Menelisik Peraturan Sertifikat Produk Halal di Sistem Sekuler
Tinta Media - Telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpu) No. 2 Tahun 2022 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengenai sertifikasi produk halal. Peraturan ini juga merevisi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam peraturan terbaru ini, pelaku usaha mikro bisa mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui pernyataan/ikrar dengan skema self declare. Tentu ini menjadi angin segar bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal dengan mudah dan murah, bahkan gratis. Pertanyaannya, apakah konsumen, terutama umat Islam akan lebih terjamin untuk mendapatkan kepastian halal suatu produk?
Perubahan Aturan Sertifikasi Halal bagi UMKM
Terdapat beberapa perubahan mendasar terkait jaminan produk halal, yaitu:
Pertama, penetapan kehalalan produk. Penetapan kehalalan produk disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, BPJPH sebagai dasar penerbitan sertifikat halal. Bila penetapan kehalalan produk telah terlampaui batas penetapan, maka Komite Fatwa Produk Halal bisa menetapkan kehalalannya maksimal 2 (dua) hari kerja.
Kedua, sertifikasi halal UMK dengan self declare (pernyataan halal). Permohonan sertifikasi halal bisa diajukan sendiri oleh pelaku usaha mikro melalui self declare, kemudian ditetapkan kehalalannya oleh Komite Fatwa Produk Halal maksimal satu hari kerja sejak hasil pendampingan PPH diterima.
Ketiga, keberadaan Komite Fatwa Produk Halal. Komite Fatwa Produk Halal dibentuk dan bertanggung jawab kepada Kemenag.
Keempat, masa berlaku sertifikat halal. Sertifikat halal berlaku selama tidak ada perubahan komposisi bahan dan/atau proses produk. Jika ada perubahan komposisi bahan dan/atau proses produksi, maka pelaku usaha harus memperbarui sertifikat halalnya.
Kepentingan Kapitalis di Balik Proses Produk Halal
Secara cermat, isi Perpu Ciptaker terkait sertifikasi halal, terlihat berusaha membuat sistem yang lebih cepat dan mudah. Memang, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Mudahkanlah dan janganlah mempersulit …” (HR Bukhari).
Namun, hadis ini berkaitan dengan teknis, bukan substansi.
Berbeda dalam proses penetapan halal suatu produk yang butuh ketelitian. Apalagi, makanan dan minuman kekinian banyak yang menggunakan bahan-bahan tambahan dengan titik kritis yang perlu dicermati. Semua pihak harus mengetahui asal dan proses pembuatan bahan tambahan tersebut.
Jika diamati lagi, kepengurusan sertifikasi halal bagi UMK tidak semudah yang disampaikan. Ada kepentingan para kapitalis yang ternyata lebih besar. Faktanya, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dianggap salah satu sektor yang berperan dalam perekonomian nasional.
Maka, produk halal menjadi sorotan perekonomian dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap bahwa Indonesia berpeluang besar meraup keuntungan dari industri halal global. Berdasarkan laporan Indonesia Halal Markets Report 2021/2022, potensi produk halal bisa menambah penghasilan Indonesia sebanyak US$5,1 miliar/tahun. Potensi ini diperoleh melalui pertumbuhan ekspor produk halal, aliran investasi asing langsung, serta substitusi impor. (Katadata, 29/08/2023).
Bonus demografi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim juga menjadi pendukung besarnya potensi produk halal. Menariknya, peluang tersebut tidak berasal dari konsumsi muslim saja, tetapi juga nonmuslim yang percaya produk halal memiliki kualitas tinggi dan lebih aman.
Kondisi ini semakin mendorong pemerintah Indonesia meraih target nomor satu dalam industri halal. Untuk itulah, persyaratan memperoleh sertifikat halal dipermudah. Pemerintah tahu banyaknya jumlah pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah yang mampu mendongkrak tercapainya target tersebut. Oleh karenanya, melalui mekanisme self declare diharapkan target tersebut segera tercapai.
Adanya kemudahan memperoleh sertifikat halal, ternyata berdampak pada adanya produk-produk yang lolos mendapatkan sertifikat halal, padahal ternyata haram. Kasus “wine halal” atau anggur nabidz baru-baru ini sebagai contoh nyata.
Ini sebagai akibat kapitalisme yang dianut Indonesia, yang tujuan kebijakannya adalah untuk meraih keuntungan materi semata. Didukung dengan asas sekularisme, akhirnya segala cara ditempuh pemerintah dan pengusaha untuk meraih tujuan tersebut. Oleh karenanya, produk halal yang sebenarnya nilainya mulia, menjadi terkapitalisasi.
Pengurusan sertifikat produk halal bukan semata kesadaran pelaku usaha dan pemerintah untuk taat syariat, tetapi hanya demi memenuhi selera pasar. Akhirnya, yang terjadi adalah produk itu dihalalkan, bukan benar-benar halal, demi mengejar target sertifikat halal secara massal.
Jaminan Halal Bukan Sekadar Sertifikat
Ketentuan baru dalam Perpu Ciptaker ini terdapat banyak hal yang cukup rigid dalam fatwa yang harus diperhatikan pada saat penetapan fatwa produk halal. Sertifikat halal hendaknya tidak hanya memperhatikan bahan baku produk, tetapi juga proses pembuatan, kemasan yang digunakan, alat dan bahan pencucinya, hingga nama produknya.
Perluasan kehalalan produk yang dilakukan melalui proses self declare cukup berisiko karena hanya berdasarkan keterangan pelaku usaha. Padahal, penetapan kehalalan harus dilakukan oleh pihak yang memahami betul syarat Islam, najis, dan berpengalaman dalam bidang tersebut, sedangkan pelaku usaha belum tentu memilikinya.
Selain itu, berlakunya “sertifikasi halal seumur hidup” justru membuat proses perpanjangannya seolah tidak penting. Padahal, pada proses ini, ada kesempatan memberi pengawasan dan pembinaan.
Jaminan Halal dalam Islam
Islam telah menjadikan halal dan haram sebagai perkara syariat yang mendasar. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168 yang memerintahkan manusia untuk makan makanan yang halal dan baik, dari apa yang terdapat di bumi.
Urusan umat, termasuk kepastian produk halal yang beredar merupakan tanggung jawab negara sebagai pelindung terhadap agama rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya imam itu Bagai perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Dari dalil tersebut, maka tersedianya produk halal menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah akan membentuk tim/instansi khusus dengan SDM yang ahli dan mumpuni di bidangnya. Mereka harus memahami tentang hukum syariat (wajib, sunah, haram, makruh, mubah/halal). Negara juga mengangkat qadi yang berkompeten untuk mengatasi masalah terkait produk halal, toyib, najis, dan sebagainya, bukan sembarang orang untuk menyatakan sebuah produk itu halal atau haram.
Dengan ketaatan pemimpin dan rakyatnya, insyaallah semua hidup penuh keberkahan sebagaimana firman Allah dalam QS Al-A’raf: 96,
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Hanya saja, yang akan mampu mengemban amanah ini hanyalah negara yang berpijak pada penerapan syariat Islam, bukan negara kapitalis sekuler yang mencari keuntungan dan membisniskan kepentingan rakyat. Maka, sebagai muslim, kita berkewajiban memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Allahu a’lam bish shawab.
Oleh: R. Raraswati
(Aktivis Dakwah, Penulis Lepas)