Tinta Media: Subur
Tampilkan postingan dengan label Subur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Subur. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Juni 2024

Hanya dengan Sistem Islam, Generasi Menganggur Tak Tumbuh Subur



Tinta Media - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Ternyata, anak muda yang paling banyak masuk dalam kategori NEET justru ada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan, banyak dari pengangguran berusia muda tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi (kompas.com, 24/5/2024).

Ironis bukan? Anak muda yang menganggur memiliki tingkat pendidikan formal selama 12 tahun sejak SD hingga SMK. Padahal, di SMK mereka diajari untuk siap bekerja dengan keahlian tertentu, seperti mesin otomotif, rekayasa perangkat lunak, keperawatan, akuntansi, tata boga, pelayaran, farmasi, dan sebagainya. Namun, tetap saja pada faktanya para lulusan SMK ini banyak yang menganggur. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan SMK yang siap menghasilkan tenaga kerja terampil untuk ditempatkan di dunia kerja. Nyatanya, terdapat gap lebar antara SMK dan industri. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka pengangguran pada Gen Z, antara lain sempitnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. 

Faktor lainnya yang dilansir dari laman kumparan.com, (20/5/2024), menurut Menaker Ida Fauziyah, banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Ini terjadi pada lulusan SMA/SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda.

Sulitnya lapangan pekerjaan  saat ini pasti akan berdampak besar pada generasi muda. Mereka dituntut produktif, tetapi sarana prasarana dalam sistem kapitalis ini tak berpihak pada mereka. Persaingan dengan tenaga kerja asing tak pelak harus dihadapi. Untuk berwirausaha pun membutuhkan modal yang tak sedikit, ditambah lagi turunnya daya beli masyarakat karena perekonomian yang semakin sulit. 

Banyaknya anak muda yang menganggur bukan semata karena faktor diri Gen Z yang kurang tangguh dalam mencari kerja, tetapi faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. Negara telah gagal menyiapkan anak muda ini untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. 

Harusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal hidup dan mampu membentuk mental yang tangguh sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Selain itu, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. 

Proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah yang dibanggakan pemerintah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, hasilnya minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dibuat melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. 

Bahkan, pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri. Jika dilihat, negeri ini kaya akan sumber daya alam. Semestinya negara bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Mirisnya, kekayaan alam justru dikuasai swasta dan asing dengan ekonomi liberalnya. 

Kenyataan di atas tak akan ditemui dan tak akan terjadi di dalam sistem Islam. Sistem Islam kaffah yang menerapkan Al-Qur’an dan Sunah menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga tidak boleh dimiliki swasta (diswastanisasi). Hasil dari kekayaan alam ini digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Salah satunya adalah untuk mempersiapkan pemuda menjadi generasi hebat dan unggul, bukan generasi menganggur. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan negara untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain: 

Pertama, Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis yang berkepribadian Islam. Biaya pendidikan dijamin oleh negara sehingga rakyat bisa menikmati dengan cuma-cuma. 

Kedua, mendirikan sejumlah industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Banyak dari kalangan masyarakat, termasuk pemuda yang diserap untuk bekerja di sejumlah industri. SDM yang unggul akan mengelola kekayaan milik umum sesuai aturan Islam dan kemaslahatan umum.

Ketiga, mencetak generasi sebagai pemimpin atau negarawan, bukan pengangguran. Departemen Pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan di perguruan tinggi yang mampu mencetak para ulama, mujtahid, pemikir, pakar, dan pemimpin. 

Dari sini jelas, hanya dengan sistem Islamlah semua itu akan terwujud. Generasi muda menganggur pun tak akan tumbuh subur.


Oleh: Eva Ummu Naira
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Selasa, 04 Oktober 2022

IJM: Restorative Justice Akan Lemahkan KPK dan Menumbuhsuburkan Korupsi

Tinta Media - Pernyataan pimpinan KPK Johanis Tanak yang akan melakukan restorative justice (mediasi antara korban dan terdakwa) terhadap para pelaku koruptor, dinilai Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana sebagai bentuk kelemahan dan justru menumbuhsuburkan pelaku koruptor.

“Jelas bukan saja bentuk kelemahan menghadapi koruptor, justru akan menumbuhsuburkan para koruptor itu,” nilai Dr. Erwin kepada Tinta Media, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, dengan adanya restorative justice itu justru kemudian membuat orang semakin terpancing, terangsang, yang tadinya tidak korupsi, menjadi tidak khawatir lagi untuk melakukan aktivitas korupsi. “Yang tadinya korupsi, makin mereka profesional dalam menghadapi hukum yang sudah diberlakukan sedemikian rupa itu,” tuturnya.
 
“Jadi, justru ini akan semakin membuat ekosistem korupsi itu semakin liar, semakin enggak bisa terkendali,” tegasnya.

Erwin yakin, dengan kebijakan ini nanti justru ke depannya pemberantasan korupsi di Indonesia, semakin tidak jelas. “Malah korupsi semakin memberingas,” jelasnya.

Negara Kalah

Erwin menyampaikan dua faktor yang membuat negara lemah bahkan kalah dari koruptor. “Ada dua faktor di situ," ucapnya 

Pertama adalah faktor orangnya. “Faktor orang dengan gaya hidup Gen Z, dengan gaya hidup yang hedonis seperti sekarang ini,” ujarnya.
 
Ia memaparkan bahwa ketika mereka masuk ke dalam komunitas Gen Z, komunitas mereka akan saling berlomba untuk memperlihatkan kemewahan. “Ketika mereka mewah, maka tentu akan berpacu satu sama yang lain,” paparnya.

“Ketika satu orang itu sudah punya mobil mewah, yang lain ingin juga. Ketika seseorang sudah punya rumah mewah, yang lain ingin juga. Itu mereka selalu berpacu di situ,” lanjutnya mencontohkan.

Kemudian ia mempertanyakan, seberapa besar gaji seorang petugas negara? “Kan sudah terukur gajinya mereka, sudah jelas catatan ukuran gaji mereka, tapi kalau kita perhatikan gaya hidup mereka itu, justru enggak masuk di akal,” ungkapnya.

“Tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki mentalitas yang baik dalam hal penanganan korupsi,” ujarnya. 

“Sedangkan pada saat yang sama, mereka itu hidup di tengah ekosistem yang hedonis, di tengah ekosistem yang menomersatukan materi,” lanjutnya.

Kedua, adanya sistem yang menumbuhsuburkan korupsi itu. “Ya, sistem demokrasi kapitalis yang dasarnya itu adalah sekuler, di mana nggak ada satupun yang ditakutkan oleh manusia,” jelasnya.

Menurutnya, kalau ketakutan pada manusia yang lain, itu menjadi mudah orang untuk saling akal-akalin. “Jadi kalau takut sama orang lain, dijadikan akal-akalan saja,” tegasnya.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Jadi, enggak ada kekhawatiran atau ketakutan pada apapun, itu sistem sekuler, seperti itu,” tambahnya.

Ia melihat tidak adanya penanaman mentalitas, kemudian dalam ruang hukum juga memberikan ruang yang besar terjadinya korupsi. “Karena, bagaimanapun sistem demokrasi sekuler itu sistem yang berbiaya tinggi,” ucapnya.

Dipaparkannya mulai dari proses penunjukan pimpinan, kepala negaranya, gubernur, bupati, itu berbiaya tinggi semuanya. 

“Bagaimana supaya kemudian biaya tinggi ini bisa balik? Ya, tentu mereka harus mendistribusikan kepada semuanya, kepada pejabat-pejabat di bawahnya, sehingga kemudian terjadi jual beli jabatan. Kenapa? Karena hanya dengan membeli jabatanlah kemudian dia bisa mendapatkan jabatan tertentu,” paparnya.  

“Jadi, ada sistem yang rusak dan juga orang yang tidak kapabel,” tegasnya.
 
Solusi 

Erwin menjelaskan bagaimana agar koruptor itu bisa diberantas. "Kita harus singkirkan kedua hal itu,” jelasnya.

Pertama, tempatkan orang yang kapabel, orang yang memiliki kemampuan kapabilitas, orang yang mampu, orang yang cakep, orang yang memiliki integritas, orang juga bertaqwa kepada Allah SWT. “Tapi, itu saja enggak cukup, yang lebih penting lagi adalah bahwa sistemnya juga harus mendukung,” tuturnya.

Jadi, ia menambahkan bahwa kesatuan sistem dan orang inilah yang bisa menggantikan kerusakan yang ada. “Bukan hanya sebatas orangnya yang cakep, tapi sistemnya juga harus cakep. Kalau tidak, nanti sama aja hasilnya,” tambahnya. 

“Kita berkeringat sampai kapanpun, yang namanya korupsi itu, tidak bisa diberantas. Akhirnya capek sendiri, gak ditemukan yang namanya keadilan, yang akhirnya justru kezaliman di sana-sini, ketimpangan ekonomi, dan segala macam,” tutupnya. [] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab