Nasib Malang Mengadu Nasib di Negeri Orang
Tinta Media - Niat hati ingin bekerja di negara tetangga agar mendapat gaji lebih banyak, nyatanya, bukan gaji yang didapat jutru keselamatan nyawa menjadi taruhan. Beberapa waktu lalu dikabarkan ada sebanyak 20 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) diduga disekap di Myawaddy, Myanmar. Terhadap kasus ini, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang memberikan perhatian besar dan terus berusaha memberikan perlindungan terhadap WNI yang menjadi korban perdagangan manusia di Myanmar.
Kasus perdagangan orang bukan sekali ini saja terjadi. Rata-rata perdangangan manusia ini melalui modus online scam. Menurut data yang disampaikan oleh Kemenlu, dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah mengalami dan menyelesaikan 1.841 kasus online scam. Kasus semacam ini pun menurutnya tak cuma terjadi di RI, tetapi juga di berbagai negara ASEAN.
Namun, ada hal yang paling menggelitik dari kasus ini, yakni para korban tidak kapok untuk bekerja di perusahaan online scam luar negeri kembali setelah dipulangkan. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mencontohkan, Kementerian Luar Negeri dengan KBRI di Ibu Kota Vientiane sudah memulangkan 15 warga Indonesia yang menjadi korban online scam di Laos. Ternyata, sebelas orang di antaranya berangkat kembali ke luar negeri dan bekerja di perusahaan online scam lagi.
Dari realita ini, kita bisa melihat betapa masyarakat nekat mencari kerja, sekalipun nyata-nyata di luar negeri sana tidak aman untuk mereka.
Kemiskinan ekstrem di dalam negeri menjadi faktor utama masyarakat mengadu nasib di negeri orang. Minimnya literasi, skill, pengetahuan, dan janji seribu lapangan pekerjaan yang tak kunjung nyata, membuat mereka mudah tertipu hanya dengan iming-iming gaji besar tanpa persyaratan berbelit untuk ke luar negeri. Fakta maraknya perdangangan orang lintas negara pun tak mampu menghentikan kenekatan mereka. Alhasil, banyak warga negara yang menjadi korban perdangangan orang di luar negeri.
Kondisi ini perlu segera diselesaikan. Sayangnya, solusi yang diberikan penguasa justru tidak menyentuh akar permasalahan sama sekali. Ketika ada kasus TPPO, penguasa hanya berusaha mengembalikan warganya ke dalam negeri. Setelah mereka pulang, tidak ada jaminan pekerjaan yang didapat. Padahal, mereka nekat keluar negeri karena mencari remahan cuan untuk menyambung kehidupan.
Sementara di dalam negeri, solusi yang diberikan penguasa menanggulangi kemiskinan begitu pragmatis berbasis bisnis. Janji seribu lapangan pekerjaan tidak dirasakan oleh seluruh rakyat. Yang ada, penguasa justru mendatangkan TKA dalam jumlah banyak. Penguasa mengklaim telah memberikan pelatihan-pelatihan prakerja. Nyatanya, pelatihan itu pun dijadikan ajang bisnis oleh perusahaan penyelenggara.
Seperti inilah realita lapangan pekerjaan yang diatur dalam sistem kapitalisme. Lapangan pekerjaan begitu mewah sehingga sulit dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Penguasa hadir juga bukan sebagai pe-riayah (pengurus), melainkan sebagai fasilitator. Para kapital pemilik lapangan pekerjaan pun hanya berorientasi untung yang menghalalkan segala cara, termasuk memperdangangkan orang.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan dalam negara khilafah ketika mengatur lapangan pekerjaan. Islam memandang lapangan pekerjaan adalah sebuah sarana bagi laki-laki untuk mendapatkan gaji yang layak sehingga mereka bisa memberi nafkah keluarganya dengan ma’ruf. Beban ini tidak hanya ditanggung oleh individu saja. Islam memerintahkan negara pun memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan.
Dalam khilafah, lapangan pekerjaan begitu mudah didapatkan dan tersedia sangat cukup bagi warga negara. Hal ini karena tidak ada sektor ekonomi non-riil, yang ada hanya sektor ekonomi riil. Negara mengoptimalkannya sebagai penyedia lapangan kerja, seperti di sektor pertanian, perdagangan, industri, dan jasa.
Dalam bidang pertanian, khilafah akan mendorong dan memfasiltasi petani untuk mengelola lahan mereka secara optimal. Khilafah menyediakan pupuk subsidi, bibit unggul, prakiraan cuaca, bahkan memberikan pelatihan tentang teknologi pertanian. Bagi mereka yang memiliki skill, tetapi tidak memiliki lahan, khilafah akan memberikan tanah (i’tha’) kepada mereka secara cuma-cuma.
Dalam bidang perdagangan, khilafah akan menciptakan suasana pasar yang bersih dari berbagai hal yang mendistorsi pasar (seperti penimbunan, kanzul mal, riba, monopoli, penipuan), menyediakan informasi ekonomi dan pasar, mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan profesional, menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap, dan menghilangkan sektor non-riil, sehingga produksi barang dan jasa di sektor riil akan meningkat. Kebijakan ini tentu akan menciptakan suasana pasar yang memudahkan siapa pun untuk bermuamalah.
Dalam bidang industri, khilafah akan berfokus pada industri berat (seperti industri baja), industri pengelolaan sumber daya alam, industri transportasi, industri alat perang, industri tekstil, industri manufaktur, dan industri lainnya yang menunjang kehidupan manusia. Sektor industri tentu memerlukan tenaga ahli maupun terampil dalam jumlah banyak. Alhasil, lapangan pekerjaan akan tersedia sangat luas dari sektor ini. Adapun dalam bidang jasa, khilafah akan membutuhkan banyak pegawai untuk membantu melayani kebutuhan masyarakat, seperti hakim, jaisy (tentara), guru, tenaga medis, dan sejenisnya.
Seperti inilah khilafah menyediakan lapangan pekerjaan hingga akan dipastikan tidak ada satupun laki-laki dalam khilafah yang tidak mendapat pekerjaan. Dengan demikian tidak akan ada lagi yang perlu mengadu nasib di negeri orang, apalagi yang bernasib malang. Wallahu a’lam.
Oleh: Nonik Sumasih, S.Si.
Aktivis Dakwah Kampus Surabaya