Tinta Media: Tafsir
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 September 2023

Guru Luthfi: Orang Mukmin yang Mengorbankan Diri untuk Menggapai Ridha Allah

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Yayasan Tapin Mandiri Guru H. Luthfi Hidayat menyatakan makna dari Surat Al-Baqarah ayat 207 bahwa ada golongan orang-orang baik (mukmin) yang mengorbankan dirinya untuk menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Mari kita renungkan makna Surat Al-Baqarah ayat 207, yakni ada di antara orang-orang baik (mukmin), mereka mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Qur’an: Orang Mukmin Yang Menukar Dirinya Untuk Menggapai Ridha Allah, di kanal Youtube Baitul Qur’an Ta’lim Center, Jumat (15/9/2023).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

     أَعُوْذُ باللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْمِ. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغاءَ مَرْضاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَؤُفٌ بِالْعِبادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”(TQS. Al Baqarah [2]: 207)

Ia mengungkapkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir tentang ayat yang mulia ini bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitahukan tentang orang-orang munafik dengan sifat-sifat yang sangat tercela maka Dia juga menyebutkan sifat-sifat orang mukmin yang sangat terpuji.
Uslub gaya bahasa seperti ini sering kali digunakan Al Quran sebagai bentuk tarhib (untuk menakuti-nakuti) dan targhib (untuk memberikan harapan kebaikan).

“Yakni penjelasan tentang orang munafik adalah merupakan bentuk tarhib dan penjelasan tentang orang-orang beriman adalah bentuk targhib. Bayiiran (berita gembira) dengan balasan orang-orang yang berbuat baik, dan nadziira (peringatan) bagi yang menyalahi perintah Allah,” ungkapnya.
Senada pula dengan penjelasan dari Imam Al Qurthubu terkaait lafazh ibtighaa yang dinashabkan karena menempati posisi sebagai maf’ul min ajlih.

“Manakala Allah menyebutkan tindakan orang-orang munafik, maka setelahnya Allah menyebutkan tindakan orang-orang yang beriman,” ucapnya.

Ia menerangkan satu pendapat (perwakilan dari Umar, Ali, dan Ibnu Abbas) diturunkannya ayat ini, tentang orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Tetapi kebanyakan ulama memahami bahwa ayat tersebut turun ditujukan bagi setiap orang yang berjuang di jalan Allah Ta’ala.

“Sebagaimana firman-Nya dalam Surat At Taubah ayat 111 bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah membelu dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual belu yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar,” jelasnya.

Guru Luthfi memaparkan makna ayat yang mulia ini dari ringkasan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dalam tafsir beliau Shafwatu Tafasir. Ini adalah manusia model kedua, yaitu orang-orang baik, yang berbuat baik. Maka setelah Allah menyebut sifat-sifat orang munafik, Allah mengikutinya dengan sifat-sifat seorang mukmin yang terpuji.

“Maknanya adalah, dan di antara manusia ada golongan orang-orang yang baik, mereka mengorbankan dirinya untuk Allah karena mencari ridha-Nya, dan senang kepada pahala-pahala-Nya. Dan tidak mencari apa-apa dari segala amalnya kecuali hanya mengharap pada Allah,” paparnya.

Kemudian ia menegaskan dan meyakinkan dengan meneruskan kalimat dari ayat yang mulia ini, artinya Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

“Rahmat Allah sangat besar kepada hamba-Nya, Dia melipatgandakan kebaikan, dan mengampuni kesalahan-kesalahan, dan tidak segera menghukum hamba-Nya yang berbuat maksiat,” tegasnya.

Terakhir, ia memanjatkan doa agar termasuk golongan orang-orang yang berkorban untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Tak ada yang kita inginkan setelah meresapi ayat ini kecuali agar kita termasuk golongan orang-orang yang mengorbankan diri untuk mencari keridhaan Allah, Aamiin Ya Robbal’alamiin,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 24 April 2023

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282

Tinta Media - Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 282 )

Sobat. Dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka manusia harus berusaha memelihara dan mengembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam. Bahkan Allah di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Harta yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh." (Riwayat Ahmad dan ath-thabrani dari 'Amr bin 'Ash).

Sobat. Yang dibenci Allah dan yang dicela oleh Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah swt dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta. Seluruh kehidupan, usaha, dan pikirannya dicurahkan untuk menumpuk harta dan memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya, sehingga dia tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar. Rasulullah saw bersabda:
"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Sobat. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang, melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.

Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi.

1. Bukti tertulis
"Bukti tertulis" hendaklah ditulis oleh seorang "juru tulis", yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah:
a. Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
b. Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. Juru tulis dalam era modern sekarang ini diwujudkan dalam bentuk notaris/pencatat akte jual beli dan utang piutang.

Sobat. Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu", adalah karena sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang, dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.

Sobat. Tugas juru tulis ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya, cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji, ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan.
Allah memperingatkan orang yang berjanji agar dia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah dia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah diucapkan. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila dia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.

Jika orang yang berjanji itu, orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak sanggup untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu.
Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya" ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.

2. Saksi

"Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

Mengenai syarat-syarat "laki-laki" bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut:

a. Saksi itu hendaklah seorang Muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan min rijalikum (dari orang laki-laki di antara kamu) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan itu dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim. Menurut sebagian ulama: beragama Islam itu bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat bukti, seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang terlibat di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.

b. Saksi itu hendaklah orang yang adil, tidak memihak sehingga tercapai tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah:
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ... (ath-thalaq/65: 2)

Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan. Alasan yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu perkara lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalah, laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan dibandingkan dengan perempuan. Pada umumnya muamalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan agak kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun agak kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkinan dia lupa, karena itu hendaklah ada perempuan yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.

Sobat.Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani: laki-laki lebih banyak mengguna-kan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu perempuan lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila dia dalam keadaan benci dan marah, dia akan gembira atau sedih karena suatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, dia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang. )

Sobat.Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Seorang saksi dalam muamalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad al-Jurjani dan keterangan-keterangan lainnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.

Sobat.Menurut Imam asy-Syafi'i: Penerimaan kesaksian seorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah saw yang menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya. Sedang menurut Abu Hanifah: penerimaan kesaksian seseorang tidak perlu disertai dengan sumpah.

Dalam ayat ini disebutkan "janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil." Maksudnya ialah:
1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
3. Hendaklah seorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi.

Diriwayatkan oleh ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang bersedia.

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah: jangan mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.

Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar, dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut "yang kecil" daripada "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan mudah perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil). Orang yang meremehkan perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil) tentu dia akan menganggap enteng perjanjian yang terkait dengan hal-hal primer (besar). Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang sekunder/remeh.

Allah menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini, ialah untuk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan dan menghilangkan keragu-raguan. Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak berdosa bila tidak ditulis. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.

Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai, namun Allah memerintahkan untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah di sini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati hati di dalam muamalah.

Selanjutnya Allah memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain.

Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu¦ (al-Baqarah/2: 237)

Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang fasik, dan tidak menaati ketentuan dari Allah.

Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri agar selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya, yaitu cara memelihara harta dan cara menggunakannya, sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang yang membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan itu.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality- Meraih Sukses Tanpa Batas

Jumat, 27 Januari 2023

Al-Baqarah 155, Guru Luthfi: Keniscayaan Ujian dalam Hidup

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H Luthfi Hidayat menyatakan makna Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 155 adalah keniscayaan kehidupan yang pasti akan menghadapi ujian, dan menyikapinya dengan sabar.

“Keniscayaan adanya ujian dari Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa melalui ujian dan cobaan. Semua kondisi ujian ini harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Inilah makna Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 155,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Keniscayaan Ujian Dalam Hidup, Jumat (20/1/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Menurutnya, ujian yang dihadapi itu tidak mesti disukai oleh manusia, hal yang serba menyenangkan juga merupakan ujian dari Allah SWT. Untuk menghadapinya harus dengan kesabaran.
“Sabar untuk senantiasa berbuat taat dan sabar untuk selalu menghindarkan kemaksiatan kepada Allah SWT,” ujarnya.

Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوفِ وَالْجُعِ وَنَقْصٍ مِنَالْأَمْوالِ وِالْأَنْفُسِ وَالْثَّمَراتِ وَبَشِّرِ الْصَّابِرٍينَ (١٥٥)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. 

Ia mengungkapkan penjelasan secara umum maksud ayat ini dari Imam Ibnu Katsir, yakni Allah SWT memberitahukan bahwa Dia akan menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. 
“Sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam Qur’an Surat Muhammad ayat 31 bahwa Allah SWT akan memberikan cobaan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan,” ungkapnya.

Sementara Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan maknanya bahwa sungguh Allah SWT akan memberikan cobaan dengan sesuatu yang remeh dari berbagai macam cobaan, seperti rasa takut dan kelaparan, kehilangan sebagian harta, kematian beberapa orang tercinta, dan musnahnya sebagian lahan perkebunan, dan buah-buahan.

Sedangkan Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa bala atau cobaan tersebut maksudnya ujiannya bisa saja terkadang baik atau bisa jadi juga buruk. Makna aslinya adalah ujian.
“Artinya, Allah akan menguji kamu agar terlihat siapa yang akan bersabar dan siapa yang akan menyimpang. Setelah itu barulah akan diberikan ganjaran untuk masing-masing reaksi,” jelasnya.

Ia pun menegaskan ada pendapat tentang hal ini, di mana manusia diuji dengan ujian tersebut agar dapat dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang datang setelahnya.
“Agar mereka (manusia setelahnya) dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertindak,” tegasnya.

Ia melanjutkan pendapat lainnya bahwa manusia diberitahukan seperti ini agar menjadi yakin terhadap apa yang menimpanya. Setelah itu hati mereka pun menjadi tenang dan tidak panik dengan apa yang apa terjadi.

“Oleh karena itu di dalam ayat ini juga terdapat sebuah dalil  pemberian pahala dari Allah SWT ketika mereka di dunia dengan menetapkan kepercayaan diri dan ketenangan hati,” lanjutnya.

Ia menerangkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir yang mengemukakan bahwa ayat mulia tersebut adalah bahwa semua hal di atas dan yang semisalnya merupakan bagian dari ujian Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. “Barang siapa bersabar, maka Dia akan memberikan pahala baginya, dan barang siapa yang berputus asa karenanya, maka Dia akan menempatkan siksaan terhadapnya,” terangnya.

Oleh karena itu, Guru Luthfi menambahkan penegasan dari Firman Allah Ta’ala: وَبَشِّرِ الْصَّابِرٍينَ
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
“Bahwa Imam Al Qurthubi menjelaskan tentang pahala kesabarannya, dan pahala ini tidak terbatas dan tidak terkira,” tegasnya.

Selanjutnya Imam Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni  menjelaskan makna dari penegasan Firman Allah Ta’ala  tersebut, yakni berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar atas musibah dan cobaan, dengan balasan surga. 

Ia mengakhirinya dengan memohon kepada Allah SWT agar menolong umat untuk bersikap sabar. [] Ageng Kartika

Jumat, 20 Januari 2023

Kiai Labib: Akad Manusia Tak Boleh Menabrak Hukum Syara'

Tinta Media - Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib menuturkan, meskipun akad yang dilakukan sesama manusia secara syar'i diperbolehkan, tapi tidak boleh menabrak ketentuan Syariat. 

"Akad yang dilakukan dengan sesama manusia secara syar'i dibolehkan, tapi tidak boleh menabrak ketentuan syari'at,," tuturnya dalam rubrik Kajian Tafsir al-Wa'ie: Nilai Kesepakatan Manusia Dibanding Hukum Syara', Rabu (11/1/2023) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Menurutnya, kalau ada kesepakatan manusia yang melanggar aturan Allah maka dilarang dan harus dibatalkan. "Yang paling penting dan wajib adalah mendahulukan akad kita dengan Allah, untuk tunduk dan ta'at kepada syariat-Nya," ujarnya.

Dalam tafsir Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 terdapat perintah untuk memenuhi akad-akad atau kesepakatan antara manusia dengan Allah, akad dengan dirinya sendiri dan akad dengan sesamanya. Ustadz Labib, panggilan akrabnya, mencontohkan akad-akad batil yang dilarang karena menabrak hukum Allah.

"Misalnya di suatu wilayah, mereka bersepakat menghilangkan penerapan hukum Allah dalam bentuk khilafah, dengan membuat negara lain yang berbentuk kerajaan atau republik. Kesepakatan utang piutang dengan membolehkan riba. Kesepakatan dalam pergaulan dengan membolehkan zina asal suka sama suka. Maka kesepakatan-kesepakatan ini batil harus dibatalkan," bebernya.

Ia mengatakan bahwa tidak ada manusia yang punya hak untuk menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. "Sekalipun seluruh manusia sepakat," pungkasnya.[] Evi

Sabtu, 14 Januari 2023

Guru Luthfi: Jadikan Sabar dan Salat sebagai Sarana Memohon Pertolongan Allah Swt.

Tinta Media - Merenungi Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 153, Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat mengajak umat Islam agar menjadikan sabar dan salat sebagai sarana memohon pertolongan Allah atas segala persoalan hidup.

“Renungan Surat Al-Baqarah ayat 153 adalah menjadikan sabar dan salat sebagai sarana memohon pertolongan Allah atas segala persoalan hidup kita,” tuturnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Memohon Pertolongan dengan Sabar dan Salat, Jumat (6/1/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا وَالصَّلٰوةِ ؕ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيۡنَ(١٥٣)                                                  

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (TQS. Al-Baqarah [2]: 153).

Ia menguraikan bahwa Imam Ibnu Katsir menerangkan keterkaitan ayat yang mulia ini dengan ayat sebelumnya.

“Setelah menyampaikan penjelasan mengenai perintah bersyukur, Allah Swt. menjelaskan makna sabar dan bimbingan untuk memohon pertolongan melalui kesabaran dan salat karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya ia mendapatkan nikmat, kemudian mensyukurinya atau ditimpa bencana kemudian bersabar atasnya,” urainya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh sebuah hadist dalam Kitab Musnab Ahmad, Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh menakjubkan perihal orang mukmin itu, Allah tidak menentukan suatu hal melainkan kebaikan baginya. Jika mendapat kebaikan ia lalu bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya”. (HR. Ahmad).

Menurutnya, Allah Swt. juga menerangkan bahwa sebaik-baik sarana yang dapat membantu dalam menjalani berbagai musibah adalah sabar dan salat. Sebagaimana dalam ayat yang mulia ini, yakni:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا وَالصَّلٰوةِ.                   

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian.

“Mintalah pertolongan dalam perkara duniamu dan akhiratmu dengan sabar dan salat, karena dengan Sabar akan memperoleh semua keutamaan dan dengan salat akan mencegah dari perbuatan keji,” bebernya berdasarkan penjelasan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni yang menerangkan makna kalimat ini dalam Tafsirnya Shafwatu Tafaasir.

Ia pun mengungkapkan hadist riwayat Ahmad dan an-Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah Saw. jika menghadapi suatu masalah maka beliau akan mengerjakan salat.

Guru Luthfi kembali menuturkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir tentang kesabaran yang terbagi menjadi dua macam, yakni:
Pertama, sabar dalam meninggalkan berbagai hal yang diharamkan dan perbuatan dosa.
“Kedua, sabar dalam berbuat ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan ini lebih besar pahalanya, karena inilah yang dimaksudkan,” tuturnya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengenai dua pintu kesabaran, yakni: sabar menjalankan hal-hal yang disukai Allah Swt. meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga. Dan kedua bersabar dalam menghindari hal-hal yang dibenci Allah Swt., meskipun sangat diinginkan oleh hawa nafsu.
“Jika seseorang telah melakukan hal itu, maka ia benar-benar termasuk orang-orang yang sabar, yang insya Allah akan memperoleh keselamatan,” ujarnya.

Imam Ibnu Katsir memperkuat pemahaman dari kalimat di atas dengan firman Allah Ta’ala dalam Surat Az-Zumar ayat ke 10 bahwa sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah, yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Ayat yang mulia ini ditutup dengan kalimat, اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيۡنَ  . Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
“Allah beserta mereka (yang bersabar) dengan menyertakan kemenangan, pertolongan, dan penjagaan,” ucapnya.

Ia mengakhirinya dengan memberikan nasihat bahwa makna dari ayat yang mulia ini, memberikan modal dan pesan mendalam bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan dan perjuangan yang tidak mungkin nihil masalah, seolah sulit sekali akan memperoleh penyelesaian dan kemenangan. 
“Masing-masing kita pasti pernah mengalami suatu titik, secara kausalitas  seolah tidak ada lagi jalan keluar, semua sisi seolah buntu. Dititik inilah penyelesaiannya dengan sabar dan salat, insya Allah dengannya akan memperoleh penyelesaian, penjagaan, kemenangan, dan pertolongan dari Allah. Nashrun minallah wa Fathun Qarib,” pungkasnya. []Ageng Kartika.

Minggu, 25 Desember 2022

Tafsir Al Baqarah 148, Guru Luthfi: Segeralah Berlomba-lomba Melakukan Kebaikan

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat mengingatkan makna dari Tafsir Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 148 agar umat Islam segera berlomba-lomba  melakukan kebaikan, khususnya dalam mengerjakan ibadah shalat.

“Ayat ini mengingatkan kepada kita untuk segera berlomba-lomba melakukan kebaikan, khususnya dalam mengerjakan ibadah shalat,” tuturnya dalam Kajian Jum’at Bersama Al-Qur’an: Berlomba-lomba Melakukan Kebaikan, Jum’at (16/12/2022), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia menegaskan peringatan dari Rasulullah akibat dari lalai melakukan kebaikan, terutama dalam menyegerakan ibadah shalat.

“Jika kita lalai, tidak bersegera, maka Rasulullah mengingatkan itu artinya kita kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari keluarga dan harta,” tegasnya.
Sebagaimana yang terkandung dalam suatu pendapat, yakni mengatakan bahwa yang tertulis pada ayat ini secara tersirat darinya adalah bersegera dalam melaksanakan shalat pada awal waktunya.

Pada hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthni dan Abu Hurairah menyebutkan, Rasullah Saw. bersabda bahwa jika salah seorang dari kalian melaksanakan shalat tepat pada waktunya, namun ia tidak mengerjakannya di awal waktu, maka sesungguhnya ia telah kehilangan sesuatu yang lebih baik dari keluarga dan harta yang dimilikinya.

“Diriwayatkan pula oleh imam Ad-Daraquthni dari Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda bahwa sebaik-baik perbuatan adalah shalat pada awal waktunya,” urainya.

Firman Allah Swt.:
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَ لِّيها فَا سْتَبِقُوا الْخيَرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَهُ جَمِعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(١٤٨)
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat kebaikan). Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat) semuanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 148)

Ia menguraikan tafsir dari ayat yang mulia ini. 
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَ لِّيها
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Menurut Imam Al Qurthubi telah dijelaskan dalam Tafsir beliau Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an.
“Bahwa kata وِجْهَةٌ pada ayat ini asal tashrifnya adalah فِعْلَةٌ
Yang artinya adalah arah. Sama artinya dengan kata الْجَهْةُ 
dan الوَجْهُ   sedangkan pada ayat ini maknanya adalah kiblat, yakni tempat mengarahkan wajah ketika shalat,” ujarnya.

Sementara menurut Abu al-Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kiblat tersendiri dan orang-orang Nasrani pun mempunyai kiblat tersendiri. Dan Allah Ta ’ala telah memberikan petunjuk kepada kalian (umat Islam) yang memiliki keyakinan untuk menghadap ke kiblat yang sebenarnya. Hal senada juga diriwayatkan dari Mujahid, Atha’, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi.

“Dalam riwayat yang lain, Mujahid dan Hasan al-Bashri mengatakan semua kaum telah diperintahkan untuk mengerjakan  shalat dengan menghadap ke Ka’bah,” bebernya.

Kalimat berikutnya dalam ayat ini menyatakan: 
فَا سْتَبِقُوا الْخيَرَاتِ
Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan.
Ia menjelaskan pendapat dari Imam Al-Qurthubi bahwa kalimat ini huruf jar (ila) dihilangkan, semestinya kalimat lengkapnya adalah 
فَا سْتَبِقُوا إلىاالْخيَرَاتِ
“Yakni bersegeralah (kalian) melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah Swt., yang dalam hal ini adalah menghadap ke Masjidil Haram, dan umumnya segala bentuk ketaatan kepada-Nya,” jelasnya.

Ia mengungkapkan sebuah hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Perumpamaan orang yang paling bersegera melaksanakan shalatnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor unta. Kemudian perumpamaan orang yang (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor sapi. Kemudian  perumpamaan orang yang  (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor domba. Kemudian perumpamaan orang yang (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti orang yang berkurban sebutir telur.

Ia melanjutkan kalimat berikutnya dari ayat ini adalah:
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَهُ جَمِعًا
Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat) semuanya.
“Imam Muhammad Ali Ash Shabhuni menjelaskan artinya di mana pun kalian (umat Islam) berada, baik di bagian bumi yang paling dalam atau dipuncak gunung, niscaya Allah akan mengumpulkan kalian untuk dihisab, dipisahkan antara yang hak dan yang bathil,” lanjutnya.

Dan ia mengungkapkan kalimat terakhir dari ayat mulia ini,
      إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

“Allah Swt. Maha Kuasa untuk mengumpulkan kalian yang berada di bumi meskipun tubuh dan raga kalian terpisah-pisah,” ungkapnya.

Terakhir ia mengingatkan kembali kepada umat manusia di dunia tentang hari akhir nanti di mana manusia akan diminta pertanggungjawaban atas segala amal yang dijalaninya selama di dunia.
“Jangan lupa di mana pun manusia di dunia berada, niscaya ia akan dikumpulkan Allah di hari akhir nanti untuk diminta tanggung jawab atas segala amal yang dia jalani di dunia,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Jumat, 09 Desember 2022

Guru Luthfi Jelaskan Keingkaran dan Penentangan Yahudi terhadap Rasulullah

Tinta Media - Memaknai Tafsir Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 145 menurut Guru Luthfi Hidayat, Pengurus Majelis Baitul Qur'an, Tapin,  yakni penjelasan Allah tentang keingkaran dan penentangan Yahudi terhadap Rasulullah Saw., kasus khusus pada ayat ini adalah arah kiblat.
 
"Makna tafsir Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 145, yakni Allah telah menjelaskan bagaimana keingkaran dan penentangan Yahudi terhadap Rasulullah Saw., di mana kasus khusus pada ayat ini adalah tentang arah kiblat," tuturnya dalam Kajian Jum'at Bersama Qur'an: Keingkaran dan Penentangan Yahudi, Jumat (2/12/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur'an.
 
Ia mengingatkan agar umat Rasulullah tidak mengikuti hawa nafsu seperti orang-orang Yahudi. "Kita harus benar-benar berpegang teguh dan bersungguh-sungguh kepada perintah Allah Swt., jika tidak maka kita termasuk orang-orang yang sangat zalim," ujarnya.

 
Firman Allah Swt.: 
 
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَما أَنْتَ بِتابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَما بَعْضُهُمْ بِتابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذاً لَمِنَ الظَّالِمِينَ (١٤٥)

Artinya:
Dan sesungguhnya jika engkau mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al-kitab semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya engkau kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim (TQS. Al-Baqarah [2]: 145)

Di dalam tafsir Imam Ibnu Katsir telah dijelaskan maksud daripada ayat ini, bahwa Allah Swt. memberitahukan mengenai kekufuran, keingkaran, dan penentangan orang-orang Yahudi terhadap keadaan Rasulullah Saw. yang mereka ketahui.
“Dan seandainya beliau (Rasulullah Saw.) mengemukakan semua dalil yang menunjukkan kebenaran apa yang dibawa oleh beliau, niscaya mereka tidak akan mengikutinya dan tidak akan meninggalkan keinginan hawa nafsu mereka,” urainya.


Ia mengungkapkan makna kalimat dari firman Allah Swt.:
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ                                          
Dan sesungguhnya jika engkau mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu.

“Menurut Imam Muhammad Ali Ash Shabuni diterangkan maknanya, yakni demi Allah, jika engkau mendatangkan semua mukjizat atas kebenaranmu mengenai perubahan arah kiblat kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka sekali-kali mereka tidak akan mengikutimu wahai Muhammad. Mereka juga tidak akan mau beribadah mengarah kepada kiblatmu,” ungkapnya.


Sementara menurut Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa alasan mereka tidak akan mengikuti kiblat kaum muslim adalah karena mereka kafir.
“Padahal sebenarnya mereka telah ditunjukkan jalan kebenaran. Mereka seakan tidak terpengaruh dengan ayat-ayat atau tanda-tanda yang diturunkan,” ujarnya menjelaskan pendapat Imam Al Qurthubi.

Pada ayat selanjutnya, وَما أَنْتَ بِتابِعٍ قِبْلَتَهُمْ , dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Menurutnya ayat ini sebagai pemberitahuan mengenai kesungguhan dan keteguhan Rasulullah Saw. mengikuti apa yang diperintahkan Allah Swt..
“Sebagaimana mereka telah berpegang teguh pada pendapat dan hawa nafsu mereka, maka beliau pun sangat teguh berpegang pada perintah Allah Ta’ala, menaati perintah-Nya, mengikuti keredaan-Nya, serta beliau tidak akan mengikuti hawa nafsu mereka dalam segala hal,” tuturnya.

Ia menjelaskan ayat selanjutnya, ,بَعْضُهُمْ بِتابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ dan sebagian dari mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain.
“Artinya, sesungguhnya orang-orang Nasrani tidak akan mengikuti kiblat orang Yahudi, demikian pula orang Yahudi tidak akan mengikuti kiblat orang Nasrani,” jelasnya.
“Sebab di antara keduanya terjadi permusuhan dan perbedaan yang mencolok, walaupun keduanya adalah keturunan Bani Israil,” lanjutnya.

Guru Luthfi meneruskan akhir dari ayat ini di mana Allah kembali mengingatkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nasrani).
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ                                              
Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu.
“Artinya, dan sungguh jika engkau diperkirakan mengikuti hawa nafsu dan  keinginan mereka, setelah tampak jelas bukti-bukti yang datang kepadamu melalui wahyu,” ucapnya. 
إِنَّكَ إِذاً لَمِنَ الظَّالِمِينَ                                                                            
Sesungguhnya engkau kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
“Artinya, kamu termasuk orang yang melakukan kezaliman yang paling keji,” ujarnya.

Kalimat ini merupakan merupakan kategori agitasi untuk menetapkan perkara yang benar.
“Kalimat ini muncul secara spekulatif, jika tidak, dan Allah menghindarkan Muhammad Saw. dari mengikuti keinginan orang kafir yang durhaka,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 13 November 2022

Al-Baqarah 141-142, Guru Luthfi: Allah Bantah Kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang Nabi Terdahulu

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menjelaskan renungan dari Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 141-142 bahwa Allah membantah kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang nabi terdahulu dan menyifati mereka yang menyembunyikan kebenaran dengan paling zalim. 

“Renungan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 141-142 yakni setelah Allah membantah kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang nabi terdahulu. Allah juga menyifati mereka yang menyembunyikan kebenaran itu dengan yang paling zalim,” tuturnya dalam kajian Jumat Bersama Al Quran: Zalim Menyembunyikan Kebenaran Isi Al Kitab, Jumat (4/11/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah SWT berfirman:

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطَ كانُوا هُوداً أَوْ نَصارى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (140) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَها مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ ما كَسَبْتُمْ وَلا تُسْئَلُونَ عَمَّا كانُوا يَعْمَلُونَ (141)

“Ataukah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani? Katakanlah: “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?; dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah (persaksian) dari Allah yang ada padanya?” dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian kerjakan (140). Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta  pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al Baqarah [2] : 140-141) 

Pada kalimat dari ayat yang mulia ini:

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطَ كانُوا هُوداً أَوْ نَصارى

Ataukah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani?
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa kemudian Allah Ta’ala mengingkari pengakuan mereka (Yahudi dan Nasrani). 

“Bahwasanya Ibrahim serta para nabi yang disebutkan sesudahnya, al-Asbath, menganut agama mereka, baik agama Yahudi ataupun agama Nasrani,” ujarnya. 

Selanjutnya قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ
Katakanlah: “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?

Ia memaparkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash shabuni yang menerangkan makna kalimat tersebut. Apakah kalian lebih mengetahui agama-agama mereka (para nabi) ataukah Allah Yang Maha Mengetahui? 

“Padahal Allah telah menjadi saksi terhadap rasul-rasul itu dan atas keislaman mereka dari agama Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 67 yang menyatakan bahwa Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi Ibrahim adalah orang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah),” paparnya. 

Menurutnya, Imam Al Qurthubi menambahkan penjelasan bahwa firman Allah ini merupakan penegasan sekaligus cemoohan atas pengakuan mereka. Di mana mereka mengaku sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani.

“Allah mengemukakan bantahan kepada mereka dengan mengatakan bahwa Allah lebih tahu tentang mereka daripada kalian. Maksudnya mereka bukanlah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani,” ucapnya. 

Ia menjelaskan kalimat di atas lebih ditegaskan Allah dengan kalimat pada ayat berikutnya, dengan menyebut apa yang mereka lakukan adalah sebagai tindak kezaliman. 

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah (persaksian) dari Allah yang ada padanya?” dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian kerjakan.”

Lalu ia memaparkan penjelasan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa tidak seorang pun lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan apa yang terkandung di dalam Taurat dan Injil, di dalamnya terdapat kabar gembira kedatangan utusan Allah.

“Atau ayat ini bermakna: tidak seorang pun yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan apa yang diberitakan Allah mengenai nabi-nabi yang mulia, sedangkan mereka adalah menganut Islam,” paparnya. 

Firman Allah di ayat ke 141:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَها مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ ما كَسَبْتُمْ وَلا تُسْئَلُونَ عَمَّا كانُوا يَعْمَلُونَ

“Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta  pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”

Ia mengungkapkan penjelasan Imam Ali Ash Shabuni yakni Allah mengulang ayat ini sebab mengandung makna ancaman dan menakuti. 
“Ayat ini bermakna bahwa para nabi itu - berdasarkan keutamaan dan keagungan mereka- akan dibalas sesuai dengan usaha mereka, maka kalian pun akan mendapatkan balasan yang baik,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan umat Islam agar tidak memiliki sifat seperti Yahudi dan Nasrani yang berkata bohong atas nabi-nabi terdahulu dan menyembunyikan kebenaran dari kitab yang ada pada mereka, baik Taurat maupun Injil. 

“Kita sebagai umat Islam, terlebih para ulama dan Asatidz, harus menjelaskan seluruh isi Al Quran kepada umat, menerangkan Islam sebagai rahmatan lil’ alamin tidak akan pernah tercapai kecuali kita mengamalkan seluruh ajaran Al Quran yang dibawa Rasulullah, mulai masalah akidah, muamalah, ekonomi, politik dan lain sebagainya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Sabtu, 29 Oktober 2022

Guru Luthfi: Shibghah atau Celupan Islam Kini Diwarnai Shibghah Sekularisme


Tinta Media - Pengasuh  Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat mengkritik sikap muslim kini yang shibghah atau celupan Islamnya telah diwarnai shibghah sekularisme. 

“Saat ini kaum muslimin menghadapi tantangan shibghah atau celupan lain, yang tidak jarang celupan lain itu justru yang berbekas dalam kehidupan keseharian mereka, yakni shibghah sekularisme,” kritiknya dalam Kajian Jumat Bersama Al Qur’an: Shibghatallah/Celupan Allah, Jumat (21/10/2022) dikanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Dalam ayat 138 dari Qur’an Surat Al Baqarah ini memggunakan metode isti'arah (peminjaman makna) dalam pengungkapannya. Balaghah yang sangat pas dan luar biasa untuk menggambarkan bagaimana sejatinya atsar (bekas/pengaruh) keimanan seorang muslim. 

Menurutnya, makna tentang shibghatallah atau celupan Allah teramat penting jika dikaitkan dengan kondisi seorang muslim saat ini. Ia mempertanyakan sikap seorang muslim dalam kesehariannya apakah sudah sesuai dengan Islam atau tidak. 
“Apakah shibghah atau celupan Islam itu sudah benar-benar membekas pada seorang muslim? Bekas celupan itu apakah terlihat pada sikap hidup dia dalam berbagai kehidupan?” tanyanya. 

Ia mengungkapkan bahwa shibghah sekularisme merupakan sebuah celupan yang menjadikan seorang muslim memiliki warna yang tidak sesuai dengan keimanannya.

“Warna keimanan mereka hanya terlihat di ibadah mahdah semata, di masjid dan mushala. Namun dalam berekonomi, dalam bersosial ke masyarakat, dalam berpolitik, dan lain sebagainya, nyaris pengaruh dari celupan Islam kian memudar,” ungkapnya. 

Ia mengingatkan bahwa paham sekuler harus dijauhkan dari keimanan dan keseharian hidup kaum muslim. “Karena paham sekuler bukan shibghah atau celupan Allah. Dan ia bukan celupan yang baik,” ucapnya. 

Firman Allah Swt.:
 صَنْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صَبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَا بِدُونَ                        
Artinya:
“Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada shibghah Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.” (TQS. Ak Baqarah [2]: 138) 

Guru Luthfi menjelaskan  makna bahasa dari kalimat Shibghah Allah, صَنْغَةَ اللَّهِ  , dalam tafsir Imam Muhammad Ali Ash Shabuni yaitu Shafwatu Tafasir.  “Shibghah diambil dari kata 'As Shabghi', yakni perubahan sesuatu dengan warna, maksudnya di sini adalah ad diin (agama),” jelasnya. 

Ia pun mengatakan penjelasan dalam tafsir Imam Ibnu katsir tentang shibghah Allah. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu agama Allah. Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abu Al-Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Hasan Al-Bashri, Qatadah, Abdullah bin Katsir, Athitah Al-Aufi, Rabi' bin Anas, as-Suddi, dan lain-lainnya. 

“Penggunaan Shibghatullah ini dimaksudkan sebagai dorongan (semangat) seperti yang terdapat dalam firman-Nya, Fitratallah, maksudnya hendaklah kalian berpegang teguh kepadanya,” katanya. 

Imam Muhammad Ali Ash Shabuni memberikan keterangan yang sangat memesona dari sisi balaghah kalimat Shibghah Allah. 

“Agama disebut sebagai “shibghah” atau celupan, (disebut Al Qur’an dengan metode) isti'arah (peminjaman kata) karena orang yang beriman akan tampak keistimewaannya sebagaimana bekas celupan yang tampak pada pakaian,” bebernya. 

Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan makna kalimat ini
صَنْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صَبْغَةً                           
Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada shibghah Allah?
“Artinya sesuatu yang menjadi keimanan (sesuatu yang menjadi keyakinan), yakni agama Islam. Shibghah Allah yakni celupan Allah, artinya 'warna' keimanan kepada Allah,” ujarnya. 

Guru Luthfi melanjutkan penjelasan makna tersebut bahwa Allah telah mencelupkan kepada agama-Nya maka ia (celupannya) akan tampak bekasnya pada kami, sesuatu yang dicelupkan tampak pada pakaian. 
“Dan tidak seorang pun yang lebih baik agamanya daripada agama Allah,” lanjutnya. 

Ia mengatakan Kalimat terakhir dari ayat yang mulia ini, وَنَحْنُ لَهُ عع بِدُونَ
Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah. 
“Artinya kami hanya menyembah Allah Swt., dan kami tidak menyembah sesuatu pun selain Dia,” katanya. 

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan kepada kaum muslim, sejatinya keimanan itu harus tercermin dan berbekas dalam kehidupan keseharian.

“Sebagai konsekuensi yang telah diikrarkan oleh kaum muslim dalam salat, bahwa salat, ibadah, hidup, dan mati hanya untuk Allah semata,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 19 Oktober 2022

Al Baqarah 137, Guru Luthfi: Ahlul Kitab Akan Mendapat Petunjuk dan Kebenaran Jika...


Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menjelaskan syarat bagi Ahlul Kitab agar mendapat petunjuk dan kebenaran dari Allah. 

“Makna Qur'an Surat Al Baqarah ayat 137 adalah jika Ahlul Kitab beriman, berkeyakinan sebagaimana keyakinan orang-orang mukmin, tidak membeda-bedakan di antara rasul-rasul Allah maka mereka akan mendapat petunjuk dan kebenaran dari Allah,” ungkapnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Quran: Ahlul Kitab akan Mendapat Petunjuk Jika Mereka Mau Beriman, Jumat (14/10/2022), dikanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Namun, jika Ahlul Kitab melakukan Syiqaaq atau permusuhan maka Allah akan menolong orang-orang yang beriman. “Pertolongan dari Allah inilah yang menjadi kunci kemenangan umat Islam, hanya dengan terus meningkatkan ketaatan, taqarub, dan ketakwaan kepada Allah,” ujarnya. 

Firman Allah SWT:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ    

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepada-Nya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS. Al Baqarah: 137).

Ia mengemukakan penjelasan Imam Al Qurthubi dalam Tafsir beliau Al Jaami' li Ahkamil Qur’an, Firman Allah: 
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا                    
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepada-Nya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.

“Imam Al Qurthubi menjelaskan bahwa Khitab (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Maknanya, jika mereka beriman seperti iman kalian dan percaya seperti kepercayaan kalian, maka sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk. Dengan demikian, kesetaraan terjadi antara kedua keimanan tersebut,” tuturnya. 

Ia mengartikannya dengan pendapat dari Imam Ali Ash Shabuni yang lebih spesifik memaknai kalimatnya bahwa Ahlul Kitab yang beriman sebagaimana imannya orang-orang beriman maka mereka mendapat petunjuk di jalan yang benar. 

“Artinya, jika mereka Ahlul Kitab mendapat petunjuk sebagaimana orang-orang beriman mendapat petunjuk,” ucapnya. 

Ia pun mengatakan makna keimanan dari penjelasan Imam Ibnu Katsir atas ayat ini. 
“Yaitu iman kepada semua kitab Allah, para rasul-Nya, serta tidak membedakan antara satu nabi dengan nabi lainnya,” katanya. 

Kalimat berikutnya: 
وَإِنْ تَوَلَّوْا
Dan jika mereka berpaling. 
Ia mengungkapkan pendapat dari Imam Ibnu Katsir dan Imam Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi memaknainya sebagai  berpaling dari keimanan. 

“Sementara  pendapat dari Imam Ibnu Katsir, jika mereka berpaling, yakni berpaling dari kebenaran kepada kebatilan setelah adanya hujah ada pada diri mereka,” ungkapnya. 

Kalimat berikutnya:
فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ
Maka sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). 
Guru Luthfi menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang makna Syiqaaq. Zaid bin Aslam menyatakan sebagai al munaaza'ah (permusuhan). Menurut satu pendapat, adalah perdebatan, penyimpangan, dan pelanggaran.

“Menurut pendapat yang lain, Asy-Syiqaaq diambil dari perbuatan yang menyulitkan dan menyusahkan sehingga seolah masing-masing pihak berusaha untuk menyulitkan sahabatnya,” bebernya. 

Ia pun mengutarakan tentang lanjutan kalimat dari ayat ini:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ
Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. 
“Yakni, Allah akan memelihara rasul dari musuh-musuhnya,” ujarnya. 

Menurutnya hal ini merupakan janji Allah untuk melindungi nabi-Nya. 

“Bahwa Allah akan memeliharanya dari orang-orang yang menentang dan menyalahinya, dengan orang-orang beriman yang dia berikan petunjuk,” tuturnya.

Dan ia menegaskan pemenuhan janji Allah untuk memelihara nabi-Nya terjadi pada peristiwa peperangan dengan Bani Qainuqa, Bani Quraizhah, dan Bani An-Nadhir. 

Kalimat terakhir dari ayat mulia ini: 
وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ                    
Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 
Ia menyatakan penjelasan dari Tafsir Imam Ali Ash Shabuni dalam kitabnya Shafwatu Tafaasir tentang kalimat terakhir ini. 

“Artinya, Dia Allah SWT Maha Mendengar apa yang mereka ucapkan dan Maha Mengetahui kejahatan dan kedengkian yang mereka sembunyikan dalam hati mereka,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Guru Luthfi: Al Baqarah 136 Tempatkan Porsi dan Posisi Keimanan bagi Rasulullah dan Nabi Lain

Tinta Media - Pengasuh Majelis Ta'lim Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menegaskan bahwa makna QS. Al-Baqarah ayat 136 adalah porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan Nabi yang lain. 

“Makna Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 136, yakni menempatkan porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan nabi yang lain,” tegasnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Quran: Keimanan kepada Muhammad SAW dan Para Nabi yang Lain, Jumat (7/10/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia mengungkapkan bahwa umat Islam wajib mengimani kepada semua rasul secara global.

“Allah telah mengutus mereka dan menurunkan kitab atau suhuf kepada mereka (semua rasul). Tidak membeda-bedakan di antara mereka,” ungkapnya. 

Namun, ia mengatakan keimanan kepada Rasulullah SAW dalam porsi secara rinci. 
“Termasuk taat dan tunduk kepada hukum yang dibawa beliau Saw. secara keseluruhan. Masuk ke dalam Islam secara kafah, menyeluruh,” katanya. 

Firman Allah SWT:

قُولُوا آمَنَّا بَاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلى إبْرَاهِمَ وَإسْمَاعِيلَ وَإسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطّ وَمَا -ُوتِيَ مُوسى وَعِيس وَمَا أُتِيَالنَّبِيُّونَ مِن رَبِّهِمْ لَا نُفَرِقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ 

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, lsma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya " (TQS. Al Baqarah [2]: 136).

Guru Luthfi memaparkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa Allah Swt. membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw. secara rinci, serta apa yang diturunkan kepada para nabi yang terdahulu secara global.

“Allah Ta'ala telah menyebutkan beberapa nama rasul, menyebutkan secara global nabi-nabi lainnya. Dan Allah menghendaki mereka (orang-orang mukmin) tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka (para rasul),hendaklah mereka beriman kepada seluruh rasul,” paparnya. 

Ia pun menguraikan pendapat dari Imam Al Qurthubi yang menerangkan tafsir beliau al Jaami'li Ahkamil Qur'an perihal Asbabun Nuzul (sebab turun-Nya) ayat ini. 
“khitab (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada umat ini. Kepada mereka (orang-orang mukmin) Allah mengajarkan keimanan. Ibnu Abbas berkata, “Sekelompok orang-orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu mereka bertanya tentang nabi siapa saja yang harus diimani? Maka turunlah ayat ini,” urainya. 

Ia mengatakan Firman Allah Swt., yang menyatakan, katakanlah (hai orang-orang mukmin): kami beriman kepada Allah. Diriwayatkan Al Bukhari dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa dahulu Ahlul Kitab membacakan Taurat yang menggunakan bahasa Ibrani dan menafsirkannya kepada orang-orang Islam dengan bahasa Arab. 

“Kemudian Rasulullah Saw. bersabda agar kalian (orang-orang mukmin) tidak mempercayai kepada Ahlul Kitab tapi tidak boleh juga mendustakan mereka, akan tetapi katakan kepada mereka bahwa ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang  Dia turunkan’,” katanya. 

Ia mengungkapkan penuturan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni, makna dari: “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.

“Artinya, katakanlah (oleh kalian) wahai kaum Muslimin bahwa kami beriman kepada Allah, dan kepada Al Quran yang telah diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya,” tuturnya. 

Ia melanjutkan, “Artinya, kami beriman kepada suhuf dan hukum-hukum yang diturunkan kepada Ibrahim, yang nabi-nabi lain juga mengamalkannya, kami juga percaya kepada apa yang diturunkan kepada anak cucu Ibrahim dan Ishaq. Mereka adalah anak cucu menurut silsilah kenabian pada mereka,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan menegaskan kembali bahwa wajib bagi kita beriman dan tidak membeda-bedakan seorang pun dari para nabi dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi secara keseluruhan. 

“Artinya kami beriman kepada kepada apa yang diturunkan atas selain mereka dari para nabi semuanya, dan membenarkan apa yang diturunkan kepada mereka dari sisi Allah berupa ayat-ayat jelas dan mukjizat yang terang,” bebernya. 

“Kita turut dan tunduk kepada perintah Allah dan hukum-hukumnya, tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (para nabi), artinya kita tidak beriman kepada sebagian dan mengingkari sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 04 Oktober 2022

Tafsir Al-Baqarah ayat 135, Guru Luthfi: Bantahan Allah atas Klaim Kebenaran Ahlul Kitab yang Tanpa Dalil

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menegaskan Allah  menentang klaim kebenaran Ahlul Kitab yang tanpa dalil dalam Al-Baqarah ayat 135.

“Ayat yang mulia ini (Al-Baqarah: 135) merenungkan tentang bantahan Allah atas klaim kebenaran Ahlul Kitab yang tanpa dalil bahwa seolah petunjuk kebenaran itu ada pada mereka,” tegasnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Bantahan Allah atas Klaim Kebenaran Ahli Kitab, Jum’at (30/9/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt. dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 135:

وَقَالُواكُونُواهُوداً أَوْنَصَارىتَهْتَدُواقُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاًوَمَاكِان مِنَ الْمُشْرِكِين

Artinya:
Dan mereka berkata: “Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik. 

Allah menerangkan tentang klaim-klaim Ahlul Kitab yang batil, di antaranya tentang klaim petunjuk yang hanya didapatkan para penganut agama Yahudi dan Nasrani. Ia mengungkapkan bahwa Allah menjelaskan klaim-klaim itu tidak berdasarkan dalil. 
“Bahkan semua itu hanyalah pengingkaran dan pembangkangan. Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa agama yang benar adalah agama Islam semata, agama para Nabi dan Rasul,” ungkapnya. 

Ia memaparkan munasabah (kesesuaian ayat) ini dengan ayat sebelumnya yang dijelaskan oleh Imam Muhammad Ali Ash Shabuni.

“Ketika Allah menjelaskan bahwa agama Ibrahim adalah agama hanif, dan barang siapa yang tidak beriman dan benci kepadanya maka dia sampai pada puncak tertinggi kebodohan dan kerendahan diri,” paparnya. 

Guru Luthfi mengemukakan penjelasan latar belakang ayat ini dalam tafsir Imam Ibnu Katsir.

“Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengatakan seorang tokoh Yahudi, Abdullah bin Shuriya al-'A'war pernah berkata kepada Rasulullah Saw., “petunjuk itu tidak lain adalah apa yang menjadi pegangan kami, karena itu, hai Muhammad, ikutilah kami, niscaya engkau mendapat petunjuk,” ujarnya. 

Demikian dengan orang-orang Nasrani juga mengatakan hal yang sama kepada Rasulullah Saw., maka Allah Swt. menurunkan firmannya:

وَقَالُواكُونُواهُوداً أَوْنَصَارىتَهْتَدُو

Dan mereka berkata: “Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk”.
Makna dari firman tersebut menurut Imam Ali Ash Shabuni adalah orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa dengan menganut agama mereka (Yahudi dan Nasrani) maka akan mendapat petunjuk. 

“Kedua kelompok agama ini sejatinya mengajak ke agamanya yang menyimpang,” bebernya. 

Ia pun menegaskan bahwa Allah membantah klaim Yahudi dan Nasrani dengan kalimat berikutnya:

قُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاً

Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. 
“Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna kalimat ini, artinya kami tidak mau mengikuti apa yang kalian serukan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, tetapi sebaliknya kami mengikuti Milah Ibrahim yang lurus,” tegasnya. 

Lalu ia melanjutkan tentang makna dari kalimat: مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ ححَنِفا
Secara bahasa makna hanif dijelaskan oleh Imam Ali Ash Shabuni. 
“Al hanif artinya beralih dari agama batil ke agama benar (al haq),” ucapnya. 

Sedangkan makna senada dikemukakan oleh Imam Al Qurthubi dalam tafsir beliau Al Jami' li Ahkamil Qur’an.
“Arti hanif, yakni yang berpaling dari agama yang tidak disukai kepada kebenaran (agama Ibrahim),” ujarnya. 
Menurut Imam Al Qurthubi bahwa Ibrahim dinamakan hanif karena ia condong kepada agama Allah, yaitu Islam. 

Ia mengungkapkan makna hanif dalam tafsir Ibnu Katsir yang artinya lurus. 
“Demikian dikatakan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi dan Isa bin Jariyah bahwa diriwayatkan oleh Khushaif dari Mujahid yang mengatakan hanif berarti ikhlas,” ungkapnya. 

Ia melanjutkan arti hanif menurut riwayat dari Ibu Abbas adalah mengerjakan ibadah haji. Demikian juga yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, adh-Dhahhak, Athiyyah, dan as-Suddi. 
“Pendapat dari Mujahid dan Rabi' bin Anas arti hanif ialah mengikuti, sedangkan Abu Qilabah mengatakan artinya orang yang beriman kepada para rasul secara keseluruhan, dari pertama hingga yang terakhir,” lanjutnya. 

Guru Luthfi menguraikan kesimpulan yang sangat tegas dikemukakan oleh Imam Ali Ash Shabuni dari kalimat: 

قُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاًوَمَاكِان مِنَ الْمُشْرِكِين

Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik. 

“Tapi katakanlah wahai Muhammad: “Kami hanya mengikuti agama hanif, yaitu agama Ibrahim. Agama-agama lain adalah menyimpang, dan Ibrahim tidaklah termasuk orang musyrik bahkan dia adalah orang beriman yang mengesakan Allah,” urainya. 
Kalimat di atas adalah kalimat penentang terhadap Ahli Kitab dan memberitakan bahwa mereka adalah orang-orang musyrik yang sesat. 

Demikianlah ayat mulia ini, ia mengakhirinya dengan penjelasan Allah bahwa Nabi Ibrahim sungguh berada pada millah yang lurus, mengesakan Allah, dan condong pada Islam. 
“Merekalah hakikatnya yang musyrik dan dhalal. Semoga kita dan keluarga kira dijauhkan dari kemusyrikan dan jalan kesesatan. Aamiin Yaa Robbalamiin,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab