Tinta Media: Sepuluh Garis Putus-Putus
Tampilkan postingan dengan label Sepuluh Garis Putus-Putus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sepuluh Garis Putus-Putus. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2024

Prabowo-Xi Jinping Bertemu, Benarkah Indonesia Akui Klaim Cina Terkait Sepuluh Garis Putus?

Tinta Media - Menanggapi dikeluarkannya Joint Statement pada tanggal 9 November pada pertemuan Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping, Guru Besar Hukum Internasional UI Prof. Hikmahanto Juwana mempertanyakan Joint Development (Pengembangan Bersama) dengan Cina dalam Joint Statement.

"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh Cina yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" tuturnya dalam press realese yang diterima Tinta Media, Senin (11/11/2024).

Menurutnya, bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.

Ia menuturkan, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memiliki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari Cina. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS yakni Indonesia dan Cina adalah negara peserta.

"Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS," ungkapnya.

Namun dengan adanya joint statement 9 November lalu, kata Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus. Perlu dipahami Joint development  hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih.

"Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia. Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Cina. Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Cina.  Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan Cina," bebernya.

Bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka, menurutnya, Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

"Terlebih lagi bila joint development ini benar-benar direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar," tegasnya.

Bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah Cina maka, ia menilai ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan.

"Negara-negara yang berkonflik dengan Cina sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan diantara negara ASEAN," jelasnya.

Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak Cina karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. "Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan," tandasnya.

Bila benar joint development dengan Cina di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan maka, ia menilai yang justru mendapat keuntungan besar adalah Cina.

"Bahkan Cina bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi," pungkasnya.[] Muhammad Nur





Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab