Karut-marut MinyakKita Cermin Sengkarutnya Kapitalisme
Tinta Media - Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang terbesar di dunia. Kekayaan alam tersebut tersebar dari bagian barat sampai bagian timur. Namun sayang, dengan kekayaan alam yang sedemikian rupa, ternyata tidak mampu menjadikan Indonesia menjadi negara maju. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu pengangguran tinggi sebesar 7,99 juta orang. Pengangguran terbanyak justru dari lulusan SMK, yaitu sebesar 9,6% (data BPS per Februari 2023).
Tidak hanya itu, jumlah penduduk miskin sangat tinggi, yaitu sebesar 40 % dari jumlah penduduknya jika kita mengacu pada rekomendasi Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp15.230 per US$). cnbcindonesia.com (Rabu, 10/05/2023)
Masalah di Hilir, Solusi di Hulu
Begitu banyak permasalahan di negeri ini seolah tumbuh liar dan subur. Hal ini karena kondisi mereka yang memang tanpa ataupun dengan sadar telah diciptakan oleh cara penguasa menjalankan kebijakan. Permasalahan yang satu belum usai diselesaikan, lantas muncul persoalan baru.
Seperti sengkarut masalah MinyaKita yang sejak awal program ini diluncurkan (06 juli 2022) telah menuai banyak sekali masalah, mulai dari pedagang yang mengeluh kesulitan mendapatkan pasokan MinyaKita, lalu harga MinyaKita melambung di atas harga eceran tertinggi (HET Rp14.000) menjadi sekitaran Rp16.000 - Rp20.000 per liter kemudian masalah kelangkaan di sejumlah daerah, pemalsuan produk Minyakita, pembatasan pembelian dan bahkan harus membeli dengan cara bundling.
Tentunya Karut-marut masalah MinyaKita ini memang sudah diprediksi akan terjadi oleh beberapa ekonom di Indonesia. Hal ini karena kebijakan yang diambil untuk mengatasi masalah, tidak menyentuh akar masalah.
Permasalahan ada di hilir, tetapi penyelesainnya di hulu. Akibatnya, muncu masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Ini justru menambah persoalan yang ada.
Pangkal persoalan minyak goreng ini sebenarnya berawal dari kurangnya pasokan ke masyarakat. Secara ilmu ekonomi, jika barang (minyak goreng) langka di pasaran, maka akan memicu kenaikan harga barang. Jika kita perhatikan, masalah ini sebenarnya tidak sulit, apalagi rumit jika diselesaikan menurut ilmu ekonomi. Akan tetapi, mengapa menjadi panjang dan lama?
Hal ini karena pemerintah menyerahkan urusan pengelolaan SDA kepada pihak swasta yang notabene mempunyai kepentingan pribadi, yaitu mendapatkan keuntungan dari aktivitas yang mereka lakukan.
Hal ini disebabkan karena pemerintah terikat dengan aturan global dalam hal ini WTO yang menetapkan bahwa jika pemerintah mengolah sendiri SDA-nya, maka akan terjadi korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Sehingga, untuk dapat menciptakan pemerintahan yang bersih sekaligus bisa memberikan pelayanan terbaik dan maksimal, maka pemerintah harus bekerja sama dengan pihak swasta karena pihak swasta dinilai lebih profesional.
Inilah yang dinamakan kebijakan Public Private Partnership yang merupakan akad pemerintah dengan pihak swasta dalam mengelolah SDA yang ada. Dalam hal ini, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, dan yang memiliki wewenang untuk menetapkan harga minimum dan maksimum dari produk yang diproduksi pihak swasta.
Ironinya, pemerintah harus memberikan subsidi kepada pihak swasta yang memproduksi barang-barang kebutuhan pokok. Tentu kondisi semacam ini merupakan ciri khas sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada materi.
Islam Solusi Semua Masalah
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak ada yang tidak diatur dalam Islam, termasuk juga masalah ekonomi. Dalam ekonomi Islam, pemerintah adalah raa'in (pengurus rakyat).
Tentu berbeda antara Islam dan kapitalisme. Sistem kapitalisme meminimalisir fungsi pemerintah/pemimpin. Sedangkan Islam justru mewajibkan pemerintah sebagai sentral dalam setiap urusan terkait urusan umat.
Dalam Islam, justru Khalifah atau pemimpinlah yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Khalifah akan mengolah SDA dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik SDA tersebut.
Islam melarang pengelolaan SDA oleh swasta/individu. Begitu juga dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Hal ini jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah saw.:
Anas bin Malik menuturkan bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para sahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah saw. tetapkanlah harga bagi kami!” Rasulullah saw menjawab,
“Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan Yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta.” (HR. Abu daud, Ibnu Majah dan At Tirmidzi).
Demikianlah dalam pandangan Islam, negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng bagi rakyatnya secara merata, bukan melempar kewajiban kepada pihak ketiga.
Islam juga akan menyelesaikan semua masalah dari akar-akarnya. Adapun akar masalah dari karut-marut kebijakan minyak goreng ini adalah tidak diterapkannya aturan Islam secara kaffah.
Negara masih saja teguh menerapkan sistem kapitalisme meskipun berbagai kerusakan ditimbulkan. Ini karena di balik kerusakan-kerusakan itu, berlimpah cuan mengalir ke rekening mereka.
Saatnya kita kembali kepada Islam kaffah dan menjadikan negeri kita menjadi negeri baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Untuk mewujudkan negeri impian tersebut butuh penerapan Islam Kaffah yang wajib diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishawwab.
Oleh: Yulisna Zein
Sahabat Tinta Media