Tinta Media: Tiga
Tampilkan postingan dengan label Tiga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tiga. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 April 2022

Wacana Tiga Periode Dinilai Usik Perasaan Publik


Tinta-Media Wacana tiga periode pemerintahan Joko Widodo, dinilai Pengamat Politik Luar Negeri Umar Syarifudin, mengusik perasaan publik.

"Wacana 3 periode menurut saya mengusik perasaan publik luas," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (15/4/2022).

Menurutnya, ketidakpuasaan sebagian pihak terhadap pemerintahan Jokowi cukup besar. "Utang luar negeri yang tinggi, rakyat diterpa wacana kenaikan BBM, di samping skandal - skandal korupsi bansos Covid-19 ini juga menjadi momentum pembuktian untuk kesekian kalinya, bahwa sistem sekular dan rezim yang tengah berkuasa dinilai sebagian publik tidak bisa dipercaya. Sehingga sebagian publik menghendaki pergantian rezim," ujarnya.

Jika umat memiliki energi yang kuat untuk agenda perubahan, kata Umar, tentu akan berhadapan dengan kepentingan segelintir elit yang mendukung perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode, dan ini mengindikasikan ada upaya sistematis elite untuk mewujudkannya.

"Agenda Jokowi tiga periode, kelanjutan wacana penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan oleh beberapa ketua umum parpol pro-pemerintah sejak Februari lalu. Ketua Umum Apdesi Surtawijaya mengaku mendukung Joko Widodo untuk menjabat tiga periode sebagai presiden. Mereka beralasan selama ini Jokowi selalu mengabulkan permintaan para kepala desa," paparnya.

Umar mengatakan, dalam konteks wacana tiga periode, ada dugaan bahwa kelompok tertentu sedang 'mengondisikan' di level masyarakat untuk terus mendukung upaya tersebut. Salah satunya memobilisasi dukungan berbagai pihak.

Umar menilai dukungan segelintir publik bisa jadi digunakan sebagai dalih pembenaran atau legitimasi bahwa Jokowi masih didukung lagi oleh masyarakat untuk menjabat lagi sebagai presiden. Sehingga indikasi pengondisian dimulai dari bawah dahulu. Jika tuntas, mungkin akan ada pengondisian lain. Lalu di elite untuk mengamandemen UUD 1945. "Menurut saya publik saat ini makin melek politik dan makin menyadari pola tersebut," tandasnya.

"Namun, jika rakyat menghendaki perubahan, mereka harus memahami perubahan seperti apa yang hendak diwujudkan, dan bagaimana pula caranya agar perubahan tersebut bisa diwujudkan. Tentu saja rakyat negeri ini yang mayoritas muslim sejatinya menghendaki perubahan ke arah islam dan dengan cara-cara yang juga islami," jelasnya.

Menurutnya, perubahan ke arah islam tentu mensyaratkan dua hal. Pertama, menolak sistem dan rezim sekular. "Kedua, menghadirkan solusi Islam untuk menjawab problem multidimensi," tegasnya.

Sistem Islam dan Penguasa Adil

"Negeri ini butuh solusi sistem Islam dan penguasa yang adil untuk menjawab seluruh problem bangsa, termasuk problem pemimpin," tegas Umar.

Umar mengatakan, dalam Islam tugas dan kewajiban penguasa adalah memelihara kemaslahatan rakyat. Pengelolaan urusan rakyat harus dikelola berrdasarkan prinsip ri’âyah (melayani rakyat). Yang menjadi perhatian utama adalah memberikan kemaslahatan terbaik untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. Penguasa akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu. Rasul saw. bersabda:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).

"Penguasa yang senantiasa mengurus dan melayani rakyat itu hanya bisa terwujud jika pengelolaan urusan rakyat dijalankan sesuai syariah Islam dan dalam sistem pemerintahan Islam," tandasnya.

Penguasa pun, menurutnya, dipilih berdasarkan asas Islam dan sesuai dengan aturan Islam. Semua itu berarti mengharuskan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan Islam. "Itulah Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian," terangnya.

"Inilah yang mendesak untuk sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim, terutama di negeri ini, yang tengah didera oleh aneka problem tak berkesudahan, termasuk isu Jokowi 3 Periode," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Jumat, 01 April 2022

Prof. Suteki Gaungkan Slogan Tolak Perpanjangan Jabatan dan Presiden Tiga Periode Tanpa Reserve

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1P62qh2biReLzbE4MM5jHqreQwmmvdADX

Tinta Media - Menanggapi kehebohan atas  ribuan Kepala Desa deklarasi Jokowi tiga periode usai lebaran, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H. M.Hum. menyerukan untuk menolak perpanjangan jabatan dan presiden tiga periode tanpa reserve.

"Kita mesti menggaungkan slogan tolak perpanjangan jabatan dan presiden tiga periode tanpa reserve," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (31/3/2022).

Ia menekankan bahwa Kepala Desa seharusnya menjadi teladan bagi warganya agar tetap patuh konstitusi negara bukan menjadi pelopor makar konstitusi dengan cara sengaja mendeklarasikan dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.

Ia merasa prihatin dan gemas terhadap kengototan kelompok yang terus menerus melakukan makar konstitusi. "Kalau dihitung dalam skala 1 - 10, kegemasan saya melihat gelagat ambisi tiga periode itu sudah level 10," ujarnya.

"Level kemarahan terhadap para penyelenggara negara yang tidak paham, tidak becus bahkan cenderung berbuat SSK (Suka Suka Kami) dan ini sudah keluar dari demokrasi menuju Okhlokrasi," bebernya.

Menurutnya, negara dikendalikan oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Dalam arti sarkasme, negara dikendalikan oleh orang-orang dungu terhadap konstitusi. "Mereka sekedar politikus bukan negarawan yang punya komitmen untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945," tegasnya.

Ia melanjutkan bahwa no free lunch itu suatu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi deklarasi kades menentang konstitusi. "Saya perlu mengingatkan kepada semua kades, bahwa pelaku deklarasi itu sama dengan pelaku makar terhadap konstitusi," paparnya.

"Jika Kepala Desa atau Kepala Kelurahan telah melakukannya, maka tindakan itu sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin berat karena tidak menjalankan kewajibannya," jelasnya.

"Bagaimana bisa kita setuju terhadap upaya makar konstitusi, lalu dianggap model apa negara ini yang perilaku pejabat elitnya terkesan SSK dan pragmatisme?
Padahal, Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan," tandasnya.[]Ajira

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab