Tinta Media: Tenaga Kerja
Tampilkan postingan dengan label Tenaga Kerja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tenaga Kerja. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Februari 2024

Pesatnya Teknologi Informasi dan Komunikasi Ancam Tenaga Kerja Manusia



Tinta Media - Tulisan ini adalah salah satu bentuk kerisauan kami selaku mahasiswa yang selalu skeptis akan kondisi dunia kerja hari ini. Apalagi, sekarang dunia sudah mulai berbondong-bondong menggunakan mesin ketimbang manusia. 

Hari ini manusia sudah mengalami perubahan begitu pesat, mulai dari aktivitas di lingkungan keluarga sampai dunia kerja. Tak hanya itu, perubahan ini juga berdampak pada cara manusia bertindak dan menerima informasi. 

Revolusi industri 4.0 adalah suatu perubahan yang membuat manusia tidak lagi bekerja secara ekstra karena di perubahan kali ini, teknologi-teknologi canggih semakin gencar digunakan oleh para pelaku usaha dengan harapan lebih memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Akan tetapi, ada masalah yang cukup fundamental, yaitu terkait dengan ketenagakerjaan pada setiap sektor industri. Adanya peningkatan teknologi dalam menopang produktivitas suatu industri memang sangat membantu pelaku usaha dan juga para pekerja. Namun, seiring dengan peningkatan teknologi dan kecerdasan buatan ini, manusia dibuat semakin terpojok. 

Tentu ini adalah masalah yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha dan pihak ke pemerintah.

Indonesia adalah negara yang sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat jika mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila. Namun, melihat data yang dikeluarkan oleh BPS dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 278,8 juta jiwa pada 2023. Yang mendapatkan lapangan pekerjaan sebanyak 147,71 juta orang. Angka pengangguran pada tahun 2023 berkisar 7,86 juta jiwa.

Memang ini adalah angka yang bisa dikatakan kecil. Akan tetapi, kita harus mengetahui bahwa Indonesia terbagi atas dua sektor pekerja, yakni pada sektor formal dan sektor informal. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2023 menunjukkan bahwa pekerja informal sebanyak 83,34 juta orang dan pekerja formal sebanyak 55,29 juta orang. 

Ketika melihat survei dari BPS ini, pekerja informal sangat mendominasi. Artinya ada pemangkasan pekerja pada sektor formal. Tentu ini tak lepas dari perkembangan industri 4.0 yang mengandalkan mesin dan kecerdasan buatan untuk meningkatkan produktivitas pada sebuah perusahaan atau industri.

Beberapa tokoh seperti Tesla dan Space X, mereka berpendapat bahwa penggunaan mesin dalam suatu bidang perindustrian dapat bekerja lebih cepat dan juga dapat meningkatkan produktivitas. Biayanya juga lebih rendah daripada manusia. Ini yang membuat banyak industri lebih suka menggunakan tenaga mesin. Ini juga salah satu hal yang membuat pekerja formal di Indonesia jumlahnya sedikit dibandingkan dengan pekerja informal.

Ini adalah salah satu kerisauan para mahasiswa, karena setiap tahun, kampus-kampus mengeluarkan lulusan-lulusan sarjana dari berbagai jurusan, tetapi lapangan pekerjaan tidak dapat menampung mereka untuk bekerja di setiap bidang yang mereka minati. Maka, kami sangat berharap kepada pihak pemerintah agar dapat mengintervensi pelaku usaha dalam hal pemberdayaan pekerja manusia daripada mesin.


Oleh: Diki Wahyudi Iyabu
Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo

Minggu, 19 Maret 2023

Perdagangan Manusia Berkedok Penyaluran Tenaga Kerja Migran

Tinta Media - Kasus demi kasus perdagangan manusia tiada henti di negeri ini. Terbaru yang dilansir media AYOBANDUNG.COM, seorang warga Kabupaten Bandung hampir saja dijual ke Malaysia. Beruntung korban perdagangan manusia tersebut berhasil diselamatkan oleh Imigrasi Kota Batam, Selasa (07/03/2023).

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPKBP3A) Kabupaten Bandung, Hairun menuturkan bahwa masyarakat jangan mudah tergiur dengan tawaran bekerja yang bergaji besar dan selalu berhati-hati dengan perusahaan yang menawarkan pekerjaan di luar daerah atau luar negeri.

Kasus perdagangan manusia tersebut terjadi pada Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal. Ia hampir menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) akibat tidak mengikuti prosedur pemerintah dan pemberangkatan CPMI tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang sah. 

Tidak dimungkiri, dorongan masyarakat untuk bekerja di luar negeri masih sangat besar, padahal risikonya sangatlah tinggi. Meski payung hukum untuk melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah termaktub dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan PMI, tetapi faktanya hal tersebut tidak mampu melindungi para pekerja migran. 

Di tengah banyaknya masyarakat yang pesimis akan perlindungan dari negara jika menjadi pekerja migran, keinginan untuk mengubah nasib di negeri orang telah mendorong mereka untuk menjadi pekerja migran, padahal berpeluang terjebak dalam CPMI ilegal. Karena itu, jumlah kasus perdagangan manusia (human trafficking) semakin besar dan kompleks. 

Walaupun demikian, faktor kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan bagi rakyat, serta iming-iming upah besar jika bekerja di luar negeri, membuat orang-orang siap mengambil risiko tersebut. Seandainya kehidupan mereka sejahtera, mereka pasti tidak akan nekat bekerja di luar negeri, termasuk para perempuan yang menjadi mayoritas dari para pekerja migran. Mereka harus meninggalkan anak dan suaminya, melupakan fitrahnya sebagai perempuan yang seharusnya dilindungi dan dinafkahi. 

Mirisnya, di saat banyak rakyat negeri ini yang menjadi pekerja migran, para Tenaga Kerja Asing (TKA) justru dibukakan pintu selebar-lebarnya untuk masuk dan menempati lapangan pekerjaan yang tersedia. Kondisi ini membuat rakyat tersingkir dan terpaksa menjadi PMI. 
Inilah bukti bahwa penguasa negeri ini telah gagal menyejahterakan rakyat melalui penciptaaan lapangan kerja, juga kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Karena itu, mereka terpaksa bekerja ke luar negeri. 

Ketika rakyat bekerja ke luar negeri, negara tidak mampu melindungi rakyatnya. Mengapa hal yang miris ini terjadi bertubi-tubi menimpa rakyat?

Indonesia sebagai negara yang menerapkan kapitalisme, memosisikan manusia sebagai bagian dari faktor (alat) produksi. Rakyat dikatakan produktif jika menghasilkan materi sebanyak-banyaknya, sehingga dapat berkontribusi terhadap keuangan negara. Oleh karena itu, para PMI dikatakan "Pahlawan Devisa" karena mampu mendatangkan devisa besar, bahkan angkanya melebihi angka devisa dari penjualan migas. 

Karena itu, negara memobilisasi pemberangkatan pekerja migran ini, dengan  menyediakan berbagai fasilitas penunjang, mulai dari produk UU, kepengurusannya di bawah departemen ketenagakerjaan, dilegalkannya agen-agen penyalur tenaga kerja migran, hingga mengadakan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja migran dalam berbagai bentuk keahlian. Semua itu dilakukan semata-mata untuk keuntungan materi berupa devisa  Padahal, di balik itu semua, nyawa tenaga kerja migran menjadi taruhan. Salah satunya menjadi korban trafficking.

Sebagai seorang muslim, tentu kita sangat gerah dengan kondisi ini. Karena itu, kita harus mengembalikan solusi terhadap masalah trafficking berkedok penyaluran tenaga migran ini kepada Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tentu memiliki seperangkat sistem untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.

Di dalam Islam ditetapkan bahwa pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan, merupakan tanggung jawab (kewajiban) negara. Oleh karena itu, negara akan menyediakan sarana-pra sarana untuk menciptakan lapangan kerja tersebut, sehingga rakyat yang terkena kewajiban mencari nafkah dapat menunaikannya secara maksimal. Terkait penyediaan lapangan kerja ini tentulah harus ditopang oleh sistem ekonomi dan keuangan yang mapan dan kuat, yang semuanya itu ada dalam penerapan aturan Islam secara komprehensif (menyeluruh).

Dengan konsep bahwa negara (penguasa) hadir untuk melakukan ri'ayah (pengaturan) terhadap segala urusan rakyat, maka penerapan Islam dilandaskan kepada akidah Islam dalam sebuah negara khilafah. Melalui institusi negara inilah, penguasa menjalankan pemeliharaan dan pengaturan rakyatnya, sebagai perwujudan dari sabda Rasulullah ﷺ:

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Terkait penyediaan lapangan kerja, negara akan memberikan sarana-sarana pekerjaan bagi para pencari kerja dari rakyat, yaitu para laki-laki dewasa yang berkewajiban mencari nafkah. Bahkan, negara juga akan menyiapkan SDM (laki-laki) dari rakyat agar mampu betanggung jawab dalam memikul kewajiban sebagai pencari nafkah. Ini dilakukan melalui berbagai sarana pendidikan dan pelatihan skil (keahlian) yang akan menjadikan mereka produktif, melalui pengadaan sarana prasarana pendidikan yang terbaharui. Dengan begitu, wawasan dan keahlian rakyatnya akan bertambah, yaitu melalui kurikulum pendidikan di sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. 

Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk membolehkan masuknya investor asing untuk mengelola SDA atau pun memasukkan para TKA akibat kemampuan SDM di dalam negeri yang kurang. Ini sebagaimana yang ada dalam solusi negara penganut kapitalisme sekarang. Inilah bentuk kemandirian negara khilafah. Salah satunya dengan menyempurnakan output pendidikan yang berkepribadian Islam, sebagai pribadi-pribadi yang inovatif dalam mengarungi kehidupannya. Maksimalnya negara dalam menyediakan hal tersebut ditopang oleh APBN negara yang mumpuni, yang ada di baitul mal, dan sistem keuangan yang kokoh yang dilandaskan kepada emas dan perak.

Selain itu, negara khilafah tidak akan mengizinkan pendirian badan usaha swasta yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak, seperti yang terjadi dalam sistem saat ini. Jikalau ada perusahaan milik individu rakyat (swasta), keberadaannya ada di bawah kontrol penerapan syariat oleh negara, semata untuk menciptakan pengaturan urusan rakyat, sehingga hak-hak rakyat dalam upaya pemenuhan kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, dan papan, dapat terpenuhi secara maksimal. Inilah yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Maka, dalam negara khilafah rakyat tidak akan berpikir untuk bekerja ke luar negeri, karena segala kebutuhannya telah dipenuhi oleh negara. Hial ini termasuk pemenuhan  kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga meringankan kehidupan rakyat. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perdagangan manusia (trafficking) pun, tidak akan ada, karena celah yang membuka pintu trafficking yang berkedok penyaluran tenaga kerja migran, tidak ada.

Wallaahu a'lam bi ash-shawwab

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab