Tinta Media: THR
Tampilkan postingan dengan label THR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label THR. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2024

Polemik Gaji dan THR Dipangkas PPH

Tinta Media - Banyak orang terkejut dan protes melihat besarnya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) mereka di bulan Maret, biang keroknya adalah skema baru perhitungan dan pemungutan pajak penghasilan (pph) yang di terapkan Januari 2024, (BBC news, 29/3/2024)

Miris dalam kondisi yang serba sulit seperti ini di tengah-tengah harga pangan yang melambung tinggi ,rakyat di suguhkan kembali dengan adanya potongan pajak tunjangan hari raya (THR). 

Sejatinya THR merupakan  bonus tahunan yang didapat karyawan dari perusahaan untuk pemenuhan kebutuhan di hari raya, adanya potongan tersebut sangat meresahkan warga apalagi yang memiliki keluarga dan mengurusi orang tua ketar ketir untuk mengatur ulang dan mencukup cukupkan biaya kebutuhan .

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat memberatkan rakyat seharusnya negara menjamin kesejahteraan rakyat bukan memotong pajak dari hasil keringat rakyat.

Dalam bingkai kapitalisme pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara dibanding sumber yang lainnya, padahal Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi hasilnya sangat minim, hubungan negara dengan rakyat hanya sebatas sebagai pemungut pajak saja bukan periayah, hampir semua dipajaki, hasil uang pajak pun berupa layanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur rakyat pun harus bayar mahal, sungguh sangat ironis sekali. 

Berbeda dengan lingkup Islam, pajak bukanlah sumber utama negara, Islam mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, adapun pungutan pajak itu pun tidak memberatkan rakyat seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainnya. Dari semua itu akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak. Pajak hanya di tarik dari orang kaya saja itu pun jika kas negara kosong dengan begitu Islam mampu mewujudkan ekonomi mandiri tanpa harus memungut pajak. 

Berdasarkan fakta di atas sangat jelas sekali  solusi yang mampu menuntaskan berbagai problematika umat hanya Islam karena islamlah yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya tanpa adanya pungutan pajak. 

Wallohu 'alam biashshowab.

Oleh: Ummu Zaki
Sahabat Tinta Media 


Atas Nama Pajak, Rakyat Terus Dipalak


Tinta Media - Selain mengharapkan kemenangan di hari yang fitri, tunjangan hari raya (THR) juga selalu dinanti-nanti. THR, ibarat oasis di padang pasir, penghasilan tambahan yang bisa membantu memenuhi ‘kebutuhan’ di hari raya.

Namun di tengah euforia ini, masyarakat dibuat miris. Bagaimana tidak, baru saja senang dapat penghasilan lebih, sekarang harus mengelus dada karena terkena potongan. THR khusus karyawan swasta akan dikenakan pajak penghasilan (Pph) 21. Banyak rakyat yang terkejut dan mengeluh besaran potongan pajak.

Ramai-ramai netizen mengeluh di medsos terkait potongan Pph 21 yang lebih besar dari tahun lalu. Netizen beranggapan besarnya potongan pajak disebabkan perhitungan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang diterapkan sejak Januari 2024 lalu. (kompas.com 27/3/24)

Menanggapi protes masyarakat, pemerintah melalui Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan skema TER memang lebih tinggi pajaknya. Tetapi Dwi menyebutkan TER sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional. (kompas.com 1/4/ 24)
 
Bagi pekerja, besar potongan THR sangat memberatkan dibandingkan bulan lalu. THR yang diharapkan untuk keperluan hari raya, seperti ongkos mudik, baju, sembako dan lainnya harus pintar-pintar mengatur ulang demi agenda wajib tidak terlewat.

Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara merupakan khas ekonomi kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan negara yang paling besar. Tidak heran, karena semua aspek perekonomian tidak luput dari pajak. Bahkan, setiap tahun persentase pajak akan mengalami kenaikan.

Pemerintah bagai lintah darat yang terus menghisap darah rakyat. Di saat semua pihak menaikkan harga pangan, pemerintah malah ikut menaikkan pajaknya. Berdalih, pajak untuk pembangunan, kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Tetapi ternyata rakyat tidak bisa merasakan dan menjangkau fasilitas dengan mudah. Tidak ada pendidikan, kesehatan, keamanan hingga transportasi yang gratis.

Maka, masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme? Padahal rakyat bisa mewujudkan kondisi yang berbeda. Rakyat bisa hidup tenang tanpa khawatir dengan setumpuk masalah. Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan mampu memberi bukti kesejahteraan bagi rakyatnya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pajak bukanlah pemasukan negara satu-satunya. Sebaliknya, negara punya berbagai macam pos pendapatan. Salah satunya, mengoptimalkan pendapatan dari sektor kepemilikan umum berupa sumber daya alam (SDA) yang tidak terbatas. SDA dikelola oleh negara dan hasilnya untuk rakyat.

Selain itu, ada pendapatan lainnya dari harta rampasan perang (ghanimah), fa'i, kharaj dan jizyah serta zakat. Sehingga pemasukan negara tidak dari pajak atau utang. Kalau pun negara terpaksa menarik pajak, hanya dalam keadaan genting. Ketika kas negara mengalami kekosongan dan ada keperluan yang mendesak. Dengan syarat, pajak hanya dibebankan kepada orang yang mampu. Sama dengan utang, negara boleh berhutang kepada rakyatnya yang kaya atau negara yang tunduk terhadap syari'at.

Untuk itu, mengambil hak rakyat atas jerih payahnya merupakan kezaliman. Islam telah mengatur sistem pengupahan dengan terperinci. Allah SWT telah berfirman, “berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6). Terlebih lagi menunda hak pekerja setelah selesai menunaikan kewajiban. Rasulullah saw. bersabda, “berikanlah upah buruh, sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah).

Seandainya sistem Islam diterapkan kembali dalam aspek kehidupan dalam bingkai Khilafah, kesejahteraan bukan sekadar angan-angan. Fenomena THR dalam setahun sekali tidak akan diperlukan, karena setiap kebutuhan (sandang, pangan, papan) rakyat telah terjamin oleh negara. Bahkan negara mampu mewujudkan kesejahteraan sepanjang masa bukan sesaat. Inilah yang seharusnya umat Islam dapatkan dari pemimpinnya. Waallahu a'lam bis shawwab.

Oleh : Eri, Pemerhati Masyarakat

Senin, 01 April 2024

THR Tidak Merata, Potret Lemahnya Jaminan Negara Atas Kesejahteraan Pegawai

Tinta Media - Salah satu yang dinanti oleh semua pegawai di negeri ini pada akhir Ramadhan adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Semua pegawai baik pegawai negara atau pun swasta semuanya mengharapkannya untuk memenuhi kebutuhan berlibur di hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Betapa tidak, selama ini rakyat hanya mendapatkan gaji rutin per bulan. Sedangkan setiap akhir bulan Ramadhan, mereka biasanya akan mendapatkan THR sehingga mereka menerima dua kali lipat gaji bulanannya.

Dengan adanya kepastian bahwa tahun ini THR hanya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) saja, sedangkan para pekerja honorer dan perangkat desa tidak akan mendapatkannya, tentu ini tidak adil. Padahal mereka juga sama-sama mengabdi pada negara. Apalagi anggaran dana THR ini dari APBN. Perbedaan tersebut semakin menunjukkan bahwa kebijakan negara berat sebelah. Padahal pegawai honorer dan perangkat desa gajinya jauh lebih kecil dari ASN, dan kebutuhan mereka untuk berbahagia di hari raya pun sama.

Sistem negara hari ini yang diterapkan adalah sistem kapitalisme. Kekayaan alam dikuasai oleh segelintir oligarki kapitalisme. Akibatnya, hasil alam yang semestinya masuk ke APBN dan harus dipergunakan untuk rakyat justru malah masuk ke kantong para oligarki kapitalisme.

Maka sistem pengelolaan kenegaraan seperti ini harus segera ditinggalkan. Karena semakin nyata kerusakan yang ditimbulkannya sebagai sistem yang rusak dan cacat secara bawaan. Jika sistem ini terus di jalankan, maka bukan kesejahteraan yang didapat rakyatnya justru kesengsaraan tiada akhir yang akan dirasakan.

Hanya dengan hukum Islam kesejahteraan akan dirasakan oleh rakyat. Dikarenakan dalam sistem Islam perekonomian berdasarkan aturan dari Pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Sehingga sudah pasti tidak akan berat sebelah alias adil. Tak terkecuali urusan THR yang masuk ke dalam urusan upah mengupah yang sudah diatur pula oleh Islam secara rinci. Semua rakyatnya akan disejahterakan secara per individu tak terkecuali pada bulan Ramadhan dan hari raya. Hal itu karena sistem Islam memiliki sumber pemasukan negara yang sangat banyak, salah satunya sumber daya alam yang dikelola oleh negara dan hasilnya didistribusikan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 

Sehingga tak dapat THR pun tidak akan membuat pegawai susah. Karena Islam sudah memastikan para perusahaan atau orang yang memperkerjakan orang lain untuk menjamin kesejahteraan seluruh pegawainya. Bahkan Islam mewajibkan untuk membayarkan upah para pegawainya sebelum keringatnya kering. Dari satu sisi ini saja sudah terlihat begitu sempurnanya Islam mengatur kehidupan. Maka bersegeralah untuk menerapkan kembali sistem Islam di dalam kehidupan kita. Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Bu Atep
Sahabat Tinta Media 

Senin, 10 April 2023

Honorer Tak Dapat THR, Bukti Tak Adilnya Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Hari raya tinggal menunggu jari. Para pegawai pemerintahan pun telah siap bersuka cita menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Namun sayang, pegawai honorer tahun ini tak mendapatkan THR. Hal ini langsung disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas (CNNIndonesia.com, 31/3/2023). Dia pun mengungkapkan bahwa pihaknya hanya mengatur THR yang diberikan untuk ASN yang gajinya diambil dari APBN dan APBD. 

Meskipun demikian, Azwar menyampaikan bahwa ada perbedaan THR tahun ini bagi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) guru. Para pekerja yang sebelumnya tidak mendapatkan tunjangan kinerja, tahun ini akan mendapatkan THR berupa tunjangan profesi sebesar 50%. Menteri Keuangan Sri Mulyani, menetapkan pencairan THR ASN akan dilakukan bertahap mulai 4 April 2023. Besarannya sama seperti tahun lalu, yaitu gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan kinerja 50%.

Fakta ini tentu sangat mengecewakan bagi para pegawai honorer, terutama tenaga pengajar. Dengan jam kerja dan loyalitas yang sama, mereka tak mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Di bulan-bulan biasa saja, secara umum gaji honorer dapat dikatakan jauh dari kategori layak bagi seorang pengajar. Sekarang menjelang hari raya, perlakuan tak adil masih juga dirasakan para pegawai honorer.

Ketetapan tersebut mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ketua DPR RI, AA La Nyalla Mahmud Mattaliti. Menurutnya, pemerintah selayaknya dapat memperhatikan rasa keadilan pada semua pegawai, tak perlu memandang statusnya sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer. Karena jam kerja dan resiko kerjanya sama, tentu penghargaan yang diberikan pun semestinya adil (republika.co.id, 31/3/2023).

Ketidakadilan pun semakin jelas, saat pemerintah menetapkan kebijakan pemberian THR tetap diberikan kepada para pejabat negara, mulai dari menteri, presiden, hingga para anggota DPR. Segala kebijakan yang ditetapkan, tentu saja melukai masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, gaji bulanan para honorer pun sangat tak manusiawi. Sementara di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat sulit didapat, rakyat pun semakin terhimpit keadaan. 

Sistem kapitalisme sekuleristik semakin menampakkan watak aslinya. Segala kebijakan yang ditetapkan hanya bertumpu pada kepentingan golongan tertentu yang memiliki kekuasaan, tak peduli segala akibat yang ditimbulkan, tak peduli saat rakyatnya kesusahan. Memprihatinkan!

Selayaknya, setiap pegawai mendapatkan perlakuan dan penghargaan yang sama dari negara. Posisinya adalah sebagai pegawai dengan jam kerja dan resiko yang sama. Yang membedakan hanya bidang keahliaan masing-masing, bukan posisi sebagai tenaga tetap atau tenaga kontrak. Ini pun seharusnya mendapatkan perhatian serius dari negara. Namun, hal tersebut mustahil diterapkan dalam sistem kapitalisme. Sistem ini memang rusak dan melahirkan ketidakadilan dalam pelayanan kebutuhan masyarakat. Semua kebijakan ditetapkan sesuai pesanan penguasa yang memiliki wewenang. 

Rasulullah saw. bersabda, yang artinya,
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim)

Sungguh, tugas seorang pemimpin tidaklah ringan. Segala pertanggungjawabannya akan diperhitungkan di hari hisab kelak. Watak pemimpin yang terlahir dalam sistem Islam adalah pemimpin yang penuh iman takwa, dengan akhlakul karimah dan amanah dalam memenuhi seluruh kebutuhan umat. 

Setiap pelanggaran yang dilakukan penguasa, pasti mendapatkan sanksi tegas dari negara. Tak hanya itu, pagar iman dan takwa pun menjadi perisai tangguh, untuk menjaga watak pemimpin, agar senantiasa menjaga kepemimpinannya. Kepemimpinan mereka senantiasa berorientasi pada kesejahteraan dan keamanan seluruh umat, bukan sekadar asas manfaat. 

Semua konsep ini hanya dapat tersaji dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh di setiap bidang kehidupan, sistem yang tertuang dalam bingkai khilafah manhaj an nubuwwah, sesuai metode yang diterapkan Rasulullah saw. dalam mengurusi umat.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Honorer Tak Dapat THR, Mengapa?

Tinta Media - Tunjangan hari raya (THR) adalah tradisi ketika menjelang lebaran. Hal ini sangat dinantikan baik oleh ASN ataupun honorer. Namun, menurut wacana, di tahun 2023 pemerintah telah memastikan bahwasanya seluruh pegawai honorer tidak akan mendapatkan THR. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang lain, sebab seluruh menteri, presiden, hingga DPR mendapatkan THR. Mengapa demikian?

Pasalnya, aturan tersebut tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2003 yang ditetapkan oleh presiden Jokowi pada 29 Maret 2023 pasal 2.

PP tersebut berbunyi:
"Pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 tahun 2023 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan sebagai wujud penghargaan atas pengabdian kepada bangsa dan negara." 

Dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dalam daftar penerima tersebut, tenaga honorer tidak disinggung sebagai salah satu yang masuk sebagai penerima. 

Sementara itu, mengutip pasal 3 PP, THR dan gaji ke-13 tak hanya diberikan kepada aparatur sipil negara atau ASN, yakni PNS calon PNS, P3K atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau kontrak, anggota TNI, polri dan pensiunan saja, tetapi juga bagi pejabat negara. 
Dalam pasal ini, pemerintah memastikan bahwa profesi guru berstatus P3K akan mendapatkan tunjangan sebesar 50%. Kebijakan ini belum pernah terjadi sebelumnya. (Kumparan.com. 31/3/23)

Kapitalisme Menganaktirikan Honorer

Sungguh miris nasib tenaga honorer dalam sistem kapitalisme. Padahal, menurut PP nomor 48 tahun 2005 yang sekarang menjadi PP nomor 56 tahun 2012, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat pemerintahan yang ditugaskan untuk melakukan sesuatu di dalam instansi pemerintah.(menpan.go.id)

Ini berarti, tenaga honorer telah banyak membantu dalam menjalankan roda pemerintahan dalam berbagai bidang. Adanya tenaga honorer dalam berbagai bidang seperti pendidikan dan lainnya membuktikan adanya sumbangsih para tenaga honorer terhadap negeri ini. Bahkan, data tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah tenaga honorer telah mencapai 2.360.723 orang.(cnbcindonesia.com)

Apa jadinya pemerintahan saat ini jika 2 juta lebih tenaga honorer ini mogok bekerja lantaran dianaktirikan dalam pemberian THR? Diakui atau tidak, gaji yang didapatkan oleh tenaga honorer saat ini belum sepadan dengan jerih payah yang mereka curahkan. Bukan rahasia lagi jika banyak di antara mereka yang hanya mendapatkan gaji berkisar 500.000 hingga 1 juta rupiah per bulan. Bahkan, di daerah yang kekurangan anggaran, gaji yang mereka dapatkan hanya sekitar 300.000 per bulan. Tentu saja dengan gaji yang terbilang kecil ini, merek sangat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok dan mahalnya biaya kesehatan, TDL, air, BBM, serta pajak yang makin mencekik. 

Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekuler dalam memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para tenaga honorer. Sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini telah melahirkan kepemimpinan bercorak kapitalisme. 

Kapitalisme merupakan paham yang menjadikan keuntungan materi sebagai ukuran dan prioritas. Alhasil, ketika sistem ini digunakan mengatur rakyat, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat hanya dipandang dengan kaca mata ekonomi semata dari sisi untung dan rugi. Karena itu wajar jika tenaga honorer pun dipandang sebelah mata, bahkan dianggap membebani negara. 

Islam Menyejahterakan Pegawai

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. Sistem ini lahir dari aturan Allah, Sang Pencipta dan Pengatur manusia. Seluruh aturan dalam Khilafah berasal dari Al-Quran dan as-sunnah yang menjamin keberkahan hidup manusia dan akan menghilangkan setiap kezaliman antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. 

Dalam persoalan ketenagakerjaan, Islam telah mengaturnya dengan sangat rinci. Islam telah mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki sebagai pencari nafkah yang mampu bekerja agar dapat memperoleh pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan hadis Rasulullah saw.:

"Seorang imam adalah raa'in atau pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, yakni Khilafah, rekrutmen pegawai negara tidak mengenal istilah honorer. Mereka akan direkrut sesuai dengan kebutuhan riil negara. Negara akan menghitung jumlah pekerja yang diperlukan untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Seluruh pegawai yang bekerja pada Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah atau kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya.

Khilafah memperbolehkan kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya. Bahkan, Khalifah boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak, baik berasal dari kaum muslimin atau kafir zimmi. Khilafah juga akan menjamin para pekerja mendapatkan perlakuan adil sesuai hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai akan dilindungi oleh negara. 

Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 dinar yang mana satu dinar sama dengan 4,25 gram emas sementara 1 gram emas seharga Rp953.682 per 31 Maret 2023 atau setara dengan 1,2 miliar rupiah

Khilafah mampu menggaji dengan besaran yang fantastis. Sebab, sistem keuangan negara berbasis baitul mal. Dalam baitul mal, terdapat pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa'i, kharaj, jiizyah, ghanimah, usyur, dan sejenisnya. Negara akan menghitung kebutuhan jumlah pekerja untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan. Dengan demikian, negara akan memiliki jumlah pegawai yang cukup. 

Hal ini telah terbukti pada 13 abad yang lalu ketika negara menerapkan syariat Islam secara  kaffah. Islam akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk para pegawai negara.

Wallahu àlam bisshawwab.

Oleh: Mutiara Aini
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab