RUU Sisdiknas, Menghapus Kesejahteraan bagi Guru?
Tinta Media - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini akan menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi. Nadiem Makarim menjelaskan agar sertifikasi tidak menjadi syarat guru mendapatkan kesejahteraan, sebagaimana yang diakomodasi di RUU Sisdiknas, padahal sertifikasi adalah bukti bahwa seseorang memiliki kelayakan, sebagaimana sertifikasi profesi yang lain.
Nadiem menjelaskan, bahwa saat ini hanya guru dengan sertifikasi saja yang mendapatkan tunjangan profesi. Hal inilah yang diperbaiki lewat RUU Sisdiknas.
Padahal menurutnya, setiap guru bisa mendapatkan tunjangan tanpa memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Tunjangan guru dapat mengacu pada UU ASN, UU Ketenagakerjaan, hingga alokasi dana BOS dan bantuan dari yayasan. Hal ini dituangkan dalam RUU Sisdiknas, yang menjadi pasal kontroversial, yaitu Pasal 105 huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru atau pendidik.
Dalam pasal ini, tidak satu pun ditemukan klausul hak guru mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Perhimpunan Pendidik Guru (P2G) menyatakan bahwa hal ini merupakan mimpi buruk bagi para guru.
Draf Omnibus law RUU Sisdiknas tersebut dinilai tidak menjawab berbagai masalah pendidikan. Perdebatan mengenai tunjangan profesi (guru) menunjukan bahwa ada persoalan besar dalam memosisikan guru. Banyak guru yang tidak memperoleh kesejahteraan karena tidak mempunyai sertifikat, padahal mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengajar. Ini akan sangat memengaruhi kualitas guru dalam mengajar. Belum lagi jika dilihat dari kurikulum pendidikan yang sering berganti-ganti, ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang memadai, mahalnya biaya pendidikan. Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas pendidikan negeri ini yang masih rendah.
Dalam masyarakat kita saat ini, posisi guru hanyalah sebagai pekerja yang dibayar, baik guru honorer maupun PNS yang bersertifikat atau tidak. Upah yang mereka terima tidak sebanding dengan jasa mereka. Ilmu yang diajarkan pun dinilai hanya sebatas nilai angka yang tertera dalam buku rapot atau ijazah. Padahal, para guru ini adalah tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi penerus bangsa yang berkualitas dalam membentuk akhlak dan meningkatkan intelektualitas peserta didik.
Namun, karena standar dalam sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yaitu sekularisme-kapitalisme, pendidikan hanyalah berorientasi materi, yaitu hanya untuk memenuhi standar kebutuhan hidup, membentuk generasi yang berpikiran bahwa belajar adalah bekal atau alat untuk mendapatkan materi dalam kehidupan. Maka, mulianya guru dan ilmu yang diajarkan hanya sebatas itu, dan cukup diupah dengan materi yang sesuai dengan nilai ilmu yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan.
Ketika tunjangan profesi guru akan dihilangkan, wajar jika para guru ini merasa keberatan, apalagi kondisi biaya hidup saat ini sangat mahal, sementara upah sebagai guru tidak ada peningkatan. Hal ini akan menghapus kesejahteraan para guru.
Kondisi para guru tersebut sangatlah miris. Karena itu, kita butuh solusi tuntas, bukan solusi tambal sulam yang malah mengundang masalah baru, yaitu solusi dari sistem hidup yang sempurna dan sahih, yaitu solusi Islam.
Islam telah menempatkan guru (pendidik) sebagai posisi yang mulia, begitu pun dengan ilmu yang diajarkannya. Apalagi jika ilmu tersebut merupakan ilmu dan tsaqofah Islam, yang terus dikembangkan untuk memajukan kehidupan masyarakat.
Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dibangun untuk seluruh rakyat, sehingga dapat dinikmati tanpa beban biaya alias gratis. Namun, sarana tersebut tetap berkualitas tinggi, ditopang oleh kekuatan dan kemandirian APBN negara. Salah satunya berasal dari hasil pengelolaan kekayaan SDA.
Inilah gambaran politik pendidikan dalam Islam, yang ditopang oleh penerapan Islam kaffah, sehingga menjadikan Khilafah Islam sebagai negara maju. Salah satu indikatornya adalah kemajuan dalam pendidikan, yang mampu melahirkan generasi pengisi peradaban Islam yang tinggi dan maju. Hal tersebut karena Islam menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam tegaknya pilar peradaban.
Sepanjang sejarah khilafah, para guru sebagai tenaga pengajar diposisikan sebagai pihak yang berjasa memberikan kemaslahatan bagi umat. Negara memberikan kesejahteraan dan penghargaan yang sangat besar, baik berupa upah, sarana prasarana untuk memudahkan mereka dalam mengajar, maupun hadiah. Salah satu yang sangat fenomenal terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan upah bagi setiap pengajar sebesar 15 Dinar (1 dinar=4,25 gr emas, 1 gr emas= misal Rp 500.000) yang jika dikalkulasikan setara dengan RP31.875.000/bulan. Beliau tidak memandang status guru tersebut honorer ataukah PNS, mempunyai sertifikasi atau tidak. Yang pasti, profesinya adalah guru. Hal ini sebagai bukti bahwa beliau memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap pendidikan.
Perkembangan ilmu dan tsaqofah Islam terus mengalami kemajuan, sehingga masa kekhilafahan Islam ini telah banyak melahirkan generasi cerdas dan saleh. Selain itu, penerapan Islam juga menghadirkan peradaban yang gemilang yang dipengaruhi oleh kemajuan sains dan teknologi. Kekhilafahan Islam menjadi pusat dari segala kemajuan ilmu dan teknologi bagi dunia, dirasakan oleh seluruh umat manusia, menebarkan rahmatnya ke seluruh dunia.
Selama sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan, maka kaum muslimin tidak akan pernah merasakan pendidikan yang murah dan berkualitas, tidak akan ada kesejahteraan bagi para guru sebagai pengajar. Hanya Islam solusi atas problematika pendidikan yang terjadi sekarang ini,
termasuk yang menimpa para guru.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media