Pesta Pora Akhir Tahun, Otakmu di Mana?
Tinta Media - Melansir dari CnnIndonesia.com, bukan hal yang tabu lagi, budaya akhir tahun identik dengan pesta pora. Ada yang quality time dengan keluarga ke tempat wisata, stay cation, dan pastinya di temani dengan pesta kembang api. Di Jakarta sendiri ada 9 titik lokasi pesta kembang api, dan di seluruh penjuru Indonesia mayoritas terlibat agenda akhir tahun ini. (31/12/2033)
Jika ditelisik jauh lebih dalam, budaya ini sudah ada sejak nenek moyang bahkan sudah turun temurun dan mendarah daging. Mereka beranggapan melewati 1 tahun penuh lika-liku sehingga ini adalah bentuk apresiasi pada diri sendiri untuk have fun. Momen yang tepat untuk melepas penat bersama orang terkasih.
Memaknai pergantian tahun dengan pesta kembang api merupakan bagian dari budaya selain Islam, pasalnya Islam tidak mengajarkan untuk foya-foya, melakukan aktivitas yang lebih mendatangkan mudharat dari pada kebaikan, dan belum pernah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Bahkan Rasulullah pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal yang berbunyi, “Man tasyabaha biqoumin fahuwa minhum” yang artinya : "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka“. Menariknya, budaya ini menggambarkan jati diri orang kafir, mengedepankan hura-hura di tengah gempuran bom terhadap Gaza.
Menuju 100 hari saudara kita di Gaza di genosida, seluruh negeri muslim menyuarakan sebatas kemanusiaan sehingga bantuan pun tidak luput dari galang donasi hingga doa bersama. Belum lagi Muslim Rohingya dengan status stateless korban genosida Junta Militer Myanmar, tetapi media menggoreng hoaks mendudukkan kesamaan mereka dengan zionis Yahudi. Ditambah problem internal seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, aborsi, pelajar mengajukan dispensasi menikah dini meningkat, dan diimbangi korupsi menjadi wabah.
Seperti itulah wajah buruk sesungguhnya sistem demokrasi dengan asas sekularisme. Ideologi ini ketika melakukan pertunjukan memakai topeng kesejahteraan dengan undang-undang buatan manusia yang mendudukkan pencipta alam semesta (Allah) di bawah mereka. Padahal akal manusia itu terbatas, dengan keegoisan mereka, UU itu melahirkan HAM, UU Ciptaker, UU Omnibus law, dan aturan lainnya dengan alih-alih memberi problem solving malah menjadikan rakyat tumbal karena keuntungan berpihak kepada pemilik modal.
Kaum muslimin semakin terpelosok ke jurang lembah kenistaan, maksiat menjadi hal lumrah dan wajar. Selama kaum muslimin masih memakai semua produk barat termasuk ideologinya, selama itu pula kaum muslimin menjadi budak oligarki karena mereka menancapkan kekuatan hegemoninya dengan penjajahan non fisik, apa itu? Ghazwul fikri atau perang pemikiran. Misalnya Kesultanan Turki Utsmani runtuh karena mengadopsi ide-ide sekuler. Seperti hadist Rasulullah bahwa umat Islam ibarat satu tubuh satu bagian, selayaknya anggota tubuh ada luka di tangan anggota lain ikut merasakan. Seperti itulah umat Islam sesungguhnya. Realita hari ini umat hidup dengan slogan "Urusin Hidup Masing-Masing."
Belajar dari sejarah, dalam perang apa pun ketika kaum muslimin itu kalah pasti pemikirannya terpecah-belah. Padahal setiap kemenangan jihad, kaum muslimin kalah jumlah pasukan perang, seakan-akan mustahil jika menang. Berhubung kebangkitan umat itu ada pada pemikirannya, dalam tinta sejarah ketika kaum muslimin pemikirannya masih satu padu jihad fisabilillah kemenangan itu berpihak pada kaum muslimin.
Penjajahan itu masih berlanjut hingga detik ini, sesungguhnya semua prodak barat ini hanya upaya mereka menunda kebangkitan Islam. Sudah se-effort apa kita ketika taken kontrak sama Allah mengaku beriman tetapi mendudukkan agama sebagai prasmanan. Ambil sesuka sesuai keinginan, agama harus mengikuti kepentingan bukan sebaliknya.
Penjajahan ini akan berakhir ketika menjadikan Islam sebagai satu-satunya mabda aturan kehidupan. Hampir 14 abad Islam memimpin dunia dengan 3 entitas agama di dalamnya hidup sejahtera dan Palestina bagian dari daulah Islamiyah. Ini saatnya melanjutkan kehidupan Islam dengan bingkai khilafah.
wallahu'alam bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
(Pegiat Literasi)