Tinta Media - Media sosial dihebohkan dengan berita seorang karyawati (AD) yang mengungkapkan perlakuan tidak menyenangkan dari bosnya. Ia mendapat ajakan dari bosnya untuk menemani tidur dengan kompensasi akan diperpanjang kontrak kerjanya. Hah! Apa lagi ini?
Media sosial menyebut fenomena ini dengan istilah staycation, yaitu 'tidur dengan bos' sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja. Rupanya praktik itu tidak asing di antara para pekerja wanita dan menjadi viral karena ada keberanian seorang karyawati untuk melaporkan ke polisi dan di-upload media. Bisa jadi, hal ini adalah fenomena gunung es yang kelihatan di permukaan saja, padahal sudah merata di mana-mana.
Mengapa fenomena staycation itu muncul di dunia kerja? Adakah yang bisa menghapus praktik menyimpang dari agama tersebut?
Korban didampingi anggota DPR RI dari fraksi Gerindra, Obon Tabroni dan kuasa hukumnya, Wahyu Haryadi melaporkan atasannya ke Mapolres Bekasi. Obon mengapresiasi keberanian karyawati perusahaan kosmetik itu. Obon juga mengimbau para pekerja perempuan untuk tidak takut mengadukan tindak pelecehan seksual yang dialaminya. Apalagi sekarang telah disahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai tempat berlindung. (detik.com,06/05/2023)
Kapitalisme Meniscayakan Penyimpangan Syariat
Fenomena praktik yang menyimpang syariat ini tidak aneh dalam sistem kapitalisme. Sistem yang menjunjung tinggi kebebasan individu ini menjadikan seseorang bebas berbuat dan bertingkah laku sesuka hati, walau harus bertentangan dengan syariat. Hal ini karena asas dari sistem kapitalis adalah memisahkan agama dari kehidupan (sekuler). Agama hanyalah urusan individu dengan Tuhannya yang hanya tampak di pojok- pojok masjid saja. Sementara, urusannya dengan manusia lain di kehidupan umum memakai aturan buatan manusia sendiri.
Di samping itu, standar perbuatan yang dianut dalam sistem ini adalah kemanfaatan, bukan halal-haram sesuai tuntunan syariat. Jika di situ terjadi simbiosis mutualisme, maka hubungan yang terjadi semakin erat. Pasalnya, masing-masing individu merasa saling mendapatkan kemanfaatan.
Lebih jauh lagi, dalam sistem sekuler-kapitalisme ini tidak ada aturan yang mengatur interaksi antara pria dan wanita, yakni kapan seorang wanita boleh bertemu dengan pria asing atau bukan mahram, kapan tidak boleh bertemu, dan sebagainya.
Maka, banyak kita jumpai seorang wanita keluar rumah dengan menampakkan aurat, berhias di hadapan lawan jenis (tabarruj), berdua-duaan dengan pria asing (khalwat), campur baur antaraa pria dan wanita (ikhtilat), dll. Hal itu menjadi pemandangan yang biasa terjadi di masyarakat. Mereka tidak menyadari kalau hal itu menjadi salah satu pemicu munculnya kemaksiatan.
Butuh Sistem yang Sempurna dan Menyeluruh
Fenomena staycation dalam dunia tenaga kerja sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan aturan pergaulan antara pria dan wanita. Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna telah memiliki aturan yang sempurna dan menyeluruh. Di dalam bidang tenaga kerja misalnya, Islam telah membolehkan kontrak kerja (ijarah) antara seseorang dengan orang lain. Saat terjadi ijarah, maka harus memperhatikan akad yang terjadi antara majikan (musta'jir) dan pekerja (ajir). Akad/transaksi antara keduanya harus jelas, berkaitan jenis pekerjaan, upah yang diterima, lamanya pekerjaan, dan tenaga yang dicurahkan. Maka, jika kemudian sang musta'jir memerintahkan suatu pekerjaan di luar akad, seorang ajir tidak wajib mengerjakan atau kemudian dibuat akad baru.
Islam sebenarnya telah memberi izin seorang wanita untuk bekerja dengan syarat tidak keluar dari koridor syariat. Misalnya, tetap mengenakan pakaiaan jilbab & khimar yang dikenakan saat keluar rumah, tidak bertabarruj, tidak berkhalwat, dsb.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 59, yang artinya:
"Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Islam juga memerintahkan kepada kaum pria untuk menundukkan pandangan, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam surah An- Nur ayat 30, yang artinya:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
Di samping itu, negara akan menstabilkan kondisi ekonominya, sehingga kebutuhan pokok masyarakat tersedia dengan murah. Kebutuhan dasar publik (kesehatan, pendidikan, keamanan) dijamin oleh negara, sehingga setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier.
Lapangan pekerjaan terbuka luas bagi penanggung nafkah, sehingga kaum wanita tidak turut bersaing dengan kaum pria. Selamanya seorang wanita tidak punya kewajiban menanggung nafkah, tetapi diarahkan fokus terhadap pembinaan generasi. Kalaupun harus bekerja untuk mengamalkan ilmu yang dibutuhkan umat, negara akan membuat mekanisme sehingga kehormatannya senantiasa terjaga. Misalnya, mengatur jadwal kerja tidak di larut malam, memisahkan ruangan pekerja wanita dengan pria, perbincangan hanya dalam urusan pekerjaan, dsb.
Maka, hanya sistem Islamlah yang menerapkan syariat secara menyeluruh (kaffah) dan akan menghapus praktik menyimpang tersebut, bahkan tidak akan memberi peluang untuk muncul menjadi fenomena dalam dunia tenaga kerja. Jikalau itu terjadi, maka negara akan menjatuhkan sanksi yang tegas sebagaimana Q.S. an-Nur ayat 2, yang artinya:
"Pezina wanita dan pezina laki-laki maka jilidlah (cambuklah) masing-masing dari keduanya dengan seratus kali jilid."
Apabila pezinanya muhshan (telah menikah) baik laki-laki maupun perempuan, maka sanksinya dirajam dengan batu hingga mati. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap Ghamidiyah dan Maiz yang melakukan perzinaan. Sanksi inilah yang akan memberikan efek jera dan penebus dosa bagi pelakunya, sehingga di akhirat tidak dijatuhi sanksi lagi.
Bandingkan dengan sistem kapitalisme yang hanya menjatuhkan sanksi beberapa bulan penjara dan denda beberapa juta. Maka, yang demikian itu tidak akan menimbulkan efek jera di kalangan masyarakat.
Maka, sudah selayaknya kita mengganti sistem buatan manusia ini dan menggantinya dengan sistem yang menerapkan Islam kaffah. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Dyah Rini
Sahabat Tinta Media & Aktivis Jatim