Tinta Media: Sertifikat
Tampilkan postingan dengan label Sertifikat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sertifikat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 November 2024

Sertifikasi Halal di Sistem Kapitalis?


Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Salamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk, bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi, menurutnya produk  bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.

Selain itu, penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.

Namun demikian, tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikasi halal, baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.

Menurutnya, hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Di sana, dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan zat maupun proses produksinya.

Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena zatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan. 

Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat Islam. Dalam Islam, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip.

Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, yaitu negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyat, terutama umat Islam.

Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu. Benda-benda yang diharamkan itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.

Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun, untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, meskipun produknya halal, sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim untuk mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas akidah umat Islam.

Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat Islam atas sertifikasi halal dari suatu produk. 

Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh pemerintah. Tdak bisa dimungkiri bahwa urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.

Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan pada ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang  sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula. Ini jelas sangat merugikan umat Islam.

Berbeda dengan negara yang berlandaskan akidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian, peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Ini karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.

Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi, layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara, bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.

Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.

Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.

Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya muslim atau nonmuslim, maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.

Bagi ahli zimmah (kafir zimmi), negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka. Namun, produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan di antara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.

Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan, serta rasa tenang dan tentram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Ini karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.
Wallahu 'alam bisshawab.




Oleh: Siti Rini Susanti
Sahabat Tinta Media

Rabu, 21 Februari 2024

Kian Genting, Sertifikasi Halal Masif Dikomersialkan




Tinta Media - Dalam upaya meningkatkan keamanan dan kehalalan produk di sektor pangan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 yang mewajibkan Pedagang Kaki Lima (PKL), khususnya yang berjualan makanan, minuman, dan jasa penyembelihan memiliki sertifikasi halal sebelum 17 Oktober 2024. Sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, baik perusahaan, UMKM, pedagang kaki lima di pinggir jalan, bahkan pedagang keliling sekalipun. (Liputan6.com, Jakarta, 02/02 2024)

Adapun urgensi mengurus sertifikasi halal menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap produk kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. 

Adanya penyediaan kuota Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) pun dilakukan sebagai realisasi aturan yang telah disahkan terkait sertifikasi halal yang harus dimiliki semua pelaku usaha. Pendaftaran sertifikasi halal pun ini sudah bisa diakses secara online melalui aplikasi SIHALAL.

Namun, menjadi permasalahan bagi masyarakat ketika pemerintah membatasi sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha sampai bulan Oktober 2024.  Pasalnya, jika tidak bersertifikasi halal, akan ada sanksi bagi pelaku usaha berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. 

Sanksi akan diberikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Sehingga, beberapa masyarakat mengeluhkan adanya aturan ini karena ribet, membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit mengingat sertifikasi halal ini nantinya akan berkelanjutan. Belum lagi dalam praktiknya, pengurusan birokrasi seperti sertifikasi di Indonesia masih marak ditemui pungutan liar atau pungli.

Sebenarnya, apa sertifikasi halal itu?

Sertifikat halal adalah sebuah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuannya adalah menegaskan bahwa suatu produk telah memenuhi standar syari'at Islam, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya. Selanjutnya, proses tersebut diakui sebagai produk yang aman untuk dikonsumsi dan terbebas dari bahan-bahan yang dianggap haram dalam ajaran Islam. 

Proses penerbitan sertifikat halal melibatkan penilaian ketat terhadap seluruh aspek produksi, mulai dari pemilihan bahan hingga produksi jadi. 

Pengurusan kehalalan suatu produk untuk dapat dikonsumsi memang merupakan kewajiban bagi setiap individu. Namun, ini juga merupakan tugas negara untuk memastikan kehalalan produk yang beredar di tengah masyarakat. Namun sayangnya, saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, bahwasanya segala aktivitas dipandang dari segi keuntungan bisnis.

Alhasil, yang terlihat hari ini adalah layanan negara terkait kehalalan produk dalam bentuk bisnis yang berorientasi keuntungan. Sehingga, dalam pengurusan sertifikasi ini berbiaya. Belum lagi terdapat masa berlaku sertifikasi halal.

Sesuai dengan ketetapan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-49/DHN-MUI/V/2021, masa berlaku sertifikat halal hanya empat tahun. Ini berarti, para pemilik sertifikat nantinya didorong untuk secara berkala melakukan perpanjangan, memastikan bahwa produk atau jasa yang mereka tawarkan terus mematuhi standar kehalalan dan tetap dapat dipercaya oleh konsumen. 

Negara memang menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal yang bisa didapatkan secara gratis sejak Januari 2023. Namun, jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan keberadaan pedagang kaki lima yang berkisar 22 juta dari 22 provinsi di seluruh Indonesia.

Sementara itu, ternyata biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal beragam. Usaha mikro dan kecil sekitar Rp300.000, usaha menengah Rp5.000.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp12.500.000. 

Karena sertifikasi ini berkala, maka dibutuhkan adanya perpanjangan yang memakan biaya lagi. Usaha mikro dan kecil sebesar Rp200.000, usaha menengah Rp2.400.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp5.000.000. 

Bukankah seharusnya jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layanan negara kepada rakyat?

Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator sehingga semua bisa dikomersialisasi melalui kebijakan undang-undang yang dibuat oleh negara. Hal ini karena peran negara hanya menjadi penyedia fasilitas bagi rakyat. Hal ini tentu berbeda jika urusan ini dinilai dari sudut pandang Islam. Dalam pandangan Islam, setiap muslim harus mematuhi syariat dalam agama Islam. 

Sebagaimana yang Allah inginkan dalam firman berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 208).

Adanya kehalalan produk berkaitan erat dengan kondisi seseorang, baik di dunia maupun akhirat, baik secara jasmani maupun psikologis. Di dalam Islam, makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi adalah yang halal dan toyib karena akan memengaruhi banyak hal, termasuk cepat lambatnya terkabulnya doa.

Kesadaran individu terkait kehalalan produk memang penting. Akan tetapi, seharusnya negara memberikan layanan ini secara gratis karena peran negara sebenarnya adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Diriwayatkan dari Al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda,

‘’Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurius rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” 

Imam atau khilafah adalah Perisai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Hal ini termasuk dalam perlindungan akidah/agama rakyatnya. Karena alasan inilah, maka negara harusnya hadir dalam berbagai kepentingan rakyat, termasuk memberikan jaminan halal terkait produk-produk yang akan dikonsumsi oleh masyarakat, mengedukasi para pedagang dan individu rakyat agar mengonsumi makanan yang halal dan toyib, serta menjamin pembiayaan sertifikasi halal gratis tanpa pungutan, termasuk dalam perpanjangannya, serta layanan yang cepat, mudah dan tepat.

Wallahualambisawaf



Oleh: Wilda Nusva Lilasari S. M
Sahabat Tinta Media

Kamis, 12 Oktober 2023

Program PTSL (Sertifikat Gratis), Benarkah Gratis?


Tinta Media - Bupati Bandung Dadang Supriatna didampingi kepala DPUTR (Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang) Zeiz Zultagawa, serta Kepala DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Asep Kusuma mengujungi sekertariat jendral (sekjen Kementrian ATR/ BPN Sugus Widiyana dalam rangka membawa aspirasi kerja Kabupaten Bandung terkait program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

PTSL adalah salah satu program pemerintahan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan Sertifikat Tanah secara Gratis. Tujuan PTSL adalah untuk menghindari sengketa serta perselisihan di kemudian hari. Sertifikat sangat penting bagi para pemilik tanah karena tanpa sertifikat sebagai bukti kepemilikan, tanah dapat diakui orang lain, bahkan oleh negara dengan dalih investasi.

Contoh nyata terjadi di pulau Rempang. Rakyat yang sudah tinggal di sana puluhan tahun diusir oleh aparat dengan alasan mereka tidak memiliki sertifikat tanah. 

Tanah Rempang akan digunakan untuk pembangunan Rempang Eco City yang dibiayai pengusaha Cina. Hal ini terjadi karena negara masih menggunakan peraturan peninggalan Belanda yang mengatakan bahwa tanah yang tidak bersertifikat adalah milik negara.

Pogram PTSL disambut baik oleh masyarakat karena mereka berharap tanahnya menjadi aman dengan adanya sertifikat, apalagi prosesnya gratis. Akan tetapi, kenyataannya jauh panggang dari api. Program PTSL tidak tanpa biaya dan banyak warga yang mengatakan prosesnya ribet.  

Permasalahan yang dihadapi umumnya adalah masalah biaya pajak PPH dan BPHTB atau pajak penjual dan pembeli yang harus diselesaikan, lalu PBB terutang beberapa tahun ke belakang juga harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum proses PTSL dilakukan. 

Jadi, harapan ingin mendapatkan sertifikat gratis pupus. Yang ada malah harus membayar pajak-pajak terutang itu yang nilainya sampai jutaan rupiah.
Beberapa warga yang pernah ikut program sertifikat gratis juga mengeluhkan adanya kekeliruan data dalam sertifikat yang dia dapat, seperti keliru angka luas tanah, batas-batas tanah atau nama pemilik. Hal ini menjadi masalah baru, yaitu harus mengurus perbaikan ke BPN setempat dan pastinya memakan biaya dan waktu.  

Ada lagi warga yang kehilangan bukti kepemilikan tanah asli berupa AJB atau kuitansi di desa saat pengumpulan berkas. 

Semua kejadian di atas membuktikan tidak matangnya persiapan program dari pemerintah. Pemerintah dengan sistem kapitalisme selalu memberikan janji-janji manis untuk pencitraan pribadi penguasa, tetapi hasilnya menimbulkan masalah baru bagi masyarakat karena ketidaksiapan pelaksana di bawahnya. 

Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan syariat Islam dalam pengelolaan kepemilikan tanah.  Allah Swt. yang memiliki dan memberikan tanah di bumi ini untuk dikelola manusia. Siapa saja yang bisa mengelola,  mengolah, dan memanfaatkan tanah sesuai syariat Islam, maka boleh memilikinya, tidak ada keharusan membuat sertifikat.  

Ada tiga jenis kepemilikan tanah dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Ketiganya punya aturan yang jelas dan adil. Negara berperan menerapkan ketentuan syariat Islam yang menjamin ketiganya terwujud. 

Negara haram hukumnya mengambil paksa tanah milik individu, sekalipun untuk kepentingan umum. Setiap warga berhak memiliki tanah selama tanah itu bukan milik umum atau negara. Itu berarti, hanya dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah terwujud keadilan bagi masyarakat. Wallahu 'alam bish shawaab.

Oleh: Heni, Sahabat Tinta Media

Kamis, 12 Januari 2023

Kapitalisasi Sertifikat Halal

Tinta Media - Sertifikat halal merupakan salah satu syarat wajib yang mutlak ada pada suatu produk. Namun, berbagai kendala ditemui saat produsen hendak melabeli halal produknya. Beberapa produk yang wajib ada label halal antara lain produk pangan (makanan dan minuman), bahan baku pangan (bahan tambahan pangan serta bahan penolong produksi pangan), produk sembelihan hewan dan jasa penyembelihan hewan. Masa penahapan pertama sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024 (detiknews.com, 8/1/2023). 

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH), Kementrian Agama, Muhammad Aqil Irham, menegaskan, nantinya akan ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (beritasatu.com, 8/1/2023). Sanksi ini sesuai dengan aturan yang telah ada yaitu PP No. 39 Tahun 2021. Aqil pun melanjutkan, berkenaan dengan kewajiban sertifikasi halal, maka diimbau bagi seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus segala proses sertifikasi halal produknya. 

Pemerintah menyediakan pelayanan sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, ada juga yang bertarif, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021, tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No.1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH. 

Besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare (pernyataan pelaku usaha) yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00. Ini tergantung keadaan keuangan negara. Sementara, biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik Usaha Menengah dan Kecil (UMK) adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH (Lembaga Penjamin Halal) maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga, total biayanya adalah Rp650.000,00. Sedangkan untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3.000.000,00 (kemenag.go.id, Maret 2022). 

Sertifikasi halal semestinya merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya. Ini demi menjaga kehalalan suatu produk sesuai perintah syariat Islam. Namun, hal ini menjadi sulit mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang sekuleristik, yaitu sistem yang berlandaskan pada keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. 

Hal ini diperparah dengan sifatnya yang sekuleristik, tak mempedulikan keberadaan aturan agama dalam penerapannya. Sehingga wajar saja, saat kebutuhan sertifikasi halal suatu produk pun dijadikan objek pemalakan terhadap masyarakat secara umum. Negara menganggap bahwa setiap proses sertifikasi berpotensi menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi negara dengan besaran yang telah ditentukan, sungguh memprihatinkan. 

Sistem Islam memberikan kemudahan dalam sertifikasi kehalalan produk. Hal ini karena tujuan utama sistem Islam saat mengurusi setiap urusan umat adalah untuk meraih rida Allah Swt. Karena itu, negara wajib menjaga kehalalan produk umat. 
Ada dorongan kuat dari dalam tubuh negara untuk menjaga setiap darah umatnya, yaitu iman dan takwa. 

Berbeda dengan sistem yang ada sekarang, pengadaan sertifikasi halal dilakukan karena adanya kepentingan materialistik, yaitu keuntungan ekonomi semata. Inilah keburukan sistem kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan umat. Setiap prosesnya selalu berujung pada proses pemerasan terhadap masyarakat, tanpa pikir panjang, tentang segala akibat yang bakal terjadi. 

Sistem Islam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Hal ini karena dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) bagi seluruh umat, bukan malah menjadi pelaku bisnis atas segala kebutuhan masyarakat. Segala kehalalan produk yang dikonsumsi rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara. Setiap jengkal pengurusan kebutuhan umat wajib diurusi berdasarkan akidah Islam. Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang senantiasa ditaati dengan sepasrah-pasrahnya ketaatan. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' : 59)

Negara wajib menjaga seluruh kebutuhan umat, termasuk kehalalan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Negara pun mutlak menjadi pengawas setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tak hanya jadi pengawas, negara pun harus memfasilitasi dan mendanai segala kebutuhan produsen terkait proses sertifikasi halal produk. Dengan proses tersebut, berarti negara menjamin keamanan dan kehalalan produk yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat. 

Islam menjamin kehalalan produk sejak awal proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pembuatan, distribusi, hingga berakhir pada tangan konsumen. Semua proses diawasi negara. Semua dikontrol oleh para ahli di bidangnya. Para ulama pun mengawasi segala proses demi keamanan dan kehalalannya. 

Keamanan dan kehalalan produk makanan akan mudah terselenggara dalam sistem Islam. Bahkan, negara senantiasa mengawasi bahan pangan secara periodik dan mengeliminir segala bahan haram dan berbahaya yang beredar di pasaran.

Lantas apa lagi yang diragukan dari sistem Islam yang begitu sempurna mengatur kehidupan?

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab