Tinta Media: Suap
Tampilkan postingan dengan label Suap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suap. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Februari 2024

KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Haram Menerima Pemberian dalam Rangka Pemilu



Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus ahli fikih kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan keharaman menerima pemberian dalam rangka pemilu. 

“Para ulama kontemporer (kekinian) sepakat hukumnya haram memberi atau menerima pemberian bisa berupa uang atau barang dalam rangka pemilu (al-intikhabat), baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres),” jelas Ustadz Shiddiq pada rubrik Kajian Fiqh: Hukum Menerima Uang dari Tim Capres, Jumat (2/2/2024) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn. 

“Jadi pileg maupun pilpres ini kedua-duanya haram ada pemberian baik yang memberi atau menerima, ini tidak dibolehkan,” lanjutnya menegaskan. 

Kiai menyampaikan perbedaan alasan dari ulama kenapa haram menerima hadiah dalam rangka pilpres. Menurut sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi dan juga ulama Darul Ifta’ Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan pemberian itu karena dianggap risywah (suap). Sedangkan menurut sebagian ulama lain, seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan pemberian itu karena dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan oleh pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. “Jadi ini ada dua pendapat yang ini sebenarnya hanya berbeda alasan mengenai keharaman,” paparnya. 

Menurut USAJ panggilan Ustadz Shiddiq Al Jawi, dari dua pendapat itu, yang lebih kuat adalah karena suap bukan karena kesaksian. Mengapa keharamannya lebih tepat karena suap (risywah)? “Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg atau capres pada pemilih,” terangnya. 

Disampaikannya definisi risywah (suap) menurut Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhsyiyyah Al-Islamiyyah juz 2 halaman 322 yang isinya: “Suap adalah setiap harta (uang/barang) yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan (shahibush shalahiyyat) yang wajib melakukan pekerjaan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) masyarakat yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian dari pihak yang ditunaikan kepentingannya.”

“Jadi dari pengertian risywah ini, pemberian dari tim capres/caleg termasuk risywah. Harusnya rakyat melakukan pilihan tanpa bayaran apapun, kok ini ada pemberian dari yang dipilih, maka ini termasuk risywah,” tuturnya. 

Sedangkan dalil umum lain yang mengharamkan suap antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 

Dari dua hadis tersebut, USAJ menyampaikan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani bahwa hadis-hadis ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapat manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya. “Jadi jika orang yang ingin dipilih memberikan sesuatu, berarti ia ingin mendapatkan manfaat kedudukan,” jelasnya. 

Menurutnya, umat harus tahu tujuan seseorang melakukan sesuatu meskipun tidak secara jelas dikatakan. Misalnya ketika membangun jalan saat akan pemilu, meski tidak ada perkataan secara langsung minta untuk memilihnya, namun ada indikasi ke arah itu, bisa dibilang juga suap. “Kita bisa memahami sesuatu tidak harus dari kalimat yang jelas, kita bisa memahami dari isyarat-isyarat, ucapan yang emplisit atau tidak terbuka,” paparnya. 

“Jadi pemberian dari caleg atau capres, atau timnya kepada pemilih adalah bentuk risywah (suap) yang haram hukumnya bagi yang memberi dan menerima bahkan perantaranya,” pungkasnya.[] Raras

Kamis, 09 November 2023

FDMPB Jelaskan Mekanisme Pemberantasan Korupsi dalam Islam



Tinta Media - Ketua FDMPB Ahmad Sastra menjelaskan, Islam memberikan hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap, dan penerima komisi haram sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah Saw.

"Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada khalayak," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (03/11/2023)

Ia mengisahkan, dalam Perang Khaibar ada seorang budak dari Bani Judzam bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani adh-Dhubaib. Ketika mereka singgah di satu lembah, budak tersebut dipanah (oleh musuh) sehingga menjadi sebab kematiannya. Serta-merta mereka berkata, “Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.”

Namun, lanjutnya, dengan tegas Rasulullah mengatakan, "sekali-kali tidak! Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain yang ia ambil dari rampasan perang yang belum dibagi pada Perang Khaibar akan menyalakan api padanya," (HR Muslim).

Abu Hurairah berkata, "(Mendengar itu) para sahabat sangat ketakutan sehingga ada seorang yang menyerahkan satu atau dua tali sandal seraya mengatakan, “wahai Rasulullah, kami mendapatkan ini pada Perang Khaibar.” Rasulullah saw. pun bersabda, “ketahuilah, sungguh itu adalah satu atau dua tali sandal dari api neraka.”

Ia juga menceritakan, pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal.

Khalifah Umar ra. juga, bebernya, tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. "Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahid al-Mihrab, hlm. 284)," kutipnya.

Ia melanjutkan, Amirul Mukminin Umar ra. juga pernah merampas harta Abu Sufyan setelah ia pulang dari Syam, menjenguk putranya, Muawiyah. Harta itu adalah oleh-oleh dari putranya. Beliau merampas uangnya sebesar 10 ribu dirham (lebih dari Rp 700 juta) untuk disimpan di Baitul Mal.

 "Pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam," terangnya.

Ia menilai, pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. 

"Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan," pungkasnya. [] Wafi

Jumat, 06 Januari 2023

Korupsi dan Suap Menggurita di MA

Tinta Media - Kasus suap di negeri ini masih terus terjadi. Mirisnya lagi, dugaan suap juga dilakukan oleh penegak hukum. Bagaimana keadilan bisa dijalankan jika hakim saja menjadi tersangka kasus suap?

Dilansir dari BBC News Indonesia (20/12/2022), seorang hakim yustisia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Bahkan EW langsung ditahan lembaga antirasuah pada hari senin (19/2). 

Hal ini tentu menjadikan masyarakat hilang kepercayaan pada penegak hukum. Karena pada realitanya rekayasa hukum itu nyata adanya. Bertambahnya tersangka kasus dugaan suap ini menunjukkan kasus suap semakin menggurita di tubuh MA. Selain kasus suap. KPK juga menangkap tangan hakim dibeberapa daerah terkait korupsi. 

Kapitalisme menyuburkan Korupsi

Seolah tidak ada solusi. Kasus korupsi di negeri ini terus berulang. Bahkan seolah tidak terkendali. Mirisnya kasus korupsi dan suap kini menimpa hakim penegak hukum. Kasus pelanggaran penegak hukum begitu mulus terjadi. 

Menurut peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman, ia mengatakan korupsi peradilan ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 1998. bbc.com (20/12/23)

Hal ini menyadarkan kita, bahwa sejak awal sistem peraturan yang dibuat di negara ini belum mampu memberikan keadilan. Keadilan seolah barang tabu dan sulit diwujudkan. Padahal keadilan ini penting diterapkan. Apalagi terkait putusan hakim dalam memberikan ketetapan hukum. Ketika setiap pelanggaran yang dilakukan rakyat akan selesai saat diberi hukuman oleh hakim. Bagaimana pelanggaran bisa hilang jika hukum begitu mudah diperjualbelikan. 

Inilah hukum buatan manusia. Prosesnya bisa direkayasa. Aturannya bisa diubah sesuai kehendak dan hawa nafsu belaka. Bahkan hukum seolah hanya berlaku bagi rakyat melata. Sedangkan bagi pengusaha dan pejabat negara seolah bisa direkayasa. Asalkan ada uang, semua kasus menjadi aman.

Padahal penegakan hukum ini penting. Agar pelaku kriminal bisa jera. Agar kejahatan tidak terus berulang. Sehingga keamanan bisa dirasakan masyarakat. 

Sebagaimana hukum Islam yang Allah turunkan begitu sempurna dalam peradilan. Hukum yang diberlakukan oleh Islam bukan hanya sebatas pada pelaku kejahatan saja. Tapi kemaslahatannya berlaku juga bagi negara dan masyarakat. Karena hukum itu haruslah berpihak kepada semua lapisan. 

Misalnya, hukum harus berpihak kepada masyarakat. Masyarakat merasa terlindungi. Cara Islam dalam melindungi masyarakat agar tidak terkena hukum adalah adanya pencegahan (jawazir). Pencegahan ini bisa direalisasikan saat hukuman bagi pelaku tindak kejahatan dihukum dengan Islam. Seperti hukuman yang Allah berlakukan bagi pelaku pencurian adalah dipotong tangannya. Hukuman ini akan menjadikan masyarakat berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan pencurian. Sehingga pencegahan tindakan pencurian yang dilakukan masyarakat bisa terwujud. 

Hukum juga berpihak kepada pemerintah. Jika hukum itu tegas diterapkan. Maka pelaku tindak kejahatan akan berkurang. Hal ini tentu mengurangi beban negara. Saat ini penjara begitu penuh. Beban negara dalam menjamin kehidupan narapidana semakin bertambah. Kapasitas lapas di Indonesia terus bertambah. Padahal lapas hanya menampung 90.000, tapi saat ini orang yang dipenjara lebih dari 300.000. Sehingga negara over load, harus mengeluarkan 2 triliunan untuk makan mereka. 

Selanjutnya, dalam Islam, hukum itu harusnya berpihak kepada korban. Kalau dalam hukum jinayat, korban bisa menuntut balas walau ada peluang untuk memaafkan dengan cara bayar diyat. Sedangkan di sistem Kapitalis peluang itu tidak ada. 

Hukum pidana Islam juga berfungsi sebagai jawabir. Artinya jika manusia dihukum di dunia, maka dia yakin jika dia ikhlas menerima hukuman maka akan jadi kafarat bagi hukuman di akhirat.

Hukum pidana Islam jika diterapkan pada pelaku korupsi dan suap, maka kasus yang serupa tidak akan terulang lagi. Walalahu alam

Oleh: Teti Rostika
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 05 Oktober 2022

Hakim Agung OTT KPK, Bukti Mimpi Pemberantasan Korupsi


Tinta Media - Jagad berita diramaikan dengan pemberitaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim dan staf Mahkamah Agung. KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu, (21/9/2022) malam dan berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. (Kompas.com)

Lima di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang hakim agung, Sudrajad Dimyati.

Pemberitaan ini menuai komentar beberapa pihak. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan,  Mahfudz MD mengatakan bahwa yang terlibat dalam OTT tersebut sebetulnya lebih dari satu orang. Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini "sudah menjadi rahasia umum".

Fakta di atas menjadi catatan kelam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak, lembaga hukum sekelas Mahkamah Agung mengalami nasib demikian, terlibat OTT karena kasus suap perkara. Apalagi, sampai melibatkan Hakim Agung dan para staffnya. Padahal, sejatinya lembaga hukum tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat saat keadilan di negeri ini kian mahal. Namun, lagi-lagi publik harus menelan pil pahit karena nyatanya kebenaran sudah sedemikian jungkir balik. Aib yang terbongkar, sudah sedemikian mengakar. Kasus OTT di atas tak ubahnya fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya, tetapi lebih besar di dasarnya.

Inilah yang terjadi saat sistem pemerintahan dikendalikan oleh materi. Siapa pun yang mempunyai materi, maka akan bertindak sesuai hawa nafsunya sendiri. Hukum dibeli, rakyat pun dizalimi.

Hal ini tak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, negeri ini membutuhkan jalan keluar. Gurita korupsi yang sudah menjalar ke semua lini kekuasaan tak bisa ditumpas, kecuali dengan menghadirkan hakim yang seadil-adilnya, yakni Allah Swt. 

Jauh jauh hari, Islam telah menjelaskan mengenai perkara korupsi ini. Dalam Islam, korupsi dihukumi sebagai sebuah pelanggaran yang dikenakan ta'zir bagi pelakunya. Maka, hukuman yang diberikan sesuai dengan kebijaksanaan hakim yang mengadili. 

Hal ini disebabkan karena perbuatan korupsi melibatkan dua macam pelanggaran, yaitu: 

Pertama, khianat terhadap amanat rakyat

Kedua, mengambil harta yang bukan menjadi haknya. 

Meski sanski korupsi tidak tercantum dalam aturan hudud berdasarkan Qur'an dan Sunnah, jika korupsi yang dilakukan menyebabkan kerugian yang sangat besar, maka bukan tidak mungkin pelakunya akan diberi hukuman mati.

Tindakan menghukumi pelaku korupsi dengan hukuman yang pantas semata untuk memberi efek jera bagi pelaku, sekaligus mencegah tindakan korupsi serupa bermunculan. Inilah solusi yang ditawarkan syariat dalam hal sanksi.

Sementara dari sisi pemerintahan, Islam melalui institusi daulah khilafah akan menghadirkan good goverment yang dipenuhi suasana keimanan bagi para pemangku kekuasaan. Ini karena jabatan yang disandang semata dalam rangka menjadi khadimul ummah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Demikianlah kiranya solusi tuntas bagi gurita korupsi yang kini melingkari negeri, hingga pemerintahan yang bersih dan dapat dipercaya bukan lagi sekadar mimpi. Wallahu alam bis shawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media


Senin, 26 September 2022

OTT Hakim Agung MA, IJM: Ada Persoalan Sistemik yang Harus Digeledah

Tinta Media - Mengomentari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu oknum Hakim Agung atas dugaan kasus suap pengurusan perkara, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, ada masalah sistemik yang harus digeledah. 

"Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022). 

"Padahal, MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan," ujarnya.

Dr. Sjaiful menjelaskan terkait sejarah MA yang mana merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga tersebut, menurutnya, diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi. 

"Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung," paparnya.

Sementara itu, Dr. Sjaiful menambahkan, pada kasus tertentu, pertimbangan hukum dibuat berdasar arus kepentingan pragmatis oknum hakim, misalnya kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. "Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA," tegasnya.

Masalah lain, menurutnya, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual. Ia melanjutkan, meskipum di atas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.

"Problematik sistemik tersebut hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA," ungkapnya.

Kondisi-kondisi tersebut, menurutnya, menjadi alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi, semua pilar penegakan hukum yang menyangga sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan. 

"Tentunya, MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan," katanya.

Hal tersebut menurut Dr. Sjaiful, menjadi bukti bahwa peradilan berbasis sekuleristik pragmatis tidak bisa diharapkan mampu mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum, semua orang sama di depan hukum.

Lain halnya dengan sistem peradilan Islam, yang menurutnya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. "Alasannya, sistem peradilan Islam berasal dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil," tegasnya. 

Dr. Sjaiful kembali menegaskan, sistem peradilan manapun selain sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum. 

"Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna," pungkasnya.[] Ikhty

Hakim Agung MA Ditangkap, Siyasah Institute: Potret Buram Lembaga Peradilan

Tinta Media - Menanggapi ditangkapnya Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar menyampaikan bahwa hal itu merupakan potret makin buramnya integritas lembaga peradilan.

"Ini potret makin buramnya integritas lembaga peradilan, mental pejabatnya, gambaran makin buramnya perang melawan budaya korupsi," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022).

Ia menilai adanya kecerobohan dalam seleksi hakim agung, sehingga bisa meloloskan seorang koruptor. "Termasuk kecerobohan seleksi hakim agung sampai-sampai seorang koruptor bisa lolos," sesalnya.

Menurutnya, perilaku korupsi itu tidak muncul tiba-tiba, tapi sudah jadi budaya dan habit seorang pejabat. "Berarti seleksinya bermasalah," tandasnya.

Selain itu, korupsi juga merupakan bagian dari budaya entitas tertentu dan pribadi seseorang. 

"Dalam suatu lembaga bisa jadi begitu toleran terhadap budaya korupsi seperti menerima gratifikasi, makan bersama pejabat atau pengusaha bermasalah," terangnya. 

Tidak kalah pentingnya, lanjutnya, adalah tindakan kuratif atau sanksi pidana terhadap koruptor juga makin ringan. 

"Bulan September ini ada 23 koruptor bebas bersyarat. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka juga rata-rata di bawah 4 tahun menurut ICW. Termasuk pada jaksa Pinangki," ujarnya.

Ia menyesalkan sanksi yang diberikan kepada para koruptor, karena tidak memberikan efek jera.

"Bagaimana sanksi macam ini membuat jera? Harusnya semakin keras terutama pada aparat penegak hukum. Bukannya makin ringan," sesalnya.

Menurutnya, yang menjadi akar masalah dari kasus ini adalah publik kita, khususnya di lingkungan pejabat, pengusaha termasuk aparat hukum terlalu toleran terhadap budaya korupsi dan para pelakunya. Budaya gratifikasi masih belum bisa dihilangkan. 

"Ada lingkaran setan korupsi, dimana para pengusaha, pejabat dan aparat yang bermasalah saling kenal dekat, saling membantu dan biasa dengan gratifikasi. Akhirnya sulit diberantas," terangnya.

Untuk menyelesaikan secara tuntas kasus ini, ia memandang harus ada perombakan akidah dan akhlak juga sistem. 

"Tidak cukup hanya akhlak, tapi yang paling mendasar akidah yang jadi falsafah kehidupan dan hukum harus diganti dengan Islam. Jadi muncul ketakwaan yang hakiki," tandasnya.

Kemudian hukum dibenahi dengan hukum Islam. Hukum buatan manusia bisa diubah suka-suka. "Tanamkan juga akhlak karimah termasuk tidak mentolerir budaya gratifikasi dan bergaul dengan pejabat dan pengusaha bermasalah," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab