Tinta Media: Solusi Out of the box
Tampilkan postingan dengan label Solusi Out of the box. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Solusi Out of the box. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Oktober 2023

Dana BTS Mengalir ke DPR dan BPK, PKAD: Butuh Terobosan Out of The Box untuk Atasi Korupsi

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai untuk mengatasi masalah korupsi BTS yang dananya mengalir ke DPR (Rp70 M) dan BPK (Rp40 M) dibutuhkan langkah-langkah terobosan yang out of the box.

“Untuk menyelesaikan permasalahan yang extra ordinary, maka menurut saya, dibutuhkan langkah-langkah terobosan yang out of the box juga,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (6/10/2023).

Menurutnya, tidak bisa kejahatan extra ordinary diatasi dengan langkah dan strategi penyelesaian biasa-biasa saja. “Sehingga penyelesaiannya pun harus menyentuh tiga bagian sekalligus, yaitu menyasar kepada individu penyelenggara negara, menyasar kepada masyarakat secara umum dan menyasar juga kepada negara,” jelasnya. 

Dipaparkannya dalam tataran individu, maka salah satu contoh misalnya dengan memperbaiki proses rekrutmen dan seleksi CPNS agar hanya orang yang attitude dan kinerja-nya baik, yang direkrut menjadi ASN, atau dengan menerapkan reward dan punishment yang konsisten di tengah umat. 

“Kemudian dilakukan pula pencegahan dengan melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat kepada masing-masing ASN,” paparnya.

Sedangkan di tataran masyarakat, ia mengharuskan ada upaya untuk terus melakukan penyadaran bahwa korupsi itu adalah perbuatan dosa dan siapa pun pelakunya akan mendapatkan dosa dari Allah SWT, selain celaan dari tentangga atau masyarakat lainnya. 

 “Masyarakat yang sudah mempunyai kesadaran tersebut yang diharapkan akan melakukan kontrol sosial secata masif dan aktif,” pintanya.

Sehingga jika dijumpai ada pejabat yang terindikasi melakukan tindak korupsi, menurut Fajar, mekanisme kontrol sosial masyarakat langsung berjalan. “Dengan melakukan pencegahan, atau menasehati sampai dengan memakzulkan pejabat yang bersangkutan,” tegasnya.

Lantas yang terakhir adalah di level negara, maka ia menilai negara wajib mempunyai seperangkat aturan yang bisa membuat jera pelakunya serta tidak ingin mengulangi lagi perbuatannya. “Negara harus memperkuat kelembagaan dan seperangkat kenbijakan yang dapat mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,” nilainya.

“Termasuk mengenyahkan sistem politik demokrasi dan diganti dengan sistem politik Islam, sebagai satu-satunya sistem politik yang berlandaskan pada aqidah yang kuat dan selalu menjaga idrak silatu billah kepada-Nya,” tambahnya menegaskan.

Berulang

Kasus suap terus terjadi di Indonesia dinilai Fajar sebagai akibat adanya praktik demokrasi sekuler dalam sistem politik. “Saya kira ini tidak bisa dilepaskan dari adanya praktik demokrasi sekuler dalam sistem politik kita,” nilainya.

“Orang untuk menjadi penguasa, termasuk menjadi anggota legislatif, menduduki jabatan-jabatan tertentu di berbagai lembaga pemerintahan, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit,” lanjutnya.

Ia memberi contoh, beberapa waktu lalu Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI) menyatakan bahwa untuk bisa menjadi anggota DPR, seseorang minimal harus keluar 5 milyar, bahkan bisa sampai 30 milyar. Dari informasi yang lain juga menyatakan bahwa untuk menjadi seorang Bupati atau Walikota membutuhkan dana 30-50 milyar. 

“Berapa kemudian yang diperlukan untuk menjadi Calon Gubernur atau Presiden?” tanya Fajar.

“Tentunya angkanya lebih fantastis lagi," tamsilnya.
 
Diungkapkannya untuk maju dalam kontestasi calon presiden, membutuhkan triliunan bahkan puluhan triliun. “Sebuah angka yang sangat fantastis, yang kita sebut sebagai high political cost (biaya politik tinggi),” ungkapnya.

Dan yang pasti menurutnya tidak bisa ditanggung sendiri oleh calon, tapi membutuhkan dukungan dari kaum pemodal (oligarki). Sementara untuk mengembalikan modal tersebtu dengan mengandalkan gaji dan tunjangan kinerja lainnya, tidak akan pernah mungkin. 

“Oleh karena itu, sudah jamak kemudian dilakukan barter dengan proyek-proyek yang berasal dari APBN atau APBD. Itulah pangkal mula terjadinya korupsi, terutama korupsi politik,” terangnya.

“Sehingga menurut saya, sepanjang kiblat politik kita masih demokrasi liberal, maka selama itu pula kita tidak akan pernah bisa memberantas praktik korupsi sampai ke akar-akarnya. Karena di dalam demokrasi liberal, sistem itu punya daya tahan yang memungkinkan dirinya mampu menahan atau mencegah pengaruh dari luar yang ingin menggantikannya dengan sistem lainnya,” paparnya menambahkan. 

Menurut Fajar, sistem demokrasi liberal-lah yang membuka peluang masuknya para pemodal besar (oligarki ekonomi) di dalam arena kontestasi politik, bukan sebagai salah satu kontestan, tapi sebagai pemodal politik. 

“Maka tak heran jika korupsi terjadi secara berkelanjutan, terlepas dari siapa pun yang menjadi penguasanya, maka oligarki ekonomi ini juga selalu bisa memanfaatkan dinamika politik yang ada untuk meraup keuntungan yang lebih besar,” jelasnya.

Hal ini diperkirakan Fajar akan terus berulang dari waktu ke waktu, siapapun yang kemudian menjadi penguasa. “Katakanlah menjadi presiden, maka akan terikat dengan komitmen untuk memberikan ‘sejumlah keuntungan/kompensasi’ dari apa yang sudah diberikan sebelumnya untuk memenangkan pilkada,” tuturnya.

Miris

Fajar Kurniawan merasa sebagai rakyat Indonesia dan sekaligus masih punya akal sehat, sangat miris mendengarkan kesaksian dua saksi mahkota dalam skandal kasus korupsi BTS 5G. “Kenapa, ya karena di tengah jargon-jargon manis rezim yang menyatakan bahwa korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), ternyata korupsi, terutama korupsi politik, masih saja berjalan dengan massif,” ungkapnya dengan kecewa.

“Ini berarti pula bahwa apa yang dijargonkan rezim tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” lanjutnya.
 
Katanya, ini sekaligus menambah daftar pejabat tinggi tingkat menteri yang melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan tidak hanya pejabat tinggi negara yang terlibat, tapi diduga juga aliran dana korupsi tersebut mengalir jauh ke oknum-oknum anggota DPR RI, khususnya Komisi 1. 

“Orang-orang yang katanya terhormat dan dipilih untuk mewakili rakyat serta menyuarakan aspirasi rakyat, ternyata tak lebih dari para pengkhianat, yang mengkhianati kepercayaan rakyat. Ini kan sudah sangat keterlaluan,” tegasnya.
 
Terlebih lagi, diungkap Fajar bahwa aliran korupsi tersebut juga mengalir ke oknum-oknum di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). 

“Ini juga tak kalah menyedihkannya, bagaimana mungkin oknum di lembaga yang diberikan mandat untuk memeriksa seluruh tata kelola penggunaan keuangan negara, malah ikut menikmati hasil korupsi? Bagaimana mungkin dia akan bisa memeriksa keuangan negara dengan benar kalau seperti ini,” ungkapnya mempertanyakan.

Intinya menurut Fajar, keterangan saksi mahkota ini, membuat semua rakyat Indonesia semakin jengkel dengan perilaku oknum-oknum penyelenggara pemerintahan. Orang yang seharusnya menjadi teladan atau diteladani, menjadi panutan, mengayomi masyarakat dan memperjuangkan serta membela kepentingan rakyat, ternyata justru menjadi orang yang khianat kepada rakyat. 

“Ini sekaligus membuktikan bahwa korupsi ini sudah menjalar jauh dan menjangkiti tidak hanya lembaga eksekutif, tapi juga legislatif dan juga yudikatif,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab