FAKKTA: Swastanisasi Nikel Akibat Hilangnya Kepercayaan Diri Negara Membangun Perekonomian
Tinta Media - Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai swastanisasi sumber daya alam Nikel sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan pemerintah dalam membangun perekonomian Indonesia.
“Pemerintah kehilangan kepercayaan diri dalam membangun perekonomian Indonesia termasuk di dalam mengelola pertambangan,” ujarnya dalam Program Kajian Ekonomi FAKKTA: Investasi Nikel, Siapa Untung Siapa Buntung? Sabtu (4/2/2023), di kanal Youtube Khilafah Reborn.
Menurutnya, pemerintah (BUMN) sebenarnya memiliki kemampuan untuk mendapatkan modal dari perbankan domestik atau dari pinjaman sindikasi tapi tidak dilakukan. Pengelolaan smelter nikel ini diserahkan kepada perusahaan China.
“Hanya puas dengan mendapatkan pendapatan dari pajak, itu pun pajaknya sudah banyak direduksi sedemikian rupa sampai tax holiday 5-10 tahun bahkan ada yang 15 tahun,” tuturnya.
Untuk mempermudah investasi sektor swasta di sektor pertambangan nikel ini, Ishak menilai pemerintah memberikan banyak insentif yang luar biasa besarnya dan sangat menguntungkan para pengusaha khususnya pengusaha asing.
“Karena memang investasi nikel ini membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga memang tidak banyak yang bisa masuk ke sini untuk smelter khususnya, kalau untuk izin usaha pertambangan (IUP) tidak sulit hanya berbekal izin dan menyewa alat-alat berat sudah bisa beroperasi, tapi yang mahal adalah smelternya,” ucapnya.
Ia membeberkan berbagai keuntungan yang diberikan pemerintah bagi para investor swasta ini, yakni memberikan fasilitas biaya impor gratis apabila bahan baku atau bahan untuk menginstalasi smelter di Indonesia di impor maka selama dua tahun tidak dikenakan pajak.
“Jadi mereka tinggal membeli bahan-bahannya saja, tapi pemerintah tidak mendapat apa-apa. Selain itu pemberian tax allowance maksudnya pengurangan pajak sebesar 50 persen dari nilai investasi mereka. Inilah yang dijadikan basis penghilangan pajak,” bebernya.
Keuntungan lainnya berupa pemberian tax holiday. Jika investasi antara 500 miliar sampai satu triliun maka selama 15 tahun tidak membayar pajak. Begitu pun untuk investasi antara 5 triliun sampai 15 triliun. Sedangkan untuk investasi 15 triliun sampai 30 triliun, selama 15 tahun tidak membayar pajak dan untuk investasi lebih dari 30 triliun maka selama 20 tahun tidak membayar pajak.
“Tax holiday ini memang yang paling seksi dan menarik. Karena smelter ini mahal sekitar 15 triliun , jadi kalau rata-rata 15 triliun investasinya minimal pengusaha asing ini 10 tahun tidak membayar pajak, setelah 10 tahun terkena pajak tetapi dikurangi 30 persen,” tuturnya.
Ia mengatakan bahwa tarif royalti nikel rendah sekali, untuk IUP hanya 5 persen, bijih nikel 10 persen, bisnis smelter 5 persen, dan jika bisa membuat logam nikel hanya 1,5 persen. “Jadi rendah sekali, makanya perusahaan-perusahaan smelter swasta dari China membayar royalti sangat kecil,” katanya.
Selain itu para pengusaha ini mendapat kemudahan investasi dari pemerintah daerah berupa pengurangan pajak domestik atau retribusi lokal, dan seterusnya.
“Inilah insentif tang diberikan pemerintah sehingga banyak sekali investor asing masuk ke industri nikel,” ujarnya.
Ishak mengkritisi investasi di smelter nikel ini yang dikuasai oleh asing dan dianggap investor-investor ini sebagai tamu yang harus dihormati dan mendapat berbagai macam fasilitas fiskal.
“Dari pemotongan pajak bahkan pembebasan pajak, pembayaran royalti yang sangat rendah, bahkan ada lagi yang IUP mengeruk bijih nikel, itu wajib menjual bijih-bijih nikel mereka ke smelter asing ini, tidak boleh dijual ke luar negeri. Padahal selisih harga domestik dengan internasional itu sekitar 30 persen. Lebih murah,” kritiknya.
Di samping itu, para investor asing ini diberi keleluasaan mengatur ketenagakerjaan yang bekerja di perusahaan mereka. Tenaga kerja yang didatangkan adalah pekerja yang tidak memiliki kecakapan atau tenaga kerja kasar dan diberikan tarif atau gaji lebih tinggi dari tenaga kerja domestik.
“Di dalam undang-undang (UU) Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing hanya boleh mengisi top level seperti manajer ke atas atau yang memiliki skill yang tidak dipenuhi di dalam negeri,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa sektor pertambangan ini lemah sekali karena dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang dekat dengan kekuasaan atau bisa membeli hukum. Regulasi-regulasi lebih berpihak kepada investor dibandingkan masyarakat dan negara.
“Sehingga banyak regulasi-regulasi itu ditabrak oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, menguntungkan bagi perusahaan,” katanya.
Ishak kembali menegaskan bahwa prinsip liberalisme pasar yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadikan market untuk mengelola perekonomian. Termasuk kebebasan dalam melakukan usaha di sektor pertambangan sehingga peran swasta diberikan keleluasaan.
“Pemerintah hanya cukup sebagai pihak regulator saja dengan mendapatkan pajak dan pendapatan negara bukan pajak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika