Tinta Media: Syawal
Tampilkan postingan dengan label Syawal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syawal. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 April 2024

Bolehkah Sholat dan Berkhutbah Idul Fitri pada Tanggal 2 Syawal?

Tanya :

Tinta Media - Ustadz, bolehkah seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal?

Jawab :

Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu.

Dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal, ditunjukkan oleh hadits berikut ini :

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara,"Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata,'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam _As-Sunan Al-Kubra_, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam _As-Sailul Jarrar_, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam _Shahih Sunan Ibnu Majah_, no. 1348).

Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/

Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari _(akhir an nahar),_ yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal).

Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini.

Imam Ibnu Hazm berkata :

واتَّفقوا أنَّ من صفاء الشمس إلى زوالها وقتٌ لصلاة العيدين على أهل الأمصار ((مراتب الإجماع)) (ص: 32).

"Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, _Maratibul Ijma',_ hlm. 32).

Ibnu Rusyd berkata :

واتَّفقوا على أنَّ وقتها... إلى الزوال . ((بداية المجتهد)) (1/229).

"Para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha...adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, _Bidayatul Mujtahid,_ 1/229).

Imam Syarbaini Khathib berkata :

وأمَّا كون آخر وقتها- أي: صلاة العيد- الزوال، فمُتَّفق عليه ((مغني المحتاج)) (1/310).

"Adapun bahwa batas akhir sholat Idul Fitri dan Idul Adha itu adalah waktu zawal (waktu awal Zhuhur), maka itu sudah disepakati ulama." (Syarbaini Khathib, __Mughni al-Muhtaj,_ 1/310).

Imam Syaukani berkata :

وقال بعضُ العلماء: وهي من بعد انبساطِ الشَّمس إلى الزوال، ولا أعرِف فيه خلافًا ((الدَّراري المضية)) (1/118).

"Sebagian ulama berkata,'[waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha] adalah sejak terangnya sinar matahari hingga zawal (awal waktu Zhuhur), dan saya tidak melihat ada khilafiyah dalam masalah ini." ( _Ad-Darari al-Mudhi'ah,_ 1/118).

(Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/).

Dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin ini, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri. Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal.

Dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA yang sudah kami kutip di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan ada hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Dalil pertama, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, dia telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru berkata, Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata, "Mu’adz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi SAW dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya shalat ‘Isya “ (HR Bukhari, no. 660).

Dalil kedua, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan, dia telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah Bin Muqsim dari Jabir bin Abdullah, "Sesungguhnya Muadz bin Jabal sholat Isya’ bersama Rasulullah SAW, kemudian mendatangi kaumnya lalu sholat menjadi imam mereka sholat Isya’ juga”. (HR Ahmad, no. 13723)

Dalil ketiga, telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa dari Sa’id bin As-Sa`ib dari Nuh bin Sha’sha’ah dari Yazid bin Amir dia berkata,"Saya pernah datang ke Masjid sementara Nabi SAW dalam keadaan shalat. Saya lalu duduk dan tidak shalat bersama mereka. Lalu Rasulullah SAW pergi dan melihat Yazid sedang duduk. Beliau bersabda: “Apakah kamu belum masuk Islam wahai Yazid?” Dia menjawab,"Tentu wahai Rasulullah, saya telah masuk Islam." Rasulullah SAW bersabda,“Lalu apa yang menghalangimu untuk shalat bersama jama’ah?” Dia menjawab,"Saya telah shalat di rumahku dan saya menyangka kalian telah selesai shalat. Maka beliau bersabda: “Apabila kamu datang ke shalat jama’ah, lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai nafilah (shalat sunnah) bagimu, dan yang ini (yang sebelumnya) menjadi yang wajib.” (HR Abu Daud, no. 489; Ahmad, no. 18209).

Demikianlah sebagian dalil yang dikemukakan ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan dari hadits-hadits itu dapat diistinbath hukum syara' umum, yaitu boleh hukumnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Jawaban kami adalah, dalil-dalil tersebut tidak dapat menjadi dalil bolehnya sholat Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena hadits-hadits tersebut topiknya (maudhu'-nya) khusus berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, bukan berkaitan dengan sholat Idul Fitri atau sholat Idul Adha.

Tidak dapat diistinbath dari hadits-hadits tersebut suatu hukum umum bahwa boleh hukumnya sholat yang sama dilakukan dua kali, kecuali sholat lima waktu, karena maudhu' (topik) hadits-hadits tersebut berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, seperti sholat Isya', sebagaimana nampak jelas pada _sababul wurud_ untuk hadits pertama dan hadits kedua.

Adapun generalisasi hadits-hadits tersebut dari lafal-lafal umumnya hingga mencakup sholat di luar sholat waktu, seperti sholat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak dapat diterima.

Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

عموم اللفظ في خصوص السبب هو عموم في موضوع الحادثة و السؤال وليس عموما في كل شيء

"Keumuman kata (lafal) berdasarkan sebab yang khusus, hanyalah berlaku umum untuk topik (maudhu') dalam peristiwa dan pertanyaan (yang menjadi sababul nuzul ayat atau sababul wurud hadits), tidak dapat diambil kesimpulan hukum umum untuk segala sesuatu." (Taqiyuddin An-Nabhani, _al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,_ 3/243).

Dengan demikian, hadits-hadits di atas hanya dapat diberlakukan untuk sholat wajib yang lima waktu, tidak dapat diberlakukan untuk sholat Idul Fitri atau Idul Adha.

Maka dari itu, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah 1 Syawal, tidak boleh pada hari Senin ini yakni 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilalnya terlambat melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 atau 17.00 tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 2 Syawal 1443 / 2 Mei 2022

M. Shiddiq Al Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi (Pakar Fikih Muamalah)

Senin, 15 Mei 2023

Ustadzah Rif'ah Kholidah: Seseorang yang Masih Punya Hutang Puasa Ramadhan Boleh Melakukan Puasa Syawal

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Ustadzah Rif'ah Kholidah dari Muslimah Media Center (MMC) menuturkan bolehnya seseorang berpuasa Syawal meski belum mengqadha puasa Ramadhan.

"Boleh bagi seseorang yang masih punya hutang puasa di bulan Ramadhan karena uzur syar'i, misalkan karena sakit, haid, nifas, safar, dan yang lainnya, untuk melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal. Meskipun ia belum mengqadha puasa Ramadhannya," tegasnya dalam tausiyah Jelang Kemenangan: Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Ahad (7/5/2023) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Ustadzah Rif'ah Kholidah memaparkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang berpuasa 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhannya. 

"Pendapat pertama yaitu pendapat para jumhur ulama yakni ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafii. Dan pendapat kedua yaitu pendapat ulama mazhab Hambali yang mengharamkan puasa 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan," ungkapnya. 

Dari dua pendapat ini, menurutnya, pendapat yang lebih rajih atau yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan puasa 6 hari di bukan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan. 

Ustadzah Rif'ah menuturkan ini dikarenakan mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya atau wajib wasa' yakni dapat dikerjakan mulai dari bulan Syawal sampai bulan Sya'ban.

Ia menunjukkan dengan dalil bahwa mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang wasa' atau yang longgar waktunya. Hal ini ada pada hadits dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha yang artinya: Saya pernah mempunyai kewajiban qadha puasa Ramadhan, maka saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya'ban (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

"Hadits ini menunjukkan bahwa mengadha puasa Ramadhan itu waktunya adalah longgar dari bulan Syawal sampai Sya'ban yakni satu bulan sebelum Ramadhan berikutnya. Padahal sudah kita ketahui bahwa 'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah orang yang sangat gemar melaksanakan amal ibadah sunah termasuk melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal," jelasnya.

Ustadzah Rif'ah Kholidah juga memaparkan bahwa, dalam kitabnya Al-Qawaid, Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan tentang kebolehan mendahulukan kesunnahan atau an-nawafil dari kewajiban yang longgar waktunya atau wajib wasa'. Jika ibadah mahdhah itu waktunya longgar atau wasa' maka boleh melakukan kesunnahan sebelum melaksanakan kewajiban seperti shalat. dan boleh pula melakukan kesunnahan sebelum mengadha suatu kewajiban seperti puasa Ramadhan.

"Ini menurut pendapat yang lebih shahih," pungkasnya.[] Hanafi


Minggu, 07 Mei 2023

Ustadzah Dedeh: Tiga Cara Menjaga Semangat Ketaatan setelah Ramadhan


Tinta Media - Ustadzah Dedeh Wahidah dari Muslimah Media Center menjelaskan tiga cara untuk menjaga semangat ketaatan kepada Allah Swt. setelah Ramadhan.

"Tidak hanya Ramadhan, semangat ketaatan harus dijaga sampai kematian menjemput. Oleh karena itu, penting membahas tentang bagaimana cara untuk menjaga ketaatan tersebut," ujarnya dalam program Tausyiah Tsaqafah Islam (Keluarga): Menjaga Ketaatan Usai Ramadhan di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (30/4/2023).

Pertama, harus dilakukan adalah evaluasi diri (muhasabah). "Ketaatan kemaren di Bulan Ramadan atau di bulan-bulan sebelumnya itu seperti apa? Apakah sudah berada di jalan yang benar sesuai dengan ketentuan Allah?" Tanyanya.

Menurutnya, kalau puasa, shalat malam, zikir, tiilawah terjaga. Menuntut ilmu, infak, sedekah dan berbagai kebaikan lainnya sudah dilakukan di Bulan Ramadhan kemaren sesuai dengan ketentuan Allah dengan niat yang ikhlas karena iman kepada Allah, maka harus bersyukur.

"Sebaliknya, ketika hasil evaluasi itu belum bernilai baik, segera bertobat dan beristighfar memohon kepada Allah dari kesalahan-kesalahan dan menutupinya kalau itu sebagai aib atau kekurangan. Kemudian, memohon juga kepada Allah supaya diberikan kembali kesempatan, kemampuan dan semangat untuk memperbaikinya," jelasnya.

Kedua, berkomitmen untuk melanjutkan ketaatan tersebut. "Komitmen itu penting untuk meraih istiqamah (keteguhan) dalam menjalankan ketaatan," tuturnya.

Ia melanjutkan penjelasan, bahwa ada ulama yang mengatakan, diantara tanda diterimanya sebuah amal kebaikan adalah berlanjutnya dengan kebaikan berikutnya. 

"Jadi bukannya berhenti kebaikan itu," jelasnya.

Ia pun menegaskan, berkenaan dengan komitmen, bagaimanapun keadaannya, sulit, berat, banyak godaan dan rintangan, sendirian atau banyak orang, maka ketika kita yakin amal-amal itu adalah sebuah kebenaran dan kebaikan yang akan mengantarkan kepada Ridha Allah, maka harus ada komitmen untuk melanjutkannya.

Menurutnya, mungkin saja di Bulan Ramadan semangat mengkaji ilmu dan menyebarkan Islam, namun ketika Ramadhan berakhir semangat kembali menurun. Tetapi bagi orang-orang yang berkomitmen dalam ketaatan, insya Allah ini bisa menjadi penyebab munculnya semangat untuk terus melakukan ketaatan termasuk mamasifkan dakwah islam. 

"Ya! boleh jadi bukannya dipuji dan diberikan penghargaan, tetapi yang terjadi seperti sekarang, ketika ada yang konsisten mengikuti dakwah Rasulullah Saw menyerukan Islam kaffah justru malah disebut sebagai radikal," tegasnya

"Dengan komitmen untuk bertekad senantiasa semangat dalam ketaatan, sekalipun berat banyak rintangan, maka itulah yang akan membuat istiqamah, Insya Allah," tambahnya.

Ketiga, bergaul dengan orang-orang yang baik (shalih). Menurutnya, diperlukan komunitas orang-orang baik yang semangat untuk melanjutkan ketaatan, yang gigih dalam perjuangan dan senantiasa menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahy munkar), yang mengingatkan kepada ketaatan dan mencegah kita dari kemaksiatan, maka kita akan terbawa suasana dan nuansa mengikuti semangatnya.

"Teman baik itu seperti penjual minyak wangi yang sedikit banyaknya akan menyemprotkan minyak wanginya yang mengharumkan," pungkasnya. [] Muhar

Kamis, 20 April 2023

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL


Tinta Media - Tanya :
Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Jogjakarta).
 
Jawab :

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan  Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakboleh takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, melakukan didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: 

*Pertama,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan *istis-haabul ashl*, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. 

Kaidah fiqih yang termasuk *istis-haabul ashl* misalnya :
 
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

"Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana."(yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, _Al-Asybah wa An-Nazha`ir,_ 1/49).
 
Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal. 

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan. 

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718). 
 
*Kedua,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada. 

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara' yang terkait dengan sholat Idul Fitri.
 
Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). 

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada. 

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).
 
Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki). 

Di antaranya sabda Rasulullah SAW :
 
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).
 
Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. 

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan :
 
لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

"Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi." (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).
 
Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 20 April 2023

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fiqih Muamalah 

Kamis, 26 Mei 2022

Direktur ImuNe: Kaum Muslim Harus Peka terhadap Fenomena dan Problematika Umat


Tinta Media - Tanggapi fenomena mudik, Direktur Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara menyampaikan bahwa sebagai kaum muslimin harus meningkatkan kepekaan terhadap fenomena dan problematika yang mengelilingi umat Islam.

"Sebagai kaum muslimin, sebagai aktivis dakwah, sebagai orang-orang yang memiliki concern besar terhadap cita-cita dan masa depan peradaban Islam, kita pun harus meningkatkan salah satunya kepekaan terhadap fenomena yang baru saja terjadi dan kita semua jalani, yaitu mudik dan arus balik," tuturnya dalam program acara Muslimah Negarawan, yang bertajuk Renungan Syawal: Lebaran, Konsumerisme, dab Urbanisasi, Senin (16/5/2022), di Kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, fenomena mudik dan arus balik itu luar biasa, karena meskipun bukan hal yang viral, dan menjadi topik perbincangan politik, namun ini adalah fenomena yang sebenarnya sistemik, memiliki dimensi pembahasan yang sangat strategis.

Ia menilai, adanya fenomena mudik ini, bahwa arus urbanisasi ini, menandakan masih adanya kesenjangan pembangunan desa dan kota.

Ia mencontohkan adanya gap yang cukup besar dari sisi kesejahteraan antara masyarakat di desa dengan di kota.

"Karena ini bukan fenomena yang terjadi case by case, ya, satu orang dua orang yang mudik. Tapi kan yang mudik itu jutaan dari pusat dan kota-kota besar. Pusat-pusat pertumbuhan kepada daerah-daerah di Kabupaten, di desa, daerah-daerah pinggiran, di Jawa, luar Jawa," ujarnya.

Menurutnya, ini sebenarnya juga tidak bisa kita lepaskan dari pola pembangunan kapitalistik yang menimpa umat Islam. "(Pola pembangunan) yang memang menciptakan kesenjangan pembangunan antara center and peripheral (pusat-pusat pembangunan dengan pinggiran dan daerah-daerah pinggiran)," pungkasnya.
[] 'Aziimatul Azka

Minggu, 08 Mei 2022

Berjuang Melalui Tulisan


Tinta Media  - "Dek, ayo bangun sahur. Udah mau azan tuh dek." Ucap Kakak ku.

"Iya kak, aku segera ke ruang makan untuk sahur." Jawabku setengah berteriak.

"Dek, kata bunda sama ayah kita masih nunggu keputusan tentang hilal dulu. Jadi kita sahur aja dulu." Ujar kak Fahmi sesampainya aku di ruang makan. 

"Oh iya kak. Tapi kalau misalnya kita lebarannya hari ini, kita salat dimana?" Ujar ku menanggapi perkataan Kak Fahmi. 

"Gak tahu lagi dek." Jawabnya singkat.
"Nah, sekarang lebih baik kita sahur dulu. Ntar keburu habis waktunya." Ujar Ayah menengahi. 

Pagi itu kuawali dengan perasaan yang membuncah. Rasa bahagia itu mendadak menyusup dalam diri ini meski kabar itu belum aku terima kenyataannya. Hari itu tepat tanggal 30 Ramadan sebelum semua kabar mengkandaskannya. Tepat saat azan shubuh berkumandang, Ayah menerima informasi yang mengatakan bahwa hari itu ditetapkan sebagai tanggal 01 Syawal. Seketika kami pun berbuka kembali. 

" Anak-anak ternyata lebaran jatuh pada hari ini. Ya sudah sekarang segera salat shubuh, setelah itu bersiap-siap untuk sholat Idulfitri. Tempatnya di lapangan futsal terdekat." Ujar ayah memberi arahan kepada kami semua.
"Oke ayah." Ujar aku dan kak fahmi hampir bersamaan. 

Setelah semuanya selesai, kami pun segera berangkat ke tempat dilaksanakannya salat 'id tersebut. Sesampainya di sana, aku bertemu dengan seorang sahabat semenjak dahulu. Fatma Zahra Syahidah, seorang remaja yang sholihah, cerdas, dan aktif dalam menyebarkan dan menyuarakan kebenaran. Bersama dengannya aku berusaha untuk berdakwah dan berjuang dalam barisan dakwah ini. 

"Assalamualaikum Fatma, apa kabar? Sehat?" Tanyaku sembari menepuk pelan bahunya.
" Wa'alaikumussalam, eh ada Fahma. Alhamdulillah sehat. Gimana kabarmu?" Tanya nya balik kepada ku.
"Alhamdulillah aku sehat." Sembari memeluk nya sebagai sarana untuk melepas rindu yang begitu dalam.
" Yaudah ayo segera kesana aja kita, udah mau dimulai juga salatnya." Ajaknya.
"Iya ayo." Jawabku singkat. 

Seusai salat, aku pun mendengarkan sebuah khotbah yang menggetarkan diriku. Bulir air mata sudah tak tertahankan lagi, hingga akhirnya iapun keluar sebagai tanda bahwa sang pemilik nya sedang dilanda sedih. Setelah selesai semua, aku pun berpamitan pada Fatma karena sang kakak tercinta sudah memanggil.
" Fatma, aku pulang dulu ya. Udah ditunggu sama keluarga. Nanti mainlah kerumah sama keluarga mu juga. Setidaknya sebagai pelepas rindu lah." Ucapku mencoba berkelakar.
"Oh iya Fahma. Hati-hati ya Fah, Insya Allah nanti aku main ke rumah mu. Sekalian mau ngobrolin tentang sesuatu. Yaudah hati-hati ya Fah!" Jawab nya tersenyum.
*** 

Sesampainya dirumah, aku merasa hari ini tak serasa hari lebaran, wajar saja tahun ini lebaran kita berbeda dari masyarakat pada umumnya. Sehingga menyebabkan suasana seperti tak sebenarnya. Untuk menghilangkan suntuk sejenak, aku pun mengambil gawai ku untuk berselancar sejenak di Facebook. Setelah melihat beberapa postingan, aku pun termenung. 

"Ya Allah.... Sampai kapan perbedaan ini terus berlanjut, sampai kapan perbedaan ini menjadi sekat pemisah antara satu muslim dengan muslim yang lainnya. Sampai kapan ya Allah?" Ucapku bermonolog pada diriku sendiri. 

" Perbedaan ini terasa memilukan. Dan perbedaan ini tentu saja menjadi bukti bahwa satu-satunya jalan untuk menyatukan semua perbedaan pendapat ini adalah dengan kepemimpinan tunggal yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dimasa dahulu." Lanjut ku masih bermonolog. 

Tiba-tiba lamunanku pun buyar karena terdengar ketukan dari pintu kamar ku. 
"Fahma, itu ada Fatma didepan nunggu kamu. Mau disuruh masuk atau gimana dek?" Tanya Kak Fahmi dari luar kamar.
" Oh iya kak, kalau boleh disuruh masuk kamar ku aja kak." Jawabku sedikit tergagap.
  "Iya, tunggu bentar ya." Ujarnya. 

Tak lama kemudian terdengar lah ketukan lembut dari Fatma, tak menunggu lama langsung ku persilakan ia memasuki kamarku.
"Hai Fatma, ayo masuk. Tadi mau ngobrolin apa memang nya?" Tanyaku padanya.
"Gini lho Fah, jujur perbedaan yang kini sering kali terjadi begitu mengusik ku. Sebagai seorang muslim kita seharusnya bersatu bukan terpecah seperti itu." Ucapnya memulai pembicaraan.
" Aku juga sedari tadi memikirkan hal itu Fat. Bagaimana ya peran kita agar bisa bermanfaat untuk umat? Ya walaupun kita gak langsung bertindak kayak yang _ikhwan_, setidaknya kita punya kontribusi dan usaha untuk mengembalikan sebuah kepemimpinan tunggal yang mampu menyatukan seluruh umat."
"Mmmm, gimana kalau kita mulai saat ini berusaha menuangkan ide-ide keislaman lewat tulisan, ya semacam berdakwah lewat tulisan gitu. Kalau menurut mu gimana?" Tanyanya padaku.
" Oke. Mulai sekarang kita harus terus berdakwah dan menyebarkan islam baik lewat lisan maupun tulisan. Sehingga perbedaan yang saat ini terjadi bisa dipulihkan dengan adanya persatuan berdasarkan Syariat islam." Pungkasnya Fahma. 

Kini ia sadar bahwa perbedaan yang saat ini terjadi adalah karena ketiadaan sistem Islam yang digunakan untuk mengatur kehidupan sehingga menyebabkan berbagai problematika terjadi dalam kehidupan ini. Sehingga sebagai pejuang dakwah sejati, kita tak boleh mundur walau selangkah. Teruslah berdakwah dan menyebarkan Islam selagi kita masih mampu untuk mengembannya hingga kelak Allah matikan kita di dalam koridor dakwah ini. Hamasah pejuang!!! 

Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba 
Santri DKDM Kelas 8 PP Al-Ihsan Baron Nganjuk

Sabtu, 07 Mei 2022

KH Hafidz Abdurrahman Jelaskan Makna Lailahaillallah


Tinta Media  - Mudir Ma'had Syaraful Haramain KH Hafidz Abdurrahman, MA. menjelaskan makna kalimat tauhid lailahaillallah.

"Ketika Allah SWT menjadikan lailahaillallah Muhammadarrasullullah bukan hanya sekedar slogan. Lailahaillallah adalah aqidah. Lailahaillallah adalah keyakinan. Lailahaillallah merupakan visi, misi dan orientasi hidup seorang muslim," tuturnya dalam Kekuatan Iman di kanal YouTube ASPIRASI News, Kamis (5/5/2022).

Menurutnya, Allah SWT telah menjadi Lailahaillallah Muhammadarrasullullah sudah berada di Lauhul mahfudz sejak Adam AS diciptakan di surga. "Ketika Adam AS melakukan kesalahan kepada Allah SWT, Adam melihat di sana terpampang Lailahaillallah Muhammadarrasullullah, bahkan sebelum Rasulullah SAW dilahirkan," terangnya.

"Lailahaillallah Muhammadarrasullullah itu merupakan bentuk ikrar. Lailahaillallah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, tiada Tuhan yang dimana kita berhak untuk mengabdikan diri kita kecuali hanya dia, Allah SWT," ujarnya.

"Dan Muhammad Saw adalah utusan Allah SWT, maka ketika seseorang itu dalam hatinya mengikrarkan Lailahaillallah. Menjadikan dirinya hanya menjadi hamba Allah SWT, maka dia menjadi orang yang merdeka," tambahnya.

Ia menyatakan bahwa itulah kekuatan Lailahaillallah Muhammadarrasullullah. "Ketika kita memiliki kekuatan ini, maka kita menjadi orang yang merdeka, orang yang memiliki kemandirian, orang yang memiliki Izzah, kemuliaan," tukasnya.

"Karena Lailahaillallah itu menjadikan kita hanya layak untuk diperintah oleh Allah SWT, tunduk pada Allah SWT," paparnya.

Ia melanjutkan bahwa bagaimana dahsyatnya Lailahaillallah Muhammadarrasullullah menjadikan orang memiliki ikrar. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah SWT zat yang menyerap semesta alam. "Itulah kekuatan Lailahaillallah Muhammadarrasullullah,"bebernya.

"Maka Lailahaillallah Muhammadarrasullullah menjadi visi seorang mukmin. Dengannya dia bisa menembus seluruh dunia, dengannya dia bisa menjadi penakluk, dengannya dia menjadi adidaya," ungkapnya.

Ia menilai bahwa kekuatan Lailahaillallah Muhammadarrasullullah menjadi sandaran hingga tidak ada rasa takut. Mereka memiliki zat yang Maha. "Kekuatan Allah SWT," tegasnya.

"Tidak ada daya, tidak ada kekuatan, kecuali milik Allah SWT. Itu kekuatan, kedahsyatan Lailahaillallah Muhammadarrasullullah," pungkasnya.[] Ajirah

Ustazah Ratu Erma: Pahami Makna Takwa dengan Benar


Tinta Media - Untuk menjaga ibadah pasca Ramadhan, Mubalighah Nasional Ustazah Ratu Erma menyampaikan pesan, "Pahami makna takwa dengan benar dan wujudkan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (7/5/2022).

Menurutnya, banyak ayat dan hadis yang memerintahkan kita untuk takwa. "Kata takwa disebut Allah SWT dalam tiga puluh sembilan ayat, lebih banyak lagi dalam hadis, sulit untuk menghitungnya," ungkapnya.

Simpulan dari makna takwa, lanjutnya,  adalah takut dan khawatir terhadap Allah SWT dengan cara menjalankan seluruh perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT.

Diantara ayat yang memerintahkan takwa adalah surat al Maidah ayat 8:

{وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}

"Dan bertakwalah kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sedangkan dalam hadis, kata Ustazah Ratu, diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Saya mewasiatkan Anda untuk bertakwa kepada Allah dalam segala urusanmu, baik secara rahasia dan terbuka."

Dari Muadz radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku berkata, ya Rasulullah, beri aku wasiat, Rasul bersabda: "Kamu harus takut kepada Allah sebanyak yang kamu bisa." (Al-Mu`jam Al- Kabir).

"Orang-orang yang bertakwa akan mendapat dua kebaikan, di dunia dan di akhirat. Di akhirat Allah SWT menjanjikan bagi mereka kemenangan di surga dan pembebasan dari api neraka dan yang lebih besar dari itu, yaitu keridhaan Allah pada hari perhitungan di akhirat," jelasnya.

Sedangkan kebaikan di dunia, tambahnya,  Allah memberikan banyak hal, yaitu rizki yang tidak disangka-sangka, jalan keluar dari kesulitan (QS. Ath-thalaq 2-3), selamat dari kejahatan musuh-musuh Islam. 

"Allah juga memberi keberkahan bagi penduduk bumi jika mereka menaati perintah dengan menerapkan syari’ah-Nya dan menjauhi larangan-Nya," terangnya.

Ia mengutip firman Allah Quran surat Al-A'raf ayat 96: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi."

Dalam surat Al-Hadid ayat 28, lanjutnya, Allah akan memberi rahmat dua kali lipat, menjadikan cahaya untuk berjalan, yang berarti memberi petunjuk  dalam hidup.

"Dan banyak lagi kebaikan di dunia bagi umat Islam yang bertakwa.  Karena pada prinsipnya, Allah menciptakan umat manusia dan jin di dunia itu, adalah untuk beribadah kepada-Nya," tegasnya.

Dan ibadah itu, menurutnya, diwujudkan dalam bentuk ketaatan dengan semua perintah Allah SWT dalam aspek kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara. "Karena hukum-hukum Allah itu mencakup semua urusan hidup manusia. Yang dengan hukum-hukum itulah keberkahan dunia akan dirasakan," tandasnya.

Ustazah Ratu menegaskan bahwa ibadah yang paling utama dilakukan dalam situasi hukum-hukum Allah tidak ditegakkan, yang menyebabkan kondisi kehidupan umat manusia jauh dari keberkahan adalah dakwah. 

"Dakwah adalah ibadah yang dicontohkan para Rasul Allah,  yang dengannya kehidupan umat manusia berubah dari jahiliyah dengan perilakunya yang buruk kepada perilaku baik sesuai syari'at Allah," pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Nasihat Ustaz Iwan Januar Pasca Ramadhan: Ibadah Itu karena Allah


Tinta Media - Agar ibadah tetap semangat sebagaimana di bulan Ramadhan, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar memberi nasihat bahwa ibadah itu karena Allah.

"Umat harus ingat bahwa ibadah itu adalah karena Allah, dan Allah terus hadir kapan saja, bukan semata di bulan Ramadhan," nasihat Ustaz Iwan Januar kepada Tinta Media, Sabtu (7/5/2022).

"Para ulama ingatkan kun Rabbaniyan wa laa takunu Ramadhaniyyan, Jadilah kamu Rabbani yakni orang yang menghamba Pada Allah, jangan menghamba pada Ramadhan," lanjutnya.

Menurutnya, dengan mengingat wajibnya ibadah pada Allah setiap saat, insya Allah kaum muslimin bisa istiqomah dalam ketaatan.

Ia menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan umat di tengah semakin zalimnya rezim saat ini. "Ada beberapa hal yang penting dilakukan umat di masa penuh fitnah ini," ujarnya.

Pertama, menjaga diri dalam ketaatan sekalipun dibenci banyak orang. "Kedua, berjuang untuk menegakkan dienullah hingga tegaknya Syariat dan Khilafah sebagai mahkota kewajiban," jelasnya.

"Inilah dua perkara yang amat penting di masa sekarang," pungkasnya.[] Raras

Jumat, 06 Mei 2022

Guru Luthfi: Hentikan Kezaliman Terstruktur Rezim dengan Dakwah Politik


Tinta Media  - Pengasuh Majelis Baitul Qur'an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat menyatakan bahwa aktivitas untuk menghentikan kezaliman terstruktur rezim adalah dakwah yang memiliki warna politik.

"Dikarenakan persoalan kezaliman terstruktur dari rezim dan itu adalah aktivitas politik. Aktivitas kebijakan atas urusan rakyat. Oleh karenanya aktivitas untuk menghentikannya, dakwah yang dilakukan pun harus memiliki warna politik dalam arti pengurusan umat tersebut," tuturnya kepada Tinta Media dalam Wawancara Khusus Edisi Syawal 1443 H, Jum'at (6/5/2022).

"Aktivitas dakwah yang dilakukan adalah aktivitas pemikiran yang menjelaskan, mengkritisi setiap kebijakan zalim yang menyalahi syariat Allah dan nyata-nyata zalim," tambahnya.

Menurutnya, dakwah juga wajib dilakukan berjamaah. Karena demikian yang dicontohkan Baginda Rasulullah, mulai di Mekkah hingga Madinah saat mendapat pertolongan Allah SWT. "Rasul mencontohkan aktivitas dakwah itu adalah aktivitas jamaah," ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa meski Ramadhan 1443 H telah berlalu, namun rasa haru, khawatir, dan sedih menyelimuti. "Rasa haru karena besar harapan kita segala amal ibadah kita, mulai dari Shaum, qiyamul Lailatul, shadaqah, infak serta amal ibadah lainnya kiranya diterima dan dilipatgandakan pahalanya di sisi Allah SWT," ucapnya.

"Khawatir jika ternyata dosa dosa kita tidak diampuni, pahala tidak diterima, dan --naudzubillah--, kita berlindung kepada Allah atas apa yang Baginda Rasulullah ingatkan, bahwa betapa rugi seseorang yang melewati Ramadhan, namun dosa-dosanya tidak dieliminasi oleh Allah SWT," bebernya.

"Sedih karena ragam keutamaan, berbagai bonus yang Allah berikan atas balasan amal tidak kita temukan lagi sesaat setelah Ramadhan 1443 H meninggalkan kita. Sedih kalau-kalau kita tidak berjumpa dengan Ramadhan berikutnya," imbuhnya.

Namun yang harus menjadi catatan penting bahwa, tutur Guru Luthfi, walaupun Ramadhan telah pergi, semangat ibadah jangan sampai ditinggalkan. "Shaum Ramadhan tetap kita biasakan dengan melakukan shaum Sunnah, mulai dari puasa Sunnah di bulan Syawal, dan kebaikan ibadah ini kita tetap lanjutkan dengan shaum Sunnah Senin Kamis, ataupun Shaum Sunnah Nabi Daud As," paparnya.

"Tahajjud kita pun juga tetap harus menjadi kebiasaan kita, jika perlu kita jaga hingga nanti Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan 1444 H," bebernya.

"Demikian pula ibadah lain seperti shadaqah, infak dan nawafil lainnya, terus kita rawat hingga menjadi 'bi'ah', kebiasaan baik kita," tukasnya.

Menurutnya, para ulama menyebutkan bahwa indikator diterimanya ibadah sebelumnya adalah terwujud dengan diikutinya dengan ibadah dan ketaatan berikutnya secara berkesinambungan.

Ia pun mengutip hadist dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah yang berkata, “Diantara tanda diterimanya amal shalih di bulan Ramadhan adalah keadaan seorang muslim setelahnya menjadi lebih baik daripada sebelum Ramadhan, karena kebaikan akan mengajak kepada kebaikan (selanjutnya) dan amal shalih akan mengajak pada amal shalih lainnya," ulasnya.

Ia menambahkan juga bahwa yang menjadi catatan penting, selain amal ibadah mahdhah demikian, di zaman yang penuh kezhaliman seperti saat ini, umat Islam juga penting mengutamakan amal atau aktivitas utamanya, yakni melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar. Melakukan dakwah yang secara simultan untuk memperbaiki kondisi zaman yang penuh dengan kezhaliman tersebut.

"Kenapa demikian, karena dengan dakwah lah satu-satunya jalan yang dicontohkan Rasulullah untuk merespon, menghentikan kezhaliman, sekaligus berupaya mengubah keadaan menjadi lebih baik," ungkapnya.

Aktivitas dakwah juga merupakan aktivitas pokok para Nabi. Sungguh mereka yang kemudian menjalankan aktivitas ini adalah pewaris para Nabi yang hakiki. "Allah juga kemudian menjadikan aktivitas demikian adalah sebaik-baik baik amal. Sebaik-baik perkataan," jelasnya.

"Demikian kiranya hal-hal yang penting kita lakukan pasca Ramadhan 1443 H. Selain melanjutkan kebiasaan ibadah di bulan Ramadhan, tetap kita terus fokus melakukan dakwah hingga Allah memberikan kemenangan. Nashrun minallah wa fathun qarib," tandasnya.[] Ajira

Rabu, 04 Mei 2022

Puasa Sunnah Syawal Sebelum Meng-qadha Puasa Ramadhan, Bolehkah?


Tinta Media  - Tanya : Ustadz, bolehkah seseorang yang masih punya utang puasa Ramadhan misal perempuan yang haid, berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal lebih dulu baru mengqadha` puasa Ramadhannya? (Fauzi Saifurrahman, Yogyakarta).

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya dalam dua pendapat. Pertama, jumhur ulama, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i secara global membolehkannya. Ulama mazhab Hanafi membolehkan secara mutlak tanpa disertai kemakruhan, sedang ulama mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan disertai kemakruhan (jaa`iz ma’a al karaahah). Kedua, ulama mazhab Hanbali mengharamkan puasa sunnah 6 hari bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhan. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz III, hlm. 145; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz XXVIII, hlm. 92-93).

Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya. Hal itu dikarenakan mengqadha` puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya (wajib muwassa’), yaitu dapat dikerjakan mulai bulan Syawal hingga bulan Sya’ban.[]

Oleh: KH Shiddiq Al Jawi
Founder Institute Muamalah Indonesia

Selasa, 03 Mei 2022

Ini Alasan Tidak Boleh Sholat atau Berkhutbah Idul Fitri di Tanggal 2 Syawal


Tinta Media  - Menjawab pertanyaan boleh atau tidak seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan tidak boleh sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal karena batas akhir adalah awal waktu zhuhur.

“Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu,” tutur Ustaz Shiddiq kepada Tinta Media, Senin (2/4/2022).

Kiai menyampaikan dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqi:

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Artinya: Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara, “Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata, 'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam As-Sailul Jarrar, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1348).

Ustaz Shiddiq menjelaskan hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari  (akhir an nahar), yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). “Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” jelasnya.

“Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini,” tambahnya.

Selain itu, Kiai juga menyampaikan pendapat beberapa ulama, diantaranya   Imam Ibnu Hazm berkata bahwa "Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu " sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma', hlm. 32).

Kemudian, menurut Ibnu Rusyd, para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha... adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/229).

Begitu pula menurut Imam Syarbaini Khathib dan Imam Syaukani yang memiliki pendapat senada. Sehingga, dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal. “Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Idul Fitri,” paparnya.

“Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” lanjutnya.

Namun demikian, menurut kiai Shiddiq ada kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal. “Misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal,” terangnya.

Disampaikan dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

“Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab