Tinta Media: Slogan
Tampilkan postingan dengan label Slogan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Slogan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 April 2023

Slogan Elit, Terima Kritik Sulit

Tinta Media - Kebebasan berpendapat adalah slogan khas dari sistem demokrasi. Dalam sistem ini, setiap individu diberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. 

Namun, ada banyak hal yang nyatanya tidak sesuai dengan fakta. Mereka yang berpendapat ataupun berekspresi malah mendapatkan ancaman. Padahal, kritik yang disampaikan adalah demi kebaikan bersama. 

Salah satunya adalah seperti yang dialami oleh seorang tiktokers muda Bima Yudho Saputro alias @awbimaxreborn. Pada kontennya, ia menyampaikan bahwa kampung halamannya, yakni Lampung, dinilai tidak ada kemajuan. Yang bisa dilihat adalah masalah infrastruktur yang buruk, salah satunya jalan yang amat rusak (CNN Indonesia, April 2023).

Kritik yang disampaikan Bima dilaporkan ke Polda Lampung tentang pelanggaran UU ITE. Ia dituduh menyampaikan informasi hoax. Dian Wahyu K selaku Ketua AJI Bandar Lampung menegaskan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, UU ITE dijadikan sebagai celah dan pembenaran bagi para penguasa untuk membungkam orang-orang yang mengkritik kebijakan atau kesalahan-kesalahan para penguasa/pemerintah. 

Jika kita amati fakta sebenarnya dengan mengunjungi daerah Lampung, kondisi jalan memang sangatlah memprihatinkan. Hanya wilayah-wilayah tertentu yang sudah dalam kondisi baik. Namun, sisanya adalah jalan yang dipenuhi lubang-lubang besar dan ini sangatlah berbahaya bagi para pengendara. Terlebih, banyak truk besar yang mengangkut hasil kelapa sawit dsb. Hal ini sangatlah berbahaya, terlebih kondisi jalanan sangat rusak. 

Seharusnya kritik yang disampaikan dijadikan sebagai evaluasi dari kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, untuk dijadikan sebagai perbaikan, bukan malah diancam atau bahkan dikenakan pasal UU ITE. 

Sekali lagi, bukankah slogan demokrasi itu bebas berpendapat? Jika setiap pribadi yang memberi kritik pada penguasa dibungkam, bagaimana kita bisa mengevaluasi dan melakukan perbaikan untuk menjadi Indonesia yang lebih baik dan maju? Tentu kita akan semakin tertinggal jauh dari Negara-negara lain. Wajar, apabila banyak kecurigaan yang muncul kepada para penguasa, seperti ke mana dana untuk memperbaiki jalan, sedangkan kita selalu bayar pajak? 

Ya, tentu sangat wajar. Apalagi, sering kita lihat berita-berita para penguasa yang korupsi hingga milyaran, bahkan trliyunan, sedangkan utang negara tak terlunaskan.

Ya aneh bukan? Padahal, rakyat tidak minta yang muluk-muluk. Minimal kita bisa merasakan jalan yang aman dan nyaman.

Dalam Islam, para penguasa sejatinya mendapatkan amanah untuk mengurusi rakyat, memenuhi apa yang menjadi hak-hak rakyat. Hal ini karena pemimpin adalah pelayan umat, sedangkan rakyatnya adalah sebagai pengoreksi ketika pemimpin tersebut melakukan kesalahan. 

Tercatat dalam sejarah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau membuat sebuah kebijakan tentang mahar pernikahan yang harus dibatasi. Namun, salah seorang wanita angkat bicara dan mengkritik Khalifah Umar bahwasanya Allah tidak memberikan batasan apa pun pada mahar. Maka, tidak sepatutnya dibuat kebijakan seperti itu. 

Mendengar kritik dari wanita tersebut, tentu Khalifah Umar tidak mengeksekusi atau membungkam wanita itu, melainkan menjadikannya sebagai evaluasi dan menerima kritik untuk perbaikan kebijakan yang telah ia buat. Dengan demikian, sistem pemerintahan tetap bisa berjalan dengan saling memberikan hak dan kewajiban satu sama lain di antara para penguasa maupun rakyatnya. Dari situ, terciptalah negara yang damai dan sejahtera. 

Maka, jangan hanya sekadar 'slogan elit' tetapi nyatanya 'terima kritik, sulit'. Namun, seharusnya jadikan kritik untuk perbaikan agar Indonesia menjadi lebih baik.

Oleh: Rizuki
Sahabat Tinta Media

Minggu, 24 Juli 2022

Pengadilan Banyak Tapi Keadilan Langka, IJM: Bukan Slogan Kosong

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardana menegaskan slogan pengadilan banyak tapi keadilan langka menjadi reputasi penegakan hukum di Indonesia.

“Reputasi penegakan hukum di Indonesia menunjukkan slogan pengadilan banyak tapi keadilan langka dikuatkan dengan data itu bukan slogan kosong-kosong,” tuturnya dalam Live Kabar Petang: Penegakan Hukum Harus Adil dan Amanah, Jumat (22/7/2022), di kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, bukan pernyataan kosong banyak pihak merasa sulit mempercayai penegakan hukum di tanah air hari ini.
“Survei yang dilakukan Indonesia Political Opinion (IPO) pada tahun 2020 memperlihatkan  bahwa ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum itu mencapai 64 persen. Ini tertinggi di antara kebijakan-kebijakan yang lain,” ucapnya.

Artinya kebijakan penegakan hukum itu tidak dipercaya oleh masyarakat. Ia mengungkapkan data yang dilansir oleh World Justice Project tahun 2021.
“Mengungkap tentang indeks negara hukum Indonesia tahun 2021 turun dari tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Ia melanjutkan pendapat Ahli Rule of Law Index WJP Erwin Natosmal Oemar. “Bahwa peringkat index negara hukum di Indonesia dalam konteks global merosot. Saat ini peringkat Indonesia itu 68 dari 139 negara atau peringkat 9 dari 15 negara di Benua Asia Pasifik,” lanjutnya.

Ini menunjukkan citra penegakan hukum terkait dengan slogan pengadilan banyak tetapi keadilan langka. “Untuk mencari keadilan itu sulit bukan kosong-kosong,” bebernya.

Ia pun mengatakan, ada data yang bertolak belakang antara Survei Indikator Politik Indonesia dengan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang Januari-September 2021.
“Survei Indikator Politik Indonesia mendapatkan info bahwa kepercayaan terhadap Kepolisian Republik Indonesia itu tinggi yakni 80,2 persen. Sementara Komnas HAM pada tahun 2020 melaporkan institusi kepolisian itu paling banyak diadukan mencapai 758 kasus,” katanya.

Ia menambahkan, laporan KontraS terkait kasus yang terjadi di institusi kepolisian.
“KontraS sendiri mencatat ada 36 kasus penyiksaan yang dilakukan kepolisian, 7 kasus penyiksaan dilakukan oleh TNI. Dan itu termasuk yang tertinggi apa yang dilakukan oleh kepolisian terkait dengan penyiksaan pada masyarakat sipil,” ujarnya.

Menurutnya, hal tersebut mengakibatkan orang banyak yang skeptis terhadap penegakan keadilan di negeri ini.
“Bahkan pakar hukum Prof Satjipto Rahardjo menyebutkan hukum yang berjalan saat ini lebih banyak memihak pada penguasa, pengusaha, politisi serta semakin memarginalkan rakyat,” tuturnya.

Baginya penegakan hukum di tanah air bagaikan jauh panggang dari api. Ia menilai data-data ini semestinya dijadikan kepolisian sebagai otokritik bagi kasus yang ada sekarang menjadi sorotan publik.
“Betul-betul ditunjukkan penegakan hukum yang adil dan amanah,” ucapnya.

Pudarnya Sikap Amanah 

Persoalan hukum itu, menurutnya, bersumber pada dua hal, yakni:

Pertama, hukum itu sendiri. “Istilahnya kata peradilan yang digunakan dalam mengadili aktivitas pelanggaran hukum itu sendiri,” tuturnya.

Kedua, moralitas para penegak hukum. Ia mengatakan hukum itu harus adil. Timbul berbagai pertanyaan terkait hukum yang adil itu saat ini, apakah sudah terwujud.
“Apakah hukum yang ada saat ini sudah bisa dikatakan adil, berpihak pada semua?” katanya.

Ia menjelaskan bahwa moralitas dari penegak hukum atau dalam bahasa yang lebih dekatnya Islam, amanah. Apakah amanah atau tidak para penegak hukumnya. “Bicara amanah atau tidak maka kita bisa mengambil satu data penting, data dari Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri itu menyebutkan bahwa lembaga kepolisian sarat dengan persoalan,” jelasnya.

Ia membeberkan setidaknya ada 1694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin. “Ditambah 803 kasus terkait kode etik, kemudian 147 kasus pidana, dari Januari sampai Oktober 2021, tidak ada setahun kasusnya seperti ini,” bebernya.

Artinya, persoalan moralitas penegak hukum ini menjadi pertanyaan besar.
“Anda bayangkan bahwa tata hukum kita, peraturan untuk hukum di negeri ini, itu sudah tidak benar, tidak memberikan keberpihakan pada semua, ditambah dengan para penegak hukumnya yang tidak amanah,” tuturnya.

Ia menyatakan kondisi ini menjadi persoalan yang luar biasa. Amanah itu menjadi salah satu syarat utama penegakan keadilan. “Hukum apa pun apabila tidak amanah penegak hukumnya maka sarat akan persoalan. Karena aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu meskipun berhadapan dengan rekan korpsnya,” ujarnya.

Ia kembali mempertanyakan keberanian di dalam tubuh Polri sendiri. “Apakah berani atau tidak menyelesaikan tanpa pandang bulu, termasuk di kalangan elit. Kalau ternyata elitnya ini ada yang terkena kasus,” pungkasnya.[] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab