Hakikat Teman Sejati
Tinta Media - Saat maut menjemput dan manusia dengan sukarela atau terpaksa harus pergi meninggalkan dunia ini, sesungguhnya ia hanya akan diiringi oleh tiga ’iring-iringan’: (1) keluarganya; (2) hartanya; dan (3) amalnya.
Keluarganya hanya akan mengantar jasadnya sampai ke pinggiran kuburan, tak mungkin menemani dia hingga ke dalamnya.
Hartanya—rumah, apartemen, tanah yang luas, kebun yang indah, perusahaan yang banyak dan harta tak bergerak lainnya—bahkan sejak awal tak mungkin ikut mengiringi dia. Harta yang bisa mengiringi sekaligus menemani dia hanyalah kain kafan yang melekat di badan. Itu pun hanya sampai di dalam kuburan.
Saat-saat kematian seperti itu hanya amal salihlah yang pasti bakal tetap setia mengiringi sekaligus menemani dirinya hingga ia menjumpai Rabb-nya. Bukan hanya menjadi teman sejati yang mengiringi, bahkan amal salih itulah yang juga bakal dengan setia dan sukarela menjadi pembelanya di hadapan Mahkamah Pengadilan Akhirat, sebuah pengadilan yang tentu mahadahsyat! Saat itu, keluarganya, termasuk istri/suaminya sekalipun, tak mungkin turut membela dan menolong dirinya. Mereka bisa jadi malah mencelakakan dirinya, kecuali anak-anaknya yang salih/salihah. Bagaimana dengan hartanya? Tak mungkin pula ia bisa membela dan menolong dirinya. Boleh jadi hartanya itu malah memberatkan dan membebani dirinya di hadapan Hakim Yang Mahaadil, Allah ’Azza wa Jalla; kecuali harta yang pernah ia sedekahkah, ia hadiahkan, ia hibahkan atau ia wakafkan di jalan-Nya.
Jika memang hanya amal salih satu-satunya teman sejati yang akan mengiringi, menemani sekaligus membela manusia saat dimajukan ke Mahkamah Pengadilan Akhirat, faktanya justru banyak manusia lebih sering disibukkan untuk mencari dan mengumpulkan harta kekayaan, mengejar jabatan dan kedudukan, serta terobsesi untuk meraih sukses dunia yang fana. Sebaliknya, mereka abai untuk memperbanyak amal salih, mengejar pahala/surga dan terobsesi meraih sukses ukhrawi yang abadi.
Padahal Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda, ”Tuhanku pernah menawari aku untuk mengubah bukit-bukit di Makkah menjadi emas. Namun, aku menadahkan tangan kepada-Nya, seraya berkata, ’Ya Allah, aku lebih suka sehari kenyang dan sehari lapar agar aku bisa mengingat-Mu saat lapar serta memujimu-Mu dan bersyukur kepada-Mu saat kenyang.’” (HR at-Tirmidzi).
Bagaimana dengan kita?
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor