Tinta Media: TikTok Shop
Tampilkan postingan dengan label TikTok Shop. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TikTok Shop. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Oktober 2023

Tiktok Shop Dihapus, Benarkah Menyejahterakan Sektor Riil?

Tinta Media - Kabar bahwa pemerintah tidak memperbolehkan TikTok Shop untuk berjualan menjadi perbincangan, terlebih bagi pihak yang langsung menggunakan TikTok sebagai lahan untuk jualan dan beberapa pengguna yang memanfaatkan program afiliasinya sebagai peluang untuk meraup pundi-pundi rezeki. 

Teten Masduki, Menkop UKM  mengungkap alasan dari larangan tersebut bahwa selama ini TikTok Shop hanya memiliki izin Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A). Larangan tersebut tercantum dalam revisi Permendag nomor 50 tahun 2020 mengenai Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (BBC News Indonesia).

Karena itu pemerintah mengeluarkan larangan TikTok Shop dengan alasan melindungi UMKM dan pedagang, dalam rangka membentuk sistem kerja yang lebih adil dan aman untuk perdagangan elektronik di Indonesia. Namun, faktanya banyak pedagang dan afiliatornya yang juga merasa dirugikan, sehingga menjadi pertanyaan tepatkah kebijakan tersebut ditetapkan?

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan dalam sistem perekonomian, termasuk perdagangan dan pemasaran di negeri ini memiliki cacat dan malah membawa dampak buruk bagi masyarakat. Faktanya, ada banyak hal yang berpengaruh terhadap aktivitas perdagangan, yakni adanya pedagang bermodal besar yang menguasai pasar sehingga bisa melakukan monopoli hingga pengaturan pajak yang berbasis pada perusahaan secara fisik. Semua berasal dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar.

Di tengah arus pemahaman kapitalisme, sistem perekonomiannya hanya mengarah pada keuntungan dan minim kajian pada dampak kerugian bagi sebagain pihak. Ini juga dipengaruhi oleh berkembangnya berbagai pusat layanan perbelanjaan online yang memiliki masalah di beberapa sisi.

Kondisi ini menggambarkan bahwa upaya pemerintah agak lamban dalam menjaga UMKM dan pedagang. Masyarakat yang telah menggantungkan usaha pada media tertentu akan merasakan dampak besarnya. Dari sini, tampak bahwa masyarakat tidak mendapatkan keadilan yang sama dalam menjalankan aktivitas ekonomi.

Penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor dominan dalam lesunya perekonomian, termasuk sepinya tempat belanja offline. Oleh karena itu, pemerintah semestinya bisa berfokus untuk mencari cara dalam menaikkan daya beli masyarakat sebab mayoritas pelaku usaha, baik offline maupun online, adalah UMKM.

Adapun hal yang memengaruhi daya beli suatu masyarakat salah satunya adalah diterapkannya kebijakan Omnibuslow Ciptaker yang berdampak pada pendapatan riil masyarakat. Bahkan, kebijakan tersebut memudahkan suatu perusahaan untuk mem-PHK karyawannya. 

Hal ini juga memmengaruhi pendapatan masyarakat yang kian menurun kemudian berpengaruh pada daya beli masyarakat karena harus melakukan penghematan demi memenuhi keperluan pokoknya.

Namun, alih-alih menyejahterakan rakyat, malah kebijakan yang diterapkan justru menyengsarakan rakyat. Belum lagi beban hidup yang kian berat, seperti tarif listrik dan air yang kian tinggi, harga bahan pokok yang juga tinggi, ditambah biaya sekolah, kesehatan, dan lainnya yang juga kian tinggi. Alhasil, pedagang di sektor rill (yang kebanyakan menjual bahan sandang) akan sepi, sebab uang masyarakat sudah habis hanya untuk membeli sembako.

Fakta di atas akan berbeda ketika menggunakan sistem Islam, karena Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat. Sistem ekonomi Islam juga melindungi pedagang dalam negeri dan pelaku usaha lainnya. 

Di dalam sistem Islam, negara akan bersifat independen, baik sistem ekonomi, politik, dan lain-lain yang akan bebas dari kepentingan selain kepentingan umat. Sistem politiknya yang berdasarkan akidah Islam akan membentuk penguasa yang amanah dan taat syariat. Seluruh aturan yang ditetapkan tidak akan pernah lepas dari Al-Qur’an dan sunah.

