Habis Sambo, Terbitlah Teddy (Sebuah Kritik)
Tinta Media - Instansi kepolisian Indonesia menjadi sorotan setelah kasus mafia hukum Sambo dkk mencuat. Kematian Brigadir Joshua meninggalkan jejak drama panjang penegakan hukum. Tak hanya kasus Sambo dkk, berita terakhir yang sempat viral adalah bisnis sabu dalam skala besar dan internasional oleh Teddy Minahasa, seorang polisi dengan pangkat jenderal bintang dua. Tentu saja hal ini memunculkan banyak kritik dan menjadi keprihatinan tersendiri bagi rakyat Indonesia.
Instansi yang seharusnya menjadi pelayan dan pengayom masyarakat, menjadi monster yang diam-diam menghancurkan Indonesia dari dalam. Walau disebutkan hanya oknum, tapi kasus seperti ini ibarat gunung es, yang hanya terlihat puncaknya saja. Jika diusut tuntas, maka akan ada banyak nama yang terseret. Diperlukan ketegasan dalam setiap proses hukum, tanpa ada standar ganda ataupun tebang pilih.
Ada permintaan ada penawaran, bisnis narkoba memang menggiurkan. Bisa dibayangkan betapa rusaknya sumber daya manusia jika satu ton sabu dikonsumsi, cukup untuk menjatuhkan sebuah negara dalam sekejap. Di satu sisi banyak pihak yang ingin menyelamatkan generasi bangsa, tapi di sisi lain hanya demi cuan, ada pihak yang tega untuk menghancurkan.
Jika dianalisis secara mendalam, oknum-oknum polisi yang melakukan pelanggaran hukum, tidak memahami fungsinya dengan baik sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Individu yang cinta dunia, rakus terhadap materi. Seseorang yang berkuasa atau jabatan memiliki peluang untuk menyalahgunakan amanah. Jabatan apa pun jika dipahami sebagai amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah kelak, maka seorang polisi akan menjalankan fungsinya sebaik mungkin.
Indonesia membutuhkan polisi-polisi pelayan masyarakat yang memiliki pandangan yang shahih dan menyeluruh terhadap kehidupan, yang memiliki keimanan yang kokoh, berakhlakul karimah, pro terhadap kebenaran dan kebaikan. Indonesia tidak membutuhkan polisi-polisi yang menjadi alat untuk merusak atau pemecah belah bangsa, memata-matai, mempersekusi dan menangkapi ulama, berkonspirasi menyabotase semua aktivitas dakwah yang menyeru kepada islam, yang notabene, dakwah memiliki tujuan untuk memperbaiki kondisi umat saat ini yang sedang sakit, dan sistem hidup yang carut marut.
Rusaknya individu pada saat ini sebenarnya tak lepas dari diterapkannya sistem sekularisme yang memang tak menjadikan agama sebagai standar kehidupan. Sistem ini hanya akan menghasilkan individu-individu yang rusak baik secara keimanan, pemahaman, pola pikir bahkan pada pola sikapnya. Jika individu-individu rusak ini menguasai jabatan-jabatan dalam kepengurusan urusan umat, bisa dipastikan aturan yang dibuat dan dipakai hanya akan merusak. Jika individu-individu rusak ini tetap dipelihara oleh instansi, maka akan mencoreng nama instansi, merusak tatanan, dan merugikan masyarakat.
Apakah tak sebaiknya kita buang sekularisme ke dalam tong sampah? Agar Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas baik, beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai pemilik bumi. Mulai menasihati para pemegang amanah kekuasaan untuk kembali kepada Allah. Menyeru manusia agar kembali ke jalan yang Allah ridai.
Oleh: Hayyin
Sahabat Tinta Media