Tinta Media: Taiwan
Tampilkan postingan dengan label Taiwan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taiwan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Juli 2023

IJM: Aliansi AS-Taiwan Jadi Ancaman bagi Cina

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardana menilai aliansi Amerika dan Taiwan bisa menjadi ancaman kuat bagi Cina.

“Secara individu Taiwan tidak sekuat Cina tentunya, tetapi secara kolektif aliansi Amerika Serikat dan Taiwan bisa menjadi ancaman kuat,” ungkapnya dalam program Aspirasi: Menguak Strategi Xi Jinping di kanal Youtube Indonesia Justice Monitor pada Sabtu (8/7/2023).

Agung menilai keterlibatan aliansi global Amerika Serikat menjadi masalah terbesar bagi Cina.

“Amerika telah membangun isolasi politik di sekeliling Cina jika terjadi perang dan telah menyiapkan proxy-nya di wilayah tersebut. Walhasil terhadap Taiwan, Cina ingin bermain sangat sangat aman karena ada backing dari Amerika dan sekutunya,” jelasnya.

Oleh karenanya, Presiden Cina Xi Jinping di Kongres Umum Partai Komunis Cina menegaskan bahwa kebijakan Beijing untuk mengupayakan penyatuan kembali secara damai dengan Taiwan, tetapi tidak memutuskan penggunaan kekuatan sebagai opsi.

“Xi memperingatkan terhadap campur tangan luar atas masalah ini dan pejabat Cina lainnya telah secara eksplisit memperingatkan bahwa bertambahnya dukungan Amerika Serikat untuk pasukan kemerdekaan Taipei dapat menyebabkan perang di kemudian hari,” tuturnya.

Agung menegaskan, jika Cina ingin menyerang Taiwan, negara itu harus berhitung secara njelimet. Jika tidak, peperangan akan berlangsung lama dan akan membuat Cina berdarah-darah.

 “Bagi Cina menjadi momok menakutkan karena Amerika bisa mempersenjatai kembali Taiwan,” pungkasnya.[] Yung Eko Utomo

Kamis, 04 Mei 2023

Taiwan dan Malaysia Tarik Peredaran Indomie, IJM Desak BPOM Audit dan Investigasi

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana memandang penarikan produk mie instan Indomie oleh Pemerintah Taiwan dan Malaysia sebagai hal mendesak agar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) segera mengadakan audit dan investigasi.

“Pemerintah Taiwan dan Malaysia yang telah menarik peredaran Indomie khususnya rasa ayam spesial beralasan ada kandungan zat pemicu kanker yaitu etilen oksida. Kami mendesak BPOM untuk segera mengadakan audit dan investigasi,” tuturnya dalam rubrik Aspirasi : Investigasi Indomie Yang Ditarik Taiwan Dan Malaysia di kanal youtube Justice Monitor, Jumat (28/4/2023).

Pemerintah, menurut Agung, harus memberikan perlindungan yang lebih tinggi dan optimal pada konsumen dan masyarakat. Selain itu, sebaiknya BPOM juga meningkatkan standar yang ada yaitu zero etilen oksida. 

“Regulasi teknis yang sudah ada tentang mitigasi resiko kesehatan etilen oksida harus direvisi atau diupgrade. Kebijakan pemerintah Taiwan dan juga Malaysia seharusnya bisa menjadi contoh dan pelajaran bagi Indonesia,” ucapnya.

Ia mengungkap Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi mie instan tertinggi kedua di dunia setelah Tiongkok. 

“Namun perlu diingat banyak praktisi kesehatan yang mengonsumsi mie instan yang terlalu sering atau rutin dapat menyebabkan kerusakan Hati. Selain etilen oksida, ada kandungan lain yaitu propilen glikol yang merusak dan mengganggu kerja hati dan ginjal sebagai organ vital dalam tubuh kita,” bebernya. 

Ia menandaskan, Pemerintah seharusnya paling bertanggung jawab dalam menjaga ketahanan pangan sekaligus mewujudkan politik pangan yang sehat bagi seluruh rakyatnya. 

"Apa yang terjadi pada Indomie yang diminta dihentikan peredarannya terutama untuk rasa ayam spesial dari Taiwan dan juga dari Malaysia, ini menjadi pelajaran penting buat kita semua," ujarnya. 

Agung menilai, harus dipastikan betul untuk meningkatkan upgrade dan peraturan, yaitu sampai ke zero etilen oksida. "Politik ketahanan pangan dan politik makanan sehat ada di tangan pemerintah,” pungkasnya.[] Erlina

Minggu, 14 Agustus 2022

TAIWAN TUMBAL AS UNTUK HADAPI CHINA?

Tinta Media - Meski kunjungan resmi ketua House of Representative Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi di Taiwan telah berakhir, militer China masih melanjutkan latihan di laut dan udara sekitar Taiwan. Pada Senin (8/8/2022) Komando Teater Timur China mengatakan, akan menggelar latihan gabungan yang fokus pada operasi anti-kapal selam dan serangan laut.

Pengumuman ini mengkonfirmasi kekhawatiran pengamat keamanan dan diplomat bahwa Beijing akan melanjutkan tekanannya pada pertahanan Taiwan. Kunjungan Pelosi membuat China yang mengklaim Taiwan bagian dari wilayahnya menjadi geram.

Beijing sempat merespons kunjungan Pelosi dengan meluncurkan rudal balistik di Taiwan untuk pertama kalinya. China juga memutuskan sejumlah saluran dialog dengan Washington.

Kementerian Pertahanan Taiwan mendeteksi 66 pesawat Angkatan Udara dan 14 kapal Angkatan Laut China. Sebelumnya dilaporkan stasiun televisi pemerintah China mengatakan mulai saat ini militer China akan menggelar latihan "rutin" di bagian timur garis tengah Selat Taiwan. Laporan itu mengutip seorang komentator.

AS dan juga media-media Barat turut mewarnai framing media global dengan terus mem-blow up narasi-narasi invasi China yang akan datang ke Taiwan. Narasi ini juga digunakan untuk membenarkan penjualan senjata AS kepada militer Taiwan termasuk kesepakatan senjata baru-baru ini senilai beberapa miliar dolar AS.

Hal ini sebagaimana dimuat dalam Business Insider dalam artikelnya berjudul, “Invasi China ke Taiwan tidak akan mudah, dan 400 rudal anti-kapal yang direncanakan AS untuk dijual ke Taiwan akan membuatnya semakin sulit.”

Kurang dari seminggu setelah resmi menjual senjata senilai $ 1,8 miliar ke Taiwan, Departemen Luar Negeri AS memberikan laporan kepada Kongres tentang kemungkinan Penjualan Militer Asing ke Taiwan sebesar $ 2,4 miliar yang mencakup ratusan rudal dan peluncur anti-kapal Harpoon.

Penjualan besar tersebut, jika disetujui oleh Kongres, akan memberi Taiwan 100 Harpoon Coastal Defense Systems (HCDS) dan 400 RGM-84L-4 Harpoon Block II Surface-Launched Missiles, senjata yang sangat mumpuni untuk segala cuaca yang dapat mencari dan mengambil kapal sejauh setengah jalan melintasi Selat Taiwan. Penjualan rudal tambahan tersebut nantinya akan disetujui.

Selain jaringan “soft power” AS di kawasan, Taiwan sekarang berfungsi sebagai pangkalannya, mengingat AS masih kekurangan sarana untuk menghadapi atau menahan pengaruh China – baik dalam hal Taiwan dan wilayah yang lebih luas.

Kebutuhan akan “invasi China” atas wilayah yang telah diakui sebagai bagian dari China oleh PBB dinilai tidak masuk akal, terutama pada level yang paling jelas secara ekonomi di mana China daratan sekarang berdiri sebagai mitra dagang dan investor terbesar Taiwan.

China Daratan telah menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Taiwan selama beberapa tahun terakhir dan telah membantu meredakan ketegangan lintas Selat.

Karena hubungan ekonomi Taiwan dengan China daratan, upaya terbaru AS untuk memperkenalkan kembali perpecahan di antara keduanya telah merugikan ekonomi Taiwan. Pemerintah yang memenuhi keinginan Washington untuk membatasi investasi daratan dan menentang keputusan Beijing mengenai wilayah China telah memutus aliran masuk ekonomi Taiwan – dan bahkan Barat yang lebih luas – tidak dapat mengkompensasinya.

Peninjauan terhadap investasi dan perdagangan asing Taiwan selama dua dekade terakhir menunjukkan tren yang jelas dan tidak dapat dihindari terkait masa depan Taiwan. Yaitu adanya tren yang ditandai dengan menyusutnya peran Barat dalam bidang ekonomi Taiwan dan digantikan oleh peningkatan tren China daratan, yang secara nyata berdampak pada Taiwan secara geopolitik.

Upaya AS untuk membangun gerakan kemerdekaan Taiwan dimaksudkan untuk dengan sengaja mengganggu tren ini – dan hal itu dilakukan bukan dengan memberi Taiwan alternatif ekonomi tetapi malah memancing wilayah itu ke dalam pertikaian politik dan bahkan militer dengan China daratan dan sekutu regionalnya. Ini dilakukan secara khusus dengan mengorbankan hubungan ekonomi Taiwan dengan keduanya.

Sama seperti Australia dan lainnya yang ditarik ke dalam kebijakan luar negeri anti-China Washington – sikap seperti itu tidak berkelanjutan. Selama ini China dapat menghindari provokasi dan konflik dan terus menawarkan manfaat kemakmuran ekonomi dan perdamaian sebagai alternatif dari strategi ketegangan Washington. Sementara gaya hegemoni Indo-Pasifik Washington terus melemah dan berdampak pada kepentingan negara-negara pendukungnya di kawasan. Hal ini tentu akan menjadi pintu masuk bagi negara-negara lain yang tertarik pada arsitektur kawasan yang lebih konstruktif.

China saat ini bukanlah ancaman langsung bagi Amerika saat ini. Tetapi Amerika tidak dapat mentolerir kebangkitan negara yang mungkin menjadi ancaman bagi China di masa depan. Oleh karena itu AS berkomitmen penuh saat ini untuk menahan kebangkitan China. Amerika, menggunakan berbagai tipudaya politik untuk menipu China agar sibuk dengan urusan internal dan regionalnya agar selaras mengikuti kebijakan Amerika.

Realitas ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.

China juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka China tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, China akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi China yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, China sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana China akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?

Secara domestik China memang diperintah oleh Komunisme, karena memang China masih dipimpin oleh sistem 1 partai. Akan tetapi China mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Di saat yang sama, China juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dimana AS berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara terus menerus. Sampai pada satu titik Cina memutuskan apa jati dirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda dan China pun tidak akan mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.

Dan kita berharap semoga dunia muslim segera bangkit dan dan akan kembali bersatu di atas sistem yang mengadopsi manhaj Nabi (Saw) yang akan menyatukan semua negeri Muslim, membebaskan wilayah pendudukannya, menerapkan syariah Islam, memulihkan cara hidup Islam dan membawa cahaya Islam ke seluruh dunia, menjadi barisan kekuatan besar, dan bergerak untuk membawa keamanan dan stabilitas ke urusan dunia dengan menghadapi, menahan dan menenangkan intrik kekuatan besar dari Amerika Serikat, Inggris, Eropa, China dan lainnya dan mengembalikan dunia ke keadaan damai dan kemakmuran serta menjadi kekuatan nomor satu dunia.

Umar Syarifudin
Pengamat Politik Internasional

Selasa, 31 Mei 2022

Pengamat Ungkap Nilai Strategis Taiwan Bagi Amerika


Tinta Media - Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana  M.Si ungkap nilai strategis  Taiwan Bagi Amerika, hingga Amerika ancam China untuk turun tangan secara militer jika China mencoba ambil Taiwan dengan paksa.

“Nilai strategis Taiwan bagi Amerika  adalah Taiwan bisa jadi rantai negara penghubung dari sekutu Amerika yang mengelilingi China dari arah Pasifik” tuturnya di Kabar Petang: AS VS China di Ambang perang?  Sabtu (28/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Budi membeberkan bahwa di sebelah utara Amerika sudah punya sekutu Jepang dan Korea. Geser ke Selatan,  Amerika punya pangkalan militer di Okinawa. “Dulu  itu punya Jepang,  tapi  pada saat Perang Dunia ll   dikuasai oleh Amerika sampai sekarang,” ungkapnya menjelaskan status pangkalan militer di Okinawa.

“Nah ke Selatannya lagi itu ada Taiwan.  Baru ke arah Selatan ada juga mantan jajahan Amerika yaitu Filipina. Walaupun Amerika sudah tidak punya pangkalan militer di sana tapi  Filipina masih menjadi sekutu kuat Amerika,” jelasnya.

 Artinya lanjut Budi,  dari arah Timur,  Cina itu dia sudah dikelilingi.  Ada batas penghalang  (barier)   ke arah Pasifik sehingga Amerika  setidaknya meminimalisir ancaman dari China ke arah  Timur.

Secara global Budi menggambarkan posisi Benua Amerika. “Benua Amerika itu sebelah timurnya sudah punya  pakta pertahanan di NATO. Sebelah Barat, meski Amerika sudah ada beberapa sekutu tapi belum diikat dalam satu kekuatan aliansi militer yang cukup kuat,” tuturnya.

“Secara historis justru Amerika itu pernah diserang dari arah Barat  ketika Perang  Dunia ll oleh Jepang. Apalagi sekarang ada kekuatan baru yang emerging  dan terus meningkat yaitu China,” tambahnya.

Akhirnya negara-negara yang menjadi buffer (penyangga)  bagi Amerika dari arah Barat itu  menjadi penting. “Makanya kenapa Amerika  mendukung penuh  keberadaan Taiwan bahkan memberikan bantuan militer. Amerika juga merespon secara reaktif terhadap upaya China untuk memanfaatkan situasi  kemungkinan menginvasi Taiwan pasca krisis ukraina yang dikhawatirkan   akan menginspirasi  China,” bebernya.

Reunifikasi

Terkait sikap China Budi menjelaskan bahwa China mengupayakan reunifikasi wilayah-wilayah yang disitu masih ada kekuatan asing. Mengambil Macao dari Portugis, Hongkong dari Inggris, berikutnya Taiwan.

“Idealisme Satu China  menjadi  harga mati  bagi China. Sehingga upaya pihak asing yang memanfaatkan Taiwan dijadikan sebagai basis  memperlemah China  tentu mendapatkan reaksi yang yang kuat dari China,” jelas Budi.

Menurutnya, secara hitungan matematis mudah bagi China untuk melakukan invasi ke Taiwan karena China jauh lebih unggul secara militer dibanding Taiwan.

Namun dalam hitungan konstelasi politik global tentu ada hitungan-hitungan lain. “Karena di balik Taiwan ada Amerika dan  sekutu  Amerika yang  siap mem-backup apapun dengan alasan kesamaan kepentingan dan ideologi  Amerika,” imbuhnya.

Ini hal yang diperhitungkan oleh China terhadap Taiwan. “Sehingga pilihan melakukan intervensi secara militer masih jauh,” prediksinya.

Terlebih peperangan di zaman modern ini sudah berubah. “Tidak sekedar melihat kekuatan personil dan alutsista tapi juga kekuatan teknologi,” jelasnya.

“Mungkin kekuatan personil dan alutsista Taiwan lemah, tapi kekuatan teknologinya luar biasa. Bahkan Taiwan menjadi salah satu pusat pembuatan chipe data di level global. Ini menjadi hitungan berikutnya bagi China. Jadi peluang  China menginvasi Taiwan sangat kecil,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.  
 

 
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab