Tinta Media: Stigmatisasi
Tampilkan postingan dengan label Stigmatisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Stigmatisasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 November 2022

Wajah Barat di Balik Stigmatisasi Ajaran Islam dan Khilafah oleh Negara

Tinta Media - Pasca Perang Salib, Barat selalu berupaya balas dendam terhadap muslim. Mereka membawa paham atau ideologi westernisasi dan globalisasi ke dalam dunia Islam, dengan mengusung demokrasi, kebebasan, dan menjadikan sekulerisasi sebagai akidahnya. 

Sekularisme memahami agama sebatas hubungan privat antara manusia dengan Tuhan, tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh. 

Tujuannya tidak lain mengubah cara berpikir umat, dengan ide-ide dan pemikiran sesuai yang dikehendaki Barat sehingga manusia lebih mementingkan kehidupan material ketimbang spiritual, meski hal itu jelas sangat bertentangan dengan Islam. 

Namun, seberapa kuat mereka memaksakan, pada faktanya ideologi yang mereka usung, yaitu demokrasi-kapitalis kini sudah sekarat di ambang kematian. Sistem batil itu memang bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Kerakusannya dalam bidang ekonomi hanya menimbulkan kesenjangan kekayaan menjadi punca segala kejahatan, sementara kebebasan yang mereka agungkan menjadi biang kerusakan. Masih banyak lagi kegagalan lainnya di berbagai aspek. Yang jelas, kini umat sudah merasakan perihnya hidup di sistem rusak ini dan tak kuasa menahan kerinduan akan kembalinya kebangkitan Islam.

Tentu saja hal itu tidak disenangi oleh Barat. Menurut mereka, Islam adalah ancaman besar yang dapat mengusik eksistensinya. Mereka menyadari, bahwa umat Islam tidak mungkin dikalahkan jika terus berpegang teguh pada ajaran Islam. Atas dasar itu, Barat berupaya agar umat Islam harus bodoh dan jauh dari Al-Qur'an dan sunah. Caranya, menciptakan islamfobia.

Setelah peristiwa peledakan Gedung WTC tahun 2001, di bawah kerangka PBB dan segala instrumen hukum internasional yang tercipta, Barat mengatur negara-negara di dunia, termasuk Indonesia untuk turut serta dalam proyek global "War on Terrorism'

Mereka terus menggoreng Isu terorisme menjadi mode, dengan pola yang sama, menampilkan narasi radikalisme yang selalu di kaitkan dengan ajaran Islam yang kaffah dan kelompok yang menginginkan penerapan Islam sebagai sebuah sistem, atau disebut khilafah.

Contohnya di Indonesia. Bukti yang selalu ada saat penggrebekan teroris adalah Al-Quran, bendera berkalimat tauhid, dan pelaku beragama Islam. Seolah ingin menunjukan bahwa bibit terorisme adalah Islam. Sebab, jika kejahatan di lakukan oleh seorang pendeta atau KKB Papua, sekalipun yang sudah banyak menimbulkan korban tewas, maka itu dianggap kriminal biasa. Sehingga, wajar saja jika narasi radikal diduga hanya digunakan untuk Islam, yang dianggap mengancam eksistensi sistem saat ini.

Masih hangat dalam ingatan, ketika seorang wanita bercadar, nekat menerobos istana dengan menenteng senpi jenis FN. Informasi mengenai hal tersebut pertama kali beredar dalam dua unggahan akun Instagram @lovers_polri. 

Meski umat sudah cerdas dalam menangkap banyaknya keganjilan dalam kasus tersebut, tetapi pihak yang berwenang berserta BNPT juga tak kalah cepat dalam mengungkap data pelaku. Sebab, tanpa butuh waktu lama mereka dapat mengetahui bahwa wanita itu memiliki pemahaman radikal berdasarkan postingan facebooknya yang kerap mengunggah ajaran Islam, hingga istilah teroris pun segera disematkan. 

Proyek ini hampr-hampir tidak ada lawan, terlebih peran negara dan media turut memborbardir hingga membentuk framing publik. Ini menyebabkan sebuah berita atau informasi kebatilan dapat mengalahkan kebenaran. Dengan begitu, umat semakin takut mempelajari Islam kaffah.
Umat merasa nyaman dengan ide sesat sekulerisasi.

Maka, melalui tangan negara pula, Barat kian gencar mengampanyekan proyek global lanjutan, guna membendung arus kebangkitan Islam, yaitu moderasi beragama. Mereka bahu-membahu bersama para akademisi, tokoh masyarakat, bahkan cendekiawan muslim yang telah terinfeksi virus sekuler sebagai corongnya.

Dengan mengatasnamakan Islam, mereka menyesatkan makna umat(an) wasat(an) (umat yang adil) sebagai jalan tengah dan jargon menghormati perbedaan. Mereka mampu "membunuh agamanya" sendiri, dan bangga mengusung ide liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.

Hal itu dapat dilihat di dalam buku Rand Corporation, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Dalam buku tersebut dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan.

Sementara, menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah "Islam" yang menerima sistem demokrasi. 

Sebaliknya, Islam radikal adalah yang menolak demokrasi dan sekulerisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).

Artinya jelas, melalui moderasi beragama, Barat ingin agar umat menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Ini karena secara sistematis, pengikisan nilai-nilai orisinalitas ajaran agama Islam pun di lakukan. Moderasi bukan saja menjadikan fikih Islam tidak berdaya sebagai solusi, tetapi fikih Islam juga dipaksa tunduk pada realitas yang rusak.

Padahal, menjalankan syariat Islam bagi umat Islam adalah bagian dari menjalankan agamanya secara kaffah (menyeluruh), sebagaimana firman Allah: 

"Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian," 

(Surat Al-Baqarah ayat 208).

Sebenarnya kemungkinan adanya orang-orang Islam yang tersesat bisa saja terjadi, karena mereka tidak mempelajari dan memahami Islam secara utuh, serta menerapkan ajaran Islam yang komprehensif. 

Namun, menuduh dan menyudutkan Islam sebagai penyebab atau pelegitimasi terorisme merupakan propaganda hitam, terlebih sikap berlebihan Barat mendanai dan 
mensponsori pengembangan sekularisme dan liberalisasi Islam di Indonesia jelas kontraproduktif bagi usaha memerangi terorisme. Sebab, jelas sekularisme adalah satu titik ekstrim penyebab utama munculnya terorisme. 

Sesungguhnya, islamophobia dapat dihindari apabila dalam jiwa umat Islam sendiri sudah tertanam kuat nilai-nilai agama, dan mempunyai intelektualitas yang memadai. Tentunya hal itu bisa didapat jika umat mempelajari Islam secara kaffah, bukan hanya setengah. 

Maka jelas sudah, masalah utama dari semua ini adalah krisis keilmuan. Padahal, pertarungan antara Barat dan Islam adalah pertarungan intelektual.

Oleh karena itu, sepatutnya umat Islam lebih serius mengkaji tsaqafah Islam, guna mempersenjatai diri dengan pemikiran mendalam dan cemerlang agar tidak terkecoh dengan tipuan licik Barat, serta dapat melawan kebatilannya.

Dengan selalu dituduhnya ajaran Islam, serta aktivitas dakwah sebagai radikalisme oleh negara, bukankan artinya negara membiarkan warganya lemah dalam keilmuan, sehingga akan mudah dibodoh-bodohi? Lebih dari itu, perkara dakwah adalah kewajiban atas setiap individu muslim, dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Ini karena Islam merupakan agama dakwah, sebagaimana Allah Swt. berfirman:

"Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk segenap umat manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak tahu" (TQS Saba' [34]: 28).

Jika demikian, artinya pemerintah tidak bersungguh-sungguh menghilangkan akar terorisme, tetapi sengaja memelihara kejahatan ini untuk tumbuh laten.

Islam bukan agama yang mengancam negara. Nyawa seorang manusia sangat berharga dalam pandangan Islam dan haram menghilangkan nyawa seseorang yang tidak bersalah. 

Mengenai toleransi, Islam juga telah menekankan pemeluknya kepada prinsip ajaran Islam yang santun, sejuk, saling menghargai, dan damai dalam segala aspek kehidupan, seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, di masa peperangan, Rasulullah saw. tetap melarang umatnya melakukan sesuatu hal yang berdampak intoleran. 

Akan tetapi, semua itu tidak berarti bebas tanpa batas, karena dalam masalah keyakinan (akidah) dan hukum syariah yang bersifat pasti (qath'i), tidak boleh dibangun sikap tasamuh.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan sunah, serta menerapkannya secara kaffah. Sesungguhnya hukum Allah adalah hukum yang paling baik di atas segala sistem hukum di dunia ini. 

Sejarah telah membuktikan, ketika Islam membentuk sistem pemerintahan, maka Islam menjadi mapan dan kuat. Islam mampu memusnahkan kaum yang zalim sampai ke akar-akarnya, sehingga umat Islam akan lebih merasa aman dan nyaman, termasuk dalam melakukan aktivitas dakwah. Umat Islam juga dapat terhindar dari cengkeraman asing. Institusi yang dimaksud tidak lain adalah daulah islamiyah.

Wallahu'alam bissawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab