Tinta Media: Sertifikasi Halal
Tampilkan postingan dengan label Sertifikasi Halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sertifikasi Halal. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2024

Persoalan Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Slamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi menurutnya produk  bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.

Selain itu berkenaan dengan penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.

Namun demikian tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut seperti, tuyul, tuak, beer, dan wine, tetapi tetap mendapatkan sertifikasi halal baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.

Menurutnya hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Disana dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan dzatnya maupun proses produksinya.

Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya lagi, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena dzatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan.

Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat muslim, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip dalam Islam.

Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyatnya, terutama umat Islam.

Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu benda-benda yang diharamkannya itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.

Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, maka meskipun produknya halal maka sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim apakah mereka mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas aqidah umat muslim.

Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat muslim atas sertifikasi halal dari suatu produk.

Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh Pemerintah, karena tidak bisa dipungkiri urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.

Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan atas dasar ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang  sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula,  yang mana ini jelas sangat merugikan umat muslim.

Berbeda dengan negara yang berlandaskan aqidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.

Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.

Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.

Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.

Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran baik pelakunya muslim atau non muslim maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.

Bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi) negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka, tetapi produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan diantara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.

Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam, benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan serta rasa tenang dan tenteram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.

Wallahu 'alam bisshowab.

Oleh: Siti Rini Susanti, Sahabat Tinta Media 

Jumat, 18 Oktober 2024

Sertifikasi Halal Jadi Polemik dalam Sistem Problematik

Tinta Media - Polemik sertifikasi halal pada produk-produk terutama makanan saat ini merupakan salah satu bukti kegagalan negara dalam memberikan jaminan makanan yang halal dan toyyib bagi rakyatnya, khususnya umat Islam.

Apalah arti sebuah nama. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan pemberian nama produk halal dengan nama yang sebutannya untuk apa yang diharamkan dalam Islam. Pemberian nama itu dianggap aman, karena yang terpenting adalah zatnya halal.

Seperti konten yang viral di medsos. Konten itu menyoroti nama-nama produk antara lain Ginger Beer, Wine Coffee Drip, dan donat Tuyul yang mendapatkan sertifikasi halal. (Kumparan.com, 03/10/24)

Sangat kontradiktif. Bagaimana bisa pelaku usaha mendapatkan legalitas dan kehalalan produk yang nama produknya bertentangan dengan syariat Islam? Padahal, sudah ada peraturan terkait penamaan produk halal yang diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Selain itu juga ada, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Dari peraturan tersebut seharusnya sudah jelas, bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal bagi produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Faktanya, hal itu masih bisa dilakukan dan dikabulkan oleh pihak yang berwenang. Hal tersebut akan terus menjadi polemik dalam sistem yang telah terbukti problematik ini.

Begitulah model sertifikasi halal dalam sistem Kapitalisme. Nama tak jadi soal asal zatnya halal. Padahal, hal tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Masyarakat bisa jadi dibuat bingung, sehingga ke depannya akan dapat menyebabkan menghalalkan sesuatu yang ternyata haram hanya karena telah terbiasa akibat meremehkan memberi nama barang haram pada barang halal. Padahal, halal haram dalam Islam merupakan persoalan prinsip.

Polemik sertifikasi halal ala Kapitalisme tidak akan terjadi dalam tatanan kehidupan Islam. Di mana negara menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam menerapkan hukum pemerintahan dan mengurusi rakyat dalam seluruh aspek kehidupan baik dari segi akidah, muamalah, ibadah, maupun sanksi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 168)

Dari ayat tersebut jelas, bahwa Allah memerintahkan manusia untuk makan makanan yang halal. Oleh karena itu, negara sebagai pelaksana hukum syarak wajib menjamin terwujudnya perintah tersebut dan dapat dilaksanakan oleh rakyatnya tanpa keraguan.

Islam memiliki aturan yang jelas tentang benda/zat. Ada yang halal dan ada yang haram. Oleh karena itu, Negara Islam wajib menjamin kehalalan benda termasuk makanan dan minuman yang dikonsumsi warganya. Salah satu caranya adalah dengan mekanisme sertifikasi halal yang wajib diberikan oleh negara secara mudah dan murah atau bahkan gratis. Sebab, negara adalah pelindung rakyat, termasuk akidahnya.

Negara akan menugaskan pegawai negara yakni para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi tersebut bertugas mengawasi produksi dan distribusi  untuk memastikan kehalalan produk mulai dari bahan baku maupun prosesnya. Juga memastikan agar tidak ada kecurangan dan kamuflase. Dengan begitu, makanan dan minuman yang sampai pada rakyat telah terjamin halal dan toyyib. Wallahu a’lam.

Oleh: Wida Nusaibah, Pemerhati Kebijakan Publik

Minggu, 18 Agustus 2024

Sertifikasi Halal oleh Negara, Kewajiban atau Kepentingan?

Tinta Media - Sedang hangat berita tentang ramainya anak-anak cuci darah di rumah sakit, beberapa dari orang tua mereka mengatakan akibat dari seringnya mengonsumsi minuman kemasan yang tinggi gula. Meskipun tidak ada lonjakan kasus anak yang menderita gagal ginjal, permasalahan ini tetap harus mendapatkan perhatian kita, karena berkaitan dengan pola hidup yang tidak sehat, dan konsumsi yang salah.

Dalam laman Cnnindonesia.com 06/07/2024.

Dokter mengatakan ada banyak faktor yang akan meningkatkan risiko terkena gagal ginjal, dan salah satunya adalah seringnya mengonsumsi makanan atau minuman kemasan yang tinggi gula. Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Eka Laksmi Hidayati mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan gagal ginjal adalah pola hidup yang tidak sehat.

"Penurunan fungsi ginjal tidak terjadi secara langsung, melainkan ketika sudah masuk obesitas dan anak yang obesitas ketika di usia dewasa. Mengonsumsi vitamin, suplemen dan obat-obatan jika dikonsumsi sesuai anjuran, dan di bawah pengawasan dokter tidak akan berisiko gagal ginjal akut." Lanjut Dokter Eka.

Peran Negara Hilang Akibat Sistem Kapitalis

Saat ini begitu banyak beredar makanan atau minuman instan yang tinggi gula, atau bahkan bahan pemanis buatan, lebih parahnya ada banyak beredar makanan yang dalam komposisinya mengandung alkohol, lemak atau minyak dari hewan yang haram dan bahan berbahaya lainnya, namun di kemasan tertulis halal, hal ini akan sangat berbahaya bagi pembeli yang beragama muslim yang membeli karena percaya saat melihat adanya label halal.

Dalam sistem sekuler kapitalis yang lebih mengedepankan keuntungan dibandingkan akibat perbuatan, masyarakat akan sangat kesulitan membedakan makanan yang benar-benar halal sebab banyaknya komposisi yang tidak dicantumkan atau berbahasa asing, ditambah lagi dengan nama ilmiah atau yang tidak dikenal masyarakat, tentu mereka hanya bisa melihat dari label halalnya saja, lantas jika label halal ini dikapitalisasi bagaimana nasib mereka?

Fitrahnya anak-anak tentu senang pada makanan atau minuman manis yang enak dan segar di tenggorokan, namun mereka belum bisa memahami apa yang baik dan buruk untuk dikonsumsi, di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mengedukasi dan memilihkan konsumsi yang baik untuk anak, yang bukan hanya halal namun juga harus thayyib.

Saat ini di pasaran bercampur makanan atau minuman yang halal dengan haram, selain kurangnya edukasi masyarakat tentang hal ini, juga sulitnya kepengurusan label halal, sehingga banyak yang berbuat curang dengan menambahkan label sendiri, masyarakat juga hanya berpikir yang penting bukan berbahan dasar babi, padahal ada banyak zat berbahaya lain juga yang harus dihindari.

 Pada saat pengesahan UU Omnibus Low dan UU Ciptaker ada klaster permudahan izin usaha, Lembaga Pemeriksaan Halal (LPH) boleh dilakukan oleh lembaga selain MUI asalkan sudah diakreditasi oleh MUI, syarat auditor halal yang sebelumnya adalah WNI, muslim, memiliki wawasan luas terkait produk dan agama, juga minimal S1 di berbagai bidang yang bersangkutan dihapuskan.

Jadi siapa pun boleh menjadi auditor halal tidak harus WNI, tidak harus muslim, asalkan sudah mengikuti pelatihan saja. UU Ciptaker juga memangkas waktu kerja permohonan sertifikasi halal menjadi satu hari kerja. Dan dalam UU baru ini tidak disebutkan sanksi administratif jika ada pelanggaran.

Terlihat jelas kan? Bahwa pengesahan UU ini bukanlah untuk kemaslahatan umat Islam, sebagai agama mayoritas dalam negara, bukan juga untuk kesehatan masyarakat, tapi hanya sekedar formalitas belaka, dan demi mengeruk keuntungan mereka. Seluruh produk usaha pangan wajib memiliki label halal, ini seperti sebuah bisnis yang akan selalu menghasilkan keuntungan.

Islam Menjamin Hak Masyarakat

Dalam Islam tidak ada sertifikasi halal, sebab barang yang bisa masuk ke pasar harus benar-benar halal dan thayyib, negara yang mengatur dan mengawasi langsung produksi hingga pendistribusian produk, sehingga negara bisa memastikan tidak akan ada makanan atau minuman haram yang diproduksi maupun didistribusikan ke masyarakat luas.

Masyarakat tidak akan khawatir karena negara langsung yang menjaga dan menjamin konsumsi umat. Produk yang haram atau memiliki salah satu bahan baku haram tidak akan lolos ke pasar. Kecuali untuk yang bukan muslim namun tinggal dalam daulah seperti kafir dzimmi mereka bebas memproduksi dan mengonsumsi makanan atau minuman yang haram, namun dengan peringatan bahwa itu hanya untuk kalangan mereka dan tidak boleh diperjualbelikan keluar.

Islam sangat memperhatikan hal ini karena jika ada zat haram yang masuk ke tubuh seseorang maka tidak akan diterima do'a dan ibadah mereka, kehidupan yang sulit dan sempit serta pertanggungjawaban kelak. Bukan hanya makanan atau minuman, Islam juga melarang mencari nafkah dari pekerjaan yang haram sebab uang yang didapat juga akan haram.

Rasul bersabda: "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya"(H.R Tirmidzi)

Islam juga akan menindak dan memberikan sanksi tegas kepada orang yang melanggar aturan, jaminan halal merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah, sehingga negara tidak boleh memberatkan rakyat terutama produsen, harusnya merekalah yang harus diberi kemudahan dalam regulasi dan pembiayaan.

Penerapan sistem selain Islam hanya mempersempit dan mempersulit masyarakat, hingga kini halal dan haram saja sangat sulit dibedakan. Harusnya umat sadar bahwa tidak ada sistem terbaik yang mampu mengayomi mereka selain Islam, tidak ada aturan terbaik selain dari penciptanya manusia, yakni Allah SWT, dan semua ini hanya bisa terwujud dan di aplikasikan saat berdirinya Daulah Islamiyyah.

Wallahu 'alam bishowab.

Oleh: Audina Putri, Aktivis Dakwah Muslimah

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab