Tinta Media: Thrifting
Tampilkan postingan dengan label Thrifting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thrifting. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Maret 2023

Ribut Larangan Thrifting, untuk Siapa?

Tinta Media - Belakangan ini, pemerintah sangat sibuk mengeluarkan wacana tentang larangan atau pemberhentian aktivitas jual beli pakaian bekas impor. Terlebih, Presiden Indonesia Joko Widodo mengaku geram karena hal tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri.

Jokowi juga menginstruksikan jajarannya yang terkait untuk mengusut serta mencari akar permasalahan dari maraknya impor pakaian bekas yang masuk ke Indonesia. Kapolri Sulistio Sigit tak kalah sigap menanggapi instruksi tersebut. Bahkan, Polri juga menggandeng Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Bea Cukai untuk melakukan pencegahan bisnis pakaian bekas impor. 

Melanjutkan hal tersebut, ratusan bal barang impor bekas berupa pakaian, tas, dan sepatu disita dari salah satu gudang di Kota Pekanbaru, Riau. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan bahwa barang impor bekas yang disita di Pekanbaru sebanyak 730 bal tas, 571 bal sepatu bekas, dan 112 bal pakaian.

Zulhas juga menegaskan bahwa pakaian, sepatu, dan tas bekas impor merupakan barang yang dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor (kemendag.co.id).

Sejatinya, membanjirnya pakaian impor bekas atau thrifting bukanlah hal yang baru. Persoalan ini sudah berlangsung lama. Meningkatnya globalisasi dan diadopsinya kebijakan perdagangan bebas membuat produk impor dari negara-negara semakin mudah masuk ke pasar Indonesia. Produk impor yang lebih murah dan bervariasi telah menjadi persaingan yang sulit untuk dipenuhi oleh produsen lokal yang terbatas dalam kemampuan produksi dan sumber daya. Bahkan, setidaknya semenjak tahun 2018-2019, sudah banyak pabrik tekstil atau garmen lokal yang berguguran, dan itu adalah akibat dari terbukanya keran impor tekstil dari China (Republika.co.id, 4/10/2019).

Namun, entah mengapa baru sekarang ribut, jika faktanya larangan penjualan pakaian impor tersebut sudah lama ada dan masih membandel, bahkan dapat masuk hingga berton-ton. Tentunya semua adalah akibat penegakan aturan yang lemah serta permainan dari pejabat resmi. Sebab, lapak penjualan pakaian impor bekas bukanlah tersembunyi atau berada di pasar bawah tanah. Banyak thrifting store yang dapat kita temui sepanjang jalan, bahkan disediakan pasar khusus untuk itu.

Sementara, jika melihat besarnya minat masyarakat pada baju bekas impor, tidak lain adalah salah satu cara masyarakat kelas bawah dalam memenuhi gaya hidup hedon dan branded mind, buah dari kapitalistik yang diterapkan negara ini. Karena selain murah, baju bekas impor seringkali berasal dari negara-negara dengan standar produksi tinggi. Tentu saja adanya barang bekas impor seperti ini menjadi solusi bagi mereka dalam memenuhi keinginan memiliki barang bermerk dengan budget minim. Meskipun di balik itu semua, masyarakat sendiri tidak menyadari akan dampak negatif masalah kesehatan dan keamanan yang dapat ditimbulkan oleh pakaian impor bekas yang belum tentu memenuhi standar keamanan dan kesehatan karena sudah digunakan sebelumnya.

Oleh karena itu, gegernya masalah pelarangan thrifting saat ini sangatlah wajar dipertanyakan oleh banyak pihak, benarkah untuk melindungi produksi tekstil lokal, atau sebatas mengakomodir keluhan importir kain lain, atau ini upaya melindungi bisnis para pengusaha barang bermerk yang selama ini berkuasa?

Inilah sistem kapitalis, negara berperan hanya sebagai regulator atau sebatas sales bagi para kapital. Oleh karena itu, dengan baru ributnya saat ini, jelas terlihat pengabaian negara terhadap rakyatnya sekaligus menunjukkan kecenderungan negara kepada para pemilik modal yang notabene hanya segelintir orang.

Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara memiliki peran penting untuk menjaga dan memastikan penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang didasarkan pada kesejahteraan masyarakat. Selain bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ekonomi stabil dan seimbang dengan adanya distribusi kekayaan yang adil dan pemberdayaan masyarakat, negara Islam juga memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Sebab, tugas negara adalah melindungi rakyat, baik konsumen atau produsen dari eksploitasi dan praktik bisnis yang tidak etis.

Demikianlah, Islam telah menetapkan fungsi negara sebagai perisai atau pelindung bagi rakyat. Karena itu, negara selalu berada di garis terdepan dan menjadi aktor utama dalam memberikan perlindungan kepada rakyat dari segala bentuk bahaya, bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat demi kepentingan segelintir pemilik modal. Oleh karena itu, kehadiran negara sangatlah penting, termasuk dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam sehingga menciptakan masyarakat yang adil, seimbang, dan sejahtera.

Wallahu'alam bissawab

Oleh: Indri Wulan Pertiwi 
Aktivis Muslimah Semarang 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab