KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Tidak Benar Mengaitkan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah dengan Pemilihan Capres di Sistem Sekuler
Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus Pakar Fiqih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menanggapi pertanyaan terkait pendapat seorang khatib yang mengaitkan kutipan ucapan ulama terdahulu yang berbunyi: "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" dengan pemilihan capres dalam sistem sekuler adalah tidak benar.
“Pendapat khatib tersebut tidak benar jika mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai ucapan ulama terdahulu yang bunyinya, ‘Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan’," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (12/2/2024).
USAJ sapaan Kiai Shiddiq menegaskan, kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan ‘pemimpin yang zalim’ adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah. “Bukan pemimpin dalam sistem demokrasi sekuler saat ini,” tegasnya.
Disampaikan kutipan aslinya yang berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa berbunyi sebagai berikut :
سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ
"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391).
Kiai menjelaskan, teks aslinya yang berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan ‘enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim’, tidak boleh sama sekali diartikan ‘enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim.” Hal ini karena kata ‘Imam’ (Khalifah) merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin (‘amiir’) merupakan kata yang lebih umum cakupannya.
“Jadi, ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan ‘’enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim’, jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru,” jelasnya.
Menurutnya, perbedaan antara istilah ‘pemimpin’ dengan ‘Imam’, kata ‘pemimpin’ (bahasa Arabnya amiir) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan.
“Jadi kata ‘pemimpin’ bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya,” bebernya.
Adapun istilah ‘Imam’ atau ‘Khalifah’ lanjutnya, adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).
“Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (sama maknanya),” tandasnya.
Kiai Shiddiq juga menyampaikan pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin :
يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ
“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49).
Secara lebih khusus, lanjut USAJ, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata:
اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ.
“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49).
“Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini,” jelasnya menegaskan kembali.
Menurut USAJ, seharusnya terjemahan yang benar adalah ‘enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim’ bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum ‘enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim.’
“Penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat ‘imam yang zalim’ (dalam teks bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini,” pungkasnya.[] Raras