Tinta Media: Toleransi
Tampilkan postingan dengan label Toleransi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Toleransi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 September 2024

Toleransi Kebablasan Gambaran Tergelincirnya Akidah

 

Tinta Media - Indonesia memiliki keanekaragaman suku, golongan, ras, agama, dan budaya. Keragaman ini menjadi ciri khas negeri, dengan keunikan yang dimiliki maka, sikap saling menghargai dan menghormati tidak terlepas dari culture masyarakat. Toleransi menjadi perbincangan yang terus digemborkan akhir-akhir ini, menurut W.J.S. Poerwadarminta toleransi merupakan Sebuah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia ramai diperbincangkan baik dari segi penampilan beliau yang sederhana terlihat dari sepatu yang digunakan, kendaraan yang beliau pilih untuk mengantarkannya, beliau sosok ramah dan bersahaja terlihat saat bercengkerama dengan warga hingga sosok beliau yang taat dengan ajaran agamanya. Beliau seorang paus sekaligus kepala negara di negara Vatikan.

Terlepas dari pemaparan di atas, ada hal menarik yang sangat sayang dilewatkan yaitu berkunjungnya Paus Fransiskus ke masjid Istiqlal Jakarta. Terlihat bagaimana sikap dari Imam besar Masjid Istiqlal memperlakukan seorang non muslim. Sangat ramah sampai menjabat tangan dan menciumnya, begitu pula orang nomor 1 di negeri kita melakukan hal serupa. Memang jika kita melihat dengan kedua mata dan tidak meresapinya dalam-dalam hal ini terlihat amat indah dan sejuk di pandang mata melihat bagaimana seorang tokoh masyarakat menghormati dan menghargai non muslim atas dalih toleransi.

Apa jadinya jika sikap ini disalah artikan oleh kaum muslimin yang memfotokopi perlakuan imam besar dan orang nomor 1 di negeri kita tanpa mencari tahu terlebih dahulu apakah diperbolehkan dalam syariat untuk berlemah lembut kepada non muslim. Toleransi yang dipertontonkan kepada kaum muslimin dihias dengan begitu cantik dan lembut hingga yang melihat terhipnotis oleh ketenteramannya. Boleh jadi dibalik toleransi yang beredar menjadi bentuk toleransi kebablasan hingga sedikit banyaknya mempengaruhi akidah kaum muslimin. Memang tidak serta merta mengubah namun, laksana batu yang terus ditetesi air hujan lambat laun akan berlubang dan rapuh. Begitu pula dengan akidah   kaum muslimin hanya butuh waktu saja maka akidah pelan-pelan akan tergelincir.

Apabila kita merujuk pada definisi toleransi menurut W.J.S. Poerwadarminta yang mengatakan toleransi berupa sikap menghargai, membiarkan, dan membolehkan. Namun, toleransi saat ini mengarah ke Tasyabbuh mengikuti hal-hal yang dilakukan orang kafir dengan dalih toleransi. Kita kembali mengintip sejarah Islam, bagaimana Islam menjunjung tinggi toleransi. Saat Islam menguasai sepertiga dunia tidak ada yang tidak kenal dengan Daulah Islam. Dari segi keilmuan, peraturan, kesejahteraan, kekuatan militer bahkan hal-hal kecil seperti akhlak dan toleransi dalam Islam juga sangat dipandang baik.

Daulah Islam dalam memperluas wilayahnya dengan metode futuhat dengan tujuan menyampaikan dakwah Islam kepada orang-orang non muslim tanpa ada paksaan dan intimidasi sedikit pun dari kaum muslimin. Wilayah yang didatangi utusan-utusan khalifah untuk memfutuhat dan menyampaikan dakwah Islam tidak dengan kekerasan, menyampaikan Islam dengan ihasan dan ahsan menawarkan kepada non muslim untuk ikut ajaran Islam. Jika non muslim enggan dan menolak maka mereka ditawarkan untuk hidup di bawah naungan Daulah Islam mendapat perlindungan dan hak yang sama dengan kaum muslimin dengan syarat membayar jizyah.

Mereka yang tinggal dan tunduk di bawah naungan Islam diberikan kebebasan untuk menjalankan aktivitas keagamaan mereka tanpa kaum muslimin mengganggu atau pun mengikutinya. Mereka diberikan wilayah khusus di dalam wilayah Islam untuk membangun tempat peribadatan mereka dan melakukan segala jenis aktivitasnya. Namun mereka juga dipersilakan untuk beraktivitas di tengah-tengah lingkungan kaum muslimin dengan ketentuan untuk para perempuan non muslim berpakaian layaknya pakaian seorang Muslimah untuk menutup aurat mereka sehingga tidak menimbulkan syahwat dan fitnah ketika beraktivitas ditengah-tengah lingkungan kaum muslimin.

Begitulah sedikit gambaran bentuk toleransi kaum muslimin yang telah dipraktikkan jauh sebelum praktik toleransi ala sekuler-kapitalis merambah dunia kaum muslimin. Rasulullah Saw., bersabda dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas berkata: ditanyakan kepada Rasulullah : Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah Swt? Maka beliau bersabda: Agama yang lurus lagi toleran. (H.R. Bukhari)

Banyak sekali hal-hal toleransi yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat untuk kaum muslimin di zaman ini. Kita sebagai kaum muslimin hendaknya kembali kepada Syariat Islam dalam segala aspek perkara termasuk perkara toleransi ditengah-tengah umat agar tidak menjadi umat yang Tasyabbuh dan bertaklid buta.

Wallahu A’lam Bishshawwab

Oleh : Rika Ishvasa, Aktivis Muslimah

Selasa, 24 September 2024

Bukan dari Paus Fransiskus, Belajar Toleransi dari Rasulullah Muhammad SAW

Tinta Media - Presiden Joko Widodo dan Sri Paus Fransiskus menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya toleransi, keberagaman, dan perdamaian dunia dalam kunjungan kenegaraan bersejarah Paus Fransiskus ke Indonesia pada Rabu, 4 September 2024. Kedua pemimpin menekankan perlunya menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dalam memperkuat persatuan, serta pentingnya menyuarakan perdamaian di tengah meningkatnya konflik global.(www.presidenri.go.id, 4/09/2024)

Pendapat Presiden Joko Widodo dan Sri Paus Fransiskus tentang pentingnya toleransi, keberagaman, dan perdamaian dunia tentu seharusnya menjadi komitmen dan benar-benar diwujudkan, khususnya oleh Presiden Joko Widodo dan Paus Fransiskus, bukan hanya sekedar ucapan.

Jika Paus berpesan pentingnya toleransi beragama dan memberikan pujian kepada masyarakat Indonesia yang toleransi, di Vatikan sendiri sepertinya belum terwujud toleransi beragama. Ini terlihat dari tidak adanya masjid di sana. Di Indonesia ada banyak gereja, pura, vihara, dan rumah ibadah agama lainnya.

Juga dengan alasan toleransi beragama, kumandang azan di televisi diganti dengan running text agar tidak mengganggu misa akbar. Kenapa toleransi beragama tapi serasa seperti Islam yang harus mau mengurangi syariat Islamnya? Belum lagi penyambutan yang sepertinya berlebihan, seperti Imam Besar Masjid Istiqlal yang mencium kening Paus, penyambutan Paus dengan ayat Al-Qur’an, dan antusias masyarakat menyambut Paus. Sepertinya belum ada tokoh muslim yang disambut seistimewa itu, bahkan ulama muslim yang memiliki jabatan tinggi sekalipun. Ini membuktikan bahwa toleransi yang dimaksud dalam sistem demokrasi tidak pernah bisa adil dan selalu Islam yang diminta mengalah. Kontradiksi dengan kenyataan dan hanya klaim saja. Seolah-olah Islam yang harus belajar tentang toleransi dan malah mengagung-agungkan Paus sebagai contoh yang baik. Muslim jangan pernah lupa bahwa Islam satu-satunya agama yang Allah ridhoi, dan Rasulullah Muhammad SAW teladan terbaik yang wajib diikuti. Seharusnya kita semua dan juga Paus Fransiskus bisa belajar toleransi lebih banyak dari contoh yang benar yaitu Rasulullah Muhammad SAW.

Rasulullah Muhammad SAW telah terbukti sukses mempersatukan masyarakat yang plural atau beragam, terdiri dari banyak kabilah, suku bangsa, dan berbagai agama dengan sistem Islam kaffah, bukan dengan sistem demokrasi. Kesuksesan ini karena Sistem Islam berasal dari Allah SWT, bukan sistem demokrasi yang dibuat manusia.

Rasulullah membangun masyarakat yang menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai pijakan dalam bermasyarakat. Rasulullah SAW mempersaudarakan berbagai suku bangsa (kabilah) dan bangsa, yang pada awalnya bertentangan, bahkan bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat laa ilaaha illallaah. Islam juga dijadikan sebagai solusi berbagai problematik hidup yang dihadapi. Dengan cara demikian, terwujud persatuan dan kesejahteraan di masyarakat. Inilah yang harus kita tiru jika memang benar menginginkan masyarakat yang bersatu dan harmonis.

Wallahu alam bishawab.

Oleh: Dzakiyah, Sahabat Tinta Media

Minggu, 22 September 2024

Bulan Maulid, Mari Wujudkan Ketaatan dan Keteladanan, Jangan Terjebak pada Toleransi Kebablasan!


Tinta Media - Bulan Rabiul Awal adalah salah satu bulan yang istimewa. Pada bulan ini, kaum muslimin memperingati hari maulid, yaitu lahirnya seorang manusia mulia, Baginda Rasulullah Muhammad saw. Di dalam negeri, setiap tahun kita menyaksikan euforia peringatan Maulid Nabi yang telah menjadi tradisi. 

Selawat serta syair-syair pujian dilantunkan dengan merdu. Ceramah-ceramah diperdengarkan dengan tema maulid. Berbagai lomba diadakan, bahkan berbagai jamuan makanan pun dihidangkan sebagai peringatan atas kelahiran Nabiyullah Muhammad. 

Lalu, benarkah maulid ini hanya sebatas peringatan hari kelahiran? Harusnya kenangan atas kelahiran Baginda Nabi tak hanya sekadar nostalgia sejarah. Bukankah keistimewaan beliau tak hanya sebatas pada kelahiran dan kepribadiannya saja? 

Harusnya, dengan mengenang kelahiran Rasulullah, maka terbayang bagaimana jerih payah dan beratnya perjuangan beliau dalam berdakwah hingga membangun peradaban agung yang mampu menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Namun, sungguh miris fakta hari ini. Ramai kaum muslimin berlomba-lomba merayakan maulid dengan gegap gempita, tetapi di waktu yang sama juga melanggar syariat yang dibawa oleh beliau. Tak sedikit kita temui peringatan maulid justru ada jogetan berkedok selawat, campur baur laki-laki dan perempuan, dan lain semisalnya.

Bahkan, ada hal yang lebih menyakitkan lagi dari pada itu, khususnya di negeri ini beberapa hari yang lalu. Telah kita ketahui bersama, di bulan yang mulia ini justru kita menyaksikan seorang Imam Besar masjid terbesar di Asia Tenggara (Masjid Istiqlal) menyambut dengan hangat dan mesra kedatangan pemimpin tertinggi Katolik dunia, Paus Fransiskus pada tanggal 3-5 September lalu di Jakarta. 

Sebagaimana dirilis oleh media CNBC Indonesia bahwa Media Amerika Serikat, Associated Press (AP) memberitakan pertemuan dua pemuka agama ini dengan menampilkan foto saat Paus mencium tangan sang Imam yang mendekap pundak kepala negara Vatikan itu. Lalu, sang Imam pun mencium kening sang Paus (cnbcindonesia.com, 5/9/24).

Kompas.com (3/9/24) juga melaporkan bahwa sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia yang diprakarsai oleh Frans Seda Foundation, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Yayasan Harapan Pemuda Indonesia, dan Unika Atma Jaya meluncurkan sebuah  buku dengan judul “Salve Peregrinans Spei” yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan” dalam rangka menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia kali ini. Buku ini menarasikan semangat keberagaman dan nilai plurarisme di Indonesia.  

Turut berpartisipasi pula di dalam buku ini para pimpinan Ormas Islam dan juga para cendekiawan muslim, di antaranya yaitu: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Umum ICRP, Ketua Umum Pimpinan Pusat Laznah Tanfidziyah Syarikat Islam, Rektor Universitas Islam Internasional (2024-2029).  

Bukankah fakta-fakta ini telah menabrak batas-batas akidah dan syariat Islam yang jelas menyakiti hati Rasulullah saw.? Meskipun dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk toleransi dan upaya menjaga perdamaian, sejatinya ada unsur sinkretisme di dalamnya, yaitu upaya mencampuradukkan ajaran agama-agama. Padahal, Allah telah menegaskan di dalam Al-Qur'an:

“Dan jangalah kalian mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.” (Terjemah QS. Al Baqarah [2] : 42). 

Selain sinkretisme, sikap ini menunjukkan bentuk pluralisme agama, yaitu paham yang menganggap bahwa semua agama adalah sama dan kebenaran agama dianggap relatif. Dalam pandangan pluralisme, pemeluk agama mana pun akan hidup bersama di surga. Jelas ini merupakan buah dari toleransi yang kebablasan.

Betapa sesak hati ini melihat para tokoh muslim dan pemimpin negeri ini menunjukkan sikap yang tidak adil dan tidak semestinya. Mereka memberi sambutan yang sangat spesial kepada pemimpin agama lain, tetapi di sisi lain menolak penerapan syariah Islam, membubarkan ormas dan kajian Islam kaffah, menuduh radikal para pejuang Islam, serta memberi stigma negatif pada ajaran-ajaran Islam. 

Padahal, di dalam Surah Al Fath ayat 29 Allah berfirman yang artinya:

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka.”

Lalu, bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap?

Para tokoh kaum muslimin seharusnya memanfaatkan kedatangan pemimpin nonmuslim ke negeri ini untuk mendakwahkan Islam kepada mereka, bukan sebaliknya, justru bersikap berlebihan bahkan memberi panggung seluas-luasnya untuk menyebarkan ajaran agama di negeri mayoritas muslim ini. 

Sebagai teladan umat Islam, Nabi Muhammad saw. senantiasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin agama lain. Sangat jelas dalam catatan sejarah bahwa beliau pernah mengirimkan utusan kepada para kaisar dan raja-raja dengan membawa surat yang berisi ajakan untuk memeluk Islam. 

Islam telah mengajarkan batasan toleransi yang jelas. Toleransi dalam Islam artinya membiarkan, menghormati, serta tidak mengusik ibadah dan kepercayaan agama lain, bukan malah ikut campur di dalamnya, apalagi meleburkan ajaran Islam dengan agama lain. Sebagaimana yang sering kita baca di dalam Qur'an surah Al Kafirun [109]: 6 yang artinya: 

“Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” 

Keimanan jelas menuntut keberpihakan yang nyata. Tidak mungkin dianggap sama antara keyakinan bahwa Tuhan itu Esa dengan Tuhan itu berbilang, lalu dianggap keduanya benar.

Maka, seharusnya momentum bulan maulid tidaklah diisi dengan sikap-sikap yang berseberangan dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Sikap yang melanggar syariat justru bentuk pertentangan kepada Nabiyullah Muhammad. Bagaimana mungkin di satu sisi kita merayakan kelahiran beliau, tetapi pada kenyataannya justru menentang risalahnya? 

Semestinya cinta kepada Rasulullah itu dicerminkan pada sikap ketaatan sepenuhnya kepada syariat. Cinta kepada Nabi artinya mencintai dan menjalankan ajarannya secara kaffah (totalitas) dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan sosial, muamalah, dan juga pemerintahan. 

Rasulullah bukan hanya seorang pribadi yang mulia akhlaknya, tetapi beliau juga seorang kepala negara terbaik dalam sejarah dunia yang juga diakui oleh para tokoh-tokoh Barat. 

Sir George Bernard Shaw, seorang tokoh berkebangsaan Irlandia, mengungkapkan, “Saya yakin apabila orang seperti Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan mampu mengatasi segala permasalahan hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.”

Tokoh nonmuslim pun mengakui keunggulan Nabi Muhammad sebagai negarawan hebat dalam memimpin peradaban. Bagaimana dengan kita sebagai umat beliau? Cukupkah hanya meneladani beliau dalam aspek ibadah dan akhlak saja? Beliau telah membawa sebuah sistem aturan kehidupan yang sempurna untuk kita terapkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Maka, marilah kita wujudkan cinta kepada Nabi dengan menerapkan syariat secara total dalam seluruh aspek kehidupan, serta melanjutkan perjuangan dakwah beliau untuk menegakkan agama Allah di muka bumi ini.



Oleh: Nurul Wahida, S.Pd, M.Si 
(Guru dan Aktivis Dakwah di Aceh)

Selasa, 17 September 2024

Toleransi Bukan Partisipasi


Tinta Media - Masih menjadi perbincangan panas di tengah publik, khususnya di Indonesia atas kunjungan paus Fransiskus beberapa hari yang lalu, tepatnya  pada 3 September 2024.
Maksud kedatangannya adalah memperkuat hubungan bilateral Indonesia-vertikal dan menjadikan Indonesia sebagai barometer kehidupan beragama yang rukun dan damai. (CNBC Indonesia, 03/09/2024).

Pimpinan Gereja Katolik dunia (Paus Fransiskus) bertandang ke Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang terletak di Jakarta. Ia disambut dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan pembacaan Injil. Puncak kunjungannya adalah ke stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta dan akan merayakan misa suci pada tanggal 6 September.

Sebelumnya, beredar surat dari kementerian komunikasi dan informasi (Kominfo) perihal penayangan azan Salat Magrib di televisi. Untuk sementara, azan diberlakukan secara runing tex, lantaran bersamaan dengan ibadah misa yang akan dilaksanakan pada 6 September 2024, pada pukul 17.00-19.00. Sehingga, perayaan misa suci disiarkan secara langsung dengan tidak terputus di seluruh televisi nasional.

Toleransi kebablasan makin melanda negeri ini. Bagaimana tidak, kementerian agama bahkan manyetujui permintaan runing tex pada 6 September itu. Kementerian Kominfo bahkan turut mengedarkan  surat tersebut demi memuluskan acara misa suci umat Katolik. Sungguh ironi, inilah toleransi yang jauh dari makna yang sebenarnya.

Toleransi Bukan Partisipasi

Ini seharusnya menjadi poin terpenting untuk menjadi acuan dalam kata toleransi. Sebab, kini toleransi yang dimaksud bukan lagi toleransi yang wajar, tetapi sudah mencapai batas yang berlebihan.

Toleransi saat ini, sudah mengacu pada pluralisme yang menganggap semua agama sama.

Sinkretisme tengah digaungkan dan semakin bergema, menggerus, menyerang akidah umat, khususnya umat Islam.

Jelas, ini adalah tindak kesalahan dan kejahatan bertarget dan menyasar kaum muslimin. Anehnya, para pemangku jabatan, khususnya para ulama yang menjadi garda terdepan untuk menjadi perisai kaum muslimin tidak menyadarinya. Mereka malah ikut-ikutan memuluskan tindak penggerusan akidah itu. 

Ini jelas agen yang membawa misi tertentu dan sengaja menyasar kaum muslimin, khususnya Indonesia yang penduduk terbesarnya beragama Islam. Ini jelas merupakan toleransi yang menyalahi akidah kaum muslimin.

Dalam Islam, Rasulullah saw. sendiri bahkan telah mencontohkan sikap toleransi. Oleh karenanya, kita harus mencontoh Baginda Rasulullah saw. sebagai 'suri tauladan' yang harusnya menjadi panutan kaum muslimin. Toleransi yang diajarkan Rasulullah saw. adalah membiarkan mereka beribadah sesuai dengan agama masing-masing, bukan berpartisipasi dalam hal apa pun yang berkaitan dengan perayaan agama lain, apalagi mengorbankan akidah.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 144, artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang yang beriman." 

Maka, sikap kita sebagai seorang muslim adalah wajib meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridai Allah. (Al-imran 19)

Allah telah memperingatkan dalam surah Al-Imran ayat 85, yang artinya:

"Maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, selain agama Islam, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."

Dengan demikian, kaum muslimin harus menunjukkan jati  dirinya sebagai muslim. Haram mengikuti atau menyerupai orang kafir, serta menjadikan Rasulullah saw. sebagai contoh dalam bersikap. Toleransi terhadap orang kafir adalah dengan tidak menganggu harta, darah dan kehormatannya selama ia tidak musuhi kaum muslimin. Allahu a'lam bishawwab.


Oleh: Sarinah
Komunitas Literasi Islam Bungo.

Selasa, 26 Desember 2023

Ustadz M. Taufik: Bentuk Toleransi Itu...



Tinta Media - Pengasuh Majelis Taklim Darul Hikmah Ustadz Muhammad Taufik Nusa Tajau, S.Pd., M.Si. menilai, bentuk toleransi itu tidak harus mencampuradukan ibadah ritual atau pemberian ucapan selamat natal, tapi cukup dengan berbuat baik kepada non muslim. 

“Bentuk toleransi itu enggak harus mencampuradukkan ibadah ritualnya atau memberikan ucapan selamat natal, enggak harus begitu ya! Cukup berbuat baik kepada non muslim,” tuturnya dalam Kabar Petang : Meneguhkan Iman dan Identitas Islam, melalui kanal Youtube Khilafah News, Sabtu (23/12/2023). 

Menurutnya, berdasarkan kitab-kitab para ulama empat mazhab bahwa secara prinsip seorang muslim tidak boleh menghadiri natalan kalau berkaitan dengan acara ritualnya. 

“Di kitab-kitab para ulama empat mazhab, prinsipnya seorang muslim itu tidak boleh menghadiri natalan. Kalau natalan itu kaitannya dengan acara ritualnya, di situ ada unsur-unsur yang dalam pandangan agama Islam itu adalah kesyirikan kepada Allah dan sebagainya, di situ memuji-muji manusia dianggap sebagai putranya Allah Ta’ala maka tidak sepantasnya seorang muslim apa pun posisinya untuk hadir di situ,” bebernya. 

Sebaliknya, menurutnya, kalaupun bukan acara ritual maka para ulama berbeda pendapat, sebagian memakruhkan dan sebagian lainnya tidak mempermasalahkan dari sisi fikih, tinggal dari sisi kepatutan. 

“Kalaupun bukan acara ritual, para ulama berbeda pendapat, sebagian memakruhkan kalau di dalam gereja itu ada patung atau ada simbol-simbol kekufuran maka masuk gerejanya sendiri hukumnya makruh, kalau enggak ada tanda-tanda kekufuran maka shalat di sana pun sebetulnya juga enggak masalah dari sisi fikih, tinggal dari sisi kepatutan,” ungkapnya. 

Dari sisi kepatutan, menurut Ustadz M Taufik, Khalifah Umar Bin Khattab waktu di Palestina memilih shalat di tempat yang lain walaupun ditawari untuk shalat di gereja. 

“Khalifah Umar Bin Khattab ketika ditawari untuk shalat di gereja waktu di Palestin, beliau memilih tempat yang lain, dari sisi hukum seperti itu,” jelasnya. 

Menurutnya, standar toleransi dalam Islam sudah jelas, tidak ada paksaan dalam beragama dan bagi ahlu dzimah akan diperlakukan secara baik, berbeda dengan kondisi sekarang bahwa toleransi dalam moderasi agama dengan standar barat dari Rand Corporation yang batasannya tidak seperti dalam  Islam. 

“Pertama tidak dipaksa masuk Islam. Kemudian kalau mereka itu ada ahlu dzimah, tunduk di bawah kekuasaan Islam, tidak memusuhi agama Islam, mereka juga diperlakukan baik, dijaga bahkan kalau ada orang mau mengganggu mereka, wajib dibela. Berbeda dengan kondisi sekarang ada arus moderasi dengan standar baratlah,  dari Rand Corporation dan sebagainya, batasannya jadi enggak seperti dalam batasan Islam,” terangnya. 

Ustadz M Taufik mengutip ayat di dalam al-Qur’an sebagai bentuk toleransi kaum muslimin. 

“Lā yan-hākumullāhu 'anillażīna lam yuqātilụkum fid-dīni wa lam yukhrijụkum min diyārikum an tabarrụhum wa tuqsiṭū ilaihim, Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu,” imbuhnya. 

Di sisi lain, menurutnya, seorang muslim dilarang mengunjungi orang yang memusuhi syari’at Allah Ta’ala untuk urusan-urusan seperti itu kecuali dalam rangka dakwah menjelaskan Islam untuk bisa selamat di akhirat kelak. 

“Tapi kalau orang-orang ini adalah orang yang menentang, memusuhi syari’at Allah Ta’ala nah ini yang enggak boleh kita mengunjungi untuk urusan-urusan seperti itu, kecuali dalam rangka menjelaskan Islam, dakwah dan sebagainya untuk bisa selamat di akhirat kelak,” ujarnya. 

Ustadz M Taufik mencontohkan sikap Rasulullah SAW ketika mendatangi tetangganya Yahudi yang akhirnya masuk Islam. 

“Rasulullah mendatangi tetangganya Yahudi,  yang ujungnya anaknya itu sebelum wafat dikunjungi, akhirnya masuk Islam sehingga Rasul bersyukur di ujung-ujung kehidupannya itu Allah selamatkan,” tuturnya. 

Menurutnya, ucapan selamat natal ataupun tahun baru yang mengatasnamakan toleransi pun merupakan pengakuan iktikad yang salah dan akan dihisab. 

“Prinsipnya setiap ucapan manusia itu akan ada hisabnya, ucapan kita itu bukan karena pengakuan iktikad yang salah dan jangan sampai ucapan haram yang dilarang syari’at, Nabi Muhammad ketika ngirim surat ke Heraklius, beliau berucap keselamatan bagi siapa saja yang mendapatkan dan mengikuti petunjuk,” pungkasnya. [] Evi

Senin, 03 Juli 2023

Mencampuradukkan antara Partisipasi dan Toleransi, Jurnalis: Monique Rijkers Sok Tahu!

Tinta Media - Pernyataan aktivis pro entitas penjajah Yahudi Monique Rijkers yang intinya menyatakan ‘perbuatan Panji Gumilang yang mengajarkan lagu rohani Kristen Ortodok berbahasa Ibrani Havenu Shalom Alechem kepada para santri Ma’had Al-Zaytun merupakan langkah yang baik menanamkan toleransi kepada anak-anak dan harus dicontoh oleh pondok pesantren lain’ dinilai Jurnalis Joko Prasetyo sebagai bentuk dari sikap sok tahu dan mencampuradukkan antara toleransi dan partisipasi.

"Ya, Monique Rijkers memang sok tahu. Sok-sokan mengajarkan kaum Muslim tentang toleransi, yang sejatinya dalam pandangan Islam dia tengah mencampuradukkan antara toleransi dengan partisipasi. Padahal, Islam mewajibkan toleransi tetapi mengharamkan partisipasi," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (29/6/2023).

Ia menjelaskan, toleransi dalam pandangan Islam adalah tidak memaksa pemeluk agama lain masuk Islam dan tidak mengganggu peribadatan mereka.

 Ia pun mengutip salah satu ayat Alquran yang artinya, “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (QS al-Baqarah: 256).


Ia juga mencontohkan salah satu bentuk toleransi yang benar adalah tidak mengganggu orang-orang Kristen Ortodok beribadah di gerejanya dengan menyanyikan lagu rohaninya mereka Havenu Shalom Alechem. 

"Itulah yang disebut sebagai toleransi. Sedangkan mengganggunya itulah yang disebut intoleran alias tidak toleran," tutur Om Joy, sapaan akrabnya.

Tapi, menurutnya, kalau ada orang Islam menyanyikan lagu tersebut lalu mengajarkan kepada orang Islam lainnya, apalagi dalam hal ini adalah pimpinan pesantren mengajarkan kepada para santrinya untuk menyanyikan lagu tersebut, jelas bukanlah toleransi tetapi partisipasi. 

Partisipasi, lanjutnya, alias mencampuradukkan antara kebenaran (ajaran Islam) dengan kebatilan (ajaran non-Islam) jelas-jelas diharamkan dalam Islam.

"Dan kalau partisipasi ini dianggap sebagai toleransi tentu saja merupakan kesesatan," pungkasnya.[] Wafi

Kamis, 22 Juni 2023

Toleransi Beragama Ala Rasulullah, Bukan Mencampuradukkan Agama

Tinta Media - Sobat. Rasulullah adalah tokoh teladan terbaik dalam mengajarkan sikap toleransi kepada umatnya. Toleransi merupakan sikap untuk mengayomi orang-orang yang berbeda keyakinan dan kedudukan yang tidak menebar permusuhan. Rasulullah tidak hanya sebagai Nabi, beliau juga kepala keluarga, panglima perang, dan kepala negara. Kedudukan dan kekuasaan yang diperolehnya tidak menjadikannya sebagai orang yang bertindak kasar dan keras.

Sobat. Sebagai Nabi, sikap toleransi yang beliau tunjukkan ialah memaafkan dan bahkan mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepada beliau ketika berdakwah. Setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, Nabi SAW berkunjung ke perkampungan Thaif. Beliau menemui tiga orang dari pemuka suku kaum Tsaqif, yaitu Abdi Yalel, Khubaib, dan Mas'ud. 

Sobat. Nabi mengajak mereka untuk melindungi para sahabatnya agar tidak diganggu oleh suku Quraisy. Namun, kenyataan pedih yang dialami beliau. Nabi diusir dan dilempari batu oleh kaum Tsaqif. Akibatnya, darah pun mengalir dari tubuh beliau. 

Menyaksikan kejadian itu, Malaikat Jibril memohon izin untuk menghancurkan kaum Tsaqif karena telah menyiksa Nabi. Namun, apa jawaban Nabi? “Jangan! Jangan! Aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.” 

Beliau pun berdoa untuk kaum Tsaqif. "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka belum mengetahui (kebenaran).” (HR Baihaqi).

Sobat. Pada lain kesempatan, sebagai pemimpin negara, Rasulullah SAW juga menunjukkan sikap tolerannya. Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada pasal 16 yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Sobat. Selain Piagam Madinah, pada peristiwa penaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah SAW juga menunjukkan toleransi yang sangat indah. Penduduk Makkah yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Tak jarang, mereka juga menghalang-halangi dakwah Rasul, bahkan hingga bermaksud membunuhnya. 

Namun, setelah penaklukan Kota Makkah itu, Rasul memaafkan sikap mereka. Tidak ada balas dendam. Kekuasaan yang dimilikinya, tak menjadikan diri Rasul menjadi sombong atau bertindak sewenang-wenang. Ketika penduduk Quraisy menanti keputusan beliau, Rasul bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, 'Tiada celaan atas kalian pada hari ini'. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR Baihaqi).

Itulah di antara contoh toleransi Rasulullah. Pantaslah bila beliau menjadi suri teladan bagi umat Islam dalam berbagai hal. 
Allah SWT Berfirman :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ (QS al-Ahzab: 21).

Sobat. Pada ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang munafik bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi saw. Rasulullah saw adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, dan tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya sepenuhnya kepada segala ketentuan Allah, dan mempunyai akhlak yang mulia. Jika mereka bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikutinya. Akan tetapi, perbuatan dan tingkah laku mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan keridaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.

Toleransi ala Rasulullah SAW bukan mencampur adukkan agama atau menggadaikan Aqidah namun patokannya jelas sebagaimana dalam surat al-Kafirun.

لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ  
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".( QS. Al-Kafirun (109) : 6 )

Sobat. Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, "Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal perbuatanku." Dalam ayat lain Allah berfirman:
 
Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. (al-Baqarah/2: 139). Dalam ayat sebelumnya dengan tegas Rasulullah menyatakan 
لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ  
“ Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.”

SObat. Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa "Tuhan" yang mereka sembah bukanlah "Tuhan" yang ia sembah, karena mereka menyembah "Tuhan" yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi saw menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.

Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara "Tuhan" yang disembah orang-orang kafir dengan "Tuhan" yang disembah Nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah Nabi.

وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ  
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” 

Sobat. Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat "Tuhan" yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.

وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ  
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,” 

Sobat. Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan "Tuhan" yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadah.

Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam Surah ar-Rahman/55 dan al-Mursalat/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual

Minggu, 07 Mei 2023

ANTARA MODERASI BERAGAMA DAN TOLERANSI OMONG KOSONG

Tinta Media - Tulisan kontroversial AP Hasanudin akhirnya menyeret dia ke ranah hukum karena telah dilaporkan oleh pengurus muhammadiyah. Bagaimana tidak kontroversial, sebab yang bersangkutan melontarkan ancaman pembunuhan bagi semua anggota Muhammadiyah hanya karena emosi terkait perbedaan hari Idul Fitri 1444 H antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Bahkan AP Hasanudin juga menyeret-nyeret nama Hizbut Tahrir Indonesia dan Gema Pembebasan.

 

Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut : “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah ? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender islam global dari Gema Pembebasan ? Banyak bacot emang !!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silahkan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan ! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,”.

Cuitan yang sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak pantas diucapkan oleh ASN BRIN yang notabene adalah seorang peneliti. Peneliti adalah kaum intelektual yang biasa menerima perbedaan dalam hal apa saja dengan pandangan obyektif argumentatif. Dengan kasus ini semakin menandaskan paradoksalnya negeri ini.

Mengapa disebut paradoks, sebab negeri ini sedang giat-giatnya menebarkan paham moderasi beragama, yang menurut pemerintah bermakna beragama dengan penuh toleransi atas perbedaan dan tidak melakukan truth claim atas agamanya sendiri. Sekilas paham moderasi agama ini cukup indah dan bisa melenakan umat Islam. Secara teori dan maksud mungkin baik, namun pada faktanya, Islam justru sering menjadi sasaran program deradikalisasi.


Moderasi dan toleransi adalah setali mata uang, tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh APH yang nota bene aparatur negara yang semestnya memberikan contoh yang baik bagaimana mplementasi sikap toleransi atas perbedaan itu. Satu sisi pemerintah mengobarkan spirit moderasi beragama dan toleransi, namun disisi lain kasus APH justru menunjukkan sebaliknya, yakni sikap intoleransi.  

 

Apa yang ditulis oleh APH menegaskan bahwa toleransi itu omong kosong, sebab justru aparatur pemerintah sendiri yang sering tidak toleran. Banyak kejadian sebenarnya yang menunjukkan intoleransi di negeri ini semisal pembubaran pengajian, kriminalisasi ulama, islamofobia dan masih banyak lagi hal yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari apa yang dipropagandakan pemerintah. Teorinya toleransi, namun prakteknya tololansi.

 

Terlepas dari kasus APH, sebenarnya istilah seperti moderasi, radikal, teroris, liberal dan sejenisnya merupakan istilah-istilah Barat yang dimaksudkan untuk memecah belah umat Islam sekaligus menghadang kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Genealogi  perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemology barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.

 

Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam, terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.

Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Jangan pernah mengajari umat Islam tentang toleransi. Istilah lakum dinukum waliayadin yang diungkapkan Allah dalam Al Qur’an adalah konsep terbaik dibandingkan agama-agama lain.

Tanpa ada narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain, terlebih perbedaan yang ada di kalangan umat Islam. Hanya paham demokrasi sekuler yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman, padahal penuduh radikal adalah ekspresi radikalisme. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis.  

Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin, imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak khulafaur Rasyidin.

Secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].

Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.  


Ironisnya, propaganda narasi moderasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan terkait narasi moderasi beragama adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.


Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam jelas melarang umatnya untuk berhukum kepada selain hukum Allah. 

Hal ini merupakan persoalan fundamental dalam ajaran Islam, sebab terkait dengan keimanan dan kekafiran, keadilan dan kezaliman, serta komitmen dan kefasikan. (lihat QS. Al Maidah :44, 45 dan 47, QS Al An’am : 57 dan121, QS At Taubah : 31, QS Yusuf : 40, QS Asy Syura : 21).

APH sesungguhnya telah menampar muka penguasa yang sedang berkuasa saat ini. Pemerintah getol meminta rakyat untuk toleransi, namun pihak aparatur negara sendiri justru yang tidak toleran. Apakah mungkin masih ada orang seperti APH ini di tubuh pemerintah, bisa jadi banyak, entahlah. APH memang layak dipenjara karena cuitan yang radikal, intoleran dan tendensius ini. APH ini layak disebut sebagai orang yang sekuler radikal karena telah menebarkan teror kepada anggota Muhammadiyah. APH menunjukkan bahwa toleransi yang selama ini dipropagandakan pemerintah adalah omong kosong belaka.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/05/23 : 23.00 WIB)

Oleh: Dr. Ahmad Sastra Ketua

Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Rabu, 14 Desember 2022

MENYOAL PARADIGMA TOLERANSI: ANTARA PLURALITAS SOSIOLOGIS DAN PLURALISME TEOLOGIS

Tinta Media - Paradigma dalam disiplin intelektual memiliki arti cara pandang (worldview) orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.  

Paradigma atau worldview biasanya digunakan kaum intelektual untuk membaca pandangan alam yang lain. Misalnya seorang muslim, dengan paradigma Islam dipakai untuk melakukan pembacaan atas isme-isme yang bertentangan dengan Islam. Sebagai contoh adalah ketika paradigma Islam digunakan untuk membaca paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama, maka ketiganya adalah paham sesat dan haram hukumnya.  

Misalnya saat MUI menggunakan paradigma QS. Ali Imran [3]: 85 dan QS. Ali Imran [3]: 19) dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Musyawarah Nasional MUI VII, Pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketiga paham di atas haram hukumnya.  

Kritik paradigmatik maknanya dalam tulisan ini maknanya paradigma Islam dijadikan sebagai timbangan pembacaan atas sebuah cara pandang atas realitas dengan paham tertentu. Dalam hal ini paradigma Islam akan dijadikan sebagai alat baca atas paradigma toleransi yang berkembang di tengah masyarakat. Toleransi dengan paradigma sekuler liberal sering kali justru bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sering terjadi disaat perayaan natal atau agama-agama lainnya.  


Narasi toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kelahiran Yesus.

Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis. Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.

Barat tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam. Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah salah-kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya, jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya: intoleran atau radikal.

Islam mengajarkan toleransi pada ranah pluralitas sosiologis dalam pengertian bahwa fakta sosiologis memang beragam, baik suku, ras dan khususnya agama. Berbagai agama yang diakui di negeri ini oleh Islam dibiarkan, bukan diganggu, begitupun semestinya agama lain membiarkan ritual yang dilakukan oleh Islam. Tidak boleh ada intervensi atas ajaran agama lain, apalagi mengganggunya. Masing-masing agama melaksanakan ibadah dan keyakinan, tidak perlu melakukan ibadah bersama, kebablasan namanya.

Paradigma toleransi dalam Islam adalah konsepsi paling sempurna, sebagaimana firman Allah : Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (6) (QS Al Kafirun : 1-6)


Melansir dari tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama (Kemenag), isi kandungan lengkap surat Al Kafirun ayat 1-6 dapat dirangkum menjadi tiga poin bahasan utama di dalamnya. Berikut poin-poin inti dari surat ini : Allah hendak menjelaskan bahwa terdapat perbedaan besar antara sifat-sifat Tuhan yang disembah oleh umatnya Nabi Muhammad SAW dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir.

Sebab Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak beranak maupun diperanakkan. Berkaitan dengan perbedaan sifat Tuhan dari keduanya, hal ini pun menjelaskan bahwa adanya perbedaan dalam bentuk pelaksanaan ibadah. Melalui surat Al Kafirun, Allah SWT menekankan perihal toleransi antar umat beragama. Hal ini dilakukan melalui pengerjaan ibadah sesuai dengan ketentuan agama masing-masing tanpa mencampur adukkan urusan keduanya.

Mencampur aduk aqidah dan keyakinan agama atas nama toleransi adalah paham pluralisme yang telah diharamkan MUI. Tolerasi berpaham pluralisme dipengaruhi oleh paham bahwa semua agama sama. Padahal faktanya semua agama itu berbeda-beda, baik soal konsepsi tentang Tuhan, maupun tata cara beribadatannya. Pluralisme adalah sesat logika, sebab yang sudah jelas berbeda tapi dianggap sama, bahkan kadang dipaksakan oleh negara yang akhirnya menjerumuskan umat Islam pada paradigma toleransi yang menyesatkan.

Kalimat, untukmu agamamu, dan untukku agamaku dalam QS Al kafirun ayat 6 adalah paradigma paling tepat untuk memaknai toleransi. Makna ayat ini bahwa toleransi adalah masalah pluralitas sosiologis, bukan pluralisme teologis. Toleransi itu membiarkan peribadatan agama lain, bukan merayakan ibadah agama lain secara bersama-sama. Doa lintas agama juga merupakan praktek pluralisme teologis yang menyesatkan. Perayaan natal bersama dengan umat Islam juga merupakan pluralisme teologis yang diharamkan. Mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dalam arti menyakini kebenaran agama lain juga diharamkan dalam Islam.

Hal diatas sejalan dengan firman Allah : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.... (QS. Ali Imran [3]: 19). Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul- Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

Toleransi yang mendasarkan kepada pluralisme teologis jelas sesat dan menyesatkan. Menurut M Shiddiq Al Jawi setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.

Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS.

Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.

 

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.

Oleh karena itu, umat Islam harus semakin memahami ajaran agamanya sendiri, terutama soal akidah. Jangan sampai terseret kepada kemusyrikan yang dipropagandakan Barat dengan program pluralisme agama, terutama menjelang perayaan natal tahun ini. Umat Islam membiarkan umat nasrani merayakan hari besarnya, tidak mengganggunya, tidak ikut merayakan dan tidak juga mengucapkan hari rayanya, itulah toleransi yang benar. Umat Islam harus bisa membedakan antara toleransi dalam arti pluralitas sosiologis dengan pluralisme teologis, sebab keduanya berbeda, yang satu dibolehkan, sementara yang kedua diharamkan.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,13/12/22 : 10.15 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Kamis, 20 Oktober 2022

Kurikulum Toleransi dan Antiradikalisme Solusi Masalah Pendidikan?

Tinta Media - Guna memonitoring perkembangan pendidikan sekolah di era digital di Jawa Barat, saat ini Gubernur Ridwan Kamil akan memastikan setiap sekolah SMA, SMK, dan SLB menerapkan kurikulum toleransi dan antiradikalisme. Menurutnya, kurikulum ini mempersiapkan ketahanan ideologi dengan menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan.  Harapannya akan menjadikan generasi muda jauh dari pertengkaran, tercipta kedamaian, serta memiliki sikap toleran.

Bahkan, pria yang akrab disapa Kang Emil ini menggelar acara bertema "Moderasi Beragama dan Berbangsa yang Menyenangkan" di daerah Arcamanik, Bandung tanggal 4 Agustus 2022 lalu. Acara tersebut merupakan pembekalan kepada ribuan siswa yang merupakan perwakilan dari tiap SMA, SMK, dan SLB se-Bandung Raya.

Pada acara yang dikemas dengan mengombinasikan tausiah dan humor milenial ala Gus Miftah ini diharapkan akan menjadi perpanjangan tangan agar para siswa yang ikut serta bisa meneruskan materi kebangsaan tersebut kepada lingkungan terdekatnya. Hal inilah yang akan menjadi investasi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, sehingga akan menciptakan kedamaian dan menghargai perbedaan seperti apa yang dicita-citakan.

Lalu, benarkah kurikulum toleransi dan antiradikalisme merupakan solusi dari berbagai masalah yang dialami pelajar saat ini? Benarkah pengaplikasiannya dapat menghindarkan generasi muda dari kerusakan moral, karena yang kita tahu masalah generasi muda kita tak hanya berkutat pada perbedaan yang dapat menimbulkan pertengkaran ataupun perilaku radikal?

Radikalisme dan intoleran selalu dianggap masalah terbesar di negeri ini. Padahal, persoalan besar bangsa yang nyata terasa adalah dampak kenaikan BBM hingga kelangkaannya, pengangguran yang terus meningkat, korupsi yang dilakukan para pemimpin dan pejabat publik semakin menggurita, adanya tebang pilih hukum antara yang kaya dan miskin, kejahatan meningkat setiap harinya disertai kerusakan moral manusia, dll. Terlebih, para pemimpin negeri ini abai dan zalim kepada rakyatnya sendiri.

Masalah perbedaan tidak pernah menimbulkan kerugian apa pun pada negeri ini, karena setiap rakyat memahami bahwa hidup di negeri yang majemuk adalah hal lumrah. Apalagi sebagai negeri dengan mayoritas muslim, masyarakat menganggap perbedaan merupakan anugerah dari Sang Pencipta, Allah Swt. Jadi, mengapa intoleran dan radikalisme selalu menjadi kambing hitam atas permasalahan negeri?

Menganggap problem pemuda karena terpapar paham radikalisme adalah tuduhan tanpa dasar. Masalah pemuda bukan hanya aksi kekerasan, perundungan, ataupun tawuran yang disebabkan sikap intoleran. Bukankah pergaulan dan seks bebas, penyimpangan seksual, miras, dan narkoba merupakan masalah serius yang juga dibutuhkan penanggulannya? Jelas hal itu tidak berhubungan dengan toleransi maupun radikalisme.

Seperti kita tahu, radikalisme dan intoleran selalu disematkan kepada umat Islam yang ingin menerapkan ajarannya secara kaffah. Berbagai cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari menerapkan Syariat Islam. Bahkan, kafir Barat melalui para agennya di negeri ini, dengan massif melakukan berbagai upaya agar umat Islam menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Generasi muda yang merupakan tonggak peradaban menjadi sasaran untuk terus melanggengkan tujuan mereka. 

Moderasi agama semakin digaungkan, bahkan diselipkan melalui kurikulum pendidikan. Tentu saja atas dukungan para pemimpin negeri yang menjadi boneka mereka.

Padahal, dengan menjauhkan agama Islam melalui penerapan kurikulum, serta mengajarkan moderasi agama, menunjukkan bahwa negeri kita semakin sekuler. 

Bukankah tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, dan berilmu? Ini artinya, tujuan pendidikan adalah untuk mengubah perilaku manusia. Maka, dengan menanamkan nilai sekuler pada kurikulum, akan melahirkan sosok generasi liberal yang tidak ingin terikat dengan aturan Allah.

Sekulerismelah yang menjadikan generasi muda saat ini rusak dan tak tahu tujuan hidup. Akhirnya, mereka akan mencari jati diri tanpa arahan yang jelas, melakukan berbagai penyimpangan pun tak menjadi masalah, asalkan mereka mendapatkan kepuasan. Inilah sebenarnya biang kerusakan generasi penerus kita, yakni penerapan sistem sekuler liberalisme dengan mengusung demokrasi.

Sehingga, setiap individu manusia bebas bertingkah laku, tanpa mempedulikan halal ataupun haram. Sistem ini lahir dari kesepakatan manusia, pemilik kepentingan. Padahal, manusia hakikatnya memiliki berbagai kelemahan.

Ini bertolak belakang dengan sistem Islam yang lahir dari Allah, pemilik alam semesta. Sistem Islam memiliki segala aturan untuk menyelesaikan segala urusan manusia dengan tuntas.

Salah satunya, Islam mengharuskan umat melahirkan generasi yang berakhlak bersih dan memiliki keimanan yang kuat dengan selalu taat dan patuh kepada perintah Allah. Penerapan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam, akan menjadikan generasi muda selalu terikat dengan hukum syara' serta memiliki adab dan perilaku sopan. Generasi muda akan memiliki cara berpikir intelek dengan keilmuan yang mempuni. Mereka akan mampu melawan hawa nafsu dan tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, apalagi melakukan tindakan zalim yang merugikan diri atau orang lain. 

Jika ingin mengubah output pendidikan dan generasi, maka bukan hanya dengan menerapkan atau mengubah kurikulumnya saja. Namun, harus dengan mengubah sistem hidup, yaitu dengan ideologi Islam yang shahih. 

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 25 Agustus 2022

Muslim Arak Patung Bunda Maria, Jurnalis: Bukan Toleransi Tetapi Partisipasi dalam Kebatilan

Tinta Media - Menanggapi keikutsertaan umat Islam dalam mengarak patung Bunda Maria Asumpta Nusantara, Jurnalis Joko Prasetyo menilai hal itu bukanlah toleransi tetapi partisipasi dalam kebatilan.

"Jadi, keikutsertaan umat Islam dalam mengarak patung Bunda Maria tersebut merupakan perbuatan batil karena itu bukan toleransi tetapi partisipasi," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (24/8/2022).

Menurut Jurnalis yang biasa dipanggil Om Joy ini, Islam memang mengajarkan toleransi dalam artian tidak memaksa pemeluk agama lain masuk Islam dan tidak mengganggu peribadatan mereka. Ia kemudian mengutip terjemahan Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 256. "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat," ujarnya.

"Kaum Muslim jangan sampai salah paham dan mencampuradukkan antara toleransi dengan partisipasi. Karena, Islam mewajibkan toleransi tetapi mengharamkan partisipasi," paparnya.

Om Joy menjelaskan bahwa turut merayakan, maupun mengucapkan selamat atas perayaan hari besar agama lain maupun peribadatan agama lain. "Termasuk mengarak patung Bunda Maria Asumpta Nusantara bukan toleransi melainkan partisipasi yang jelas-jelas diharamkan dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam itu hak, sedangkan ajaran selain ajaran Islam adalah batil," jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 42 yang artinya "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yg batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui," tandasnya.[] Ajira
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab