Tinta Media: Sisdiknas
Tampilkan postingan dengan label Sisdiknas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sisdiknas. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Oktober 2022

RUU Sisdiknas, Menghapus Kesejahteraan bagi Guru?

Tinta Media - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini akan menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi. Nadiem Makarim menjelaskan agar sertifikasi tidak menjadi syarat guru mendapatkan kesejahteraan, sebagaimana yang diakomodasi di RUU Sisdiknas, padahal sertifikasi adalah bukti bahwa seseorang memiliki kelayakan, sebagaimana sertifikasi profesi yang lain. 

Nadiem menjelaskan, bahwa saat ini hanya guru dengan sertifikasi saja yang mendapatkan tunjangan profesi. Hal inilah yang diperbaiki lewat RUU Sisdiknas.
Padahal menurutnya, setiap guru bisa mendapatkan tunjangan tanpa memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG). 

Tunjangan guru dapat mengacu pada UU ASN, UU Ketenagakerjaan, hingga alokasi dana BOS dan bantuan dari yayasan. Hal ini dituangkan dalam RUU Sisdiknas, yang menjadi pasal kontroversial, yaitu Pasal 105 huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru atau pendidik. 

Dalam pasal ini, tidak satu pun ditemukan klausul hak guru mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Perhimpunan Pendidik Guru (P2G) menyatakan bahwa hal ini merupakan mimpi buruk bagi para guru.

Draf Omnibus law RUU Sisdiknas tersebut dinilai tidak menjawab berbagai masalah pendidikan. Perdebatan mengenai tunjangan profesi (guru) menunjukan bahwa ada persoalan besar dalam memosisikan guru. Banyak guru yang tidak memperoleh kesejahteraan karena tidak mempunyai sertifikat, padahal mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengajar. Ini akan sangat memengaruhi kualitas guru dalam mengajar. Belum lagi jika dilihat dari kurikulum pendidikan yang sering berganti-ganti, ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang memadai, mahalnya biaya pendidikan. Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas pendidikan negeri ini yang masih rendah.

Dalam masyarakat kita saat ini, posisi guru hanyalah sebagai pekerja yang dibayar, baik guru honorer maupun PNS yang bersertifikat atau tidak. Upah yang mereka terima tidak sebanding dengan jasa mereka. Ilmu yang diajarkan pun dinilai hanya sebatas nilai angka yang tertera dalam buku rapot atau ijazah. Padahal, para guru ini adalah tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi penerus bangsa yang berkualitas dalam membentuk akhlak dan meningkatkan intelektualitas peserta didik. 

Namun, karena standar dalam sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yaitu sekularisme-kapitalisme, pendidikan hanyalah berorientasi materi, yaitu hanya untuk memenuhi standar kebutuhan hidup, membentuk generasi yang berpikiran bahwa belajar adalah bekal atau alat untuk mendapatkan materi dalam kehidupan. Maka, mulianya guru dan ilmu yang diajarkan hanya sebatas itu, dan cukup diupah dengan materi yang sesuai dengan nilai ilmu yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan.

Ketika tunjangan profesi guru akan dihilangkan, wajar jika para guru ini merasa keberatan, apalagi kondisi biaya hidup saat ini sangat mahal, sementara upah sebagai guru tidak ada peningkatan. Hal ini akan menghapus kesejahteraan para guru. 

Kondisi para guru tersebut sangatlah miris. Karena itu, kita butuh solusi tuntas, bukan solusi tambal sulam yang malah mengundang masalah baru, yaitu solusi dari sistem hidup yang sempurna dan sahih, yaitu solusi Islam. 

Islam telah menempatkan guru (pendidik) sebagai posisi yang mulia, begitu pun dengan ilmu yang diajarkannya. Apalagi jika ilmu tersebut merupakan ilmu dan tsaqofah Islam, yang terus dikembangkan untuk memajukan kehidupan masyarakat. 

Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dibangun untuk seluruh rakyat, sehingga dapat dinikmati tanpa beban biaya alias gratis. Namun, sarana tersebut tetap berkualitas tinggi, ditopang oleh kekuatan dan kemandirian APBN negara. Salah satunya berasal dari hasil pengelolaan kekayaan SDA.

Inilah gambaran politik pendidikan dalam Islam, yang ditopang oleh penerapan Islam kaffah, sehingga menjadikan Khilafah Islam sebagai negara maju. Salah satu indikatornya adalah kemajuan dalam pendidikan, yang mampu melahirkan generasi pengisi peradaban Islam yang tinggi dan maju. Hal tersebut karena Islam menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam tegaknya pilar peradaban.

Sepanjang sejarah khilafah, para guru sebagai tenaga pengajar diposisikan sebagai pihak yang berjasa memberikan kemaslahatan bagi umat. Negara memberikan kesejahteraan dan penghargaan yang sangat besar, baik berupa upah, sarana prasarana untuk memudahkan mereka dalam mengajar, maupun hadiah. Salah satu yang sangat fenomenal terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan upah bagi setiap pengajar sebesar 15 Dinar (1 dinar=4,25 gr emas, 1 gr emas= misal Rp 500.000) yang jika dikalkulasikan setara dengan RP31.875.000/bulan. Beliau tidak memandang status guru tersebut honorer ataukah PNS, mempunyai sertifikasi atau tidak. Yang pasti, profesinya adalah guru. Hal ini sebagai bukti bahwa beliau memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap pendidikan.

Perkembangan ilmu dan tsaqofah Islam terus mengalami kemajuan, sehingga masa kekhilafahan Islam ini telah banyak melahirkan generasi cerdas dan saleh. Selain itu, penerapan Islam juga menghadirkan peradaban yang gemilang yang dipengaruhi oleh kemajuan sains dan teknologi. Kekhilafahan Islam menjadi pusat dari segala kemajuan ilmu dan teknologi bagi dunia, dirasakan oleh seluruh umat manusia, menebarkan rahmatnya ke seluruh dunia.

Selama sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan, maka kaum muslimin tidak akan pernah merasakan pendidikan yang murah dan berkualitas, tidak akan ada kesejahteraan bagi para guru sebagai pengajar. Hanya Islam solusi atas problematika pendidikan yang terjadi sekarang ini, 
termasuk yang menimpa para guru.

Wallahu alam bishawab.

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 April 2022

Kata ‘Madrasah’ Tak Muncul dalam RUU Sisdiknas, Pengamat: Harus Ditolak

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1vym0YDrvK4yle2iRSRIeEnlQI7PMBWHQ

Tinta Media - Hilangnya kata ‘madrasah’ dalam batang tubuh Rancangan Undang-Undang (RUU)  Sisdiknas tahun 2022,  disikapi oleh Pengamat Pendidikan el Harokah  Research Center (HRC) Titok Prihastomo bahwa RUU itu  harus ditolak.

“Pada prinsipnya  kalau bermasalah harus ditolak,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Tolak RUU Sisdiknas, Kamis (31/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Menurut Titok, penguasaan terhadap ilmu-ilmu keagamaan merupakan perkara penting dalam kehidupan. Kalau kata madrasah dihilangkan dari batang tubuh undang-undang,  maka ini  jelas merupakan satu bentuk peminggiran terhadap pendidikan Islam.

Titok menilai ada set back  dari pemerintah terhadap dunia pendidikan Islam. Dalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 di sana sudah disandingkan antara sekolah umum SD, SMP, SMA dengan Madrasah.  Yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI),   kemudian MTS  (Madrasah Tsanawiyah) dan Madrasah Aliyah (MA)  bahkan MAK (Madrasah Aliyah Kejuruan). 

“Nah dengan dihilangkannya madrasah di draft  ini menunjukkan langkah mundur. Karena ini berarti kembali kepada undang-undang nomor 2 tahun 1989 dimana madrasah terkategori sebagai sub sistem pendidikan,” ungkapnya.  

Sekularisasi

Titok menilai ada upaya pemerintah  menjauhkan agama dari kurikulum pendidikan. Agama dianggap sebagai hambatan dalam menyatukan Indonesia yang memuat banyak sekali keragaman. “Maka tak heran  ketika dulu BPIP, entah dia sadar atau tidak, pernah mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,” tandasnya. 

“Jadi, ada usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai  civil religion. Menurut istilah Robert N. Belah  jadi  sumber nilai, sumber moral yang lepas dari klaim-klaim kebenaran keagamaan. Jadi  bisa digunakan bersama oleh seluruh anak bangsa,” bebernya. 

Makanya tidak aneh, lanjutnya,  jika dalam Peta Jalan Pendidikan   2020-2035 di sana  tidak disebutkan frasa agama, akhlak, ketaqwaan. “Yang berbau agama enggak  ada, karena memang sudah ada paradigma tertentu dalam benak para pengambil kebijakan hari ini,”  tegasnya.

“Makanya hilangnya madrasah dalam draft RUU Sisdiknas saya pikir juga bisa dimaknai sebagai satu usaha pemerintah untuk menampilkan bahwa undang-undang itu bebas dari keberpihakan kepada salah satu agama. Bebas dari satu bentuk mengistimewakan salah satu agama,”ungkapnya.

Titok menyimpulkan bahwa pendidikan saat ini menuju pendidikan sekuler. Padahal hasil pendidikan yang sekularistik ini melahirkan orang-orang yang menjalankan kebijakan saat ini banyak yang menyalahgunakan kekuasaan, korupsi dan lain-lain.

“Ini  menunjukkan sejauh mana kualitas pendidikan kita. Karena  orang-orang yang berkuasa yang  menduduki jabatan tertentu telah dianggap berhasil menjalani pendidikan sehingga mereka masuk kualifikasi untuk menduduki jabatan jabatan tertentu. Menunjukkan bahwa pendidikan kita belum berhasil menciptakan orang yang pinter sekaligus bertakwa,” simpulnya.

Ambil Pelajaran

Titok mengajak umat Islam belajar dari banyak kasus yang menimpa mereka.  Jangan terombang-ambing  dengan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mendeskreditkan umat Islam. Umat Islam harus menyadari bahwa itu semua akibat diterapkannya tatanan pemerintahan  sekuleristik.

“Kita harus mulai berpikir untuk menghadirkan solusi yang lebih komprehensif, dalam mengatur seluruh aspek kehidupan kita termasuk dalam pendidikan,” tandasnya.

Titok berharap, semestinya seorang muslim meyakini bahwa aturan islam itu kompatibel dengan seluruh tatanan kehidupan yang  dijalani. Kompatibel dengan tatanan ekonomi, tatahan hukum, tatanan pendidikan, tatanan  politik, semuanya.

“Kita harus mencoba untuk memikirkan solusi yang lebih komprehensif, memikirkan tentang kehidupan sosial politik yang sepenuhnya sesuai dengan Islam. Yang para ulama menyebut  pentingnya imamah, pentingnya khilafah demi kehidupan umat Islam yang sesuai dengan ajaran Islam,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab