Jumat, 16 Agustus 2024
Jumat, 21 Juni 2024
Izin Kelola Tambang bagi Ormas, Gak Bahaya, Ta?
Tinta Media - Penguasa negeri ini sering kali membuat kebijakan baru yang kontroversial. Salah satu kebijakan tersebut adalah pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
PP No.25 tahun 2024 tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024 dan berlaku efektif pada tanggal diundangkan, juga 30 Mei 2024.
Adapun WIUPK yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). (CNBC Indonesia, 31/05/24)
Kebijakan Tidak Tepat akan Merugikan Rakyat
Kebijakan pemberian izin pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan merupakan kebijakan yang tidak tepat. Bahkan, hal tersebut cukup berbahaya. Sebab, ormas memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak sama dengan perusahaan tambang. Hal ini jelas akan mengakibatkan terjadi disorientasi dan disfungsi kelembagaan.
Jika dilihat dari UU ormas, salah satu fungsinya adalah berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban sosial, dan mewujudkan tujuan negara, walaupun tujuan lainnya adalah menyalurkan aspirasi anggotanya untuk kesejahteraan anggota-anggotanya.
Sebagian ormas atau mungkin seluruhnya tidaklah punya kemampuan dan pengalaman dalam mengelola tambang. Hal ini berpotensi bagi ormas untuk meminta bantuan pihak lain dalam pengelolaan tambang tersebut. Entah pihak lain tersebut sebagai investor ataukah sebagai pengelola. Keberadaan pihak lain tersebut jelas membuka peluang baginya untuk menguasai tambang baik langsung maupun tidak langsung. Sebab, pihak lain tersebut pasti mengajukan syarat yang kemungkinan besar akan merugikan ormas dan rakyat demi kepentingan mereka sendiri.
Selain itu perlu diingat, bahwa tidak seluruh rakyat bernaung di bawah satu ormas yang sama, maka bisa dipastikan keuntungan dari pengelolaan tambang hanya akan dinikmati oleh segelintir orang yang menjadi anggota atau pendukung ormas tersebut. Padahal, tambang merupakan Sumber Daya Alam (SDA) milik umum dan menguasai hajat hidup orang banyak. Seharusnya, keuntungan pengelolaan tambang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat agar kesejahteraan rakyat dapat terwujud.
Tak hanya itu, bahaya lain jika ormas mengelola tambang yakni akan mengubah arah perjuangan ormas yang seharusnya melakukan aktivitas pemberian edukasi, pembinaan, pencerdasan umat, dan koreksi pada penguasa kepada aktivitas lain. Sebab, ormas akan tersibukkan untuk mengurusi pengelolaan tambang yang diberikan padanya.
Pengelolaan Tambang dan Peran Ormas Sesuai Islam
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan umum dalam bernegara. Salah satu aturan tersebut adalah terkait pengelolaan tambang. Dalam Islam, tambang merupakan harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara semata-mata demi memenuhi kebutuhan agar terwujud kesejahteraan rakyat sampai tataran individu. Oleh karena itu, Islam mengharamkan tambang dikuasai dan dikelola oleh individu, perusahaan swasta, ormas, apalagi asing.
Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bahwa kaum muslimin berserikat (dalam hal kepemilikan) pada tiga hal: yaitu air, tanah, dan api.
Selain itu, ormas sudah memiliki tugas tersendiri. Dalam Islam, ormas merupakan representasi dari jamaah dakwah. Tugasnya ada tiga, yakni:
1. Mengajak pada kebaikan, yakni Islam.
2. Menyuruh pada yang makruf dan mencegah kemungkaran.
3. Muhasabah pada penguasa jika melanggar syariat Islam dan berhukum pada hukum kufur, mencegah penguasa menzalimi rakyat, menasihati jika penguasa mengabaikan urusan dan hak-hak rakyat.
Tak hanya itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam juga bersabda yang menyatakan bahwa jika sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka akan datang kehancuran seperti kiamat. Dari sini seharusnya pemimpin muslim memahami, bahwa setiap urusan baik itu kepemimpinan maupun pengelolaan harta umum, haruslah diserahkan kepada yang berkompeten jika tidak ingin datang kehancuran. Wallahu a'lam.
Oleh: Wida Nusaibah, Pemerhati Kebijakan Publik
Kamis, 20 Juni 2024
Perpanjangan Freeport, Kebijakan Prokapitalis?
Tinta Media - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No.25 tahun 2024 tentang perubahan atas peraturan pemerintah (PP) Nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Jakarta, 31/05/2024).
Melalui aturan tersebut, Jokowi resmi memberikan perpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia sampai dengan masa umur cadangan tambahan perusahaan. Namun demikian, Freeport harus memberikan saham 10% lagi kepada pemerintah Indonesia, sehingga kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia menjadi 60% dari saat ini 51%.
Ketentuan perpanjangan IUPK Freeport termuat pada pasal 195A dan pasal 195B dalam PP yang telah ditandatangani oleh presiden Joko Widodo, ditetapkan dan berlaku efektif pada 30 Mei 2024 tersebut.
Akar Masalah
Sekalipun dari data terlihat adanya kenaikan saham, sejujurnya hal ini tetap merugikan Indonesia dan rakyat. Sebab, Indonesia adalah pemilik sumber daya alam. Alasannya, secara fakta kemiskinan masih menjadi problem utama di negeri ini. Kemudian disusul oleh problem pendidikan, kesehatan yang begitu diskriminatif, dan masalah kesejahteraan lainya. Padahal secara logika, jika suatu negara memiliki sumber daya alam melimpah, tentu penduduk yang tinggal di dalamnya sejahtera.
Tak hanya problem sosial, pengelolaan tambang saat ini membawa dampak buruk bagi lingkungan, seperti hilangnya vegetasi hutan, polusi tanah, udara, maupun air dan sebagainya.
Hidup manusia, khususnya masyarakat sekitar tambang semakin sengsara, tidak ada kebaikan dari hasil tambang. Hal ini karena pengeluaran harta tersebut diatur dengan menggunakan prinsip pembebasan kepemilikan.
Prinsip ini membuat para pemilik perusahaan biasa dan legal menguasai sumber daya alam yang notabene merupakan harta milik rakyat. Inilah prinsip zalim yang lahir dari sistem batil bernama ekonomi kapitalisme sehingga wajar kebiasaan penguasa memudahkan para kapital untuk memperpanjang, bahkan membuat kontrak baru.
Islam Solusinya
Ini sangat berbeda dengan pengelolaan tambang dalam sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini terlihat dari konsep kepemilikan.
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzham Iqthisadi menjelaskan bahwa syariat membagi harta kekayaan di muka bumi menjadi 3 golongan, yaitu harta kepemilikan individu, harta kepemilikan negara, harta kepemilikan umum.
Harta kepemilikan individu adalah semua harta yang boleh dimiliki dan dimanfaatkan oleh individu, seperti harta wakaf warisan ladang pribadi dan sejenisnya.
Sementara, harta kepemilikan negara adalah semua harta yang dimiliki atas nama negara, misalnya jizyah, kharaj, fa’i’, ghanimah Ihyaul mawat dan lainya.
Sedangkan harta kepemilikan umum adalah semua harta serikat yang tidak boleh dimonopoli oleh individu. Contohnya, sumber daya alam dengan konsep kepemilikan.
Masyarakat akan mendapat keadilan dengan pembagian harta kepemilikan seperti ini.
Dalam Islam, SDA termasuk harta milik umum yang haram dikuasai oleh perusahaan swasta. Rasulullah saw. bersabda “Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam 3 perkara, yaitu air, padang rumput, dan api. Harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Apabila syariat ini dilanggar, maka akan terjadi monopoli harta rakyat sehingga muncul berbagai kemiskinan dan kebodohan seperti sekarang. Oleh karna itu, pengelolaan sumber daya alam dalam Islam diberikan kepada negara dan hasilnya dimanfaatkan untuk rakyat.
Negara pun bertanggung jawab, mulai dari eksplorasi hingga menjadi barang yang siap dimanfaatkan oleh rakyat. Bisa dibayangkan jika sumber daya alam dikuasai oleh negara sesuai dengan syariat Islam. Maka, sangat kecil kemungkinan rakyat Indonesia, khususnya Papua hidup dalam kemiskinan. Dari tambang emas saja kekayaan tersebut bisa memberi fasilitas hidup yang ma’ruf kepada rakyat.
Pengelolaan tambang oleh negara akan membuka lapangan pekerjaan sehingga para laki-laki bisa memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan sandang pangan, dan papan. Tak hanya itu, hasil tambang tersebut juga bisa menjamin pemenuhan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi rakyat.
Dengan demikian, hanya dengan sistem Islam kaffah solusi terbaik yang mampu menyejahterakan rakyat karena aturan Islam berasal dari sang pencipta Allah Swt. Wallahu ’alam bishawwab.
Oleh: Nadiva Fifinah Mutmainah, Generasi Peduli Islam
Kamis, 13 Juni 2024
Ormas Keagamaan Kelola Tambang, Negara Ciptakan Kekisruhan
Sabtu, 14 Oktober 2023
Seribu Topeng di Balik Manisnya Tambang Papua
Sabtu, 29 Juli 2023
Inilah Alasan Pengelolaan Tambang Banyak Dikelola Asing
Jumat, 03 Februari 2023
Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang
Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net
(30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan
penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan
Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi
karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani
setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga
poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis
dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan
suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.
Kasus
kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas
tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan
rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha
pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi
analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat
lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para
pemilik modal atau pengusaha pertambangan.
Didukung
oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun
2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela
lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal
sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan
sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama
yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau
IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.
Beberapa pasal terkait luas daerah
tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini
membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung
hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk
lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para
pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.
Jika diambil sebuah benang merah
permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal
yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap
mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal
untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para
pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana.
Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu
menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak
lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.
Sumber daya alam merupakan milik umum
atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh
pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat
banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang
murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan
diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong
pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas
meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.
Haram sumber daya alam ini diberikan
hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak
kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas
hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis
dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian
pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan
dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini
berlindung di belakang para penguasa.
Persekongkolan oligarki politik
dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia
pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat
untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri
ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan
melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan
terhentinya pembangunan.
Oleh : Hayyin
Sahabat Tinta Media
Persekongkolan Oligarki-Kapitalis Jadi Parasit Carut Marut Dunia Tambang
Tinta Media - Dilansir dari www.koranbanjar.net
(30/01/2023) terjadi aksi unjuk rasa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan. Para mahasiswa mengajukan
penolakan terhadap pertambangan batu bara di desa Kandangan Lama, Kecamatan
Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penolakan ini terjadi
karena dampak tambang batubara membuat jembatan vital jalur jalan usaha tani
setempat menjadi hancur. Air sungai mengalami pencemaran dan keruh. Ada tiga
poin tuntutan yang diajukan yaitu menolak aktivitas pertambangan, meminta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencabut izin analisis
dampak lingkungan perusahaan, serta meminta Menko Polhukam RI mendengarkan
suara masyarakat dalam menolak pertambangan batu bara.
Kasus
kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami masyarakat terkait aktivitas
tambang tidak sekali ini terjadi. Pertambangan yang minim visi kemaslahatan
rakyat menjadi sebuah polemik tersendiri di negeri ini. Ironisnya usaha
pertambangan ini semua memiliki izin resmi, dan mendapat persetujuan dari sisi
analisis dampak lingkungan. Sangat mudah untuk mengeruk isi bumi tanpa melihat
lagi dampak jangka pendek dan panjang, demi mendapatkan keuntungan bagi para
pemilik modal atau pengusaha pertambangan.
Didukung
oleh undang-undang Minerba yang revisinya penuh dengan kontroversi di tahun
2020. Beberapa pasal yang dianggap karet dan hilang, menjadikan lingkar pembela
lingkungan hidup dan masyarakat tak memiliki kuasa menolak secara frontal
sebuah usaha pertambangan. Bahkan pasal 162 dan 164 UU Minerba memberikan
sanksi tegas bagi pihak yang menolak pertambangan. Pasal 165 UU Minerba lama
yang berisi tentang sanksi korupsi bagi pejabat yang korupsi IUP, IPR, atau
IUPK juga menghilang, sehingga memberikan peluang yang luas untuk korupsi.
Beberapa pasal terkait luas daerah
tambang, dan perpanjangan izin tambang juga menjadi kontroversi. Hal ini
membuat banyak pihak yang menganggap UU Minerba yang dipakai sebagai payung
hukum bagi pertambangan di Indonesia, tidak memiliki visi kemaslahatan untuk
lingkungan hidup dan rakyat. Undang-undang ini lebih memihak kepentingan para
pengusaha tambang, yang notabene adalah pihak swasta.
Jika diambil sebuah benang merah
permasalahan tambang di Indonesia semata karena prinsip kapitalisme liberal
yang dianut oleh Indonesia saat ini. Prinsip ini tentu saja akan tetap
mementingkan para pemilik modal dan pengusaha. Mereka sudah mengeluarkan modal
untuk para pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan, jadi tak salah jika para
pejabat ini akan membuat regulasi yang akan menguntungkan para penyumbang dana.
Dengan prinsip ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat, selama itu
menghasilkan uang dan keuntungan, maka tak masalah bagi mereka untuk merusak
lingkungan dan menginjak-injak rakyat, dengan dalih apa pun.
Sumber daya alam merupakan milik umum
atau milik rakyat, apalagi jika dalam jumlah besar. Semua dikelola oleh
pemerintah sebagai pelayan dan pengurus urusan umat, demi kemaslahatan rakyat
banyak. Sumber daya alam ini hasilnya akan dikelola ke dalam bentuk bahan yang
murah, dalam bentuk subsidi untuk rakyat dalam pemenuhan kebutuhan primer. Bukan
diberikan peluang atau dilelang kepada pihak swasta demi memperkaya kantong
pengusaha dan pemilik modal sendiri. Ibarat makanan yang beraneka ragam di atas
meja, rakyat hanya mendapat remah-remahnya saja.
Haram sumber daya alam ini diberikan
hak kelolanya terhadap korporasi swasta/individu. Ketegasan tentang hak
kepemilikan ini tidak akan memberikan ruang bagi para oligarki untuk merampas
hak milik umum/rakyat. Pengelolaan sumber daya alam harus melalui analisis
dampak lingkungan yang memihak kepentingan rakyat. Tidak memberikan kerugian
pada rakyat, dan hasil pemanfaatannya untuk rakyat serta pemenuhan kebutuhan
dan kas negara. Bukan pemenuhan kantong para pengusaha oligarki yang selama ini
berlindung di belakang para penguasa.
Persekongkolan oligarki politik
dengan para pemilik modal inilah yang menjadi parasit carut marutnya dunia
pertambangan. Para predator oligarki ini menggunakan demokrasi sebagai alat
untuk mendapatkan pengesahan atas apa yang akan mereka lakukan di dalam negeri
ini. Ketidakdilan atas kepemilikan sumber daya alam di Indonesia akan
melahirkan konflik, kekerasan, perampasan, kemiskinan, kerusakan dan
terhentinya pembangunan.
Oleh : Hayyin
Sahabat Tinta Media