Tinta Media: Tambang
Tampilkan postingan dengan label Tambang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tambang. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Juni 2024

Izin Kelola Tambang bagi Ormas, Gak Bahaya, Ta?

Tinta Media - Penguasa negeri ini sering kali membuat kebijakan baru yang kontroversial. Salah satu kebijakan tersebut adalah pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

PP No.25 tahun 2024 tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024 dan berlaku efektif pada tanggal diundangkan, juga 30 Mei 2024.

Adapun WIUPK yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). (CNBC Indonesia, 31/05/24)

Kebijakan Tidak Tepat akan Merugikan Rakyat

Kebijakan pemberian izin pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan merupakan kebijakan yang tidak tepat. Bahkan, hal tersebut cukup berbahaya. Sebab, ormas memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak sama dengan perusahaan tambang. Hal ini jelas akan mengakibatkan terjadi disorientasi dan disfungsi kelembagaan.

Jika dilihat dari UU ormas, salah satu fungsinya adalah berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban sosial, dan mewujudkan tujuan negara, walaupun tujuan lainnya adalah menyalurkan aspirasi anggotanya untuk kesejahteraan anggota-anggotanya.

Sebagian ormas atau mungkin seluruhnya tidaklah punya kemampuan dan pengalaman dalam mengelola tambang. Hal ini berpotensi bagi ormas untuk meminta bantuan pihak lain dalam pengelolaan tambang tersebut. Entah pihak lain tersebut sebagai investor ataukah sebagai pengelola. Keberadaan pihak lain tersebut jelas membuka peluang baginya untuk menguasai tambang baik langsung maupun tidak langsung. Sebab, pihak lain tersebut pasti mengajukan syarat yang kemungkinan besar akan merugikan ormas dan rakyat demi kepentingan mereka sendiri.

Selain itu perlu diingat, bahwa tidak seluruh rakyat bernaung di bawah satu ormas yang sama, maka bisa dipastikan keuntungan dari pengelolaan tambang hanya akan dinikmati oleh segelintir orang yang menjadi anggota atau pendukung ormas tersebut. Padahal, tambang merupakan Sumber Daya Alam (SDA) milik umum dan menguasai hajat hidup orang banyak. Seharusnya, keuntungan pengelolaan tambang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat agar kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Tak hanya itu, bahaya lain jika ormas mengelola tambang yakni akan mengubah arah perjuangan ormas yang seharusnya melakukan aktivitas pemberian edukasi, pembinaan, pencerdasan umat, dan koreksi pada penguasa kepada aktivitas lain. Sebab, ormas akan tersibukkan untuk mengurusi pengelolaan tambang yang diberikan padanya.

Pengelolaan Tambang dan Peran Ormas Sesuai  Islam

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan umum dalam bernegara. Salah satu aturan tersebut adalah terkait pengelolaan tambang. Dalam Islam, tambang merupakan harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara semata-mata demi memenuhi kebutuhan agar terwujud kesejahteraan rakyat sampai tataran individu. Oleh karena itu, Islam mengharamkan tambang dikuasai dan dikelola oleh individu, perusahaan swasta, ormas, apalagi asing.

Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bahwa  kaum muslimin berserikat (dalam hal kepemilikan) pada tiga hal: yaitu air, tanah, dan api.

Selain itu, ormas sudah memiliki tugas tersendiri. Dalam Islam, ormas merupakan representasi dari jamaah dakwah. Tugasnya ada tiga, yakni:

1. Mengajak pada kebaikan, yakni Islam.

2. Menyuruh pada yang makruf dan mencegah kemungkaran.

3. Muhasabah pada penguasa jika melanggar syariat Islam dan berhukum pada hukum kufur, mencegah penguasa menzalimi rakyat, menasihati jika penguasa mengabaikan urusan dan hak-hak rakyat.

Tak hanya itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam juga bersabda yang menyatakan bahwa jika sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka akan datang kehancuran seperti kiamat. Dari sini seharusnya pemimpin muslim memahami, bahwa setiap urusan baik itu kepemimpinan maupun pengelolaan harta umum, haruslah diserahkan kepada yang berkompeten jika tidak ingin datang kehancuran. Wallahu a'lam.

Oleh: Wida Nusaibah, Pemerhati Kebijakan Publik

Kamis, 20 Juni 2024

Perpanjangan Freeport, Kebijakan Prokapitalis?

Tinta Media - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No.25 tahun 2024 tentang perubahan atas peraturan pemerintah (PP) Nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Jakarta, 31/05/2024).

Melalui aturan tersebut, Jokowi resmi memberikan perpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada PT  Freeport Indonesia sampai dengan masa umur cadangan tambahan perusahaan. Namun demikian, Freeport harus memberikan saham 10% lagi kepada pemerintah Indonesia, sehingga kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia menjadi 60% dari saat ini 51%.

Ketentuan perpanjangan IUPK Freeport termuat pada pasal 195A dan pasal 195B dalam PP yang telah ditandatangani oleh presiden Joko Widodo, ditetapkan dan berlaku efektif pada 30 Mei 2024 tersebut.

Akar Masalah

Sekalipun dari data terlihat adanya kenaikan saham, sejujurnya hal ini tetap merugikan Indonesia dan rakyat. Sebab, Indonesia adalah pemilik sumber daya alam. Alasannya, secara fakta kemiskinan masih menjadi problem utama  di negeri ini. Kemudian disusul oleh  problem pendidikan, kesehatan yang begitu diskriminatif, dan masalah kesejahteraan lainya. Padahal secara logika, jika suatu negara memiliki sumber daya alam melimpah, tentu penduduk yang tinggal di dalamnya sejahtera.

Tak hanya problem sosial, pengelolaan tambang saat ini membawa dampak buruk bagi lingkungan, seperti hilangnya vegetasi hutan, polusi tanah, udara, maupun air dan sebagainya.

Hidup manusia, khususnya masyarakat sekitar tambang semakin sengsara, tidak ada kebaikan dari hasil tambang. Hal ini karena pengeluaran harta tersebut diatur dengan menggunakan prinsip pembebasan kepemilikan.

Prinsip ini membuat para pemilik perusahaan biasa dan legal menguasai sumber daya alam yang notabene merupakan harta milik rakyat. Inilah prinsip zalim yang lahir dari sistem batil bernama ekonomi kapitalisme sehingga wajar kebiasaan penguasa memudahkan para kapital untuk memperpanjang, bahkan membuat kontrak baru.

Islam Solusinya

Ini sangat berbeda dengan pengelolaan tambang dalam sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini terlihat dari konsep kepemilikan.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzham Iqthisadi menjelaskan bahwa syariat membagi harta kekayaan di muka bumi menjadi 3 golongan, yaitu harta kepemilikan individu, harta kepemilikan negara, harta kepemilikan umum.

Harta kepemilikan individu adalah semua harta yang boleh dimiliki dan dimanfaatkan oleh individu, seperti harta wakaf warisan ladang pribadi dan sejenisnya.

Sementara, harta kepemilikan negara adalah semua harta yang dimiliki atas nama negara, misalnya jizyah, kharaj, fa’i’, ghanimah Ihyaul mawat dan lainya.

Sedangkan harta kepemilikan umum adalah semua harta serikat yang tidak boleh dimonopoli oleh individu. Contohnya, sumber daya alam dengan konsep kepemilikan.

Masyarakat akan mendapat keadilan dengan pembagian harta kepemilikan seperti ini.

Dalam Islam, SDA termasuk harta milik umum yang haram dikuasai oleh perusahaan swasta. Rasulullah saw. bersabda “Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam 3 perkara, yaitu air, padang rumput, dan api. Harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).

Apabila syariat ini dilanggar, maka akan terjadi monopoli harta rakyat sehingga muncul berbagai kemiskinan dan kebodohan seperti sekarang. Oleh karna itu, pengelolaan sumber daya alam dalam Islam diberikan kepada negara dan hasilnya dimanfaatkan untuk rakyat.

Negara pun bertanggung jawab, mulai dari eksplorasi hingga menjadi barang yang siap dimanfaatkan oleh rakyat. Bisa dibayangkan jika sumber daya alam dikuasai oleh negara sesuai dengan syariat Islam. Maka, sangat kecil kemungkinan rakyat Indonesia, khususnya Papua hidup dalam kemiskinan. Dari tambang emas saja kekayaan tersebut bisa memberi fasilitas hidup yang ma’ruf kepada rakyat.

Pengelolaan tambang oleh negara akan membuka lapangan pekerjaan sehingga para laki-laki bisa memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan sandang pangan, dan papan. Tak hanya itu, hasil tambang tersebut juga bisa menjamin pemenuhan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi rakyat.

Dengan demikian, hanya dengan sistem Islam kaffah solusi terbaik yang mampu menyejahterakan rakyat karena aturan Islam berasal dari sang pencipta Allah Swt. Wallahu ’alam bishawwab.

Oleh: Nadiva Fifinah Mutmainah, Generasi Peduli Islam

Kamis, 13 Juni 2024

Ormas Keagamaan Kelola Tambang, Negara Ciptakan Kekisruhan



Tinta Media - Keinginan pemerintah untuk merangkul semua kalangan terus dilakukan. Yang terbaru melalui PP 25/2024 tentang wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), pemerintah memberikan izin ormas keagamaan untuk mengelola tambang. (CNN Indonesia, 7/6/2024)

Ini jelas sangat tidak tepat dan negara ciptakan kekisruhan. Maka, layak kita mempertanyakan, apakah pemberian izin kepada ormas ini memang kebijakan yang tepat? Pertanyaan lain, apakah negara telah mempersiapkan solusi jika terjadi konflik horizontal? 

Seperti diketahui bahwa tambang yang diberikan kepada ormas tersebut merupakan tambang bekas PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy. Tbk, PT Multi Harapan Utama, dan PT Kideco Jaya Agung. 

Tentu banyak yang harus disiapkan dan dihadapi, misalnya sumber daya manusia yang mengelola tambang dan bagaimana ekologi tambang itu sebelum dikelola. Selain itu, disinyalir telah terjadi konflik antara penduduk tempatan dengan perusahaan tambang.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin. Ia menambahkan bahwa lagi langkah tersebut seperti upaya pemerintah untuk membenturkan antara masyarakat korban tambang dengan ormas keagamaan.(TribunMakassar.com).

Konflik lingkungan yang kerap mengorban petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan yang berseteru dengan perusahaan, baik swasta maupun asing.

Selain itu, dengan pemberian izin ini, akan semakin besar kemungkinan bertambahnya  kasus korupsi di negeri ini karena panjangnya birokrasi yang dilewati dan adanya kepentingan. 

No Free Lunch

Mereka yang mendukung pemerintah dengan kebijakan yang ditetapkan selama ini akan mendapatkan reward seperti jabatan tertentu atau reward yang lainnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa "no free lunch" atas rewards yang diberikan. Mereka harus tetap mendukung pemerintah, dan pasti ini akan membuat lidah kelu untuk mengkritik atau pun melakukan amar makruf nahi mungkar.

Apalagi, saat ini begitu kentara, bagi yang berseberangan dengan pemerintah atau menjadi oposisi mereka akan dipersekusi dan dikriminalisasi.

Terkait pemberian pengelolaan tambang ini, jelas ini merupakan kompensasi atas dukungan mereka terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, rezim telah menancapkan taringnya agar keberlangsungan kepemimpinan tetap terjaga.

Dengan merangkul ormas keagamaan, tiada lagi yang mempermasalahkan setiap kebijakannya.

Kepemilikan Tambang dalam Islam

Dalam konteks tambang ini, ketentuan dalam Islam sangat jelas dan terang. Ini bisa kita pahami sebagaimana sabda Rasulullah,

"Kaum muslimin berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara, padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Jadi, tambang apa pun, dengan jumlah yang berlimpah atau yang menguasai hajat hidup orang banyak merupakan harta milik rakyat secara umum (milkiyah 'ammah) dan harus dikelola oleh negara, tidak yang lain. 

Berdasarkan hadis Nabi saw. yang diucapkan oleh Abyadh bin Hammal ra., Rasulullah bersabda, 

"Sungguh Abyadh pernah menemui Rasulullah saw. Dia lalu meminta kepada Nabi saw. atas tambang garam. Nabi saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang sahabat yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir.” Rasulullah saw lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Dari hadist di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah sebagai kepala negara menarik apa yang telah diberikan. Sebab, tambang garam yang diberikan sangat banyak. Tentunya tambang garam itu bisa memenuhi hajat orang banyak.

Ketika kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah hari ini, tentu kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan hadis Nabi saw. di atas. Kebijakan yang bertentangan dengan syariat akan menimbulkan persoalan-persoalan baru. Hal itu karena kebijakan tersebut tidak disandarkan kepada syariat Islam.

Untuk itu, penting kiranya umat Islam dan juga pemimpin negeri ini menerapkan syariat Islam secara kaffah. Penerapan syariat Islam akan membawa keberkahan kepada negeri. Namun, jika tetap memakai kapitalisme yang jelas berasal dari pemikiran manusia, pastinya kesulitan-kesulitan terus mendera kita.

Sebagaimana firman-Nya, 

"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (QS al-Baqarah [2]: 208)


Oleh: Muhammad Nur
Jurnalis

Sabtu, 14 Oktober 2023

Seribu Topeng di Balik Manisnya Tambang Papua

Tinta Media - Dalam keadaan terjepit dan serba sempit, siapa yang tidak suka mendapat bantuan dan perhatian khusus dari orang lain? Namun, jika bantuan yang tidak seberapa itu diberikan karena orang tersebut sedang mengeruk harta karun kita yang tak ternilai jumlahnya, masihkah kita bersuka cita menyambut uluran tangannya?

Kondisi tersebut nampaknya cukup menggambarkan apa yang sedang terjadi di Papua. Sebagaimana yang kita ketahui, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah beroperasi di Papua lebih dari 50 tahun. Selama itu pula, PT Freeport Indonesia dianggap telah berkontribusi secara nyata dalam mendorong perkembangan dan kesejahteraan masyarakat Papua yang tinggal di area operasional.

Beberapa hal yang pernah dilakukan oleh PT Freeport Indonesia antara lain: membangun dua jembatan gantung di Kecamatan Hoya, ikut menanam 1000 pohon dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Sedunia, membantu perbaikan akses jalan, tanggul, dan parit yang menghubungkan Desa Tagabukarat dengan Desa Tagabera saat terjadi longsor, melakukan renovasi total Mimika Sport Complex (MSC) dalam upaya mendukung kesuksesan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 di Mimika, mendatangkan 11.000 dosis vaksin Sinopharm sebagai tahap pertama untuk memvaksinasi ribuan karyawan dan keluarga di Mimika. 

Yang terbaru adalah diserahkannya dua totem Kamoro dari tanah Papua oleh PT Freeport sebagai bentuk partisipasi dan dukungan atas pembangunan “Taman Totem Dunia” pada program “Penataan Kawasan Waterfront City Pangururan” di Kecamatan Pangururan, Samosir, Sumatera Utara. 

Bisa jadi, masih banyak peran PT Freeport di Papua. Namun, jika kita berpikir secara jernih, sebanyak apa pun bantuan yang diberikan oleh PT Freeport, nyatanya tidak sebanding dengan kekayaan alam di tanah Papua yang sedang mereka keruk. 

Jika kita merujuk pada data 2018, Freeport telah memproduksi 6.065 ton pasir olahan dari batuan tambang (ore) yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Cadangan ini tidak akan pernah habis sampai kontrak Freeport berakhir di 2041. Bahkan, jika Freeport memperpanjang kontrak hingga 2052, masih ditemukan cadangan tembaga dan emas sekitar 2 miliar ton di bawahnya. Angka yang mereka dapat per-tahun antara 40 hingga 100 Triliun atau lebih. Jika kontrak berlangsung selama 20 tahun, maka mereka bisa mendapatkan sekitar 2000 T.  

Dengan mengkaji fakta tersebut, harusnya rakyat tidak mudah terkecoh. Dibandingkan dengan kekayaan yang sudah dikeruk, tentu saja kebaikan-kebaikan kecil yang sudah dilakukan oleh Freeport untuk rakyat Papua tersebut tidak ada apa-apanya. Kebaikan yang tidak seberapa itu ibarat topeng-topeng yang menyembunyikan keburukan dan keserakahan Freeport yang sesungguhnya terhadap Indonesia, khususnya rakyat Papua. 

Sejatinya, kekayaan Indonesia yang dijarah Freeport jauh lebih besar, apalagi aktivitas tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Bisa dibayangkan, jika kekayaan sebesar itu dikelola oleh pemerintah sendiri, maka hasilnya tidak hanya mampu menyejahterakan rakyat Papua, tetapi juga seluruh rakyat Indionesia. 

Karena itu, umat harus menyadari bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh PT Freeport sesungguhnya adalah bentuk pengkhianatan negara atas rakyat. Mengapa demikian? Jika merujuk pada pandangan Islam, sumber daya alam, termasuk barang tambang yang hasilnya melimpah dan tidak terbatas seperti yang ada di Papua tersebut adalah harta milik rakyat secara umum, bukan milik negara. 

Sebagai harta kekayaan milik umum, negara tidak memiliki hak untuk menyerahkan penguasaan atau pengelolaannya kepada swasta, apalagi swasta asing. Harusnya negaralah yang mengelolanya untuk kemudian dikembalikan lagi pada rakyat. 

Faktanya, penguasa dan pemilik modal saat ini telah berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa memikirkan bagaimana dampak keputusan mereka bagi bangsa dan negara ini di masa depan. Inilah buah dari demokrasi kapitalisme yang melahirkan penguasa berwatak culas dan abai terhadap kepentingan rakyat. 

Sesuai dengan sifat dasarnya, kapitalisme cenderung memihak pada para kapitalis atau pemilik modal. Pada sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai pemelihara urusan rakyat, tetapi hanya sebagai regulator atau fasilitator yang mengakomodir kepentingan para kapitalis. Itu sebabnya, kebijakannya jauh dari memihak kepentingan rakyat.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan tambang dan kekayaan alam yang lainnya dari cengkeraman swasta, terutama swasta asing, maka kita harus mengubah sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini menjadi sitem Islam. Di samping karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam, juga karena hanya inilah satu-satunya sistem yang layak dan sudah pernah terbukti keberhasilannya selama 1300 tahun.

Dalam Islam, sistem ekonomi harus dijalankan sesuai dengan aturan Islam, yaitu dengan memberikan kuasa dan tanggung jawab pada negara untuk mengelola secara penuh sumber daya alam yang masuk dalam kategori milik umum ini, kemudian hasilnya digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat.

Sebab, selama yang dijalankan di negeri ini adalah sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip liberalisasi dan swastanisasi, maka tambang dan kekayaan alam lain yang seharusnya menjadi milik rakyat tidak akan bisa dinikmati oleh rakyat, tetapi oleh para kapitalis, baik swasta maupun asing.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, maka negara akan lebih mudah untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat. Hal ini karena di dalam Islam terdapat banyak sumber pendapatan negara seperti, ghanimah, fa'i, jizyah, zakat, SDA yang tidak terbatas yang dikelola oleh negara. Pendapatan negara, baik dari harta milik negara ataupun milik umum ini akan disimpan di dalam Baitu Mal sebagai kas negara dan akan dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat.

Selain itu, penerapan Islam secara keseluruhan akan mengantarkan negeri ini pada keberkahan, sehingga rakyat senantiasa semakin sejahtera.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al A'raf ayat 96:

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Oleh: Ida Royanti
Founder Komunitas Aktif Menulis

Sabtu, 29 Juli 2023

Inilah Alasan Pengelolaan Tambang Banyak Dikelola Asing

Tinta Media - Ekonom Dr. Arim Nasim mengungkap penyebab banyaknya tambang di negeri ini yang dikelola asing dan swasta. 

“Saya melihat adalah tidak ada political will kebijakan yang pro untuk rakyat, pro untuk negara. Kebijakan itu karena di belakangnya adalah para kapitalis,” ujarnya dalam diskusi Re Live. IKN: Kongkalikong Ekspor Nikel Ilegal Jumat (14/7/23) dikanal youtube Rayah TV.

 Ia membeberkan beberapa contoh misalnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Begitu juga pekerja-pekerja tambang atau yang mengerjakan kereta api cepat dan yang lainnya kenapa harus orang asing yang membangun atau mengelola. 

“Selalu itu merendahkan. Merendahkan tenaga kerja kita. Itu kan sebenarnya mental-mental inlander gitu kan,” tuturnya.

Padahal sebenarnya, menurut Dr. Arim, tenaga kerja dinegeri ini sangat sudah mumpuni dan sudah menguasai, Walaupun mungkin dalam beberapa hal ada yang belum. 

“Kan tinggal kita undang aja mereka, kita bayar, tidak dengan menyerahkan tambangnya ke swasta atau ke asing. Itu yang pertama,” bebernya.

Ia juga turut mengomentari terkait alasan dari sisi modal. “Memang ada sebenarnya dana itu kan, apalagi kalau kita lihat juga konsorsium bank-bank nasional misalnya pernah juga mereka sebenarnya mampu gitu kan, cuman lagi-lagi yang tidak ada itu adalah political will Ya kebijakan pemerintah yang pro terhadap rakyat,” imbuhnya.

Dr. Arim juga mengungkapkan alasannya terkait tidak adanya political will kebijakan pemerintah yang pro rakyat. 

“Kerusakan akibat eksplorasi tambang yang dilakukan oleh swasta tanpa memperhitungkan kelestarian lingkungan, tanpa memperhatikan dampak kerusakannya terhadap masyarakat,” ungkapnya.

Menurutnya, banyak hutan dan lahan yang rusak akibat tambang yang mengakibatkan banjir dan pencemaran lingkungan. 

“Siapa yang bukan menikmati hasilnya. Siapa yang kemudian merasakan? Akhirnya rakyat,” pungkasnya. [] Setiawan Dwi

Jumat, 03 Februari 2023

Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang





Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net
(30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan
penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan
Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi
karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani
setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga
poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis
dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan
suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.



Kasus
kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas
tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan
rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha
pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi
analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat
lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para
pemilik modal atau pengusaha pertambangan.



Didukung
oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun
2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela
lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal
sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan
sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama
yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau
IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.



Beberapa pasal terkait luas daerah
tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini
membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung
hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk
lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para
pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.



Jika diambil sebuah benang merah
permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal
yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap
mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal
untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para
pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana.
Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu
menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak
lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.



Sumber daya alam merupakan milik umum
atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh
pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat
banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang
murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan
diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong
pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas
meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.



Haram sumber daya alam ini diberikan
hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak
kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas
hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis
dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian
pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan
dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini
berlindung di belakang para penguasa.



Persekongkolan oligarki politik
dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia
pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat
untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri
ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan
melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan
terhentinya pembangunan.



Oleh : Hayyin

Sahabat Tinta Media 





Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang

Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net (30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.

Kasus kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para pemilik modal atau pengusaha pertambangan.

Didukung oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun 2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.

Beberapa pasal terkait luas daerah tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.

Jika diambil sebuah benang merah permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana. Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.

Sumber daya alam merupakan milik umum atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.

Haram sumber daya alam ini diberikan hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini berlindung di belakang para penguasa.

Persekongkolan oligarki politik dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan terhentinya pembangunan.

Oleh : Hayyin

Sahabat Tinta Media 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab