Tinta Media: Sistem Islam
Tampilkan postingan dengan label Sistem Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistem Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 November 2024

Tanpa Sistem Islam, Muslim Rohingnya Selalu Terpinggirkan



Tinta Media - Sebanyak 146 pengungsi  Rohingya terdampar di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Kamis (24/10/2024) setelah 17 hari berlayar dari kampung pengungsian di Bangladesh. 
M. Sufaid (24), salah seorang pengungsi mengatakan bahwa mereka mengungsi karena terjadi konflik di Myanmar, tempat asal mereka. (KOMPAS.com)

Mereka begitu berharap Indonesia bersedia memberi perlindungan, sampai nekat berlayar mengganggu kapal kayu. Akan tetapi, ternyata masyarakat menolak. Hal itu diungkapkan oleh Sufaid di Aula Camat Pantai Labu. Ia bertahan di laut bersama keponakannya selama 17 hari dengan bekal makanan dan minuman sangat sedikit. Meski ada penolakan, Sufaid berharap besar agar bisa diterima dan ditampung di Indonesia yang mayoritas muslim.

Nasib Kaum Minoritas

Setiap manusia berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Itu adalah harapan semua manusia di dunia. Namun, tidak untuk pengungsi Rohingya. Mereka hidup terombang-ambing dalam ketidakpastian. Mirisnya, peristiwa ini sudah berlangsung cukup lama. Bukan hanya Rohingya, tetapi umat Islam minoritas di belahan dunia seperti Suriah, India juga mengalami penderitaan yang sama. Selalu berada dalam ketakutan dan kecemasan tanpa ada yang bisa melindungi. 

Negeri muslim  lainnya tidak bisa berbuat banyak karena terhalang sekat nasionalisme, buah penerapan sistem demokrasi buatan manusia yang berlandaskan akal. Akibatnya, berbagai permasalahan yang menimpa kaum muslimin dianggap masalah masing-masing negara. Sehingga, negeri lain tidak boleh ikut campur dalam masalah kaum muslimin yang tertindas dan terzalimi di luar sana, kecuali hanya sebatas memberi bantuan seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan. 

Sayang, meski sudah ada konvensi terkait penanganan pengungsi, sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini mustahil akan memberi harapan. Sistem kapitalisme dengan perhitungan untung rugi akan sulit dilakukan. Jika masyarakat mempunyai keinginan untuk membantu, tetap saja tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan pemerintah. 

Padahal, menurut pandangan Islam, kaum muslimin itu bersaudara karena ikatan akidah Islam. Ada jalinan kasih sayang di antara kaum mukmin walaupun berada di bagian bumi mana pun. Sesama kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika ada seorang muslim yang sedang kesusahan, kita juga akan ikut merasakannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya ada kesadaran untuk membela dan membantu di saat saudara sesama muslim sedang membutuhkan pertolongan. 

Begitulah seharusnya sikap kaum muslimin terhadap saudara seiman, termasuk pengungsi Rohingya. Kaum muslimin harus berupaya untuk membantu dan peduli pada nasib mereka. 

Namun, jika masih berada dalam kondisi sistem kapitalis sekuler, mustahil bisa memberi solusi tuntas atas persolan pengungsi Rohingya.  Persoalan yang sistematis memang harus diselesaikan dengan cara yang sistemik pula. 

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah institusi negara yang kuat dan mandiri, bukan negara pengekor seperti saat ini.  Harus ada negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Itulah satu-satunya solusi yang bisa membebaskan pengungsi Rohingya dari ketertindasan akibat konflik berkepanjangan. Daulah Islam akan menyatukan kaum muslimin sedunia hingga mereka  hidup sejahtera tanpa terjajah dan terusir dari negaranya dan akan selalu terjaga martabatnya.
Wallahu a'lam bishawab.



Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media




Jumat, 01 November 2024

Sistem Islam Lebih Baik dalam Memilih Wakil Rakyat



Tinta Media - Dalam tatanan kepemimpinan, tugas wakil rakyat adalah mewakili suara warga yang di badan legislatif. Mereka bertugas mengawasi kinerja pemerintah dan mengadvokasi hak-hak warga yang terabaikan. Namun, dalam sistem demokrasi, hal tersebut hanyalah omong kosong, karena pada faktanya, banyak wakil rakyat yang lebih fokus untuk membela kepentingan kelompok atau diri sendiri. Sementara, dalam sistem Islam, Majelis Ummah dijadikan wakil rakyat sejati.

Sebagai warga negara, tentu kita ingin memiliki wakil rakyat yang mampu merepresentasikan aspirasi dan kepentingan kita. Namun, realita yang ada membuat masyarakat semakin meragukan integritas DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini karena dalam sistem politik demokrasi, hukum dibuat oleh manusia. Besar kemungkinan adanya pengaruh kepentingan tertentu dari para pembuat hukum atau kelompok tertentu. Ini juga mendorong terbentuknya berbagai dinasti politik yang secara tidak langsung mengakibatkan korupsi, nepotisme, dan patronase.

Sebagaimana yang terjadi pada pelantikan 580 anggota DPR RI baru-baru ini, sekitar 79 dari 580 anggota terpilih terindikasi sebagai dinasti politik atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat tentang kinerja DPR di masa depan. (tirto.id/2/10/2024)

Kendati prinsip demokrasi menuntut kesamaan hak pada semua warga negara, tetapi dinasti politik dapat merusak pilar demokrasi dan mengganggu kinerja pemerintahan karena cenderung membangun struktur untuk melindungi rekan, kelompok, atau bahkan keluarganya dari pengawasan eksterna. Bahkan, dengan mudah terjadilah praktik korupsi.

Walaupun dewasa ini banyak yang menganggap demokrasi dan asyura dalam Islam adalah sama, tetapi sebenarnya keduanya memiliki banyak perbedaan. Contohnya, demokrasi memberikan kedaulatan tertinggi kepada rakyat, sementara dalam Islam, kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt. dan manusia hanya diberikan amanah untuk melaksanakannya. 

Selain itu, perbedaan yang signifikan juga terdapat dalam landasan hukum. Dalam demokrasi, hukum dibuat oleh manusia. Di dalam sistem Islam, landasan hukumnya adalah hukum buatan Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ini membuat sistem Islam jauh lebih adil, karena tidak akan condong terhadap kepentingan kelompok tertentu, serta lebih mengedepankan kepentingan umat.

Politik dalam Islam atau yang biasa dikenal dengan istilah siyasah Islamiyah, memiliki arti bertanggung jawab atas pengurusan urusan umat. Sebagaimana sistem pemerintah yang lainnya, di dalam Islam juga terdapat wakil rakyat yang bertanggung jawab untuk mengawasi kinerja negara dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang terabaikan atau biasa di sebut Majelis Ummah. Majelis Ummah tidak berwenang membuat aturan atau undang-undang, sehingga peran mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan Sebaliknya, para wakil rakyat dalam sistem Islam tersebut hanya memfokuskan perannya untuk memberikan solusi atas masalah yang dihadapi rakyat dengan membantu menyampaikan keluhan atau aspirasi kepada pemimpin yang lebih tinggi.

Selain itu, karena politik Islam adalah pengaturan urusan umat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt, maka dalam Sistem Islam, kemampuan para wakil rakyat sangat diperhatikan. Misalnya, individu yang memiliki kemampuan baik untuk memimpin ditempatkan di posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Tentunya individu-individu yang demikian hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang berakidah Islam.

Dalam keadaan yang mengkhawatirkan seperti saat ini, telah banyak para wakil rakyat terlibat konflik kepentingan. Maka, sistem Islam mampu menjadi alternatif yang lebih baik dalam memilih wakil rakyat. 

Untuk meminimalisir peluang politisi yang tidak bertanggung jawab masuk ke dalam dunia politik, maka sudah sepatutnya kita membuang jauh sistem kapitalisme demokrasi dan bergegas menggantinya dengan sistem Islam. Sebab, hanya dengan Islam kita dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan di Indonesia serta memperkuat peran wakil rakyat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mereka wakili, serta menjaga hak-hak dan kepentingan rakyat.
Wallahu'alam.




Oleh: Indri Wulan Pertiwi,
Aktivis Muslimah Semarang

Selasa, 08 Oktober 2024

Sistem Islam Menjamin Ketahanan Pangan



Tinta Media - Beras merupakan bahan pokok masyarakat Indonesia yang harus dipenuhi setiap hari. Karena itu, keberadaannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Namun, kondisi hari ini sungguh ironis. Di negeri subur dan tropis, justru harga beras dalam negeri lebih mahal.

Indonesia menjadi negara dengan harga beras dalam negeri tertinggi di kawasan ASEAN saat ini. Harga beras lebih mahal 20 persen daripada harga beras di pasar global. Tingginya harga beras disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kenaikan biaya produksi dan pembatasan impor, pengetatan tata niaga melalui nontarif. Hal ini diungkapkan oleh Carolyn Turk, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste.

Meskipun demikian,  penghasilan petani lokal justru tak sebanding dengan tingginya harga beras dalam negeri. Pendapatan rata-rata petani kecil per hari kurang dari 1 dollar AS atau Rp15.199, sedangkan per-tahun sekitar 341 dollar AS atau Rp5,2 juta. Menurut catatan Bank Dunia, penduduk lndonesia yang bisa membeli makanan sehat hanya sekitar 31 persen saja. 

Ironis memang jika dilihat dari segi alam Indonesia yang subur, gemah ripah loh jinawi, tetapi rakyatnya hidup penuh tekanan dan kesengsaraan, terutama dalam hal kebutuhan dasar, seperti pangan. Dalam hal ini, beras merupakan bahan pokok yang harus dipenuhi setiap hari.
Ini menunjukkan bahwa negara masih dalam cengkeraman sistem kapitalisme yang tidak pro kepada rakyat. Sistem ini berhasil menguasai semua lini, termasuk sektor pertanian.

Kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah terbukti mampu memporak-porandakan seluruh tatanan kehidupan manusia. Di sisi lain, peran negara pun hanya sebagai regulator bagi para oligarki yang punya kepentingan melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Contoh nyata adalah pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada pihak swasta dan asing sehingga mereka bebas mengeksploitasi alam, termasuk lahan pertanian.

Dengan alasan pembangunan, negara kongkalikong dengan oligarki dalam hal alih fungsi lahan pertanian yang dengan bebasnya diambil untuk kepentingan mereka. Seperti pembangunan pabrik, perumahan, pertokoan, dan tempat wisata yang merupakan bisnis atau kepentingan oligarki. Walhasil, tanah persawahan menjadi berkurang karena sudah beralih fungsi. 

Selain faktor alih fungsi lahan pertanian, ada juga masalah distribusi beras yang dikuasai pihak swasta yang dengan mudah memainkan harga. Permainan pasar bebas sudah pasti akan menguntungkan yang punya modal, sedangkan kalangan ekonomi menengah ke bawah yang akan kena imbasnya. 

Di sisi lain, ketika harga beras mahal, para petani justru tidak sejahtera. Pendapatannya sedikit karena biaya pengelolaan lahan mulai dari pupuk, bibit, sarana dan prasarana pertanian yang memerlukan biaya mahal harus mereka tanggung sendiri. Sedangkan ketika panen, harga jualnya murah. Begitulah jahatnya ketika semua sektor pertanian sudah dikuasai para kapitalis, sedangkan negara hanya sebagai fasilitator.

Maka, wajar jika masalah pangan ini terus menjadi polemik berkepanjangan, sedangkan solusi yang ditawarkan negara hanya bersifat pragmatis. Ketika harga beras mahal, rakyat disuruh mengonsumsi ubi, singkong, dan palawija lainnya. Begitu juga ketika harga cabe dan minyak mahal, pemerintah dengan gampangnya menyarankan agar menanam cabe sendiri di pekarangan rumah dan mengolah makanan dengan cara merebus. Begitulah celoteh para pengusaha yang sangat tidak pantas dan konyol. Negara gagal mengatur kedaulatan pangan dan hanya mengekor arahan para korporasi. 

Sedangkan Islam adalah satu-satunya aturan kehidupan yang mampu memberi kesejahteraan bagi rakyat. Islam betul-betul memperhatikan masalah kebutuhan dasar rakyat seperti sandang pangan, dan papan. Terkait masalah beras, tentu saja Islam sudah punya solusi agar semua hak-hak rakyat terpenuhi dengan baik. Perlu diketahui bahwa Islam sebagai negara yang independen tidak mengekor pada siapa pun. Islam juga tidak bisa disetir oleh pihak-pihak tertentu seperti halnya dalam sistem demokrasi. Negara hanya mempraktikkan atau melaksanakan syariat Islam dalam rangka mengurus urusan rakyat. 

Adapun langkah yang dilakukan adalah dengan memprioritaskan pengolahan lahan hijau agar selalu berproduksi, meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan, menyediakan pupuk dan bibit unggul yang berkualitas. Islam juga tidak akan membiarkan ada lahan yang terbengkalai dan tidak diurus (tanah mati) oleh pemiliknya. Ketika ada tanah mati atau tanah yang tidak diurus selama tiga bulan, maka khalifah akan membolehkan siapa saja yang mau mengurus lahan tersebut sehingga tetap berproduksi. Bisa dipastikan bahwa hasil dari pengolahan lahan yang diatur oleh sistem Islam akan bisa menjamin kebutuhan pangan bagi masyarakat.

Walaupun demikian, Islam tidak melarang impor, selama memang benar-benar di butuhkan dan dalam kondisi darurat. Namun, kemungkinan itu sangat kecil. Dalam pendistribusian, Islam tidak mengenal monopoli pasar bebas, sehingga harga relatif stabil. Kondisi tersedia didukung pula dengan sanksi yang tegas, sehingga meminimalisir terjadinya berbagai macam kecurangan. 

Begitulah bentuk penjagaan negara dari setiap aspek ketika menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan, yaitu dengan adanya institusi negara khilafah. Semoga semua segera terwujud, insyaallah. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Hanya dengan Sistem Islam, Generasi Menganggur Tak Tumbuh Subur



Tinta Media - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Ternyata, anak muda yang paling banyak masuk dalam kategori NEET justru ada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan, banyak dari pengangguran berusia muda tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi (kompas.com, 24/5/2024).

Ironis bukan? Anak muda yang menganggur memiliki tingkat pendidikan formal selama 12 tahun sejak SD hingga SMK. Padahal, di SMK mereka diajari untuk siap bekerja dengan keahlian tertentu, seperti mesin otomotif, rekayasa perangkat lunak, keperawatan, akuntansi, tata boga, pelayaran, farmasi, dan sebagainya. Namun, tetap saja pada faktanya para lulusan SMK ini banyak yang menganggur. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan SMK yang siap menghasilkan tenaga kerja terampil untuk ditempatkan di dunia kerja. Nyatanya, terdapat gap lebar antara SMK dan industri. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka pengangguran pada Gen Z, antara lain sempitnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. 

Faktor lainnya yang dilansir dari laman kumparan.com, (20/5/2024), menurut Menaker Ida Fauziyah, banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Ini terjadi pada lulusan SMA/SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda.

Sulitnya lapangan pekerjaan  saat ini pasti akan berdampak besar pada generasi muda. Mereka dituntut produktif, tetapi sarana prasarana dalam sistem kapitalis ini tak berpihak pada mereka. Persaingan dengan tenaga kerja asing tak pelak harus dihadapi. Untuk berwirausaha pun membutuhkan modal yang tak sedikit, ditambah lagi turunnya daya beli masyarakat karena perekonomian yang semakin sulit. 

Banyaknya anak muda yang menganggur bukan semata karena faktor diri Gen Z yang kurang tangguh dalam mencari kerja, tetapi faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. Negara telah gagal menyiapkan anak muda ini untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. 

Harusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal hidup dan mampu membentuk mental yang tangguh sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Selain itu, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. 

Proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah yang dibanggakan pemerintah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, hasilnya minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dibuat melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. 

Bahkan, pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri. Jika dilihat, negeri ini kaya akan sumber daya alam. Semestinya negara bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Mirisnya, kekayaan alam justru dikuasai swasta dan asing dengan ekonomi liberalnya. 

Kenyataan di atas tak akan ditemui dan tak akan terjadi di dalam sistem Islam. Sistem Islam kaffah yang menerapkan Al-Qur’an dan Sunah menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga tidak boleh dimiliki swasta (diswastanisasi). Hasil dari kekayaan alam ini digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Salah satunya adalah untuk mempersiapkan pemuda menjadi generasi hebat dan unggul, bukan generasi menganggur. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan negara untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain: 

Pertama, Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis yang berkepribadian Islam. Biaya pendidikan dijamin oleh negara sehingga rakyat bisa menikmati dengan cuma-cuma. 

Kedua, mendirikan sejumlah industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Banyak dari kalangan masyarakat, termasuk pemuda yang diserap untuk bekerja di sejumlah industri. SDM yang unggul akan mengelola kekayaan milik umum sesuai aturan Islam dan kemaslahatan umum.

Ketiga, mencetak generasi sebagai pemimpin atau negarawan, bukan pengangguran. Departemen Pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan di perguruan tinggi yang mampu mencetak para ulama, mujtahid, pemikir, pakar, dan pemimpin. 

Dari sini jelas, hanya dengan sistem Islamlah semua itu akan terwujud. Generasi muda menganggur pun tak akan tumbuh subur.


Oleh: Eva Ummu Naira
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Minggu, 03 Maret 2024

Pemimpin yang Adil dan Amanah Hanya Ada dalam Sistem Islam

Tinta Media - Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin negara dalam lima tahun ke depan.

Dulu, sebelum pesta demokrasi terlaksana, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Bandung, KH. Shohibul Ali Fadhil M.Sq.  mengatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) berhak melakukan pemilihan umum (pemilu) untuk menentukan pemimpin negara dalam lima tahun ke depan. Pesta demokrasi, selain memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, juga memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

KH. Shohibul mengungkapkan bahwa di dalam sebuah peraturan perpolitikan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Maka dari itu, beliau dulu berharap kepada semua masyarakat Kabupaten Bandung agar menjadikan pesta demokrasi sebagai sebuah momentum untuk bersyukur kepada Allah Swt., menerima ketentuan takdir Allah Swt. 

Yang menang sudah tergariskan oleh Allah Swt. Bagi yang kalah, diharapkan bisa kembali lagi bersatu padu membangun Kabupaten Bandung yang Bedas (bangkit, edukatif, dinamis, agamis, dan sejahtera), mempererat kembali persaudaraan, menyatukan visi dan misi Kabupaten Bandung menuju Indonesia emas 2045, pangkas KH. Shohilul. (KIMCIPEDES.COM)   

Memang, tidak ada yang salah dengan pemilu, karena pemilu dilakukan untuk mengangkat seorang penguasa atau pemimpin. Kelak, dengan kepemimpinan tersebut, ia akan menjalankan tugas dan perannya sebagai kepala negara dalam hal mengurusi urusan rakyat. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah dengan berganti sosok pemimpin secara terus-menerus, akan terjadi perubahan menjadi lebih baik, atau justru hanya ilusi?

Seharusnya kita pahami bahwa sudah banyak pemimpin yang bergonta-ganti memimpin negeri ini. Akan tetapi, apakah masalah di negeri ini sudah teratasi ataukah justru timbul masalah baru silih berganti?  

Harus kita pahami pula bahwa bukan cuma perkara pemimpin yang berubah, lebih dari itu, kita butuh perubahan sistem yang akan mengantarkan perubahan yang lebih baik. 

Selama ini, PR di negeri ini masih sangat banyak, mulai dari masalah kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, dan masih banyak lagi yang lain. Harus kita sadari dan pahami, bahwa bergonta-ganti sosok pemimpin saja tidak akan memberikan perubahan yang berarti, selama sistem yang dipakai bukan sistem yang bersumber dari ilahi.

Seperti saat ini, ketika sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalis-sekuler, Islam dan kekuasaan dipisahkan dan tidak memberlakukan syariah Islam. Akibatnya, penguasa bukan hanya gagal mencegah kezaliman yang menimpa rakyat. 

Selain itu, penguasa seakan berkolaborasi dengan para oligarki dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat. Contohnya, pengesahan UU Migas, UU Mineral dan Batubara, UU Kelistrikan, UU Omnibus Law, UU IKN, dan lain-lain. Semuanya memberikan keleluasaan kepada oligarki untuk merampas sekaligus menguasai berbagai sumber daya alam yang notabene adalah milik rakyat, seperti hutan, minyak, gas, mineral, batu bara, barang tambang (seperti emas, perak, timah, nikel), dan lain-lain.

Tidak ada yang salah dengan pemilu. Akan tetapi, selama sistem yang bercokol masih sistem buatan manusia, maka kesejahteraan, kebahagiaan, keberkahan, mustahil akan didapatkan dan dirasakan.  
  
Ini berbeda dengan pemilu di dalam Islam yang menempatkan  hukum syara di atas segalanya, dan menerapkan hukum Allah dalam segala aspek kehidupan. Maka, permasalahan apa pun akan terselesaikan dengan syariat Islam.   

Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah, dan amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw.  bersabda:

"Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada hari kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR. ath-Thabrani).    

Rasulullah saw. mengingatkan dalam hadis di atas bahwa hanya para pemimpin yang mempunyai sifat kasih sayang dan adil yang akan selamat kelak di hadapan pengadilan Allah Swt. Sikap kasih sayang seorang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan rakyat, dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.
    
Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya dalam menegakkan syariat Islam di tengah umat. Sebab, tidak ada keadilan tanpa penegakkan dan penerapan syariat Islam.

Karena itulah, siapa pun yang akan menjadi penguasa, lalu saat berkuasa tidak menjalankan pemerintahan sesuai dengan syariat Islam, maka dia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik. 
Allah SWT berfirman,

"Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni al-Quran ), maka mereka itulah kaum yang zalim (TQS. al- Maidah: 45)

"Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni al-Quran), maka mereka itulah kaum yang fasik." (TQS. al-Maidah: 47)  

Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi Saw mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda,

"Tidaklah seseorang hamba  yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat, mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya." (HR al- Bukhari)

Karena itulah, kaum muslim diperintahkan oleh Allah Swt. untuk memberikan amanah, terutama amanah kekuasaan kepada orang yang benar-benar layak berdasarkan kategori-kategori syariah. 

Dengan demikian, kekuasaan harus diorientasikan untuk melayani urusan umat. Hal ini hanya akan terwujud tatkala kekuasaan itu menerapkan syariah Islam secara total, memelihara urusan dan kemaslahatan, serta menjaga umat. Kekuasaan semacam inilah yang harus diwujudkan oleh kaum muslim semuanya, yang dengannya akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan.
   
Kekuasaan semacam ini hanya akan terwujud dalam bentuk pemerintahan Islam, yakni khilafah Islam. Khilafah Islam akan mengatur urusan kaum muslim dan seluruh warga negara dengan syariah Islam, seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk seluruh warga tanpa memandang kelas ekonomi, serta akan mengelola sumber daya alam agar bermanfaat bagi segenap warga, tidak dikuasai swasta apalagi jatuh ke tangan asing dan aseng.    

Khilafah juga akan menjaga dan melaksanakan urusan agama, seperti melaksanakan hudud untuk melindungi kehormatan, harta, dan jiwa masyarakat muslim maupun non-muslim. Khilafah Islam juga akan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah Islam juga akan memimpin jihad untuk menyelamatkan kaum muslimin yang tertindas di berbagai negeri, seperti di Palestina, Xinjiang, Myanmar, dan lain-lain.     

Sudah saatnya kita menentukan pilihan dengan hanya memilih kekuasaan yang akan menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan penerapan syariat Islam, perubahan yang diinginkan akan benar-benar sesuai harapan, sekaligus mendapatkan keberkahan dan rida Allah Swt.
Semua itu hanya bisa terwujud tatkala khilafah Islamiyyah ditegakkan. Wallahu a'lam.


Oleh: Ummu Aiza
Sahabat Tinta Media

Minggu, 25 Februari 2024

Sistem Islam Mampu Menyelesaikan Sampah



Tinta Media - Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sekaligus Hari Sampah Sedunia  bertepatan di 21 Februari 2024. Di tahun ini, tema yang diangkat adalah tentang sampah plastik. Persoalan sampah ini masih terus menjadi masalah serius, baik nasional maupun internasional. Pencemaran sampah plastik saat ini telah menjadi isu global, karena sifatnya melewati batas negara.

Indonesia menyumbang 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023.  Darurat sampah masih terjadi di sejumlah daerah, salah satunya Bandung. Volume sampah yang awalnya sekitar 1.300 ton menjadi sekitar 900 ton. Meskipun ada penurunan volume sampah, tetapi penanganannya tetap saja kurang maksimal. 

Sementara itu, truk kontainer yang telah diangkut dari TPS Kota Bandung ke TPA Sarimukti sering berfluktuasi. Rosa Vivien, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa Indonesia punya target pengurangan sampah plastik ke laut, yaitu 70% pada 2025.
Sampah plastik yang sulit diurai merupakan produk turunan bahan bakar fosil telah mencemari setiap bagian lautan di permukaan hingga dasar, dari kutub hingga area khatulistiwa. 

Sampah ini ternyata membahayakan kesehatan dan keselamatan hewan laut.
Kelomang, hewan kecil yang berlindung di dalam cangkang siput, kini mulai beralih ke sampah plastik sebagai cangkang pengganti. Sebuah laporan dalam journal Scince of the Total Environment, menebarkan 386 individu kelomang, 10 dari 16 spesies kelomang darat menggunakan cangkang buatan, terutama tutup botol plastik. Hal ini karena kekurangan cangkang alami yang tentu saja dampak polusi plastik terhadap kehidupan laut.

Hal yang cukup misterius, hasil penelitian dari tim ilmuwan internasional yang bekerja di kapal penelitian di Pantai Panama Amerika Tengah memperlihatkan bahwa mikroplastik mencemari lautan. Mikroplastik adalah sampah plastik yang masuk ke lautan yang akhirnya terurai menjadi fragmen-fragmen kecil yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik ini bisa tertelan ikan konsumsi, yang akhirnya berpengaruh ke kesehatan tubuh manusia. Mikroplastik ternyata juga mengganggu kemampuan laut untuk mendinginkan bumi. 

Akar permasalahan kerusakan lingkungan terletak pada sistem kapitalistik yang mengadidaya. Hal ini menjadikan masyarakat konsumtif dan pragmatis. Tentunya, gaya hidup ini menghasilkan sampah, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan dampak negatif ke lingkungan. 

Perusahaan memanfaatkan peluang  masyarakat yang konsumtif itu demi mengejar keuntungan materi, tetapi kurang peduli pada dampak limbah yang merusak lingkungan udara, tanah, bahkan laut dikarenakan melebihi batas normal. 

Islam adalah din (agama) dan sistem yang memiliki perspektif tertentu mengenai manusia dan lingkungan. Manusia, sebagaimana tersurat dalam beberapa ayat al-Qur'an (Q.S At-Tin:4, Q.S Al-Mu'minun:12--14, Q.S Al-Insan:4) dan hadis adalah makhluk yang paling sempurna. Padanya diatributkan sebagaimana hamba Allah dan khalifah, termasuk yang dipercayakan untuk merawat alam semesta.

Sistem Islam mampu mengatasi permasalahan semua jenis sampah dengan melibatkan individu, masyarakat, sampai negara. 

Pertama, negara akan mengedukasi individu dan masyarakat untuk hidup hemat, bersih, dan menjaga lingkungan, termasuk lingkungan laut. Hidup yang telah diedukasi ini didasarkan pada keimanan. 

Kedua, negara menerapkan politik ekonomi Islam yang bertujuan menjamin kebutuhan pokok masyarakat, yakni kesehatan yang langsung diurusi oleh negara. Negara memberi sarana pembuangan sampah yang memadai dan pengangkutan yang cukup. Negara juga mendorong para ahli untuk menciptakan teknologi canggih dalam pengelolaan sampah. 

Ketiga, negara menetapkan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku pengrusakan lingkungan, baik individu maupun masyarakat, misalnya membuang sampah di daratan atau lautan secara sembarangan.

Dengan penerapan sistem Islam,  maka permasalahan darurat sampah dapat terselesaikan dengan tuntas.


Oleh: Lulu Sajiah, S.Pi
Pemerhati Agro Maritim

Jumat, 26 Januari 2024

Generasi Emas Hanya Ada di Sistem Islam, Bukan Demokrasi




Tinta Media - Kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan/ dilibatkan dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Oleh karena itu, demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendukung program digitalisasi sekolah untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional, HIBAR PGRI. Untuk menciptakan efektivitas kerja stakeholder pendidikan, kecerdasan artifisial itu perlu dimanfaatkan. Maka, beliau mengingatkan agar semua elemen pemerintah Indonesia mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni.

Hetifah mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis digital berpotensi membawa manfaat, seperti peningkatan pelayanan, penghematan biaya operasional dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Namun, upaya ini harus selaras dengan pengawasan penegakan hukum yang adil. Mengambil langkah strategis seperti pengembangan platform pelayanan daring, pemantapan konektivitas digital dan penyediaan akses gratis adalah langkah yang diharapkan akan dilakukan oleh pemerintah. Dukungan kecerdasan artifisial akan membantu mempercepat proses analisis data terkait pendidikan, lebih dari sekadar itu saja.

Pendidikan adalah hal penting untuk sebuah negara. Dengan pendidikan yang bagus, akan lahir generasi yang berkualitas seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengalami perkembangan pesat. Kecerdasan buatan ini memang sangat berpengaruh atau berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat diberikan kemudahan dalam mengerjakan tugas yang biasanya dikerjakan oleh manusia, juga dalam proses informasi, pendidikan serta pengambilan keputusan serta layanan kesehatan, keamanan, dan berbagai kemudahan lainnya.

Namun, di balik semua manfaat yang didapatkan, ada juga efek atau sisi negatif yang dirasakan oleh masyarakat, walaupun dengan segala kecanggihan teknologi digital yang disuguhkan. Di antaranya, penggantian pekerjaan manusia, privasi dan keamanan data dan ketergantungan yang tidak terkontrol. 

Apalagi, ketika sekularisme masih bercokol dan menjadi landasan berpikir dan bertindak seperti saat ini, justru semuanya bisa berakibat fatal. Dalam ranah pendidikan yang berbasis sekuler, berbagai kurikulum terus berganti. Pendidikan dengan kurikulum merdeka tidak akan menghasilkan generasi yang berkualitas, justru akan menghasilkan generasi rusak karena tidak adanya penjagaan secara sistematik. Imbasnya, banyak pelecehan seksual, perundungan, serta kekerasan yang terjadi di sekolah maupun pesantren yang notabene merupakan pendidikan Islam.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan adanya kecerdasan artifisial, akan hilang ladang pekerjaan yang berimbas pada guru, sehingga guru pun harus banting setir mencari alternatif pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi kalau hanya guru honorer yang gajinya tidak seberapa, bahkan sangat minim. Kecanggihan teknologi ini juga bisa menghilangkan pekerjaan manusia secara umum, ketika semua sudah diwakili oleh mesin atau robot. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan atau AI bukan jaminan keberhasilan generasi emas, walaupun ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. 

Untuk mewujudkan generasi emas, kita harus pindah haluan menuju ke pendidikan yang dibangun atas dasar paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam berlaku untuk semua warga, tidak pilih-pilih. Islam mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk kepribadian Islam, ilmu dan teknologi, serta pemahaman Islam yang benar. 

Dengan kurikulum berbasis akidah Islam, kita akan mampu membentuk generasi tangguh dan bertakwa, karena hal itu memang tujuannya. Fasilitas pendidikan yang merata dan memadai untuk semua jenjang, wilayah dan kalangan  sangat diprioritaskan sebagai bentuk kewajiban seorang khalifah dalam mengurus urusan rakyat. 

Semua fasilitas pendidikan adalah dari hasil kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk disalurkan lagi kepada rakyat, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. Guru yang berkualitas dan profesional dipersiapkan dengan upah yang tinggi, karena begitu besarnya jasa seorang guru dan begitu besarnya Islam memuliakan seorang guru. 

Islam pun sangat memperhatikan masalah infrastruktur pendidikan yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar yang baik, mulai dari laboratorium, perpustakaan, dan semua sarana yang berkaitan dengan pendidikan. Dari segi biaya, Islam sama sekali tidak memberatkan rakyat, namun justru memudahkan dengan biaya yang murah, bahkan gratis.

Begitulah ketika konsep pendidikan berdasarkan akidah Islam. Semua pihak akan mendapatkan manfaat dan kemudahan. Hasilnya pun akan melahirkan generasi unggul yang berkualitas, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Kuncinya adalah dengan adanya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Jadi, jelaslah bahwa kecerdasan artifisial jika tidak ditunjang dengan penerapan syariat secara kaffah, maka tidak akan mampu mencapai tujuan yang hakiki, yaitu mencetak generasi emas sebagai agen perubahan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Kamis, 28 Desember 2023

Perayaan Natal dalam Sistem Islam, Adakah?



Tinta Media - Setiap masuk bulan Desember “Toleransi” menjadi pembahasan utama dimana-mana. Di bulan ini masyarakat Indonesia yang beragama Kristen/Nasrani akan merayakan hari besar keagamaannya yakni Natal. Indonesia dengan mayoritas beragama Islam diminta untuk bertoleransi dengan agama lain. 

Toleransi saat ini ditunjukkan dengan “ikut serta” dalam perayaan agama lain atau kegiatan-kegiatan agama lain. Contoh dengan masuknya bulan perayaan Natal maka segala dekorasi ditempat-tempat umum semua bernuansa Natal. Semua pegawai/pekerja pun diharapkan menggunakan aksesoris yang berhubungan dengan Natal dan yang terakhir yang menunjukkan memang kita toleransi adalah mengucapkan “Selamat Natal” kepada yang merayakannya. 

Bahkan tidak hanya mengucapkan selamat tapi juga ikut serta dalam kegiatan Natal yang diadakan di gereja (tempat ibadah). Apakah begini yang dinamakan toleransi atau ini sudah merupakan toleransi yang kebablasan? Apakah umat Islam tidak memiliki sikap toleransi pada penganut agama lain? 

Islam Agama Toleran 

Islam merupakan agama yang mengatur seluruh lini kehidupan. Islam akan terterapkan secara sempurna jika ada institusi yang menerapkannya yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah (kepala negara) dengan berlandaskan kepada akidah Islam. Meskipun Khilafah berdiri atas dasar akidah Islam tapi Khilafah memberikan kebebasan toleransi dan kebebasan kepada non-muslim untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan untuk memeluk keyakinannya dan tidak akan dipaksa untuk masuk Islam. 

Namun, perlu diperjelas dan dicatat bahwa ahli dzimmah itu adalah non-muslim yang tunduk kepada sistem Islam (Daulah) dengan tetap memeluk keyakinannya dan mereka wajib membayar jizyah. Imbalannya mereka diberikan hak untuk hidup dalam Daulah Khilafah dan mendapatkan hak yang sama dalam hal hak kewarganegaraannya (kesehatan, pendidikan, hukum, dll). Dalam hak beribadah pun mereka diberikan kebebasan. Makanan, minuman berpakaian, nikah dan talak itu sesuai dengan agama mereka. Masalahnya mereka hidup dalam sistem Islam yang diterapkan dalam seluruh lini kehidupan maka tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol. Baik dalam hal syiar, simbol maupun atribut yang tampak di permukaan. 

Ketika ahli dzimmih mengajukan dzimmah kepada Khilafah maka mereka akan mengajukan proposal yang beberapa klausulnya berbunyi mereka tidak akan mengajak atau mempengaruhi muslim untuk mengikuti agama mereka. Mereka tidak akan mendirikan gereja, jika ada kerusakan tidak akan direnovasi. Mereka tidak  akan membunyikan lonceng, tidak akan memakai atribut mereka di depan muslim dan banyak lagi. Jika mereka melanggar maka dzimmah akan dicabut bahkan mereka dapat diperangi. Lalu bagaimana perayaan-perayaan hari besar non-muslim di dalam sistem Islam (Daulah Khilafah Islamiyah)? Apakah perayaan tersebut tidak boleh dilangsungkan atau boleh saja dengan bebas atau ada aturan yang berlaku? 

Perayaan Natal dalam Sistem Islam 

Perayaan agama merupakan salah satu ritual dari keagamaan. Dalam sistem Islam non-muslim pun dibiarkan untuk merayakannya. Hari raya Paska dan Natal contohnya. Natal yang diyakini sebagai Hari kelahiran Isa Almasih merupakan sentral perayaan agama Kristen. Perayaan ini tampak dari adanya pohon natal, malam kelahiran, pertemuan keluarga, sinterklas, dan pemberian hadiah. Mereka juga merayakan tanggal 31 Desember sebagai Tahun Baru Masehi setiap tahunnya untuk mengawali tahun baru. Selama setiap perayaan tadi merupakan bagian dari ritual agamanya maka semuanya diperbolehkan untuk mereka merayakannya. 

Namun, meski tidak dilarang, perayaan ini tidak secara bebas sebebas-bebasnya dapat dilangsungkan. Hal ini tetap diatur oleh Khilafah. Berdasarkan klausul dzimmah mereka dan juga filosofi Islam itu tinggi tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam yang harus dipegang teguh. Karena itu, perayaan ini dibatasi dalam gereja, asrama dan komunitas mereka. Diruang publik seperti televisi, radio, internet atau jejaring sosial yang bisa diakses dengan bebas oleh masyarakat tidak boleh ditampilkan.  Dengan landasan ini juga para ulama melarang untuk mengucapkan selamat baik individu/pribadi atau sebagai pejabat publik. 

Demikianlah sistem Islam bersikap toleransi kepada agama lain. mereka tidak diusik, diprovokasi malah diberikan perlindungan oleh Khalifah selama menjalankan klausul dzimmahnya. Sebaliknya mereka juga tidak boleh mendemonstrasikan dan memprovokasi muslim untuk mengikuti agama mereka. Seperti inilah Khilafah memberikan ruang kepada mereka. 

Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa kekhalifahan Islam. Will Durant dalam bukunya The Story Of Civilization, dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. T.W Arnold seorang orientalis dan sejarawan Kristen juga memuji toleransi beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya The Preaching of Islam: A History of Propagation of The Muslim Faith, dia antara lain berkata: “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani-telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” 

Mengapa hal ini tidak terlihat lagi? malah toleransinya umat Islam kebablasan dengan mengikuti agenda-agenda keagamaan agama lain. Sejarah ini hanya dapat terulang kembali dengan diterapkannya syariah di seluruh lini kehidupan dalam sebuah institusi yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang tidak hanya menjaga akidah kaum muslim tapi juga menjamin kebebasan agama lain dalam menjalankan ibadahnya. 

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. 
Dosen FH-UMA

Sabtu, 16 Desember 2023

Pelayanan Kesehatan Terbaik Hanya Ada dalam Sistem Islam



Tinta Media - Penghargaan bergengsi tingkat nasional Swasti Saba Wistara dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) diraih oleh Dadang Supriatna selaku Bupati Kabupaten Bandung yang menjabat selama 2,5 tahun. Ini adalah penghargaan yang ke-230. (VISI.NEWS, JAKARTA)

Dengan didampingi Asisten Ekbang Pemkab Bandung H Marlan, Asisten Administrasi Umum Nina Setiana, Asisten Pemkesra Ruli Hadiana, dan jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, Dadang Supriatna menerima secara langsung penghargaan tersebut pada hari Selasa (28/11/2023) di Kempinski Hotel, Mall Indonesia.

Bupati Dadang Supriatna mengungkapkan bahwa Kabupaten Bandung telah menunjukkan komitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat, termasuk pelayanan medis dan kesehatan ibu dan anak, serta kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan menilai baik terkait sanitasi lingkungan dan derajat kesehatan di Kabupaten Bandung 

Dadang Supriatna mendedikasikan penghargaan ini untuk seluruh masyarakat Kabupaten Bandung. Ia berharap  kesehatan masyarakat semakin meningkat dari tahun ke tahun dan akan mengangkat IPM (indeks pembangunan manusia) kita.

Pada dasarnya, pelayanan kesehatan memang sudah menjadi hak rakyat seluruhnya. Kesehatan merupakan sebuah keadaan yang diharapkan oleh banyak orang tanpa memandang miskin atau kaya. Semua pasti mendambakan sehat jasmani dalam kehidupan. 

Memang, sudah seharusnya sarana dan prasarana terkait pelayanan kesehatan menjadi kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah. Perlu dipahami juga bahwa fasilitas atau sarana pelayanan kesehatan merupakan amanah yang harus dipenuhi untuk kepentingan publik. 

Lantas, apa landasan atau standar yang digunakan untuk menetapkan sebuah penghargaan tersebut? Faktanya, layanan kesehatan yang bagus tetap tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan, apalagi dengan adanya jaminan BPJS yang cenderung diabaikan/kurang diperhatikan saat berobat. Mungkin tidak semua demikian, tetapi banyak juga keluhan masyarakat mengenai hal itu. 

Layanan medis yang berkualitas tidak serta-merta bisa dirasakan oleh semua kalangan, bukan hanya untuk kalangan para konglomerat yang berduit saja. Dalam sistem kapitalis liberal, semua dihitung untung rugi. Semua fasilitas yang ada tidak semata-mata untuk kepentingan publik. Jadi, mustahil layanan kesehatan masyarakat akan bisa dijangkau oleh semua kalangan.  Karena pada faktanya, semua hanya bersifat pragmatis 

Di sisi lain, masalah stunting juga masih menjadi polemik yang tidak kunjung selesai. Masih banyak anak yang kekurangan gizi sehingga mengakibatkan berbagai macam penyakit. 

Walaupun sarana-prasarana, layanan medis, seperti rumah sakit yang mewah cukup banyak, itu bukan tolak ukur sebuah prestasi jika masyarakat masih dalam keadaan miskin dan ekonominya rendah. 

Meraih penghargaan adalah pencapaian yang bagus, tetapi belum sesuai dengan standar yang seharusnya menjadi tolak ukur sebuah prestasi. Hal ini karena tolak ukur baik dan buruk seharusnya sesuai dengan standar syariat, bukan akal manusia.  

Pelayanan kesehatan dalam Islam adalah hak setiap individu, baik muslim maupun nonmuslim. Tidak ada beda kelas, semua mendapatkan hak yang sama. Semua layanan kesehatan dalam Islam diberikan secara gratis, tidak dipungut biaya. Masyarakat tidak dibebani untuk mengeluarkan biaya layanan kesehatan karena negaralah yang akan menanggung semuanya.
 
Dari mana biayanya? Negara Islam adalah negara yang mandiri, mempunyai pemasukan besar dari sumber daya alam yang dikelola oleh negara untuk disalurkan kembali kepada rakyat, di antaranya melalui  pelayanan kesehatan gratis. 

Kepemilikan dalam sistem Islam berbeda dengan sistem kapitalis. Ada tiga kepemilikan dalam Islam yang harus diurus sesuai syari'at, yaitu kepemilikan umum, negara, dan individu. 

Kepemilikan umum yaitu terkait dengan barang tambang, seperti minyak bumi, emas, batubara, dll. Juga ada air dan padang rumput atau hutan yang tidak boleh dikelola oleh segelintir orang, tetapi harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan, seperti kesehatan, pendidikan, dan layanan Insfratruktur lain. 

Pemasukan besar yang diperoleh negara dari hasil pengelolaan kepemilikan umum hanya akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara akan benar-benar mengurus rakyat berdasarkan keimanan, semata-mata mencari rida Allah Swt. Setiap pemimpin sadar akan pertanggungjawaban kelak di yaumil akhir. Karena itu, wajar jika seorang khalifah (pemimpin) akan betul-betul mengurus rakyat dengan baik. 

“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari)

Maka dari itu, kemajuan dan keberhasilan sebuah daerah atau negara hanya bisa diraih dengan penerapan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, tidak dengan aturan buatan manusia yang lemah dengan standar sesuai akal semata. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Selasa, 05 Desember 2023

Kesejahteraan Guru Terjamin dengan Penerapan Sistem Islam



Tinta Media - Peringatan Hari Guru Nasional diperingati oleh masyarakat Indonesia setiap tanggal  24 November, tema hari guru tahun ini adalah "Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Dari tema yang disampaikan lewat pedoman peringatan hari guru nasional 2023 tersebut, kita dapat melihat kata "Merdeka" yang tentu saja berkaitan dengan kurikulum merdeka. Tujuan dari kurikulum ini adalah untuk mewujudkan kemunculan SDM unggul Indonesia yang mempunyai profil pelajar Pancasila. Dengan begitu, tema ini dapat dianggap relevan dengan kondisi pendidikan saat ini. (Tirto.Id, 13/11/2023) 

Pendidikan saat ini mengacu pada pendidikan yang mengedepankan praktek kerja lapangan yang langsung terjun di bidangnya masing-masing, seperti sekolah-sekolah  kejuruan yang bergerak langsung dalam satu bidang keahlian, ataupun sekolah umum lain yang mengedepankan asas pendidikan nasional berdasarkan asas Pancasila dan nilai-nilai penerapan Pancasila itu sendiri. 

Benarkah tema ini relevan dengan saat ini? 

Mengingat kondisi generasi sekarang sedang mengalami banyak permasalahan yang serius, seperti seks bebas, kekerasan, narkoba, maraknya bunuh diri dengan berbagai alasan, berbagai macam permasalahan generasi ini semakin hari semakin parah, kasusnya terus meninggi tiap tahunnya, harusnya menjadi perhatian yang serius bagi pemangku kebijakan di negeri ini untuk mencari akar masalahnya bukan hanya mengganti kurikulum setiap berganti menteri.

Fenomena kerusakan generasi yang semakin marak menunjukkan pembelajaran selama ini tidak berpengaruh pada perbaikan generasi. Pemangku kebijakan di negeri ini memegang konsep sekularisme yakni agama tidak boleh campur tangan dalam urusan kehidupan, sehingga urusan agama dikembalikan pada individu masing-masing. Padahal agama lah yang berpengaruh penting untuk perbaikan generasi saat ini, sehingga wajar saja jika generasi saat ini miskin agama, moral, akhlak, karena agama dianggap tidak penting.

Pendidikan berasaskan akidah Islam seharusnya menjadi penopang pertama sebagai pondasi bagi generasi saat ini, ketika gempuran pemikiran asing yang semakin kuat, apalagi dipermudah dengan adanya teknologi canggih yang bisa mengalihkan pemikiran mereka. 

Mengenalkan generasi saat ini pada siapa dirinya, siapa tuhannya, dan untuk apa mereka diciptakan, serta akan ke mana mereka setelah kehidupan dunia ini, ini yang harus menjadi bekal pertama yang disampaikan seorang pendidik kepada anak didiknya. 

Bagaimana pandangan Islam? 

Generasi muda adalah aset bagi bangsa dan negara, mereka adalah calon pemimpin masa depan. Karena itu, Islam mempunyai konsep yang khusus untuk mewujudkan generasi emas yang berkepribadian Islam.

Pendidikan dalam sistem Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai landasannya, adapun tujuan dari penerapannya agar memiliki pola pikir dan pola sikap islam, begitu juga dengan kurikulum, kurikulum yang diterapkan sesuai dengan pandangan Islam bukan semata berorientasi materi.

Sistem pendidikan Islam merupakan bagian dari satu kesatuan sistem Islam yang wajib diterapkan, dengan diterapkannya sistem islam secara menyeluruh dan sempurna, generasi akan terjaga dari segala kerusakan dan kesejahteraan guru pun terjamin.

Wallahu alam bishawab.

Oleh : Ummu Tsabita 
Sahabat Tinta Media 

Jumat, 03 November 2023

Palestina Butuh Sistem Islam dan Penerus Salahuddin Al Ayyubi



Tinta Media - Konflik berkepanjangan antara Palestina dan Penjajah Yahudi masih berkecamuk. Perang Gaza yang terjadi sejak Sabtu pada pekan lalu (7/10) hingga saat ini telah menewaskan 1.500 warga Palestina dan melukai 5.339 lainnya; sementara di pihak penjajah, sedikitnya 1.300 orang tewas akibat serbuan pasukan Hamas dan Jihad Islam yang telah memicu perang. (VOA Indonesia.com, 14/10/2023)

Dalam undang-undang internasional, Penjajah telah banyak melakukan pelanggaran internasional dan wajib diberikan sanksi namun seperti anak emas bahkan PBB hanya diam dan menutup mata. Penjajahan yang dilakukan entitas Yahudi dengan brutal menghabisi warga sipil Palestina dan menghancurkan rumah sakit, menutup sumber air dan mematikan aliran  listrik. 

Bentuk kebiadaban yang tidak manusiawi banyak umat manusia berbagai bangsa menyerukan penghentian perang dan mengecam Penjajah Yahudi.  Mirisnya kaum muslim banyak yang tidak memahami akar persoalan.  Dan lebih miris lagi, Negeri-negeri Muslim hanya mengecam, dan tidak mengirimkan pasukannya untuk membantu muslim Palestina.

Beginilah jika dunia yang menjadikan pilar nasionalisme sebagai paham yang sakral namun pada hakikatnya merupakan penjara bagi umat manusia. Tidak leluasanya pembelaan pada saudara-saudara kita yang teraniaya. Kecaman dan donasi yang dilakukan hanya bersifat sementara sedangkan mereka ingin perlindungan dalam bentuk riil seperti militer dan angkatan bersenjata. Karena melawan sebuah negara haruslah negara pula bukan individu, organisasi atau komunitas lainnya.

Umat harus memahami jauh dari keadaan saat ini, Palestina pernah dibebaskan, Palestina pernah memiliki kehidupan yang normal dan damai dengan warga yang berbeda agama dan adat-istiadat dari berbagai bangsa. Seorang Jenderal perang sekaligus Amir yang namanya tidak asing ditelinga terutama umat muslim yaitu Salahuddin Al Ayyubi 

Dari sejarah pasti bisa berulang terjadi, mencontoh yang dilakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi bahwa membebaskan Baitul maqdis Salahuddin Al Ayyubi tidak berperang atas nama individu dan tidak pula atas kelompok tertentu melainkan atas nama negara dan sistem Islam. Sebab Islam menjadikan jihad dan futuhat sebagai Thoriqoh untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah dan membebaskan umat manusia dari penghambaan selain Allah SWT. 

Sistem Islam hadir sebagai sistem yang mengatur muamalah dan uqubat, tidak hanya menjamin kesejahteraan seorang muslim melainkan non muslim. Selama menyandang sebagai kewarganegaraannya maka negara hadir sebagai pengurus, pemelihara dan penjaga rakyatnya. Adapun politik luar negeri sistem Islam, muamalah yang dilakukan oleh negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lainnya dengan menggunakan asas muamalah untuk penyebaran dakwah Islam. Maka tentu negara tidak akan tinggal diam jika ada kaum muslim ataupun negeri yang tertindas, sambutan negara Islam tentu akan terpanggil untuk membela dan melindungi sebagai perisai umat manusia. Sama halnya yang dilakukan Salahuddin Al Ayyubi yang menjadikan pembebasan Palestina kala itu sebagai cita-cita mulia yang disambut oleh kaum muslim untuk menyegerakan pembebasannya dibawa Panji Islam Liwa dan royyah dengan kalimat "‘La ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah" sebagai bendera negara kaum muslim.

Palestina butuh sistem Islam dalam bingkai khilafah dan sosok-sosok muslim yang kuat akidah dan imannya sebagai pembela Al Aqsa.

Tiada negara muslim manapun saat ini yang berani membela Palestina dengan mengirimkan tentaranya melainkan mereka takut atas ancaman barat. Maka bantuan sekecil apapun harus kita upayakan untuk membela dan membebaskan Palestina dari penjajahan dan juga berupaya keras untuk mengembalikan sistem Islam dengan menerapkan Islam secara kaffah agar Palestina bebas sebagaimana yang telah dilakukan Salahuddin Al Ayyubi. Wallahu a'lam.

Oleh : Lestia Ningsih S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 08 Juli 2023

MMC: Kebakaran Hutan Hanya Bisa Diakhiri dengan Sistem Islam

Tinta Media - Menurut Narator Muslimah Media Center (MMC), kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali terjadi di beberapa wilayah negeri ini hanya bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam.

“Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam,” ujarnya dalam Rubrik Serba-serbi MMC: Marak Kebakaran Hutan, Problem Sistemik yang Mengancam Nyawa Rakyat di Kanal YouTube MMC, Sabtu (1/7/2023).

Menurutnya, permasalahan kebakaran hutan sejatinya tidak lepas dari buruknya penanganan lahan hutan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

“Pasalnya selama ini pembukaan lahan hutan melalui pembakaran memang diperbolehkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang,” tuturnya.

Di sisi lain, narator menilai negara juga gagal memberikan sanksi yang tegas pada para pelaku pembakaran hutan secara liar. Kebakaran hutan diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap persoalan ini akibat gagalnya edukasi di tengah-tengah masyarakat. Semua ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. Dalam sistem ekonomi kapitalis hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat. 

“Karena itu negara dipandang berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada,” jelasnya.

“Tentu saja mindset korporasi sebagai pemilik modal adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar,” tambahnya.
 
Sementara, menurutnya aktivitas membakar hutan dalam Pembukaan lahan adalah cara termudah dan sesuai target bisnis para korporat. Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme yang telah membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari kebakaran hutan. 

“Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh para korporat melalui kebijakan negara,” terangnya. 

Padahal, menurut narator, apapun alasannya negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. 

“Sebaliknya negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar,” tegasnya.

Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalanya (rakyatnya).” (HR. Muslim) 

Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan menurut narrator akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang adalah sesuatu yang diharamkan dalam Islam.” Islam juga tidak mengenal hak konsesi karena pemanfaatan secara istimewa _(himmah)_ hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin,” paparnya.

Hal ini sebagaimana Rasulullah saw bersabda yang artinya “Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud). 

Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka narator mewajibkan untuk segera ditangani oleh pemerintah karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. 

“Namun, tentu saja hal ini didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan semua ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab