Tinta Media: Tapal Batas
Tampilkan postingan dengan label Tapal Batas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tapal Batas. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juni 2022

Mentalitas Seperti Apa yang Diharapkan pada Manusia di Tapal Batas?


Tinta Media - Direktur Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara menyatakan, secara mentalitas, kualitas manusia di tapal batas yang diharapkan oleh Islam adalah orang-orang dengan mental superior.

“Secara mentalitas, berbicara kualitas manusia seperti apa yang diharapkan oleh Islam ketika berada di tapal batas adalah orang-orang dengan mental superior,” tuturnya dalam Live Kajian Online Rubrik Muslimah Negarawan: Membangun Manusia di Tapal Batas (Mengenalkan Khazanah Islam Soal Perbatasan), Senin (13/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Hal ini ia kaitkan dengan yang disampaikan dalam QS. Al-Anfal ayat ke 60. Secara maknawi bahwa manusia-manusia yang berada di tapal batas itu adalah manusia superior. “Yaitu manusia-manusia yang bisa sampai pada level menakuti, menggetarkan,” ujarnya.

Kesadaran mental superior ini penting sekali untuk hidup di tapal batas atau perbatasan. “Jangan sampai kita seperti hidup dalam katak dalam tempurung, sementara musuh-musuh Islam memilik mata elang,” ucapnya.

“Kita harus punya standar mata elang di perbatasan yang dikaitkan dengan para penjaga tanah ribath. Ribath didefinisikan sebagai aktivitas untuk menguatkan agama dan kaum muslimin. Ribath sebagai aktivitas tinggal di tapal batas,” ungkapnya.

Terjajah Konsumerisme

Ia mengkritisi kesadaran ruang ini telah hilang di tapal batas. Standar mata elang ini kemudian hilang dan kaum muslimin telah terjajah oleh konsumerisme. Dan akhirnya dilumpuhkan secara tidak langsung. “Sementara kita secara manusia itu telah terjajah oleh konsumerisme. Sekedar menjadi konsumen, tenaga kerja, dan terkooptasi dengan iklim industrialisasi, sekularisasi, materialisasi sebuah peradaban bahkan kita akhirnya seperti dilumpuhkan secara tidak langsung, standar ini kemudian hilang,” kritiknya.

Ia memaparkan dalam banyak literatur, salah satu yang dikutipnya bahwa Islam itu menuntut masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan itu agar hidup sesuai dengan karakteristik iman tertentu.

“Menurut Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani mengatakan dalam bukunya, Islam itu menuntut masyarakat yang tinggal di perbatasan itu agar hidup sesuai dengan karakteristik iman tertentu,” katanya.

“Jika mereka menyimpang dari arahan karakteristik itu maka Allah akan menghancurkannya dengan mengirimkan manusia yang lebih kuat sehingga bergerak bebas di sekitar rumah-rumah mereka dan meluluhlantakkan sebuah sarana dan aktivitas duniawi yang selama ini membuat mereka lalai dari salahnya,” paparnya.

Ia melihat fenomena ini terjadi di Batam. Batam berbatasan langsung dengan Singapura, bukan negeri muslim. Di mana  para penduduknya terlena dengan arus kehidupan industrialisasi duniawi.
“Orang-orang Singapura pergi ke Batam karena mereka spending money, dapat fasilitas kemewahan lebih banyak dibanding di Singapura,” ucapnya.

Paradigma Perbatasan

Ia menjelaskan bagi Barat kedaulatan teritorial adalah harga mati dan menjadi fondasi bernegara. Maka ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap perbatasan yang harus fix, kaku, dan baku.
“Inilah kenapa di era modern sekuler sekarang ilmu perbatasan menjadi berkembang pesat karena ada banyak masalah timbul soal garis demarkasi, delimitasi, dan batas maritim,” jelasnya.

Sementara Islam, menurutnya, tidak menetapkan kedaulatan pada teritorialitas sebuah negara melainkan pada penerapan hukum-hukum Allah dan jaminan keamanan sebuah negara.

“Walhasil pembahasan teritorial menjadi sangat dinamis dan fleksibel bahkan dikatakan bahwa darah syuhada lah yang menentukan batas-batas negara,” tuturnya.

“Kewilayahan tidak menjadi patokan tapi lebih bertumpu kepada sumbu dakwah dan syiar Islam yang menerapkan otoritas hukum-hukum Allah dan menjamin keamanan sebuah negeri,” lanjutnya.

Ia mengungkapkan, saat ini batas tapal atau perbatasan mengacu pada paradigma Barat. Batas teritorial harus fix, kaku, dan baku. Ia melihat Batam, Bintan, dan Natuna yang merupakan wilayah tapal batas inkonsisten terhadap batas teritorial ini.

“Katanya perbatasan harus fix tapi mereka orang-orang Singapura bebas bergerak ke tanah muslim bahkan menginvestasikan tanah, memiliki tanah properti, dan mereka bisa melakukan apa pun yang mereka suka,” ungkapnya.

Ironisnya masyarakat Batam yang sudah terindustrialisasi dengan perdagangan bebas tersebut terimbas dengan arus konsumerisme. “Justru Batam jadi semacam kabupaten Singapura. Semacam mata rantai perdagangan yang menerima barang-barang bekas branded atau preloved di Singapura, masyarakat yang sangat memuja brand-brand terkenal, rela membeli barang bekas dengan harga murah. Ini sebenarnya ironis,” bebernya.

Melihat fenomena berikutnya, ia menuturkan di Bintan sendiri banyak kepemilikan tanah atau lahan oleh perusahaan-perusahaan asing. Karena alamnya masih relatif lebih luas sehingga dalam konteks industri lebih ke hulu. “Banyak daerah yang dikelilingi untuk kepentingan perusahaan-perusahaan asing. Itu masih terjadi di Bintan,” tuturnya.

Dibandingkan Batam yang sudah terindustrialisasi, banyak terasa pengaruhnya pada produk-produk jadi, industri jasa, pembangunan resort, dan pusat-pusat hiburan. “Tipikal penduduk di Batam hampir 80 persen pendatang. Jadi acuh tak acuh. Profil masyarakatnya sudah sangat hyper industrialize sehingga mempengaruhi kepekaan. Berbeda dengan Bintan masih banyak penduduk asli,” ungkapnya.

“Diperlukan kerja keras para Dai dan Daiyah di tapal batas untuk kembali mengaktifkan penduduk di Batam yang memang relatif banyak pendatang tapi bukan berarti mereka tidak bisa dibentuk kepekaannya terhadap kemaksiatan, kezaliman, dan bagaimana membentuk mental penjaga tapal batas,” urainya.

Natuna merupakan wilayah yang tidak langsung berhadapan dengan Singapura. Natuna berhadapan dengan Laut Cina Selatan yang lotus geopolitiknya penuh gejolak luar biasa. “Luar biasa dalam 5 tahun atau bahkan 10 tahun terakhir seiring menguatnya hegemoni China dan bicara konflik Laut Cina Selatan itu urusannya China, Amerika, dan negara-negara sekutu. Kita bukan negara klaim state. Masalahnya ada tanah perbatasan laut yang memang beririsan yang diklaim oleh China,” tuturnya.

Menurutnya, kalau berbicara pembangunan manusia di tapal batas atau daerah perbatasan hari ini tantangannya luar biasa.

“Kalau sudah bicara perbatasan. Itu masalah sensitif bagi Islam, bagi kaum muslimin. Bagaimana pun itu harus menjadi concern kita membangun manusia di tapal batas,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab