Tinta Media: Swastanisasi Nikel
Tampilkan postingan dengan label Swastanisasi Nikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Swastanisasi Nikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Februari 2023

FAKKTA: Swastanisasi Nikel Akibat Hilangnya Kepercayaan Diri Negara Membangun Perekonomian

Tinta Media - Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai swastanisasi sumber daya alam Nikel sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan pemerintah dalam membangun perekonomian Indonesia.

“Pemerintah kehilangan kepercayaan diri dalam membangun perekonomian Indonesia termasuk di dalam mengelola pertambangan,” ujarnya dalam Program Kajian Ekonomi FAKKTA: Investasi Nikel, Siapa Untung Siapa Buntung? Sabtu (4/2/2023), di kanal Youtube Khilafah Reborn.

Menurutnya, pemerintah (BUMN) sebenarnya memiliki kemampuan untuk mendapatkan modal dari perbankan domestik atau dari pinjaman sindikasi tapi tidak dilakukan. Pengelolaan smelter nikel ini diserahkan kepada perusahaan China.

“Hanya puas dengan mendapatkan pendapatan dari pajak, itu pun pajaknya sudah banyak direduksi sedemikian rupa sampai tax holiday 5-10 tahun bahkan ada yang 15 tahun,” tuturnya.

Untuk mempermudah investasi sektor swasta di sektor pertambangan nikel ini, Ishak menilai pemerintah memberikan banyak insentif yang luar biasa besarnya dan sangat menguntungkan para pengusaha khususnya pengusaha asing.

“Karena memang investasi nikel ini membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga memang tidak banyak yang bisa masuk ke sini untuk smelter khususnya, kalau untuk izin usaha pertambangan (IUP) tidak sulit hanya berbekal izin dan menyewa alat-alat berat sudah bisa beroperasi, tapi yang mahal adalah smelternya,” ucapnya.

Ia membeberkan berbagai keuntungan yang diberikan pemerintah bagi para investor swasta ini, yakni memberikan fasilitas biaya impor gratis apabila bahan baku atau bahan untuk menginstalasi smelter di Indonesia di impor maka selama dua tahun tidak dikenakan pajak.

“Jadi mereka tinggal membeli bahan-bahannya saja, tapi pemerintah tidak mendapat apa-apa. Selain itu pemberian tax allowance maksudnya pengurangan pajak sebesar 50 persen dari nilai investasi mereka. Inilah yang dijadikan basis penghilangan pajak,” bebernya.

Keuntungan lainnya berupa pemberian tax holiday. Jika investasi antara 500 miliar sampai satu triliun maka selama 15 tahun tidak membayar pajak. Begitu pun untuk investasi antara 5 triliun sampai 15 triliun. Sedangkan untuk investasi 15 triliun sampai 30 triliun, selama 15 tahun tidak membayar pajak dan untuk investasi lebih dari 30 triliun maka selama 20 tahun tidak membayar pajak.

“Tax holiday ini memang yang paling seksi dan menarik. Karena smelter ini mahal sekitar 15 triliun , jadi kalau rata-rata 15 triliun investasinya minimal pengusaha asing ini 10 tahun tidak membayar pajak, setelah 10 tahun terkena pajak tetapi dikurangi 30 persen,” tuturnya.

Ia mengatakan bahwa tarif royalti nikel rendah sekali, untuk  IUP hanya 5 persen, bijih nikel 10 persen, bisnis smelter 5 persen, dan jika bisa membuat logam nikel hanya 1,5 persen. “Jadi rendah sekali, makanya perusahaan-perusahaan smelter swasta dari China membayar royalti sangat kecil,” katanya.

Selain itu para pengusaha ini mendapat kemudahan investasi dari pemerintah daerah berupa pengurangan pajak domestik atau retribusi lokal, dan seterusnya.
“Inilah insentif tang diberikan pemerintah sehingga banyak sekali investor asing masuk ke industri nikel,” ujarnya.

Ishak mengkritisi investasi di smelter nikel ini yang dikuasai oleh asing dan dianggap investor-investor ini sebagai tamu yang harus dihormati dan mendapat berbagai macam fasilitas fiskal.

“Dari pemotongan pajak bahkan pembebasan pajak, pembayaran royalti yang sangat rendah, bahkan ada lagi yang IUP mengeruk bijih nikel, itu wajib menjual bijih-bijih nikel mereka ke smelter asing ini, tidak boleh dijual ke luar negeri. Padahal selisih harga domestik dengan internasional itu sekitar 30 persen. Lebih murah,” kritiknya.

Di samping itu, para investor asing ini diberi keleluasaan mengatur ketenagakerjaan yang bekerja di perusahaan mereka. Tenaga kerja yang didatangkan adalah pekerja yang tidak memiliki kecakapan atau tenaga kerja kasar dan diberikan tarif atau gaji lebih tinggi dari tenaga kerja domestik.

“Di dalam undang-undang (UU)  Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing hanya boleh mengisi top level seperti manajer ke atas atau yang memiliki skill yang tidak dipenuhi di dalam negeri,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa sektor pertambangan ini lemah sekali karena dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang dekat dengan kekuasaan atau bisa membeli hukum. Regulasi-regulasi lebih berpihak kepada investor dibandingkan masyarakat dan negara.

“Sehingga banyak regulasi-regulasi itu ditabrak oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, menguntungkan bagi perusahaan,” katanya.

Ishak kembali menegaskan bahwa prinsip liberalisme pasar yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia menjadikan market untuk mengelola perekonomian. Termasuk kebebasan dalam melakukan usaha di sektor pertambangan sehingga peran swasta diberikan keleluasaan.

“Pemerintah hanya cukup sebagai pihak regulator saja dengan mendapatkan pajak dan pendapatan negara bukan pajak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

IJM Ungkap Bahaya Swastanisasi Nikel

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana mengungkap bahaya swastanisasi Nikel bagi Indonesia. 

“Nikel yang merupakan sumber daya alam yang unik dari Indonesia, bisa memberikan posisi tawar yang luar biasa untuk Indonesia. Adanya swastanisasi SDA termasuk nikel sudah terjadi sejak dulu hingga kini termasuk nikel, memiliki bahaya sebagai berikut,” tuturnya dalam Kabar Petang: Sikat Mafia Tambang Nikel di kanal youtube Khilafah News, Jumat (3/2/2023).

Pertama, investasi asing yang diharapkan mampu merekrut tenaga kerja dalam negeri justru lebih banyak rekrutmen tenaga kerja asing. 

Kedua, eksploitasi yang dilakukan asing bisa ekspor di tengah komoditas sedang mahal namun perdagangan yang surplus ini malah nilai devisa kita turun. “Ini kan aneh. Ternyata saya lihat dolar hasil ekspor nongkrongnya di luar negeri,” ujarnya.

Agung menyampaikan, adanya investasi asing secara jangka pendek ada harapan bisa transfer teknologi faktanya tidak ada. Sedangkan secara jangka panjang ada beberapa yang menilai nikel Indonesia tidak akan bertahan lama atau tidak akan sustainable. “Selain itu ada resiko terbesar yaitu terkait kedaulatan negara. Indonesia bisa menjadi seperti Amerika Latin, dia kaya SDA tapi yang kaya adalah Amerika Serikat,” ungkapnya.

Selamatkan SDA Indonesia!

Menurut Agung, harus ada upaya untuk menyelamatkan nikel dan SDA lainnya sehingga SDA bisa menyelamatkan dan membangun Indonesia. 

Pertama, memastikan ownership atau kepemilikan SDA harus dikuasai negara.

Kedua, pengelolaan SDA diberikan secara penuh untuk kemakmuran rakyat. “Islam memberikan pandangan jika jumlah SDA-nya melimpah maka harus dikelola negara dan diarahkan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan baik muslim maupun nonmuslim. Oleh karena itu haram hukumnya harta milik umum ini diserahkan ke swasta,” tambahnya. 

Agung menegaskan ketika orientasi kepemilikan umum mengikuti dua poin di atas maka tidak akan merusak lingkungan yang berarti tidak merusak kepentingan umum juga. 

“Oleh karena itu di kesempatan yang baik ini jika kita ingin sustainability atau keberlanjutan serta ingin lingkungan baik dan memberikan keuntungan besar kepada rakyat, maka kembalilah kepada sistem Islam. Tinggalkan sistem kapitalis seperti yang ada sekarang ini,” pungkasnya.[] Erlina
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab