Tinta Media - Akhirnya Murtede alias Amaq Sinta (34) - korban begal yang ditetapkan menjadi tersangka bisa bernapas lega setelah bebas dari segala tuduhan. Dikutip dari suara.com--"Jajaran Satreskrim Polres Lombok Tengah sebelumnya menetapkan Amaq Sinta yang merupakan korban begal, sebagai tersangka dalam dugaan kasus dua begal yang tewas bersimbah darah di jalan raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Minggu (10/4) dini hari." (Minggu, 17 April 2022).
Kasus yang menimpa Murtede, bukanlah kejadian pertama di negeri ini. Masih ada sederet kasus lain yang menjadikan korban begal sebagai tersangka karena telah melukai atau menghilangkan nyawa pelaku begal. Di antaranya, pertama, pria asal Pekanbaru, Raju, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh Roby Dzaki Setiawan pada 10 September 2015 silam. Kedua, Seorang pria asal Medan, Dedi Irwanto, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh pelaku yang hendak membegal dirinya. Ketiga, Remaja di Malang, ZA, 19 tahun, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh Misnan, 35 tahun. (Sumber : Tempo.co Jumat, 15 April 2022).
Viral Dulu Baru Diperhatikan
Inilah keanehan penegakan hukum di negeri ini. Seorang korban tindak kriminal justru bisa menjadi tersangka karena menghilangkan nyawa pelaku begal. Apakah ini sama artinya dengan jika masyarakat menjadi korban, maka masyarakat diminta diam saja, tidak melakukan pembelaan? Padahal, para pelaku begal tak segan-segan mengeroyok, melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
Bahkan, ahli kriminologi dan kepolisian Adrianus Meliala mempertanyakan langkah polisi yang menetapkan AS sebagai tersangka, tetapi polisi juga yang mengakhirinya. Dia menduga, keputusan itu diambil karena tekanan dari media dan perintah dari atasan.
Di mana esensi profesionalisme?
Profesionalisme adalah sesuatu yang tidak bisa digoyahkan oleh tekanan manapun. Namun, hanya karena tekanan media, profesionalisme ini justru bisa digoyahkan?
Hukum Bisa Berubah dalam Demokrasi
Sistem demokrasi membuka lebar peluang untuk membuat hukum dan mengubahnya sesuai keinginan manusia. Sehingga, dalam kehidupan saat ini, standar benar dan salah sangatlah relatif. Ini tergantung kacamatanya, apakah memakai kacamata keimanan ataukah tidak. Karena itu, sangat wajar jika korban begal dijadikan tersangka karena telah menghilangkan nyawa pelaku begal. Keputusan ini bisa dengan cepat berubah karena "tekanan publik", misalnya. Ini karena kembali lagi, prinsip demokrasi adalah kebebasan dalam melahirkan sebuah kebijakan.
Jaminan Keadilan dalam Islam
Islam sebagai diin yang sempurna telah memberikan panduan ketika terjadi kasus pembegalan.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?"
Beliau bersabda, "Jangan kau beri padanya."
Ia bertanya lagi, "Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?"
Beliau bersabda, "Bunuhlah dia."
"Bagaimana jika ia malah membunuhku?" ia balik bertanya.
"Engkau dicatat syahid," jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
"Bagaimana jika aku yang membunuhnya?" ia bertanya kembali.
"Ia yang di neraka," jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no.140)
Dari hadis di atas, kita mendapat gambaran yang jelas, bahwa seorang muslim wajib dengan sekuat tenaga mempertahankan harta dan kehormatannya saat ada yang ingin merampas. Bahkan, seorang korban begal harus mempertahankan nyawanya saat ancaman itu datang.
Inilah pemenuhan gharizah baqa' (naluri mempertahankan diri) yang sesuai dengan panduan Islam.
Bahkan, Allah Ta'ala memberikan balasan luar biasa bagi korban begal yang meninggal, yaitu syahid. Sedangkan bagi pelaku pembegalan yang berhasil dibunuh, maka nerakalah balasannya.
Inilah Islam sebagai sistem hidup yang mampu menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Tidakkah kita merindukan sistem kehidupan yang sempurna seperti ini? Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.
Oleh: Dahlia Kumalasari
Pendidik