Begitu pun dalam masalah ekonomi, semua diselesaikan dengan sudut pandang Islam. Islam sangat mendukung perkembangan teknologi. Kebijakannya sangat terbuka terhadap kemajuan teknologi. 

Jual beli online merupakan wasilah yang jika dijaga sesuai syariat akan tampak kemaslahatan di dalamnya.
Salah satu contoh yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khaththab dan Khalifah Utsman bin Affan terjadi masalah ekonomi yang menyebabkan daya beli menurun. Upaya yang dilakukan oleh khalifah adalah dengan menyuntikkan dana di tengah umat dengan berbagai cara. Maka, para pelaku bisnis akan mudah tumbuh dan berkembang. Secara otomatis, pendapatan karyawannya meningkat. 

Selain meningkatnya pendapatan, maka kesejahteraan pun akan dijamin oleh negara. Namun, tidak menutup kemungkinan semua kepala rumah tangga mampu untuk mendapatkan pendapatan layak. Nah, jika ada kepala rumah tangga yang cacat atau sudah tidak sanggup bekerja, maka negaralah yang akan bertanggung jawab menyantuni mereka.

Hal ini bisa dijamin melalui sitem kas keuangan baitulmal yang ditunjang oleh regulasi kepemilikan. Misalnya, kepemilikan umum seperti barang tambang dan sumber daya alam yang tak terukur jumlahnya maka haram dikuasai swasta. 

Negaralah yang berkewajiban mengelola dan mengembalikan hasilnya demi kemaslahatan umat dengan berbagai jaminan fasilitas dan kebutuhan, seperti listrik, air, BBM, sembako, dan lain-lain. Pengelolaannya secara langsung dilakukan oleh negara, sehingga kalaupun ada harga yang ditetapkan, maka harga tersebut dijamin terjangkau bagi semua kalangan dan cenderung  tidak mahal seperti sekarang karena pengelolaannya diserahkan pada swasta. Wallahualam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd. (Aktivis)


Minggu, 22 Oktober 2023

Polemik Tiktok Shop dalam Pandangan Islam

Tinta Media - Tiktok resmi menutup layanan dagangnya, yakni Tiktok Shop pada Rabu, (04/10/2023) pukul 17.00 WIB. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, seller yang berjualan di Tiktok Shop diminta untuk pindah lapak ke platform e-commerce resmi yang ada di tanah air. (ekonomi.republika.co.id/05/10/2023). 

Kebijakan ini sangat mengejutkan hampir di semua pengguna Tiktok, terutama para penjual yang memasarkan dagangannya di Tiktok Shop justru saat platform yang satu ini sedang melejit dengan pengguna yang semakin banyak, terutama negara Indonesia yang masuk urutan ke-2 dan menjadi pangsa pasar yang sangat menguntungkan bagi para pebisnis.

Tentunya, kebijakan ini banyak mendapatkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Di sisi lain, para pelaku UMKM dan pedagang kecil merasa mendapatkan keadilan karena sejak adanya Tiktok Shop, toko mereka menjadi sepi dan tutup atau gulung tikar sebab kalah saing dengan para artis atau para pemilik modal yang sudah memiliki modal besar dalam berjualan. Akhirnya, tidak imbang antara pengeluaran modal dan pemasukan dari pembeli karena pembeli lebih suka berbelanja secara online daripada datang langsung ke toko.

Namun di satu sisi, banyak yang menyayangkan, bahkan protes dengan kebijakan ini terutama para penjual yang memasarkan dagangannya di platform ini. Mereka berdalih bahwa “Dulu disuruh untuk beralih ke penjualan via online, sekarang malah disuruh pindah lagi ke penjualan offline.” 

Kemudian, juga banyak yang kehilangan pekerjaannya jika platform ini ditutup. Mereka beranggapan bahwa kebijakan ini dikeluarkan bukan hanya sekadar untuk menyelamatkan UMKM, tetapi karena ada kepentingan lain, seperti adanya politik di balik semua ini. 

Bukan hanya itu, mereka menilai pemerintah merugikan para seller yang biasa berjualan live di Tiktok Shop. Akan tetapi, tanggapan yang diberikan atas respon dari masyarakat setelah dikeluarkan kebijakan ini dirasa kurang menenangkan dan memberikan solusi, seperti “Tiktok media sosial akan lebih berfokus kepada promosi, sedangkan penjualannya bisa dilakukan melalui media lain.” 

Akhirnya, banyak yang bertanya-tanya, apakah benar kebijakan ini tepat demi keadilan para pelaku usaha?

Itulah yang terjadi di sistem kapitalisme saat ini. Semua dilakukan karena asas manfaat. Segelintir orang yang memiliki modal besar dan kekuasaan bisa mengubah, bahkan membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan keturunannya sendiri. 

Para pelaku usaha UMKM maupun seller dipaksa untuk mengikuti semua kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tanpa memberikan solusi yang hakiki untuk keadilan dan kebaikan bersama. 

Harusnya, pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan karena banyak yang harus dibenahi, bukan hanya sekadar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang saja. Akan tetapi, regulasi yang dibuat harus saling terintegrasi sehingga menguntungkan semua lapisan masyarakat dan hajat hidup masyarakat tidak hilang, tetapi terpenuhi dengan baik.

Inilah penyebab gagalnya sistem ekonomi kapitalisme dalam menyejahterakan masyarakat, sehingga mereka berlomba untuk mendapatkan pekerjaaan dan tambahan uang untuk menghidupi keluarganya. 

Selanjutnya, keadilan tidak akan didapat selama negara hanya berfungsi sebagai regulator dan menyerahkan seluruh urusan rakyat kepada swasta. Wajar saja kebijakan yang dibuat tidak adil untuk semua masyarakat, karena keuntungan hanya mengalir kepada segelintir orang yang mempunyai modal besar. Sedangkan para pelaku usaha biasa harus menerima nasib yang kian nelangsa.

Berbeda dengan perdagangan yang diatur dengan syariat Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat. Islam membedakan penataan pasar makro di dalam negeri dan internasional. Tugas negara dalam mengatur pasar sangat urgent. 

Perdagangan yang adil pun telah diperintahkan oleh syariat berdasarkan QS. An-Nisa ayat 29 bahwa Allah berfirman, "Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam perdagangan yang dilakukan atas suka sama suka di antara kamu." 

Negara dalam Islam berfungsi sebagai pelayan rakyat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad bahwasanya imam adalah penggembala (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyat yang diurusnya).

Maka dari itu, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara (Khilafah). Negara tidak boleh membiarkan rakyat hidup dalam kesengsaraan. Oleh karena itu, negara akan menciptakan pasar yang sehat. Dalam sistem ekonomi Islam, harga ditentukan oleh kekuatan supply dan demand sehingga semua unsur yang merusak permintaan dan penawaran harus dihapuskan oleh negara. 

Islam telah melakukan penataan perdagangan melalui peran negara, termasuk Qadhi Muhtasib sebagai pengontrol para penjual dan pembeli. Negara berperan dalam melakukan pelarangan tas'ir (pematokan harga), operasi pasar, dan pungutan pajak. Semua ini dilakukan agar pasar benar-benar ditentukan oleh permintaan dan penawaran. 

Negara akan melarang unsur judi dalam perdagangan, unsur gharar (ketidakjelasan), unsur riba, dan unsur sebagaimana transaksi yang terjadi pada e-commerce hari ini. 

Negara juga bertugas untuk menghilangkan semua ancaman-ancaman yang bisa mengganggu terwujudnya mekanisme pasar sehat. Sebab dalam Islam, marketplace diperbolehkan karena dihukumi sebagai pasar penyedia lapak. 

Hanya saja, marketplace berfungsi sebagai pasar virtual atau digital. Jika penyedia marketplace menyediakan tempat untuk berjualan, maka berlaku akad sewa lapak yang hanya menyediakan tempat, bukan memasarkan barang. 

Demikianlah aturan Islam menciptakan pasar yang sehat yang akan menentukan pedagang dan konsumen. Seluruh aturan tersebut hanya bisa terwujud dalam Khilafah Islam. Wallahu’alam bishawab.

Oleh: Diah Puja Kusuma, S.Kom. 
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab