya itu. Oleh karena itu, ia tidak dibunuh, karena ia melakukan pembunuhan yang tidak disengaja, tapi masuk pada kategori melakukan pembunuhan yang terjadi karena ketidaksenggajaan.

Hukum pembunuhan semacam ini adalah wajib membayar diyat 100 ekor unta dan wajib membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika ia tidak mendapatkan budak, wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. (Nidzam al-Uqubat, Abdurrahman al-Maliki hal 139-162).

Hukuman yang diberlakukan bertujuan untuk mencegah manusia untuk melakukan hal yang sama/jawazir, serta menebus adzab di akhirat kelak/jawabir karena hukuman yang sesuai syariat telah dilaksanakan di dunia. 

Pasti masyarakat akan simpati pada pemimpin yang menjalankan  keadilan Islam sekaligus membuktikan bahwa hanya hukum lslam yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa manusia.
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Senin, 07 November 2022

Tragedi Kanjuruhan: Mental dan Tata Kelola yang Buruk


Tinta Media - Tidak ada yang menyangka, menonton bola di stadion harus berakhir dengan menyerahkan nyawa. Mereka yang menjadi korban adalah imbas dari buruknya tata kelola berbagai pihak. Tragedi memilukan ini memegang rekor terburuk kedua di level dunia dengan memakan korban lebih dari 130 nyawa.

Karena itu, semua pihak harus mengambil langkah bijak dan serius.

Cukuplah kejadian kemarin menjadi yang terakhir, jangan sampai terulang lagi. Yang jauh lebih penting di peristiwa ini adalah evaluasi, mulai dari pihak penyelenggara, juga suporter itu sendiri. Meski kita sendiri menyayangkan, banyak korban berjatuhan. Banyak di antara mereka adalah korban yang tidak tahu menahu dan tidak bersalah. Semoga mereka husnul khatimah dan yang ditinggalkan diberi ketabahan. 

Tragedi Kanjuruhan mengajarkan banyak hal, termasuk pembenahan sepak bola ke depan. Pembenahan itu harus benar-benar serius dipraktikkan. Kita harus berupaya saling introspeksi, bukan saling menyalahkan. Tak lupa, kejadian tragis ini juga harus diusut agar keadilan bisa ditegakkan, bukan membiarkan adanya pihak yang merasa diuntungkan.

Evaluasi Penyelenggara

Banyak pakar di media opini menyayangkan tata kelola buruk dari pihak penyelanggara, termasuk jumlah penonton yang melebihi kapasitas stadion. Hal ini perlu dievaluasi para penyelenggara sepak bola ke depan, bukan sekadar meraup keuntungan tanpa memperhitungkan resiko. Tragedi ini merupakan resiko terburuk yang pernah ada.

Tak hanya itu, penembakan gas air mata merupakan langkah tidak manusiawi dan melanggar aturan FIFA. Aksi yang di luar prosedur inilah yang kemudian berakibat fatal dan berakhir dengan merenggut ratusan nyawa. Efek dari gas air mata ini tidak main-main. Rasa perih hingga gangguan pernapasan dan kepanikan, membuat penonton berlarian ke luar stadion.

Anehnya, pintu keluar di stadion menurut keterangan beberapa saksi tidak bisa dibuka pada saat kejadian. Pintu yang tertutup ini juga turut memperburuk keadaan. Banyaknya kesalahan teknis pihak penyelenggara diharapkan tidak terulang. Mereka harus selalu memastikan kesiapan yang benar-benar matang, karena keselamatan juga bagian dari perencanaan yang patut diperhitungkan.

Evaluasi Suporter

Meski meninggalnya korban disinyalir kuat akibat tembakan gas air mata, setidaknya para suporter tanah air juga harus berintrospeksi, khususnya berkenaan dengan mental dalam menghadapi kekalahan tim kesayangan. Sebab, mau tidak mau, kejadian bermula dari sebagian suporter yang menaruh kecewa berat dan nekat turun ke lapangan. Di tambah lagi, kejadian semakin memanas oleh tindakan aparat keamanam.

Sudahilah mentalitas barbar yang tidak berfaidah. Sudah semestinya kita merealisasikan sikap dewasa. Ketidakmampuan menerima kekalahan mengindikasikan buruknya mental seseorang. Belum lagi jika didukung segerombolan yang bermental sama. Suporter tidak sehat semacam ini perlu dibersihkan.

Bukannya menjadi tim sukses, peran mereka hanya akan memperburuk keadaan. Maka, siapa pun yang berperan menjadi suporter, hindari luapan emosi. Kecewa adalah wajar, tetapi bukan berarti harus dipertontonkan melalui sikap anarkis.

Mental sehat harus dibangun. Menang kalah adalah sebuah niscaya. Maka, hindarilah menggilai sesuatu dengan membabi buta. Fanatisme berlebih memang tak pernah bijaksana.

Mentalitas barbar yang sangat mudah sekali kita temukan penting untuk dicegah. Islam tidak mengajarkan kekerasan. Agama kita justru mengajarkan umat agar memampukan diri menahan amarah. Jangan ada lagi figur kekerasan yang bisa dicontoh oleh anak-anak, baik orang tua, lembaga pendidikan, hingga lingkungan.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru

Minggu, 06 November 2022

Berduka Atas Tragedi Itaewon Tak Sebanding dengan Nasib Rakyat Sendiri

Pada bulan Oktober 2022, tepatnya Sabtu (29/10/2022) malam, publik dikagetkan dengan bencana kematian massal di distrik Itaewon, Korea Selatan. 

Hingga kini, Tragedi Halloween Itaewon, Korea Selatan, menewaskan setidaknya 151 korban jiwa dengan ratusan korban terluka lainnya.

Dilansir dari laman The New York Times, Pejabat senior di pemadam kebakaran Seoul, Choi Seong-Beom, mengatakan bahwa sebagian besar yang tewas adalah remaja atau berusia 20-an.

Tragedi ini benar-benar mengerikan. Sabtu malam itu, di sebuah gang sempit di sebelah Landmark Hotel Hamilton, ribuan pengunjung Itaewon yang berdesakan itu mulai berjatuhan. Situasi tak terkendali di gang sempit ini semakin meningkat, mengingat lebarnya dilaporkan hanya sekitar empat meter dengan posisi sedikit miring atau menanjak.

Para pengunjung perayaan Halloween pun akhirnya terjebak di antara kerumunan orang-orang yang keluar dari Hotel Hamilton dengan kerumuman dari pintu keluar 1 dan 2 stasiun kereta bawah tanah Itaewon.

Orang-orang yang terjebak dalam desakan kerumunan itu tak bisa bergerak dan pada akhirnya terinjak-injak. Pemandangan semakin pilu saat terlihat antrean panjang korban meninggal yang ditutupi selimut di trotoar.

Tragedi kematian Halloween di Korsel, jelas membuat publik prihatin, sampai-sampai penguasa negeri ini juga turut berduka cita dan menyampaikan bela sungkawa atas terjadinya tragedi maut itu dengan mengatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan.

"Saya mengharapkan mereka yang terluka segera pulih," tulis Retno dalam akun Twitter resminya @Menlu_RI, Minggu (30/10/2022). 

"Turut berduka cita atas tragedi di Seoul. Belasungkawa mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih," kata Jokowi melalui akun Twitter resminya @Jokowi, dikutip Senin (31/10).

"Indonesia berduka bersama dengan rakyat Korea Selatan dan kami berharap para korban yang terluka dapat cepat pulih," lanjutnya.(koran-jakarta.com, Senin, 31 Oktober 2022)

Ungkapan duka seorang penguasa sebenarnya tidak salah. Namun, yang menjadi perhatian justru sikap penguasa yang lebih prihatin dan peduli kepada rakyat negara lain dibandingkan terhadap nasib rakyat sendiri. Ini adalah keprihatinan yang miris lagi menyedihkan. 

Pasalnya, sebelum tragedi Hallewoon Itaewon, publik juga dihadapkan pada tragedi kanjuruhan yang juga memakan korban meninggal dalam jumlah lumayan besar. Penguasa justru saling berlepas tangan terhadap kejadian nahas tersebut. Aparat keamanan justru mencari dalih untuk menutupi kesalahannya, bahkan tidak ada pernyataan pemerintah bersama korban kanjuruhan.

Tak hanya itu, penguasa membiarkan perayaan serupa di Indonesia. Padahal, perayaan tersebut adalah budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan juga tidak sesuai dengan akidah mayoritas penduduk negeri ini yang mayoritas muslim. Bahkan, bisa dikatakan tidak memberi manfaat pada pembangunan karakter pemuda masa depan. Sebab, perayaan-perayaan semacam itu sejatinya hanya mengedepankan kesenangan belaka. Tidak jarang perayaan tersebut diikuti dengan konsumsi miras, narkoba, free sex dan sejenisnya.

Hal ini menunjukkan bahwasanya penguasa abai akan proses pembinaan karakter para pemudanya. Padahal, kaum pemuda sejatinya ialah mereka yang akan membangun sebuah peradaban bangsa yang akan datang. Hal tersebut tidak lepas dari sistem kepemimpinan saat ini, yakni sekularisme-kapitalisme. 

Sistem ini tidak mempedulikan tolak ukur agama dalam sebuah amal perbuatan. Ini karena sekularisme-kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan. 

Orientasi kehidupan manusia hanya diarahkan untuk mencari kesenangan jasadiyah atau kesenangan fisik, tanpa melihat halal-haram atau baik-buruk menurut aturan agama. Jadilah para pemuda berprilaku permisif dan gila mencari kesenangan sesaat. Semua itu diperparah dengan negara sekularisme-kapitalisme yang berkarakter abai terhadap urusan rakyat.

Ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang diatur dengan sistem Islam, yakni khilafah dalam memperhatikan urusan generasi. 

Khilafah sebagai institusi negara akan melindungi generasi-generasinya dari pemikiran, budaya-budaya, gaya hidup orang-orang , dan semua hal dari asing yang membahayakan akidah mereka.

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

"Sesungguhnya al Imam( Khalifah) itu perisai dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan akan berlindung dari musuh akan kekuasaannya. ( HR Muttafaqun Alaih)

Berdasarkan dalil tersebut, khilafah akan menjawab pembentukkan atas kepribadian generasi melalui berbagai mekanisme, baik di dunia pendidikan maupun di luar pendidikan.

Dalam pendidikan, khilafah akan menerapkan pendidikan Islam yang memiliki kurikulum yang menghasilkan generasi berkepribadian Islam. Artinya, setiap anak didik dalam lembaga pendidikan Islam akan memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam. 

Anak-anak tidak akan terpengaruh dengan pemahaman, pemikiran, dan budaya asing yang mengarah pada sekularisme, kapitalisme, seperti perayaan Halloween dan sejenisnya. Sebab, mereka paham bahwa hal yang demikian itu termasuk tasyabuh lil kuffar atau menyerupai kaum kafir yang haram bagi seorang muslim untuk mengikutinya.

Dalam sistem pendidikan ini, anak-anak akan dibentuk menjadi sosok-sosok manusia yang peka terhadap permasalahan umat. Mereka juga akan dibekali dengan ilmu-ilmu alat sehingga bisa survive mengarungi kehidupan. Diharapkan nantinya dari sistem pendidikan Islan lahir generasi yang memahami bahwa kemuliaan hidupnya terletak pada sebagian besar hanya menghabiskan untuk Islam dan Kaum Muslimin. Mindset ini yang membuat mereka akhirnya fokus agar menjadikan diri mereka senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariat tatkala mengembangkan potensi diri yang mereka miliki.

Pendidikan Islam juga akan menguak bobrok dan batilnya pemikiran Barat sehingga para generasi Islam akan meninggalkan dengan sendirinya ide-ide Barat. Selain itu, perlindungan Khilafah pada generasi terhadap ide-ide asing juga terwujud dengan adanya penjagaan media. 

Media dalam sistem Islam digunakan untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak (akhlakul karimah), serta menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, konten yang memuat segala yang merusak akhlak generasi dan agama akan dilarang untuk tayang.  

Selain itu, adanya kontrol masyarakat dalam naungan khilafah juga akan semakin menguatkan kepribadian Islam generasi. 

Maka, hanya sistem Islam yang sanggup membina generasi menjadi pribadi yang gemilang, sehingga mereka akan terhindar dari kejahatan tragis yang merebut nyawa dengan tidak wajar seperti sekarang ini. Wallahu A'lam.

Oleh: Ummu Faiha Hasna
Sahabat Tinta Media

Rabu, 12 Oktober 2022

Kanjuruhan, Tragedi yang Tak Perlu Terjadi

Tinta Media - Tak ada yang menduga bahwa 1 Oktober 2022 menjadi tragedi mengerikan di Stadion Kanjuruhan. Lebih dari 130 orang meninggal sia-sia dan 100 lebih luka-luka akibat semprotan gas air mata saat Aremania turun ke lapangan karena protes kekalahan teamnya. Gas air mata tak hanya disemprotkan ke lapangan, tetapi juga ke tribun penonton di atas, akibatnya terjadi kepanikan untuk keluar stadion sehingga banyak yang terinjak-injak karena berdesak-desakan, pingsan, hingga meninggal.

Ketika kita mencermati fakta yang terjadi di lapang, kita bisa melihat bahwasanya tragedi ini seharusnya tak perlu terjadi jika:

Pertama, suporter tidak protes berlebihan. Dalam pertandingan, pasti ada pihak yang menang dan kalah. Harusnya semua bersikap sportif. Namun, hal itu tidak dimiliki oleh banyak suporter sepak bola di negeri ini, bahkan di seluruh dunia. Kematian suporter sepak bola di Kanjuruhan paling mengerikan tahun ini, hingga dunia pun banyak yang mengecamnya.

Kedua, tidak ada fanatik atau ashabiyyah, yaitu kebanggan yang berlebihan atas klub atau team kesayangan. Dalam Islam, ashabiyyah dilarang keras.
Rasulullah saw. bersabda:

“Tidaklah termasuk golongan kami barangs iapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barang siapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami, barang siapa yang terbunuh atas nama ashabiyyah (fanatisme kelompok).” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, aparat kepolisian tidak bersikap represif dengan menyemprot gas air mata. Bahkan, FIFA sudah melarang penggunaan gas air mata untuk menghalau penonton bola.

Faktanya, tragedi Kanjuruhan mengakibatkan kurang lebih 125 orang meninggal dunia. Hampir seluruh korban jiwa merupakan suporter Arema FC.
Salah satu yang disorot dalam insiden Kanjuruhan adalah penggunaan gas air mata oleh polisi. 

Pasalnya, FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion. Hal itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations.
Pelarangan penggunaan gas air mata dan senjata api tertulis dalam Pasal 19 b.

"No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan)," begitu bunyi aturan FIFA. Kompas.com (3/10/2022).

Keempat, pihak penyelenggara menyiapkan akomodasi sebaik mungkin. Tiket yang dijual tidak boleh melebihi kapasitas stadion. Penyelenggara juga harus menyiapkan aparat keamanan yang siap melindungi jika ada pihak yang mencoba mengganggu dengan prosedur yang benar. Tidak ketinggalan petugas kesehatan yang cukup, jika ada yang memerlukan pertolongan.

Kelima, negara harus menyelidiki, bahkan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, seperti pihak penyelenggara  dan aparat yang bersikap represif. Jika memang terbukti bersalah, hukuman yang setimpal dan adil harus diberikan bagi siapa saja yang melakukan tindakan sewenang-wenang.

Beginilah negara dengan sistem  kapitalis, menjadikan olahraga sebagai lahan bisnis. Negara menjadi alat kepentingan oligarki. Aparat keamanan sering bersikap represif terhadap suporter yang dianggap membahayakan kepentingan mereka.

Berbeda dengan Islam, negara menjadikan olahraga sebatas aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan. Pertandingan olahraga bukan prioritas, bahkan bisa dilarang jika melupakan waktu buat ibadah, kerja, dan belajar. 

Sudah seharusnya kita menyadari bahwa negara kapitalis sering membuat susah dan merugikan, terutama rakyat bawah. Olahraga yang seharusnya menjadi kegiatan bermanfaat, justru melahirkan berbagai masalah.

Tidakkah kita rindu diterapkannya sistem lslam yang pasti sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa karena berasal dari Zat Pencipta alam semesta?
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media


Tragedi Kanjuruhan Telan Ratusan Korban, PKAD: Ada Dugaan Kuat Pelanggaran Aparat Keamanan

Tinta Media - Terkait tragedi di stadion Kanjuruhan, Malang yang menelan ratusan korban, Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, menilai ada dugaan kuat terjadi pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian. 
 
“Apa yang ditanyakan, apakah ada dugaan pelanggaran oleh aparat kepolisian, saya kira memang dugaan itu kuat sekali,” tuturnya dalam Kabar Petang: Evaluasi dan Investigasi, di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (4/10/2022). 

Dugaan pelanggaran tersebut, menurutnya, tampak pada dua hal. Pertama, apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian bertentangan dengan standar operasional prosedur (SOP) yang dirilis Federation International de Football Association (FIFA). 

“Dalam dokumen FIFA Stadium Safety and Security Regulations, khususnya pasal 19 b, di situ jelas-jelas disampaikan bahwa gas air mata dan senjata api itu termasuk yang dilarang keras untuk dibawa masuk ke dalam stadion. Apalagi digunakan untuk mengendalikan massa. Jelas ini adalah melanggar apa yang ada atau yang menjadi ketentuan dari standar FIFA,” terangnya.

Hal ini, menurutnya, patut ditelusuri bagaimana prosedur yang digunakan aparat keamanan dalam mengamankan berbagai even olahraga, termasuk pertandingan sepak bola. Ia pun menambahkan, pada pasal 19 a, menyebutkan pihak aparat keamanan, dalam hal ini polisi yang ditempatkan di sekitar lapangan, harus tetap terekam televisi. 

“Agar bisa memastikan bahwa aparat itu, baik perilaku maupun penampilannya tetap memiliki standar tertinggi yang digunakan oleh FIFA,” ucapnya kemudian.

Kedua, menurut Fajar, dalam kondisi chaos (kacau), tidak diketahui siapa yang mengomando digunakannya gas air mata dalam mengendalikan kondisi saat itu. “Saya kira, dari kedua hal ini memang patut diduga keras bahwa ada unsur-unsur pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian,” imbuhnya lagi.

Abaikan Peraturan

Fajar mengatakan, ada beberapa peraturan yang tidak diindahkan aparat keamanan dalam pertandingan tersebut. Ia pun mencontohkan, misalkan Perkapolri Nomor 16 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian masa, Perkapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang penguatan dalam tindakan kepolisian, Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian negara republik Indonesia, Perkapolri nomor 8 tahun 2010 tentang tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penanggulangan huru-hara serta Perkapolri Nomor 2 tahun 2019 tentang pengendalian huru hara. 

“Jadi, ada banyak hal yang tidak dijalankan oleh petugas yang bertugas di lapangan pada waktu. Terlebih jika kita melihat berbagai video-video amatir, terutama video dari netizen, itu kan jelas sekali bahwa tembakan gas air mata tidak hanya ditujukan bagi massa yang ada di tengah lapangan tapi juga tembakan-tembakan itu secara masif diarahkan kepada massa yang ada di tribun,” bebernya menjelaskan.

Padahal, lanjutnya, massa yang ada di tribun tidak melakukan tindakan-tindakan yang terbukti membuat kerusuhan. Fajar mempertanyakan, kenapa petugas juga melakukan penembakan gas air mata ke arah sana. 

“Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, misalkan dari petugas-petugas di rumah sakit, sebagian besar korban wajahnya menghitam. Itu kan sebagai salah satu tanda bahwa yang bersangkutan yang sudah meninggal mengalami sesak nafas,” tegasnya.

Bersenyawa

Ia pun menjelaskan, gas air mata tidak hanya membuat mata pedih. Tapi, ketika gas itu bereaksi dengan oksigen di sekitarnya, akan membuat seseorang yang terkena gas kesulitan mendapat oksigen. Hal ini, menurutnya, karena oksigen bersenyawa dengan gas air mata tersebut.

“Sehingga ini emang patut diduga bahwa kondisi pasca kematian dari suporter-suporter itu dan dari keterangan pihak rumah sakit yang menjadi tempat penampungan jenazah, memang didapatkan keterangan bahwa meninggalnya karena sesak nafas,” 

Fajar menilai, ada korelasi yang jelas antara kondisi korban dengan tembakan gas air mata. Oleh karena itu, menurutnya, penting dilakukan investigasi lebih jauh oleh tim gabungan independen pencari fakta. Kemudian diungkap secara terang benderang, siapa saja para pihak yang memerintahkan menggunakan gas air mata dengan sangat efektif. 

“Jadi kalau di dalam beberapa video itu sampai kelihatan putih merata dan itu kadarnya sepertinya sangat pekat. Selain ada faktor-faktor kepanikan kemudian terinjak dan seterusnya, tapi saya kira yang paling dominan dalam kasus ini adalah orang-orang yang sesak nafas karena adanya gas air mata itu,” pungkasnya. [] Ikhty

Selasa, 11 Oktober 2022

Bola: Fanatisme, Kanal Emosi, Kerapuhan Sosial dan Kecerobohan Negara

Tinta Media - Tahun 1985 sebagai ABG saya menatap layar tv malam-malam. Bersama bapak menonton final Liga Champion yang mempertemukan dua raksasa bola daratan Eropa; Juventus dari Itali, melawan Liverpool dari Inggris. Dua tim ini sedang gacor-gacornya di liga masing-masing dan di pentas Eropa. Saya menonton karena kepincut dengan permainan The Reds dan kelincahan striker mereka asal Wales, Ian Rush.

Namun, tontonan itu tidak lagi menghibur tapi malapetaka. Kita semua tahu, Stadion Heysel, Belgia, menjadi saksi kerusuhan besar antar suporter. Hooligan dari Inggris diduga jadi pemicu konflik. Ratusan luka, 39 meninggal. Itu jumlah besar kala itu.

Setelah itu semua klub Inggris dibanned dari kancah pertarungan internasional. Liga Inggris pun terkucilkan. Tak ada lagi gemuruh para hooligan di stadion-stadion Eropa.

Namun setelah tragedi Heysel penyelenggara sepakbola di Eropa berbenah. Bukan saja memperketat penonton, tapi juga menata stadion dan sistem keamanan. Liga Inggris sejak tragedi Hillsborough di tahun 1989, dimana puluhan penonton terluka dan tewas karena tergencet sesama penonton ke pagar pembatas, maka semua stadion menghilangkan pagar pembatas antara tribun dengan lapangan.

Mengapa Eropa berbenah setelah insiden Heysel? Pertama, soal kemanusiaan. Tragedi itu bagaimana pun memilukan dan memukul banyak penggemar sepakbola. Banyak berita menyentuh dari keluarga korban dan sesama suporter tentang kawan mereka yang mati.

Kedua, soal uang! Sepakbola hari ini adalah mesin industri yang alirkan uang bukan hanya untuk pemain, tapi pemilik klub dan semua organisasi sepakbola di dunia, termasuk UEFA dan juga FIFA. Menurut catatan situs statista.com organisasi bola Eropa UEFA revenue yang mereka dapatkan dari musim 2020/21 mencapai 5.7 million euros alias 88 triliun rupiah lebih! (UEFA revenue 2004-2021 | Statista) Jadi, kalau ada liga yang macet atau bermasalah, dampaknya juga pada kocek mereka.

Karena itu mereka berusaha seprofesional mungkin jalankan kompetisi. Cegah kerusuhan dan cegah sepakbola ‘gajah’. Tapi tetap saja tidak bisa menghentikan praktik korupsi di sana. Tahun 2019, Presiden UEFA juga mantan bintang Prancis dan Juventus, Michael Platini ditangkap dan diadili di Swiss bersama mantan Presiden FIFA Sepp Blatter. Keduanya terlibat skandal suap, korupsi, dan pencucian uang.

Para pengelola kompetisi juga sering dituding mata duitan oleh klub dan para pemain. Sebabnya, mereka terus buat berbagai kompetisi dan peraturan baru yang menguntungkan para penyelenggara, tapi menjadi beban untuk klub dan terutama para pemain.

Kiper timnas Belgia, Thibout Courtois terang-terangan menyebut UEFA mata duitan karena menggelar UEFA Nations League sampai perebutan peringkat ketiga. Padahal UEFA sudah punya hajatan liga Champions juga Piala Eropa. Siapapun paham setiap pertandingan adalah mesin uang untuk para pejabat UEFA. Benar, pemain juga dapat uang, tapi mereka seperti budak yang bertarung di arena gladiator yang bertarung secara maraton. Tidak heran para pemain top dunia rawan cedera dan ujungnya dibuang dari klub dan timnas.

Sepakbola juga kanal emosi dan ikatan identitas yang rapuh yang kita kenal dengan nama supporter. Para pendukung klub bisa terikat begitu kuat bahkan mengalahkan nasionalisme mereka dan bisa begitu rasis. Walaupun para pemain bola bisa berada dalam satu timnas, tapi kalau sudah berada di klub masing-masing, maka para supporter bakal terbelah. Bahkan bisa begitu sengit bermusuhan. Di Inggris, rivalitas Liverpool dan Manchester United begitu sengit walaupun para pemain nasional kedua tim bisa main bareng di three lions.

Para pendukung klub bola ini bisa begitu rasis pada pemain lawan dan pendukungnya. Kalau di antara pembaca pernah menyaksikan para pendukung klub bola A atau B yang sering disebut musuh bebuyutan, ada saja chant-chant yang sering dinyanyikan berisi sumpah serapah untuk klub rival mereka. Ini berlaku bukan saja di dalam negeri, di luar negeri juga sama saja.

Apalagi sepakbola diakui atau tidak jadi kanal emosi yang dianggap menghibur warga pendukung. Pantas bila klub kesayangan mereka kalah, emosi itu meluap dan bisa bertransformasi jadi ledakan amarah. Sudah tak terhitung kerusuhan di dalam ataupun di luar stadion karena tim mereka keok.

Maka olahraga ya mestinya olahraga saja, jangan menjadi satu identitas yang meluapkan enerji negatif seperti permusuhan, ashabiyyah/fanatisme klub, rasis dan diskriminatif apalagi anarkisme. Dalam agama hukumnya haram dan bisa memecah belah kerukunan. Herannya, tak ada ulama di tanah air yang berkomentar soal ini secara terbuka. Bahwa fanatisme klub bola itu berbahaya, jauh lebih bahaya dari radikalisme. Mereka yang sering disebut kaum ‘Islam radikal’ belum pernah membunuh orang lain yang berbeda ormas, merusak fasilitas umum, dsb. Tapi kenapa belum ada ulama yang secara terbuka serukan haramnya fanatisme klub bola dan membuat dharar pada lingkungan dan masyarakat?

Bicara tragedi Kanjuruhan, Malang, yang tewaskan lebih dari 120 warga, juga menunjukkan kecerobohan negara. Bukannya melindungi warga, aparat keamanan malah membuat warga panik dengan tembakan gas air mata ke tribun penonton. Orang dewasa, anak-anak, lelaki, perempuan, ibu-ibu berhamburan mencari jalan keluar. Sesak nafas, jatuh, terinjak dan tergencet.

FIFA sudah membuah panduan bagi pihak keamanan stadion dengan ‘mengharamkan’ senjata api dan gas air mata. FIFA belajar dari tragedi tahun 1964 di Peru. Ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah penonton menyebabkan tiga ratus lebih warga tewas. Herannya, kepolisian dari Polda Jawa Timur dengan mantap menyatakan bahwa penggunaan gas air sesuai protap. Penonton bertanya, protap yang mana? Apakah disamakan protap hadapi perusuh dengan penonton di tribun, karena gas air mata justru ditembakkan aparat ke arah tribun? Padahal, tahun 2019, ketika Arema bertemu Persebaya ada kesepakatan aparat keamanan tidak akan gunakan gas air mata.

Apakah kepolisian lupa kalau penonton itu beragam usia; ada anak-anak, ibu-ibu, wanita, tidak semua lelaki dewasa? Apakah aparat juga lupa tidak mudah bagi ratusan apalagi ribuan penonton berebut ke pintu keluar di jalur yang sempit? Apalagi di stadion Kanjuruhan ternyata sebagian pintu masih tertutup? Faktanya korban tewas bukan karena serangan para perusuh, tapi karena kepanikan yang disebabkan tembakan gas air mata.

Jadi, persoalan sepakbola, khususnya di tanah air itu mbuled. Saya duga kuat tak ada yang mau bertanggung jawab, mundur dari jabatan, apalagi diseret ke pengadilan. Apalagi aparat kepolisian kelihatan akan bersikukuh mereka sudah jalankan prosedur pengamanan dengan benar. Sulit di negeri ini mencari pejabat dan perwira yang gentle mau bertanggung jawab sementara ratusan warga sudah meregang nyawa. Jangankan 120-an nyawa penonton, kasus 894 nyawa petugas KPPS saja pemerintah tak mau mengusutnya.

PSSI? Ah, apalagi. Sudah capek penggemar sepakbola melihat sepak terjang para pengurus PSSI. Sudah banyak kritik tajam dan keras bahkan sarkas pada PSSI, tapi mereka bergeming. Tragedi Kanjuruhan tidak bakal terjadi kalau supervisi dilakukan ketat oleh PSSI, soal penjualan tiket lebihi kapasitas penonton, briefing dengan aparat keamanan soal larangan penggunaan gas air mata dan kekerasan pada penonton, dan PSSI berani menunda atau bahkan membatalkan pertandingan bila itu semua tidak dipatuhi. Tapi, ya sudahlah

Makanya, sulitlah tragedi Kanjuruhan ini ada titik terang, apalagi ada yang diseret ke pengadilan. Paling gampang menyalahkan supporter. Dan itu sudah dilakukan oleh mereka hanya beberapa jam setelah kerusuhan terjadi.

Di sisi lain, olahraga itu harusnya sekedar olahraga untuk kesehatan dan melatih ketrampilan kaum mulimin. Selain itu, dalam kehidupan Islam, agenda-agenda seperti ini tidak memberikan manfaat kecuali hiburan dan uang untuk para pengusaha dan pengelola olahraga yang mata duitan kapitalistik. Dalam kehidupan Islam, umat akan diarahkan untuk aktifitas produktif; mengembangkan ilmu pengetahuan, tsaqofah, dakwah dan jihad di jalan Allah.

Oleh: Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute 

Sejarawan: Jawa Timur Miliki Heroisme Tinggi dan Kultur Bola yang Kuat

Tinta Media - Menanggapi peristiwa Kanjuruhan, Sejarawan Nur Fajarudin menegaskan bahwa Jawa Timur memiliki heroisme tinggi dan kultur bola yang kuat. 

“Jadi masyarakat Jawa Timur itu kan heroismenya tinggi dan saya kira Jawa Timur juga memiliki kultur bola yang kuat dan profesional,” tegasnya dalam Program Kajian Online Spesial JKDN Series: Islam, Malang dan Surabaya, Kamis (6/10/2022) di kanal Youtube Khilafah Reborn Channel. 

Menurutnya Orang-orang Jawa Timur itu heroismenya tinggi, sejak zaman kerajaan pra Islam sampai di era Islam, lalu masa perjuangan. 

“Kita tahu pertempuran Surabaya jadi tahu heroisme orang Jawa Timur itu cukup tinggi, mereka sangat menghormati simbol-simbol kepahlawanan dan inilah yang menarik,” tuturnya. 

Fajar mengungkapkan heroisme Jawa Timur ini bisa diperoleh dari sejarah masa lalu bahwa Jawa Timur pernah menjadi pusatnya Majapahit. 

“Atau karena Jawa Timur ini dianggap sebagai wilayah-wilayah maritimnya Jawa sehingga memiliki karakter masyarakatnya yang blak-blakan. Surabaya dan Malang itu kan blak-blakan,” ungkapnya. 

Karakter blak-blakan, apa adanya masyarakat Jawa Timur disebutkan oleh Fajar menjadikan mereka menyukai simbol kepahlawanannya. 

Termasuk dalam sepak bola, di era modern ini, masyarakatnya bukan hanya gemar saja tapi juga kritis. Ia mengatakan bahwa sepak bola Jawa Timur memiliki pembinaan bola yang cukup bagus walaupun secara skill biasa saja. 

“Dan kultur sepak bolanya bisa dikatakan sangat positif. Hal ini disebabkan berkaitan dengan kultur masyarakatnya,” katanya. 

Heroisme sepak bola masyarakat Jawa Timur menurut Fajar ter gambarkan ketika Final Divisi Utama Perserikatan tahun 1991 antara Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung di Gelora Bung Karno (Senayan). 

“Terasa heroismenya. Suporter Persebaya itu yang pertama berani keluar dari Surabaya untuk mendukung timnya, di saat suporter lain belum berani,” ujarnya. 

Ia melanjutkan bahwa Persebaya saat itu sangat profesional. “Ada bus, saat itu rombongan, ada juga yang pakai kereta api, dengan koordinator dari Jawa Pos masih di bawah pimpinan Dahlan Iskan. Saat itu Persebaya termasuk yang paling besar,” lanjutnya. 

Ia menunjukkan profesionalitas klub-klub di Jawa Timur memiliki sekolah sepak bola (SSB) yang berjalan hingga sekarang, liga internalnya berjalan juga. 

“Dan pengelolaan suporternya yang cukup bagus, Aremania (suporter Arema) itu kan suporter di Indonesia yang lebih dulu menunjukkan fanatik dan juga rela berkorban,” ucapnya. 

Ia membeberkan ketika liga atau klub-klub mulai diswastanisasi, ada pengaturan sedemikian rupa sehingga menjadi bersih dari makelar, calo, dan antrean yang panjang. 
“Kita tahu Persebaya itu akhirnya menggunakan sistem ticketing, tiket terusan dan sebagainya,” bebernya. 

Ini menunjukkan hal yang luar biasa, baginya Arema dan Persebaya merupakan klub Jawa Timur yang selangkah lebih maju dibandingkan klub-klub lain di Indonesia. 
“Termasuk setelah pandemi, itu kan nribun-nribun. Saya masih ingat iklannya Persebaya itu juga menampilkan tribun yang ramah dan aman, sehingga bisa membawa anak-anaknya,” ujarnya. 

Makanya ia menuturkan bahwa kultur bola Jawa Timur itu kuat, tidak semua kota punya kultur bola kuat, sekuat Malang dan Surabaya. 

“Karena kebanggaan akan simbol kepahlawanan kemudian orangnya kritis, siapa pun yang memegang kekuasaan pasti diomong, apalagi ada media sosial seperti sekarang,” tuturnya. 

Ia menambahkan sebagai orang Jawa Timur, mereka bangga dengan identitas ke Jawa Timuran. “Waktu Copa Final Arema lawan Persija, dugaan saya seluruh bahkan Bonek di Surabaya, pasti nonton TV, dukungnya ya Arema sebagai tim Jawa Timur,” tambahnya. 

Peluang ingin damai itu sudah lama muncul, karena sepak bola ramah untuk masyarakat apalagi Jawa Timur itu merupakan wilayah santri. 

“Kita tahu setelah lepas dari kesultanan Mataram itu, kan Jawa Timur secara arsip pemimpin masyarakatnya adalah Kyai, Ulama, jadi walaupun suporternya brutal, vandalisme, aneh-aneh nribun itu. Ada muncul Bonek hijrah, Nawa hijrah, saya kira itu patut diapresiasi,” ungkapnya. 

Sebelum kejadian Kanjuruhan, ia melihat Persebaya Surabaya dan Arema Malang adalah tim paling profesional pengelolaannya. “Dua klub ini memiliki fans suporternya sangat kritis,” ucapnya. 

Ia mengharapkan kejadian ini tidak seperti di luar negeri dengan kejadian serupa di mana menewaskan banyak suporter akibat pelemparan gas air mata yang brutal dan efeknya itu besar. 

“Dua kejadian di luar negeri tersebut, kejadian pertama menghasilkan kericuhan suporter berujung perang saudara seperti yang terjadi di Yugoslavia tahun 1990 saat situasi politik memanas dengan meninggalnya Josip Broz Tito (Presiden Yugoslavia), terjadi pertandingan bola antara Crvena Zvezda – Dinamo Zagreb,” bebernya. 

Lalu kejadian kedua, tahun 2011 di Alexandria, Mesir. Terjadi di Liga Mesir, disebutkan kondisi politik Mesir panas. 
“Klub sepak bola Al Masry yang identik dengan rakyat mengalahkan Al-Ahly klub plat merah. Kejadian ini memicu revolusi Mesir,” tuturnya. 

Dari kejadian di Kanjuruhan, Fajar mengharapkan tidak demikian (seperti di luar negeri). “Jangan sampai membuat masyarakat Jawa Timur yang hari ini sedang berduka, dicederai dengan opini untuk membalikkan kesalahan jadi ditujukan kepada Aremania,” harapnya. 

Menkopulhukam juga menurutnya telah menyampaikan jangan sampai memicu gerakan sosial. Kejadian ini, tambah kesini akan memicu kemarahan orang-orang Jawa Timur jika terus ada upaya untuk membalikkan opini. 

“Kita tidak tahu perlawanan orang Jawa Timur itu, tidak hanya di media sosial tapi perlawanan itu bisa terjadi imbasnya nasional,” ujarnya. 

“Dan saya melihat itu sesuatu (membalik opini) yang gegabah lalu menganggap Jawa Timur itu seperti wilayah Indonesia yang lain. Karena kultur bola dan kultur masyarakat Jawa Timur itu sangat melekat,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 09 Oktober 2022

Sampaikan Duka Mendalam Atas Tragedi Kanjuruhan, UIY: Nyawa Manusia Sangatlah Berharga

Tinta Media - Menanggapi tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) ikut prihatin dan menyampaikan duka mendalam.

"Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa duka yang mendalam sekaligus keprihatinan atas terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang baru lalu yang mengakibatkan lebih dari  100 penonton meninggal dunia. Nyawa manusia sangatlah berharga," tuturnya dalam Duka Sepakbola Indonesia, Salah Siapa? Di Kanal YouTube UIY Official, Senin (3/10/2022).

Menurut UIY, sedemikian berharganya sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi perumpamaan bahwa siapa saja yang menghubungkan nyawa orang lain tanpa hak itu bagaikan menghilangkan nyawa atau membunuh manusia seluruhnya di muka bumi yang ada. "Oleh karena itu, maka nyawa manusia harus dijaga begitu rupa agar terjaga," ujarnya.

"Karena itu, tidak boleh ada satu tindakan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk aparat yang bisa menimbulkan kematian," imbuhnya.

Ia menjelaskan bahwa penggunaan gas air mata disebut-sebut dalam peraturan FiFA itu dilarang. Begitu juga dalam pertandingan olahraga harus ada sportivitas. "Pihak Yang kalah harus legowo menerima kekalahan itu dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa menjurus kepada anarkisme," bebernya.

"Mudah-mudahan peristiwa ini memberi pelajaran yang luar biasa kepada kita agar hal yang serupa tidak terjadi di masa yang akan datang," tukasnya.

UIY juga mendoakan para korban agar diterima amal salehnya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Dan seluruh dosa dan kesalahannya diampuni-Nya serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan menghadapi musibah ini," tandasnya.[] Ajira

Jumat, 07 Oktober 2022

Tragedi Kanjuruhan, Menyibak Fanatisme dan Represif Aparat Berujung Maut

Tinta Media - Kabar duka menyelimuti Indonesia. Pertandingan sepak bola yang bertempat di Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu lalu 01/10/2022 menyisakan pilu. Tidak ada lagi gegap gempita, riuh tawa supporter dan pemain, melainkan isakan tangis dan teriakan yang berakhir dengan hilangnya ratusan nyawa.

Dari data yang dilansir dari CNN Indonesia 06/01/2022, peristiwa berdarah tersebut telah menelan korban di antaranya 131 orang meninggal, dan 59 luka-luka yang membuat kabar Indonesia mendunia. Banyak ungkapan bela sungkawa serta dukungan dari tokoh, maupun media-media luar negeri lainnya. 

Menanggapi hal ini, bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memerintahkan jajarannya melalui Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan untuk usut tuntas kasus Kanjuruhan dalam waktu kurang dari sebulan.

Melanggar Aturan

Jika diputar waktu ke belakang, pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina dalam liga sepak bola. Sebanyak 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka. Tak heran, tragedi di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah pertandingan sepak bola dunia. Hingga kini, seluruh rakyat Indonesia masih berduka. Nasib pilu keluarga korban, menunggu kepastian tragedi Kanjuruhan diusut tuntas oleh pihak berwajib.

Pihak polri sampai hari ini masih terus melakukan investigasi terkait update tragedi yang memakan ratusan korban itu. Data menyebutkan bahwa Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo berserta pihaknya telah memeriksa 35 orang saksi dari pihak internal Polri dan masyarakat terkait kasus Kanjuruhan. Adapun jumlah anggota Polri yang diperiksa terkait tragedi Kanjuruhan hingga kini yang diperiksa berjumlah 31 orang. Detikcom (06/10/2022)

Terkait tragedi Kanjuruhan, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang akhir pekan lalu.

Pertama, Kondisi Stadion Kanjuruhan yang tidak kondusif. Bayangkan saja, total tiket yang terjual adalah 42.000, sementara daya tampung maksimal stadion tersebut hanyalah 38.000.  Data ini diperkuat dengan banyaknya kanal berita yang juga melaporkan bahwa jumlah penonton pertandingan itu di stadion melebihi kapasitas. 

Kedua, penggunaan gas air mata. Aturan FIFA Stadium Safety and Security, pasal 19 huruf B menyebutkan larangan penggunaan gas air mata untuk menertibkan kondisi di stadion. Penggunaan gas air mata dapat mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, sehingga dapat menyebabkan kepanikan. 

Ketiga, penyalahgunaan kekuatan kepolisian. Dalam peraturan Kapolri No. 1/2001 berisi enam tahapan penggunaan kekuatan kepolisian. Dari sekian kesaksian, supporter menyatakan bahwa tindakan aparat keamanan brutal dan kasar dalam mengamankan kericuhan di stadion. 

Keempat, jadwal pertandingan yang diadakan malam hari. Tidak sedikit pihak mengusulkan ke PT LIB agar pertandingan digeser sore hari pada pukul 15.00 WIB dengan alasan rawannya keamanan jika tetap digelar malam hari. Namun, tetap saja usulan tersebut ditolak.

Terkukung Fanatisme

Perlombaan atau pertandingan olahraga menciptakan sifat saling mengunggulkan antar club. Salah satunya adalah pertandingan sepak bola ini. Sifat saling mengunggulkan inilah yang akan menciptakan permusuhan antar club. Padahal, dalam kompetisi pertandingan apa pun, yang namanya menang ataupun kalah merupakan hal yang wajar terjadi, tetapi tidak dalam sepak bola. Mereka mengedepankan sikap amarah, ricuh, gengsi, dan ambisi membara manakala kekalahan terjadi.

Di dalam sistem kapitalisme, tidak ada yang tidak mengeluarkan modal, termasuk pertandingan olahraga sepak bola yang menjadi liga olahraga bergengsi ini. Jumlah modal yang dikeluarkan tidak sedikit. Menang dan kalah seolah harga mati bagi pemilik klub. Ini karena hasil pertandingan akan memengaruhi keuntungan dan kerugian bagi pemilik, pelatih, pemain, dan ofisial klub.

Hal itulah yang menjadikan pertandingan sepak bolah begitu berharga. Tak dimungkiri bahwa sikap fanatik supporter mencitptakan pembelaan buta terhadap club favorit mereka. Penampakan emosi yang tercurahkan, baik ambisi, kekesalan, kekecewaan, bahagia menjadi ukuran dan bukti bahwa sepak bola tak lepas dari fanatisme golongan. Dari sinilah, patut diakui bahwa fanatik buta terhadap club kebanggaan turut memunculkan kerusuhan yang terjadi di lapangan. Apalagi supporter club sepak bola Indonesia, memang dikenal memiliki rasa antusiasme yang tinggi.

Perlakuan Refresif

Dalam tragedi Kanjuruhan, aparat kepolisian menggunakan cara yang menunjukkan sikap refresif saat hendak menangani kericuhan massa, yakni penggunaan gas air mata. Polisi tetap menggunakan gas air mata meski dilarang, alasannya sudah sesuai dengan protap. Padahal, aksi disemprotkannya gas air mata memicu meregangnya ratusan nyawa. Akibatnya, Supporter merasakan panik dan berduyun-duyun ingin menyelamatkan diri keluar stadion. Namun, terjadi juga penumpukan massa di satu pintu, dan akhirnya banyak yang sesak napas, dan terinjak.

Apabila pemicu meregangnya ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan adalah karena gas air mata, justru harusnya aparatlah yang bertanggung jawab lebih awal. Tugas aparat tidak hanya melakukan pengamanan, akan tetapi juga harus stabil menahan dan mengendalikan emosi dalam mengnangani kericuhan massa.

Dari sini, jelas harus segera diusut siapa tersangka yang akan mempertanggungjawabkan ini semua. Peran negara sangat diperhitungkan dalam mengusut  peristiwa ini setuntas-tuntasnya. Akankah bisa, mengingat pihak yang mudah disalahkan adalah supporter?

Islam Solusinya

Islam adalah agama yang khas, memiliki seperangkat aturan yang lengkap dalam mengatur kehidupan. Salah satunya, Islam menghukumi olahraga yang dapat memelihara kesehatan dan kebugaran masuk dalam kategoru mubah, yakni boleh. Namun, apabila olahraga yang dilakukan menciptakan kesia-siaan, tentu ini tidak dibolehkan sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)

Lahwun munazhamun ialah permainan atau hiburan yang diatur sedemikian rupa dengan berbagai jenis program dan waktu penyelenggaraannya. Ditunjuklah sejumlah pegawai, staf manager, dan penanggung jawab sehingga menjadi suatu misi yang penting di mata para perencana dan pengaturnya. Dalam hal ini, contoh Lahwun Munazhamun ialah sepak bola. Untuk itulah jangan sampai kita terjebak dalam  Lahwun Munazhamun hingga terlena dan terperdaya sehingga berbuat kesia-siaan. 

Karena kesia-siaan dilarang dalam Islam, maka Islam telah mengarahkan kaum muslimin untuk meyibukkan diri pada aktivitas yang produktif dan diridai oleh Allah Subhanahu wata’ala, seperti berdakwah, memperdalam tsaqofah Islam dan ilmu pengetahuan, dan bahkan menganjurkan olahraga yang memberi keterampilan sebagai bekal jihad di jalan Allah.

Demikian pula, Islam melarang fanatik antar golongan. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)

Di dalam Islam semuanya sama, tak membedakan suku, ras, kelompok, madzhab, bahasa, dan bangsa. Bahkan, Islam menghargai perbedaan, tak ada saling cela-mencela, memusuhi, apalagi menghina satu dengan yang lain. Sehingga tidak ada pertumpahan darah di atas perbedaan. Terlaksananya kegiatan olahraga dalam Islam pun negara memastikan betul akan kenyamanan dan keamanannya, sehingga aparat keamanan berfungsi dengan baik dari segi mengayomi dan memberi perlindungan kepada rakyat, bukan memberi rasa takut dan bertindak kasar lagi keras. Tidakkah kita rindu dengan penerapan Islam yang begitu Menyejahterakan ini?
Wallahu a’laam bi ash-shawaab.

Oleh: Inas Fauziah Idris 
Aktivis Penulis Ideologis

DISORIENTASI SEPAKBOLA

Tinta Media - Dunia olah raga persepakbolaan negeri ini berduka, pasalnya pertandingan antara Arema dan Persebaya berakhir dengan meninggalnya para penonton akibat diduga kuat terkena gas air mata. Tentu saja pihak kepolisian harus bertanggungjawab atas meninggalnya ratusan penonton arema ini, jika benar gas air mata menjadi penyebab kematian penonton. Termasuk di dalamnya adalah manajemen Arema dan PSSI hingga menpora harus mempertanggungjawabkan tragedi ini, sebab kesemuanya memiliki hubungan sistemik. Tidak boleh ada saling melempar tanggungjawab, apalagi mencari kambing hitam. 

Padahal dalam aturan FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations), petugas keamanan tidak diperkenankan memakai gas air mata. Hal itu sebagaimana tertulis di pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (Pitchside stewards), yang berbunyi, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan).

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Dra. Karimah Muhammad, Apt. CPE Alumni ITB bahwa “Gas air mata” sebenarnya bukan gas, melainkan serbuk halus bertekanan tinggi yang dikemas dalam kaleng. Ketika ditembakkan, atau diaktifkan, serbuk ini akan menyebar dan menggantung di udara dengan kepadatan yang tinggi. Farmasi mengenal teknologi ini dalam obat asma inhalasi, namun dosisnya sangat kecil. Serbuk ini akan berikatan dengan kandungan air yang terdapat di mata, kulit dan tenggorokan.

Serbuk halus yang mengambang di udara tersebut akan menempel di kulit, terhirup atau mengenai mata, karena berikatan dengan kandungan air yang terdapat di kulit, tenggorokan saluran pernafasan atau mata. Efek yang dirasakan : (1) Di kulit: rasa terbakar, (2) Di mata: rasa perih, keluar air mata, (3) Di saluran pernafasan: hidung berair, batuk, rasa tercekik, (4) Di saluran pencernaan: rasa terbakar yang parah di tenggorokan, keluar lendir dari tenggorokan, muntah. Jika serbuk tersebut masuk hingga ke paru-paru akan menyebabkan nafas pendek-pendek, sesak nafas, rasa seperti ada akar di paru-paru.

Respon tersebut merupakan cara sistem pertahanan tubuh untuk mengeluarkan serbuk yang berbahaya tersebut dari tubuh. Ada 2 zat yang biasa digunakan sebagai “gas air mata” : Minyak capsicum (minyak cabai) Zat kimia 2-chloro-benzal-malono-nitrile atau C10H5CIN2.

Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Nico Afinta dalam jumpa pers di Malang, Minggu, mengatakan dari 127 orang yang meninggal dunia tersebut, dua di antaranya merupakan anggota Polri. Pada Minggu siang, seperti diungkapkan Presiden Jokowi, angka tewas itu bertambah menjadi 129 orang. Bahkan sampai pukul 18.00, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), korban bertambah menjadi 153 tewas.

Dilaporkan oleh Tempo.Co, Jakarta bahwa menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan tragedi Arema vs Persebaya yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, bukan bentrok antara suporter kedua tim. Mahfud menjelaskan, aparat kepolisian sebelum pertandingan dilaksanakan sudah mengantisipasi melalui koordinasi dan usul-usul teknis di lapangan.

Misalnya, pertandingan agar dilaksanakan sore, jumlah penonton agar disesuaikan dengan kapasitas stadion, yakni 38.000 orang. "Tapi usul-usul itu tidak dilakukan oleh panitia yang tampak sangat bersemangat. Pertandingan tetap dilangsungkan malam, dan tiket yang dicetak jumlahnya 42.000," kata Mahfud.

YLKI juga mendesak manajemen penyelenggara, khususnya Arema, untuk bertanggung jawab baik secara perdata maupun pidana. “Secara perdata, manajemen dan penyelenggara harus memberikan kompensasi dan ganti rugi terhadap korban dan keluarga korban atau ahli waris,” ujar Tulus.

Lebih lanjut, Tulus meminta ada pembentukan tim investigasi independen. Tim independen artinya bukan tim yang dibentuk Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sebab dalam kasus ini, kata dia, PSSI adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.

Pada mulanya, sepakbola adalah permainan olah raga yang bertujuan menjadi media agar tubuh menjadi sehat. Sepakbola juga permainan yang paling banyak menyita perhatian masyarakat dunia karena bernuasan hiburan. Namun belakangan olahraga ini mengalami disorientasi yang justru keluar dari filosofi awal soal olah raga. Ada banyak sisi lain yang menunjukkan disorientasi sepakbola yang justru kontraproduktif, diantaranya adalah :


KAPITALISASI SEPAKBOLA

Baru-baru ini Presiden FIFA Sepp Blatter menyatakan keprihatinannya atas gejala kapitalisasi dalam sepakbola. Sebagaimana dilansir The Financial Times Blatter beranalog; "saat ini mayoritas tim sepakbola bertarung dengan tombak, namun beberapa klub rakus yang memiliki dana besar menggunakan hulu ledak nuklir."

Makna dari pernyataan ini tidak lain adalah bahwa dalam dunia persepakbolaan kini sedang berjalan di arah rel kapitalisasi. Dalam pasar bisnis, kapitalisasi juga berakibat memunculkan pertentangan kelas antara yang kaya dan yang miskin. Klub-klub yang masuk kategori kaya seperti MU, Real Madrid, AC Millan, Bayern Munich, FC Barcelona, Juventus, Arsenal, Inter Milan, Liverpool, Chelsea adalah femomena klub yang keberadaannya menguasai pasar persepakbolaan di Eropa, bahkan hegemoninya mampu menghipnotis pecandu sepakbola dunia. (e-mail: karikatur2005@yahoo.co.id)

Kapitalisasi sepakbola adalah bentuk disorientasi olah raga. Akibatnya, sepakbola tidak menjadi olahraga dna hiburan lagi, namun menjadi bisnis kaum kapitalis. Sementara rakyat hanya menjadi korban dan sapi perah saja. Pemaksaan 42.000 penonton di Malang, padahal stadiun hanya berkapasitas 38.000 adalah indikasi kapitalisasi itu dan akibatnya sangat fatal dengan tewasnya ratusan korban jiwa penonton. Kapitalisasi yang berorientasi materi semata yang mengabaikan nilai agama tentu saja diharamkan oleh Islam.

PERJUDIAN SEPAKBOLA

Permainan sepakbola yang semestinya menjadi cara orang untuk sehat dengan olah raga sekaligus menjadi ajang hiburan tercoreng dengan adanya budaya pertaruhan. Perjudian sering kali mewarnai pertandingan sepakbola, dari tinggat desa hingga tingkat dunia. Bahkan bandar judi bermain dengan permainan skor. Lagi-lagi sepakbola telah mengalami disorientasi. Praktek perjudian diharamkan dalam Islam.

Cara bandar judi bola melakukan pengaturan skor pertandingan sepak bola seperti yang terjadi di Perserang Serang relatif sama dengan kasus sebelumnya. Kasus pengaturan skor sebelumnya pernah terjadi di klub sepak bola Indonesia seperti Persewangi Banyuwangi dan PSBK Blitar. Publik Indonesia baru saja dibuat kaget ketika Perserang Serang memecat 5 pemain dan pelatihnya karena terlibat pengaturan skor. Pengaturan skor yang melibatkan mereka sengaja dibuat agar Perserang Serang kalah sesuai dengan keinginan bandar judi bola. (SINDOnews.com pada Sabtu, 30 Oktober 2021 - 08:54 WIB oleh Tim Litbang MPI).

Bandar judi bola bisa berasal dari mana saja. Untuk pertandingan-pertandingan sepak bola di Asia Tenggara, pusat bandar judi bola biasanya berasal dari Singapura dan Kamboja. Dua negara ini memang melegalkan judi bola sehingga bandar judi bola bebas untuk membuat saran pendukung judi bola seperti membuka rekening khusus judi bola hingga membuat aplikasi judi bola.

FANATISME GOLONGAN DAN SUKU

Sepakbola pada faktanya tidak lagi menjadi alat pemersatu bangsa. Seringkali terjadi perkelahian antar suporter bola hanya karena terpancing emosi. Perkelahian antar suporter hingga menelan jiwa sudah tak terhitung jumlahnya, baik di Indonesia maupun di dunia. Bahkan hingga pertandingan antar RT, sepakbola ini bisa menimbulkan akibat buruk, yakni berbagai bentuk permusuhan.

Pertikaian dan permusuhan akibat permainan sepak bola ini disebabkan oleh fanatisme golongan, yakni fanatisme berlebihan dalam membela klubnya. Fanatisme juga bisa dipicu oleh kesamaan suku dan daerah klub jagoannya. Fanatisme juga bisa dipicu oleh kesamaan bangsa dan negara, sehingga seolah lawan main adalah musuhnya.

Sepakbola bisa menjadi wasilah permusuhan, bukan persatuan karena menimbulkan fanatisme golongan yang berlebihan. Bisa jadi antar muslim bermusuhan hanya karena beda klub bola atau beda klub bola antara negara. Bahkan lebih ironis, ketika fanatisme sepakbola ini, seseorang rela mati demi membela klubnya. Fanatisme golongan diharamkan dalam Islam.

MARAKNYA PELACURAN

Ditulis oleh Liputan6.com, Paris bahwa uang melimpah membuat para pesepak bola dunia tak jarang menghabiskannya dengan berbagai cara. Tidak jarang para pesepak bola itu terjebak dalam dunia malam. Mereka memilih berpesta di klub-klub malam bersama teman-temannya atau wanita-wanita yang siap menemani mereka.

Jasa PSK (Pekerja Seks Komersial) pun tidak jarang disewa para pesepak bola untuk menemani mereka berpesta. PSK yang disewa pun biasanya meminta bayaran besar jika diminta menemani pesepak bola. Bayaran besar tak lain untuk menutup mulut para PSK itu agar tidak bicara ke media bahwa mereka pernah berkencan semalam dengan para pesepak bola terkenal. Jika ada PSK, maka biasanya tidak jauh juga dari miras, minuman keras beralkohol yang memabokkan.

Ditulis oleh Merdeka.com bahwa menjajakan seks bukanlah hal yang tabu lagi bagi sebuah negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Banyaknya tempat prostitusi di berbagai kota, di mana kota tersebut juga digunakan sebagai tempat penyelenggaraan turnamen empat tahunan ini. Menjelang Piala Dunia yang hanya dalam hitungan minggu ini, Brasil mengalami peningkatan wabah dalam soal pelacuran di bawah umur demi menjual dan memuaskan para turis asing yang ingin menikmati pariwisata seks. Tentu saja pelacuran adalah perbuatan zina yang diharamkan oleh Islam.

AJANG KORUPSI

Ditulis oleh Bisnis.com tahun 2011 bahwa Save Our Soccer (SOS) melaporkan sedikitnya tiga indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana sepak bola di Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di antaranya adalah terkait dengan dana APBN untuk PSSI. Hal itu disampaikan SOS ke KPK terkait dengan indikasi korupsi dalam dunia sepak bola. Mereka yang datang di antaranya adalah Emerson Yuntho (Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch), IGK Manila (mantan manajer Timnas), dan Richard Ahmad (Sekjen Jakmania).

Indonesia adalah salah satu negara yang pantas disebut sebagai negeri darurat korupsi. Jangankan dana olahraga, bahkan dana sosial untuk orang miskinpun dikorupsi. Bahkan budaya korupsi ini telah merambah ke semua lembaga pemerintahan, seperti kementerian, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, mahkamah agung, para kepala daerah dan bahkan di dunia pendidikan oleh rektornya. Sepakbola juga menjadi sasaran tindak pidana korupsi. Korupsi adalah perbuatan maksiat yang diharamkan oleh Islam.

WAKTU TERBUANG SIA-SIA

Allah berfirman dalam QS Al Ashr : 1-3 : Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Menghabiskan waktu 90 di depan TV maupun di studion sepakbola tentu saja merupakan kesia-siaan belaka. Sebab kekalahan dan kemenangan klub sepakbola tidak akan menjadikan amal sholeh, tidak juga akan menjadikan agama ini lebih maju. Sepakbola tak ada hubungannya dengan peradaban agama ini. Jikapun mau olah raga, Islam telah mengajarkan olahraga yang bisa bermanfaatnya bagi peradaban Islam dan jihad yakni memanah, berenang dan berkuda, bukan sepakbola. Daripada waktu sia-sia nonton bola, lebih baik menenggelamkan diri dalam ilmu dan berkarya untuk peradaban Islam.

Dan yang pasti, sebagaimana dikatakan oleh Pizaro bahwa sepak bola tidak bisa membangkitkan peradaban. Menurutnya peradaban dibangun lewat ilmu. Sepak bola adalah permainan dan hiburan semata, dan jika diperlakukan sebaliknya, umat akan lebih memilih sepak bola ketimbang ilmu.

Padahal, kata dia, sepak bola acap kali diboncengi hal-hal yang sudah melenceng dari batas-batas logika. Sebagai contoh, seorang fantik sepak bola rela mempertaruhkan nyawanya dengan kecintaan terhadap sepak bola. Tak hanya itu, kata dia, sepak bola juga telah diboncengi keberadaan pelacur dan perjudian. Karena itu, ia menilai pernyataan sepak bola sebagai tiang peradaban dan kemajuan suatu negara terlalu berlebihan.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 02/10/22 : 20.10 WIB)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
 

Kamis, 06 Oktober 2022

Iwan Januar: Tragedi Kanjuruhan Tunjukkan Kecerobohan Negara

Tinta Media - Tragedi yang menewaskan ratusan warga yang menonton sepakbola di stadion Kanjuruhan, Malang, dinilai Direktur Siyasah Institute Iwan Januar sebagai kecerobohan negara.

“Bicara tragedi Kanjuruhan, Malang, yang tewaskan lebih dari 120 warga, menunjukkan kecerobohan negara,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (3/10/2022).

“Bukannya melindungi warga, aparat keamanan malah membuat warga panik dengan tembakan gas air mata ke tribun penonton,” lanjutnya.

Ia menggambarkan orang dewasa, anak-anak, lelaki, perempuan, ibu-ibu berhamburan mencari jalan keluar. “Sesak nafas, jatuh, terinjak dan tergencet,” paparnya.

Iwan geram dengan aparat kepolisian yang seakan-akan lupa kalau penonton itu beragam usia. "Ada anak-anak, ibu-ibu, wanita, tidak semua lelaki dewasa. Apakah aparat juga lupa tidak mudah bagi ratusan apalagi ribuan penonton berebut ke pintu keluar di jalur yang sempit? Apalagi di stadion Kanjuruhan ternyata sebagian pintu masih tertutup?” tanyanya.
 
“Faktanya korban tewas bukan karena serangan para perusuh, tapi karena kepanikan yang disebabkan tembakan gas air mata,” ungkapnya.

Padahal, menurut Iwan, FIFA sudah membuat panduan bagi pihak keamanan stadion dengan ‘mengharamkan’ senjata api dan gas air mata. FIFA belajar dari tragedi tahun 1964 di Peru. Ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah penonton menyebabkan tiga ratus lebih warga tewas.

Herannya, kepolisian dari Polda Jawa Timur dengan mantap menyatakan bahwa penggunaan gas air sesuai protap. “Penonton bertanya, protap yang mana?” tanyanya.
 
Ia juga mempertanyakan apakah disamakan protap hadapi perusuh dengan penonton di tribun, karena gas air mata justru ditembakkan aparat ke arah tribun?

“Padahal, tahun 2019, ketika Arema bertemu Persebaya ada kesepakatan aparat keamanan tidak akan gunakan gas air mata,” jelasnya.

Jadi, ia menilai persoalan sepakbola, khususnya di tanah air itu mbuled. “Saya duga kuat tak ada yang mau bertanggung jawab, mundur dari jabatan, apalagi diseret ke pengadilan,” duganya.

“Apalagi aparat kepolisian kelihatan akan bersikukuh mereka sudah menjalankan prosedur pengamanan dengan benar,” lanjutnya.

Menurutnya, sulit di negeri ini mencari pejabat dan perwira yang gentle mau bertanggung jawab sementara ratusan warga sudah meregang nyawa. “Jangankan 120-an nyawa penonton, kasus 894 nyawa petugas KPPS saja pemerintah tak mau mengusutnya,” tamsilnya.

“PSSI? Ah, apalagi,” tambahnya.

Menurut Iwan, penggemar sepakbola sudah capek melihat sepak terjang para pengurus PSSI. Sudah banyak kritik tajam dan keras bahkan sarkas pada PSSI, tapi mereka bergeming. 

“Tragedi Kanjuruhan tidak bakal terjadi kalau supervisi dilakukan ketat oleh PSSI, soal penjualan tiket lebihi kapasitas penonton, briefing dengan aparat keamanan soal larangan penggunaan gas air mata dan kekerasan pada penonton, dan PSSI berani menunda atau bahkan membatalkan pertandingan bila itu semua tidak dipatuhi,” terangnya.

Makanya, ia menilai sulitnya mendapatkan titik terang dari tragedi Kanjuruhan ini, apalagi ada yang diseret ke pengadilan. “Paling gampang menyalahkan supporter. Dan itu sudah dilakukan oleh mereka hanya beberapa jam setelah kerusuhan terjadi,” nilainya.

Tragedi Heysel

Iwan menceritakan pada tahun 1985 sebagai ABG menatap layar tv menonton final Liga Champion yang mempertemukan dua raksasa bola daratan Eropa; Juventus dari Itali, melawan Liverpool dari Inggris. Dua tim ini sedang gacor-gacornya di liga masing-masing dan di pentas Eropa. “Saya menonton karena kepincut dengan permainan The Reds dan kelincahan striker mereka asal Wales, Ian Rush,” ceritanya.

Namun, ia melihat tontonan itu tidak lagi menghibur tapi malapetaka. Semua tahu, Stadion Heysel, Belgia, menjadi saksi kerusuhan besar antar suporter. Hooligan dari Inggris diduga jadi pemicu konflik. Ratusan luka, 39 meninggal. “Itu jumlah besar kala itu,” ucapnya.

Ia ungkapkan setelah itu semua klub Inggris dibanned dari kancah pertarungan internasional. Liga Inggris pun terkucilkan. “Tak ada lagi gemuruh para hooligan di stadion-stadion Eropa,” ungkapnya.

Iwan juga mengungkapkan setelah tragedi Heysel, penyelenggara sepakbola di Eropa berbenah. Bukan saja memperketat penonton, tapi juga menata stadion dan sistem keamanan. “Liga Inggris sejak tragedi Hillsborough di tahun 1989, dimana puluhan penonton terluka dan tewas karena tergencet sesama penonton ke pagar pembatas, maka semua stadion menghilangkan pagar pembatas antara tribun dengan lapangan,” ungkapnya.

Dijelaskannya pula bagaimana Eropa berbenah setelah insiden Heysel. “Pertama, soal kemanusiaan. Tragedi itu bagaimana pun memilukan dan memukul banyak penggemar sepakbola,” jelasnya.

“Kedua, soal uang! Sepakbola hari ini adalah mesin industri yang alirkan uang bukan hanya untuk pemain, tapi pemilik klub dan semua organisasi sepakbola di dunia, termasuk UEFA dan juga FIFA,” jelasnya lebih lanjut.

Diungkapnya catatan situs statista.com organisasi bola Eropa UEFA revenue yang mereka dapatkan dari musim 2020/21 mencapai 5.7 million euros alias 88 triliun rupiah lebih! (UEFA revenue 2004-2021 | Statista). “Jadi, kalau ada liga yang macet atau bermasalah, dampaknya juga pada kocek mereka,” ungkapnya.

Karena itu, mereka berusaha seprofesional mungkin jalankan kompetisi. Cegah kerusuhan dan cegah sepakbola ‘gajah’. “Tapi tetap saja tidak bisa menghentikan praktik korupsi di sana,” paparnya.

Ia memaparkan bahwa para pengelola kompetisi juga sering dituding mata duitan oleh klub dan para pemain. “Sebabnya, mereka terus buat berbagai kompetisi dan peraturan baru yang menguntungkan para penyelenggara, tapi menjadi beban untuk klub dan terutama para pemain,” paparnya.

Diungkapkannya juga Kiper timnas Belgia, Thibout Courtois terang-terangan menyebut UEFA mata duitan karena menggelar UEFA Nations League sampai perebutan peringkat ketiga. Padahal UEFA sudah punya hajatan liga Champions juga Piala Eropa. “Siapapun paham setiap pertandingan adalah mesin uang untuk para pejabat UEFA,” ungkapnya.

“Benar, pemain juga dapat uang, tapi mereka seperti budak yang bertarung di arena gladiator yang bertarung secara maraton. Tidak heran para pemain top dunia rawan cedera dan ujungnya dibuang dari klub dan timnas,” lanjutnya.

Menurut Iwan, olahraga itu harusnya sekedar olahraga untuk kesehatan dan melatih ketrampilan kaum muslimin. Utamanya untuk kegiatan jihad fi sabilillah. Selain itu, dalam kehidupan Islam, agenda-agenda seperti ini tidak memberikan manfaat kecuali hiburan dan uang untuk para pengusaha dan pengelola olahraga yang mata duitan kapitalistik. 

“Dalam kehidupan Islam, umat akan diarahkan untuk aktifitas produktif, mengembangkan ilmu pengetahuan, tsaqofah, dakwah dan jihad di jalan Allah,” tandasnya. [] Raras

Rabu, 05 Oktober 2022

𝐈𝐍𝐍𝐀 𝐋𝐈𝐋𝐋𝐀𝐇𝐈... 𝐆𝐄𝐆𝐀𝐑𝐀 𝐀𝐒𝐇𝐀𝐁𝐈𝐘𝐀𝐇 𝟏𝟐𝟕 𝐍𝐘𝐀𝐖𝐀 𝐌𝐄𝐋𝐀𝐘𝐀𝐍𝐆, 𝟏𝟖𝟎 𝐎𝐑𝐀𝐍𝐆 𝐋𝐔𝐊𝐀-𝐋𝐔𝐊𝐀

Tinta Media - Sejatinya yang memecahbelah kesatuan kaum Muslim adalah ashabiyah (membantu dalam kezaliman karena ikatan kekeluargaan, organisasi, bangsa, suku, suporter bola, dll). Kurang apa coba? Sama-sama Indonesia, bahkan sama-sama Jawa, (Parahnya lagi, sangat mungkin mayoritasnya sama-sama beragama Islam) sampai mengorbankan 127 nyawa (hingga 2/10/2022 pukul 06:12) dan 180 orang luka-luka hanya karena perbedaan tim sepak bola yang didukung. 
.
Tidak satu pun kaum nasionalis/ashabiyah teriak bubarkan tim sepak bola ini-bubarkan tim sepak bola itu, radikal-radikul. Kenapa? Karena 127 nyawa yang tewas dan 180 orang yang luka-luka bukan dalam rangka membela Islam. 
.
Coba bayangkan kalau tim sepak bola itu ormas Islam yang aktif mendakwahkan ajaran Islam, amar makruf nahi mungkar, tidak ada yang luka dan tewas pun para ashabiyah pasti ribut radikal-radikul, ribut bubarkan ormas pemecah belah bangsa. Padahal jelas-jelas yang memecah belah adalah ashabiyah, bukan ormas yang mendakwahkan Islam!
.
Ikatan ashabiyah memang ikatan yang sangat lemah, rusak dan merusak. Saatnya kaum Muslim kembali menjadikan ikatan akidah Islam sebagai ikatan hakikinya seperti di masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. 
.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mati di bawah bendera kebutaan, marah karena ashabiyah, berperang karena ashabiyah atau mengajak kepada ashabiyah, maka seperti kematian masa jahiliah” (HR Ahmad).[] 
.
.
Depok, 6 Rabiul Awal 1444 H | 2 Oktober 2022 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis

Selasa, 04 Oktober 2022

Tragedi Kanjuruhan, LBH Pelita Umat: Ada Tiga Pihak Bisa Dimintai Pertanggungjawaban

Tinta Media - Merespon tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 127 orang ketika suporter Arema memaksa masuk ke lapangan dan polisi menghalaunya dengan melepaskan tembakan gas air mata, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan.,S.H., M.H. mengatakan ada tiga pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
 
“Saya berpendapat tiga pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban yaitu aparat, organisasi penyelenggara beserta asosiasi sepak bola dan negara,” ungkapnya kepada Tinta Media, Senin (3/10/2022).
 
Chandra mengatakan, berdasarkan keterangan ahli Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyatakan, penggunaan gas air mata yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi dan sesak napas. Bahkan bila menghirup dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan kematian.
 
“Oleh karena itu tembakan gas air mata dan tindakan represi lainnya oleh aparat wajib untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Mendorong pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan independen terhadap penggunaan gas air mata dan memastikan bahwa mereka yang terbukti melakukan pelanggaran diadili di pengadilan dan tidak hanya menerima sanksi internal,” harapnya.
 
Penyelenggara dan asosiasi sepakbola, sambung Chandra  wajib dievaluasi dan dilakukan penyelidikan atas unsur kealpaan.  “Pasal 359 KUHP tertulis barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” imbuh Chandra.  
 
Chandra mengatakan,  berdasarkan penjelasan keterangan Menko Polhukam Mahfud MD, korban meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, umumnya karena desak-desakan, himpitan, terinjak-injak dan sesak nafas.
 
“Unsur kealpaan tidak memperhitungkan hal yang perlu misalnya adalah bagaimana perhitungan jika terjadi kekacauan, bagaimana jika penonton desak-desakan berebut pintu keluar, apakah semua pintu dibuka? Selanjutnya kelalaian dalam hukum yaitu tidak menunjukkan kehati-hatian, yang bermakna bahwa tidak melakukan penelitian, penimbangan, kemahiran, pencegahan atau pun kebijaksanaan dalam melakukan suatu penyelenggaraan event, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kehati-hatian yang umumnya berlaku?“ ulasnya.  
 
Menurut Chandra, negara harus hadir dan memberikan tanggung jawabnya atas tragedi Kanjuruhan yang terjadi. Wajib melakukan rehabilitasi medis bagi korban luka-luka dan korban meninggal harus diberi santunan kepada keluarganya.
 
Praktek Kapitalisme
 
Chandra menilai praktek kapitalisme dapat dilihat dari perilaku para kapitalis pemilik modal yang memiliki sebuah klub ataupun menginvestasikan modal yang mereka miliki kepada klub.
 
“Tidak hanya oleh modal besar, kegiatan industri sepak bola saat ini juga dikomersialisasi untuk keuntungan pihak klub. Para klub menjual jersey pemain, merchandise, dan berbagai atribut lain, serta kontrak eksklusif dengan berbagai produk dan sponsor dengan nilai jutaan hingga miliaran,” terang Chandra.
 
Agar bisnisnya berjalan, ujar Chandra, para kapitalisme menciptakan fanatisme terhadap klub, agar seluruh produk bisnis yang berkaitan dengan klub dapat laku terjual.
 
“Oleh karena itu negara wajib melakukan perubahan paradigma industri dalam sepakbola,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Senin, 03 Oktober 2022

PENDAPAT HUKUM TERKAIT TRAGEDI DI STADION KANJURUHAN


Tinta Media - Kurang lebih 127 orang meninggal akibat kerusuhan yang terjadi seusai pertandingan Arema FC Lawan Persebaya Surabaya. Jumlah ini terdiri atas 125 Aremania dan dua orang polisi berdasarkan data kepolisian setempat. Insiden berawal ketika suporter Arema memaksa masuk ke lapangan dan polisi menghalaunya dengan melepaskan tembakan gas air mata. 
 
Berdasarkan hal diatas, saya akan memberikan Pendapat Hukum (legal opini) sebagai berikut:  
 
PERTAMA, bahwa saya berpendapat 3 (tiga) pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban yaitu aparat, organisasi penyelenggara beserta asosiasi sepak bola dan Negara; 
 
KEDUA, Bahwa berdasarkan keterangan ahli Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyatakan, penggunaan gas air mata yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi dan sesak napas. Bahkan bila menghirup dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan kematian. Olehkarena itu tembakan gas air mata dan tindakan represi lainnya oleh aparat wajib untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Mendorong pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan independen terhadap penggunaan gas air mata dan memastikan bahwa mereka yang terbukti melakukan pelanggaran diadili di pengadilan dan tidak hanya menerima sanksi internal; 
 
KETIGA, Bahwa penyelenggara dan asosiasi sepakbola wajib dievaluasi dan dilakukan penyelidikan atas unsur kealpaan  
Pasal 359 KUHP: _“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”_.  Berdasarkan keterangan Mahfud MD Menko Polhukam menjelaskan, korban meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, umumnya karena desak-desakan, himpitan, terinjak-injak dan sesak nafas. Unsur kealpaan tidak memperhitungkan hal yang perlu misalnya adalah bagaimana perhitungan jika terjadi kekacauan, bagaimana jika penonton desak-desakan berebut pintu keluar, apakah semua pintu dibuka. Selanjutnya kelalaian dalam hukum yaitu tidak menunjukkan kehati-hatian, yang bermakna bahwa tidak melakukan penelitian, penimbangan, kemahiran, pencegahan atau pun kebijaksanaan dalam melakukan suatu penyelenggaraan event, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kehati-hatian yang umumnya berlaku; 
 
KEEMPAT, bahwa Negara harus hadir dan memberikan tanggung jawabnya atas tragedi Kanjuruhan yang terjadi. Wajib melakukan rehabilitasi medis bagi korban luka-luka dan korban meninggal harus diberi santunan kepada keluarganya; 
 
KELIMA, bahwa KAPITALISME DALAM INDUSTRI SEPAKBOLA. 
Praktik kapitalisme, dapat dilihat dari perilaku para kapitalis pemilik modal yang memiliki sebuah klub ataupun menginvestasikan modal yang mereka miliki kepada klub. Tidak hanya oleh modal besar, kegiatan industri sepak bola saat ini juga dikomersialisasi untuk keuntungan pihak klub. Para klub menjual jersey pemain, merchandise, dan berbagai atribut lain, serta kontrak eksklusif dengan berbagai produk dan sponsor dengan nilai jutaan hingga miliaran. Agar bisnisnya berjalan, maka para kapitalisme menciptakan fanatisme terhadap klub, agar seluruh produk bisnis yang berkaitan dengan klub dapat laku terjual. Olehakarena itu Negara wajib melakukan perubahan paradigma industri dalam sepakbola. 
 
Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan,S.H.,M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab